Critical Review 1: Kerukunan Memupuk Bangsa yang Harmonis



Kerukunan Memupuk Bangsa yang Harmonis
Oleh Hanifatus Sholihah

Banyak sekali masalah yang terjadi di Indonesia, salah satunya masalah sosial yang semakin kompleks dan tidak tahu darimana datangnya dan bagaimana penyelesaiannya. Dari berbagai pihak yang berdebat, ada yang pro adapula yang kontra terhadap masalah itu. Masalah-masalah sosial yang bermunculan dimana-mana, salah satu penyebabnya adalah karena kurangnya kepekaan dan rasa hormat terhadap orang lain dari kelompok yang berbeda. Akibat yang ditimbulkan dari masalah sosial tadi, akan terjadi konflik sosial serta ketidakharmonisan dalam menjalani kehidupan sosial. Untuk sekarang ini, kualitas suatu bangsa terkadang tidak bisa menjadi solusi yang tepat untuk menangani masalah sosial karena kualitas yang dimiliki seseorang sering disalahgunakan.
Tidak heran jika terkadang masalah agamapun selalu disangkut-pautkan. Perbedaan agama selalu menjadi alasan terjadinya konflik antar sesama manusia (teman). Rentetan kasus pelanggaran yang mengatasnamakan agama sering terjadi di Indonesia, tetapi dengan adanya perkembangan zaman dan pola pikir rakyat yang semakin baik, keadaan itu hanya terjadi sementara saja tidak berkelanjutan. Pemaknaan agama sering di simpang siurkan oleh segolongan orang yang tidak bertanggung jawab, namun hal tersebut tidak berarti apa-apa bagi kita karena keyakinan rakyat kita terhadap ajaran agama sudah cukup baik.
Jadi impian suatu negara sesungguhnya adalah menjunjung tinggi bidang pendidikan dasar dan menemukan solusi yang tepat untuk menyelesaikannya. Selain itu, pendidikan dasar harus menerapkan nilai-nilai menghargai perbedaan (agama) agar terciptanya nilai kerukunan, dan toleransi terhadap kelompok serta etnis yang berbeda.
Pendidikan itu sendiri adalah salah satu elemen penting yang umumnya sebagai kunci keberhasilan suatu rakyat yang menjalankannya. Pendidikan tidak luput dari praktek sistem pendidikan yang sebagai bentuk tolak ukur sistem dan jalannya pendidikan pada setiap bangsa. Dengan adanya pendidikan diharapkan sumber daya yang dihasilkan akan mampu menjawab tantangan masyarakat kedepan. Hampir semua negara maju menyadari bahwa hal utama bangsa tersebut menjadi negara maju adalah karena pendidikannya disamping juga sandang dan kesehatan. Contohnya, saya pernah melihat disalah satu stasiun televisi Indonesia, warga jepang itu sangat kreatif sekali. Beberapa orang jepang mengikuti lomba menyusun dadu yang kecil-kecil hingga membentuk sebuah menara yang hanya diberi waktu selama 60 jam. Disitu terlihat kegigihan dan konsentrasi orang jepang yang sangat tinggi.
Pendidikan ini dimulai sejak pendidikan dasar. Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan awal selama sembilan tahun pertama masa sekolah anak-anak. Pendidikan dasar menjadi dasar bagi jenjang pendidikan menengah. Periode pendidikan dasar ini adalah selama enam tahun. Salah satu tujuan dari pendidikan dasar adalah untuk memberikan siswa yang memiliki wewenangan mengembangkan keterampilan dasar mereka sebagai individu, anggota masyarakat serta warga negara. Keterampilan dasar ini juga dasar untuk pendidikan yang lebih lanjut.
Kerukunan umat beragama harus dikembangkan di sekolah pada usia sedini mungkin. Hal ini merupakan cara untuk mengajarkan program-program yang kreatif dan inovatif untuk mendukung wacana sipil yang positif di kalangan siswa. Contohnya, saat saya sekolah dasar ada salah satu teman saya yang ternyata non-muslim. Saat itu tepat bulan Ramadhan, dimana semua orang berpuasa (kecuali yang berhalangan). Lalu teman saya yang non-muslim bertanya, “mengapa engkau tidak makan?” Lalu aku menjawab karena untuk satu bulan ini saya berpuasa. Setelah diberi penjelasan, dia menghargai saya dengan tidak makan serta minum didepan saya dan teman-teman muslim lain yang berpuasa.
Masalah sosial yang terjadi di negara kita untuk saat ini semakin banyak. Masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Jika terjadi bentrokan antara unsur-unsur yang ada dapat menimbulkan gangguan hubungan sosial seperti kegoyahan dalam kehidupan kelompok atau masyarakat.
Masalah sosial muncul akibat terjadinya perbedaan yang mencolok antara nilai dalam masyarakat dengan realita yang ada. Yang menjadi sumber masalah sosial yaitu seperti proses sosial. Adanya masalah sosial dalam masyarakat ditetapkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan khusus seperti tokoh masyarakat, pemerintah, organisasi sosial, musyawarah masyarakat, dan lain sebagainya.
Ada empat jenis faktor masalah sosial, antara lain :
1.      Faktor Ekonomi, seperti kemiskinan, pengangguran dan pemberhentian kerja
2.      Faktor Biologis, seperti penyakit menular dan keracunan makanan
3.      Faktor Psikologis, seperti penyakit syaraf dan aliran sesat
4.      Faktor Budaya, seperti perceraian, kenakalan remaja, tawuran pelajar, bentrok antar pemuda.
Dari keempat faktor tersebut, yang berhubungan dengan masalah sosial adalah faktor budaya. Dimana terjadinya tawuran pelajar, bentrokan pemuda dan bentuk lain dari radikalisme di seluruh Indonesia diakibatkan karena kurang kepekaan serta rasa hormat terhadap orang lain.
Menurut Ermaya (2004:1) radikalisme adalah paham atau aliran radikal dalam kehidupan yang berpolitik. Radikal merupakan perubahan secara mendasar dan prinsip. Hal seperti ini siapa yang pantasnya dipersalahkan? Guru? Siswa? Kurikulum? Atau materi pendidikan? Semuanya tentu harus kita pikirkan secara dingin tidak usah saling menyalahkan satu sama lain, karena semuanya mungkin salah. Fenomena meningkatnya tindakan radikalisme dikarenakan dangkalnya pemahaman terhadap agama. Karena itu, upaya preventif yang tepat saat ini adalah dengan merevitalisasi pendidikan agama dan akhlak disekolah, keluarga, maupun masyarakat.
Tetapi hasil penelitian yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LAKIP) menunjukan bahwa tingkat intoleransi di dunia pendidikan meningkat. Kajian ini mengungkap fakta kondisi keberagamaan di sekolah-sekolah umum yang ternyata memperlihatkan angka yang sangat mencengangkan. Tidak kurang dari 60% guru-guru, dan 25% siswanya, mengenal dan setuju dengan tokoh-tokoh radikal.
Kerukunan beragama harus diterapkan sejak di pendidikan sekolah dasar. Hal itu diharapkan sebagai wadah untuk mendukung wacana sipil yang positif di kalangan siswa. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan mereka. Dalam konteks sekolah, interaksi yang terjadi antara anak-anak adalah seperti menghormati, membantu, berbagi, dan sopan santun terhadap satu sama lain. Konsep interaksi dengan teman sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan sosial (Rubin, 2009).
Harusnya keberagaman agama menjadi sebuah keistimewaan negara Indonesia. Kita memiliki suku, ras yang berbeda-beda, namun hal tersebutlah yang menjadi sebuah kesatuan kita sebagai bangsa yang berbudi dan bangsa yang punya moral serta punya keyakinan bahwa kehidupan harmonis antar sesama maupun antar agam harus selaras dengan bangsa.
Kita juga harus memikirkan untuk mengatur pendekatan multikultural. Multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam komunitas budaya dengan segala kelebihannya,dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan. Dalam pengaturan multikultural, siswa berasal dari latar belakang etnis, agama dan sosial yang berbeda dan pola pikir yang dominan dibentuk oleh latar belakang mereka. Program yang ada di sebuah lembaga (sekolah) harus dapat memfasilitasi interaksi rekan untuk mengembangkan wacana sipil positif.
Indikator dari wacana sipil ini adalah mendengarkan dengan saksama, menyalurkan ide-ide atau pendapat terutama saat berdiskusi dengan rekan-rekannya, mengajukan pertanyaan, menyatakan bentuk persetujuan atau penolakan, dan mencapai suatu kompromi dengan cara yang hormat.
Pada sekolah dasar khususnya, guru kelas berfungsi untuk mengawasi siswa hampir sepanjang hari. Anak-anak seyogyanya harus mengerti bagaimana cara merancang dan memfasilitasi interaksi teman sebaya dengan benar, mereka akan mengembangkan wacana sipil positif sebagai bagian dari pendidikan kewarganegaraan.
Maka haruslah dilakukan kegiatan menata negara menjadi negara yang demokratis melalui pendidikan. Namun hal itu masih belum terinstitusionalisasikan secara sistematis di Indonesia. Padahal, di negara-negara maju, terutama Amerika Serikat dan Eropa, pendidikan demokrasi adalah bagian tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional mereka.
Sebagai output dari pendidikan yang demokratis, kedewasaan warga negara dalam berdemokrasi di Barat bisa menjadi referensi adanya keterkaitan antara sikap-sikap demokratis warga negara dan program pendidikan demokrasi, lebih populer dikenal dengan sebutan civic education (pendidikan kewarganegaraan), yang ditempuh melalui jalur pendidikan formal, terutama saat pendidikan dasar.
Bagi negara yang tengah bertransisi menuju demokrasi, seperti Indonesia, pendidikan kewarganegaraan yang mampu memperkuat barisan masyarakat sipil yang positif, beradab dan demokratis amat penting dilakukan.
Pendidikan kewarganegaraan bukanlah barang baru dalam sejarah pendidikan nasional. Di era Soekarno, misalnya, pendidikan kewarganegaraan dikenal dengan pendidikan civic. Demikian pula masa Presiden Soeharto, pendidikan kewarganegaraan sangat intensif dilakukan dengan bermacam nama dan tingkatan.
Pendidikan merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk dapat mandiri, bertahan hidup, dan bertanggung jawab atas kehidupannya. Pendidikan merupakan upaya membebaskan manusia dari belenggu kebodohan. Pendidikan idealnya merubah tingkah laku manusia dari hal-hal yang buruk menjadi baik, bukan sebaliknya. Tetapi tidak jarang, dengan bekal pendidikan yang tinggi, malah disalahgunakan.
Ada penelitian yang menunjukkan bahwa anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan mereka. Salah satu caranya adalah menggunakan berbagai pendekatan untuk memupuk saling pengertian dan menghormati antara anak-anak dari latar belakang yang berbeda. Diantaranya adalah menggunakan keprihatinan bersama anak-anak dan minat dalam lingkungan.
Masalah untuk mencapai tujuan program ini adalah biasanya anak-anak mendapatkan pesan atau nasehat dari orang dewasa termasuk orangtua yang bertentangan dengan nilai-nilai yang mereka pelajari di sekolah.
Akibatnya, program perubahan sosial harus mengatasi orang dewasa yang membentuk pandangan dunia anak-anak. Beberapa hal yang biasanya terjadi : anak-anak tidak sengaja menemukan konflik yang terjadi di lingkungan orang dewasa dalam kehidupan mereka, yang cara penyelesaiannya terkadang menggunakan tindakan kekerasan. Tidak dipungkiri anak-anak akan masuk kedalam lingkungan tersebut dan harus menjadi penengah. Namu pada kenyataannya, cara mendamaikan yang diinstruksikan oleh guru-guru dan orangtua sangat berbeda.
Untuk menghindari hal ini, orang tua harus terlibat dalam program tersebut dan harus memiliki tujuan yang sama dengan anak-anak mereka. Banyak juga bentuk pengajaran yang dilakukan oleh sekolah yaitu menanamkan rasa perbedaan dan bukan kesamaan.
Pada akhir abad ke-20, hampir setiap daerah Indonesia menunjukkan bahwa anggota suatu masyarakat majemuk selalu terlibat dalam dinamika pluralitas yang krisis terlihat dalam tiga kecenderungan berikut:
Pertama, masyarakat majemuk mengidap konflik yang kronis dalam hubungan antarkelompok. Kedua, pelaku konflik ini cenderung secara stereotif yaitu suatu rencana cetakan yang begitu terbentuk (setelah terbentuk) sulit untuk diubah. (Edward E. Jones, “Stereotypes (Stereotip)”).
Ketiga, proses integrasi sosial ternyata lebih banyak terjadi melalui dominasi suatu ras atau kelompok terhadap kelompok lain. Atau setidak-tidaknya diklaim demikian, sehingga integrasi itu sering kali bersifat heteronom. Artinya, integrasi itu terjadi bukan karena ketulusan, melainkan karena faktor-faktor lain yang bersifat eksternal.
Konflik yang terjadi di Indonesia (apakah masalah sosial atau masalah keyakinan) telah menelan jutaan jiwa di seluruh dunia bukan lagi masalah baru bahkan berkembang seusia manusia, dan terus bergerak menanti momentum yang tepat untuk bangkit.
Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, agama dapat menjadi suatu faktor pemersatu (uniting factor). Namun dalam beberapa hal, agama dapat juga dengan mudah disalahgunakan sebagai alat pemecah belah (devending factor). Jadi harus ada faktor-faktor lain yang lebih memperkuat dan mempertahankan kohesi sosial.
Bentuk-bentuk dari radikalisme juga telah mengganggu kohesi sosial dan menyebabkan saling ketidakpercayaan di antara kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat. Kasus pengeboman gereja di Surakarta misalnya mungkin bisa menyebabkan dendam dan serangan balik terhadap masjid-masjid yang ada. Dan ini bisa menjadi ketidakharmonisan agama yang sangat besar.
Sebuah laporan atas penelitian yang dilakukan oleh Apriliaswati (2011) menyimpulkan bahwa interaksi teman sabaya dalam lingkungan kelas wacana sipil yang positif di kalangan siswa menjadi sebuah bukti adanya interaksi interaktif dan mencerahkan.
Oleh karena itu, kegiatan interaksi sebaya harus dilaksanakan sebagai salah satu hal rutin kelas. Siswa harus diberikan kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain melalui tugas-tugas kelompok, berdebat dengan gaya mereka sendiri untuk mempersiapkan mereka sebagai anggota fungsional dari suatu masyarakat yang demokratis.
Sebagai siswa pendidikan dasar, anak-anak mungkin belum mampu memberikan alasan berupa informasi dan bukti dari apa yang mereka sampaikan. Namun mereka bisa menyampaikannya dengan mengekspresikan kesepakatan atau ketidaksepakatan dengan cara yang sopan. Misalnya hanya dengan menganggukan kepala, menganggkat jempol atau mengatakan “ya” tanda dia setuju, dan menggelengkan kepala tanda tidak setuju.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Apriliaswati mengajarkan bahwa pendidikan itu tidak harus selalu bersumber pada penalaran ilmiah, tetapi juga wacana sipil positif. Penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran yang bersifat ilmiah.  Penalaran merupakan proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Sifatnya adalah analitik dan logis.
Penalaran ilmiah ini sangat diperlukan dalam mengembangkan warga intelektual, sedangkan kompetensi wacana sipil sangat penting untuk menciptakan warga negara yang beradab.
Penalaran Ilmiah sendiri dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
1.      Deduktif yang berujung pada rasionalisme
2.      Induktif yang berujung pada empirisme.

Logika deduktif  merupakan cara penarikan kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat khusus (individual). Sedangkan  logika induktif  merupakan cara penarikan kesimpulan dari kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir silogisme, dua pernyataan dan sebuah kesimpulan.
Pendidikan kita saat ini gagal memberikan para siswa kompetensi wacana sipil. Sebagian beasr politisi dan birokrat menduduki kekuasaan atas dasar pendidikan yang telah mereka peroleh. Sayang saja, tidak sedikit dari mereka yang tidak memiliki kompetensi tersebut. Ini ada hubungannya dengan insiden yang memalukan pada tahun 2010. Kejadiannya yaitu saat anggota parlemen saling melontarkan kata-kata kasar dengan cara yang tidak sopan saat sidang yang disiarkan secara langsung di seluruh negeri. Ini menunjukkan bahwa pendidikan politik belum cukup berhasil dalam mengajarkan kompetensi wacana sipil.
Ketika politisi dan birokrat gagal mendidik masyarakat, sekolah yang dituntut untuk kembali diberdayakan sehingga dapat berfungsi secara maksimal. Guru pada pendidikan dasar harus memberikan kesempatan kepada siswanya untuk mendorong pengalaman bermakna, yaitu berinteraksi dengan siswa lain, dari agama yang berbeda, etnis dan kelompok-kelompok sosial yang berbeda.
Kerukunan adalah adanya suasana persaudaraan dan kebersamaan antar semua orang walaupun mereka berbeda secara suku, agama, ras, dan golongan. Kerukunan juga bisa bermakna suatu proses kemampuan dan kemauan untuk hidup berdampingan dan bersama dengan damai serta tenteram. Langkah-langkah untuk mencapai kerukunan seperti itu, memerlukan proses waktu serta dialog, saling terbuka, menerima dan menghargai sesama, serta cinta kasih.
Sedangkan kerukunan umat beragama yaitu hubungan sesama umat beragama yang dilandasi dengan toleransi, saling pengertian, saling menghormati, saling menghargai dalam kesetaraan pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Umat beragama dan pemerintah harus melakukan upaya bersama dalam memelihara kerukunan umat beragama, di bidang pelayanan, pengaturan dan pemberdayaan.
Selain dalam lingkungan sekolah dalam lingkungan sosial demi membina kerukunan antarumat beragama, digelar gerak jalan sehat yang diikuti oleh semua esensi dari berbagai agama. Acara ini digelar di Lapangan Karebosi, Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), yang diikuti oleh sekitar 50 ribu orang peserta.
Pihak penyelenggara, yaitu Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Sulsel, mengatakan acara ini digagas untuk membina dan selalu menjaga kerukunan antar masyarakat meski mereka berbeda agama. Ibu-ibu berjilbab dan laki-laki berkopiah sebagai wakil umat Islam hadir, para biksu, perwakilan dari umat kristen dan katolik, Hindu, dan Konghucu, melebur jadi satu dalam acara ini. 
"Rukun itu penting atau tidak?" ujar Menteri Agama, Suryadharma Ali, pada para peserta ketika melepas para peserta gerak jalan sehat ini, Sabtu (14/12). Teriakan ini pun disambut dengan meriah oleh para peserta. "Penting!" seru mereka.
Para peserta yang hadir dari seluruh wilayah propinsi Sulawesi selatan ini bersemangat mengikuti gerak jalan dengan rute mengitari kota Makassar sejauh lima km ini. Mereka rela jauh-jauh meninggalkan rumah beratus kilometer dan menginap di malam sebelumnya, agar mereka bisa berpartisipasi dalam memperlihatkan betapa rukunnya masyarakat yang berbeda agama ini.
Menteri Agama mengatakan, acara seperti ini perlu dilakukan agar tidak memperlebar jurang pemisah perbedaan, terutama dalam hal agama. "Dalam momen seperti ini, warga berbeda agama saling mengenal, saling bersalaman, dan mewujudkan tujuan yang sama, yaitu menciptakan kerukunan," ujarnya.
Menurutnya, kerukunan seperti ini harus terus dijaga. Apabila dalam kondisi terburuk, terjadi konflik, ia menyerukan agar konflik dan gesekan-gesekan kecil antar individu yang terjadi, segera diselesaikan dan dicarikan solusinya. "Jangan sampai menjadi besar dan meluas dan nantinya mengatasnamakan agama," ujarnya.
Acara seperti ini, menurutnya, bisa menjadi tindakan pencegahan atas konflik antar agama. Disini memperlihatkan bahwa agama apapun di Indonesia ini, cinta kerukunan. Tidak ada salah satu agama yang punya niat untuk menciptakan konflik antar agama.
Cara tradisional pengajaran agama telah dikritik karena menekankan aspek teologis, dan ritual. Aspek teologis adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan beragama. Teologi meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan. Sementara mengabaikan aspek-aspek sosial, yaitu mengenai interaksi secara horizontal dan toleransi antar pengikut agama yang berbeda.
Dalam konteks Indonesia, pendidikan liberal adalah pendidikan yang diniati untuk memperluas wawasan (maha)siswa, tidak sekedar pelatihan teknis dan profesional. Pendidikan liberal juga harus mencakup pengetahuan etnis, agama dan minoritas bahasa dan budaya.
Dengan demikian, pendidikan liberal bertujuan membebaskan siswa dari sikap rabun dan provinsi terhadap orang lain. Pada dasarnya, bertujuan menjadikan manusia sebagai “insan kamil” yaitu orang yang ideal yang memenuhi kriteria untuk mengasumsikan setiap pekerjaan atau penunjukkan sebagai warga negara yang demokratis.


Kualitas suatu bangsa, untuk pertama kali diukur oleh pendidikan. Pendidikan adalah salah satu cara untuk memberikan pengajaran berupa ilmu pengetahuan yang awalnya tidak diketahui serta manfaatnya dapat terus dirasakan sampai kapanpun. Pendidikan yang diajarkan kepada bangsa untuk pertama kali adalah pendidikan dasar yang umumnya memiliki jenjang selama enam tahun. Melalui pendidikan dasar, seorang siswa dapat mengekspresikan apa yang telah ia pelajari dan dapatkan dikelas, walaupun belum berupa opini atau argumentasi.
Dalam pendidikan dasar, seharusnya telah diterapkan kerukunan umat beragama. Tujuannya agar melatih sedini mungkin untuk menghargai adanya perbedaan, baik itu masalah perbedaan suku, etnis dan agama, kita juga harus diajarkan menghargai perbedaan berpendapat. Apabila sikap toleransi sudah diperkenalkan dan diterapkan sejak kecil, maka dewasa nanti kita akan lebih menghargai orang lain yang berbeda dengan kita.
Seharusnya, sejak kecil kita diajarkan untuk menjadi orang yang berani, agar terbiasa berinteraksi dengan orang lain terutama teman sebaya yang berada dalam lingkup kelas. Wacana kelas bisa sebagai wadah atau ruang untuk para siswa berinteraksi dengan rekan-rekan, guru dan dapat juga sebagai cara mengekspresikan kesetujuan atau ketidaksetujuannya.
Hubungan antara wacana kelas dengan kerukunan umat beragama adalah dimana interaksi didalam kelas yang dilakukan oleh anak-anak dapat menumbuhkan sikap toleransi dan manusia yang beradab apabila adanya perbedaan diantara mereka. Contohnya apabila ada seorang anak yang bersekolah ditempat yang mayoritas anak muslim, kita dilarang untuk menjauhinya apalagi mengkucilkan, apabila ada anak yang berkulit hitam (misalnya papua) kita tidak berhak untuk menjauhinya dan lain-lain.
Dengan adanya wacana kelas dengan kerukunan beragama akan membentuk pola pikir yang moderat (seimbang) yaitu cara berfikir, berpendapat, dan bertindak selalu menghindarkan dari sesuatu yang ekstrim tetapi cenderung kearah dimensi jalan tengah dan bersikap tidak memihak manapun.
Selanjutnya yaitu bersikap toleran (berdamai dengan siapapun tanpa melihat aqidah serta budaya) karena belum tentu orang yang berbeda keyakinan itu akan jahat kepada kita, malahan negara muslim yang dikenal sebagai negara “terorisme” yang tidak jarang melakukan tindakan seenaknya seperti (mengebom gereja, atau daerah non-muslim) sebagai dalih untuk berjihad.
Ada juga “reformatif” yaitu menjadi seseorang yang selalu menerima perbaikan-perbaikan menuju kearah yang lebih baik.
Selain itu juga bersikap “dinamis” yaitu dengan menyikapi permasalahan dengan kontekstual. Kontekstual berhubungan dengan konteks, dimana konteks adalah bagian dari uraian atau kalimat yang dapat mengandung atau menambah kejelasan makna. Jadi sebenarnya berupa kesan-kesan yang ditimbulkan oleh sebab situasi tertentu.

References

1.      A. Chaedar Alwasilah, The Jakarta Post, October 22, 2011
2.      Eran Fraenkel, Bogor West Java
6.      A. Chaedar alwasilah, pendidikan Umum dan Liberal
Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment