Critical Review 1: Pendidikan yang Mendidik bukan Pendidikan yang Bermasalah


Pendidikan yang Mendidik bukan Pendidikan yang Bermasalah
Oleh Hadi Wibowo

Pendidikan adalah sebuah cara untuk merubah sifat seseorang menjadi lebih baik. Manusia lahir ke dunia dengan pemikiran yang kosong. Kedua orang tuanya dan lingukannya yang memberikan pendidikan untuknya. Apabila lingkungan di sekitarnya mampu mendidik dia dengan baik maka dia mampu berbuat baik juga sesuai dengan apa yang lingkungan ajarkan kepadanya, begitu pula sebaliknya. Dengan ini maka pendidikan merupakan sebuah cara untuk mencetak seorang pemimpin berjiwa bijaksana yang akan memberikan sumbangsih bermanfaat bagi dirinya, masyarakat dan negara.
            Pendidikan merupakan aset penting untuk kemajuan sebuah negara. Masyarakat yang terdidik mampu hidup damai, saling membantu dan mematuhi peraturan yang ada di negaranya. Maka dari itu setiap penduduk negara harus dan wajib mengikuti jenjang pendidikan, baik jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah maupun tinggi. Dalam bidang pendidikan seorang anak dari lahir memerlukan pelayanan yang tepat dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan disertai dengan pemahaman mengenai karakteristik anak sesuai pertumbuhan dan perkembangannya akan sangat membantu dalam menyesuaikan proses belajar bagi anak dengan usia, kebutuhan, dan kondisi masing-masing, baik secara intelektual, emosional dan sosial.
            Indonesia belakangan ini menderita dengan banyaknya konflik dan masalah yang terus-menerus muncul. Ujungnya masalah di negeri ini bermuara pada satu hal yaitu pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan di Indonesia dianggap tidak pantas karena telah mencetak para pemimpin korup dan bermoral bejat. Namun, apakah memang benar sistem pendidikan di Indonesia yang salah atau itu hanya akal-akalan para petinggi yang sengaja menutup borok mereka dengan berkedok salah didik?
Kendala yang ada di bangsa ini
            Menurut prof. A. Chaedar Al Wasilah, di dalam bukunya Pokoknya Rekasaya Literasi, beliau menyatakan bahwa pendidikan dasar itu untuk memberikan siswa dengan keterampilan dasar untuk mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu, anggota masyarakat dan warga negara. Keterampilan dasar ini juga merupakan dasar untuk pendidikan lebih lanjut.
            Pendidikan dasar dilakukan guna mencegah masalah sosial berulang seperti tawuran pelajar, bentrokan pemuda dan bentuk lain dari radikalisme di seluruh Indonesia adalah indikasi dari penyakit sosial, yaitu kurangnya semata-mata kepekaan dan rasa hormat terhadap orang lain dari kelompok yang berbeda.
            Kerukunan umat beragama harus dikembangkan di sekolah pada awal usia mungkin. Hal ini paling mendesak untuk mempromosikan program-program kreatif dan inovatif untuk mendukung wacana sipil yang positif di kalangan siswa.
            Pendidikan di Indonesia saat ini gagal untuk memberikan para siswa dengan kompetensi wacana sipil. Sebagian besar politisi dan birokrat menggunakan kekuasaan karena pendidikan yang telah mereka peroleh. Sayangnya, banyak dari mereka tidak memiliki kompetensi tersebut.
            Ketika politisi dan birokrat gagal untuk mendidik masyarakat, sekolah harus dikembalikan dan diberdayakan untuk berfungsi secara maksimal. Guru SD harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendorong pengalaman bermakna, yaitu interaksi dengan siswa lain dari agama yang berbeda, etnis dan dari kelompok-kelompok sosial yang berbeda. Namun, pendidikan seperti apa yang bisa membuat siswa tersebut mampu menjadi pemimpin yang baik atau pendidikan tersebut malah membuat siswa cenderung berbuat kasar dan menjadi berandalan.
Pendidikan yang mendidik
Hukuman yang diberikan negara kepada para pelaku konflik dianggap masih belum menimbulkan kejeraan. Dilihat dari jumlah konflik yang terjadi di tahun 2012 yang mencapai 2.883 konflik, menunjukkan bahwa masyarakat masih belum sadar betul akan pentingnya hidup berdemokrasi dan bertoleransi. Pendidikan di negeri ini dianggap satu-satunya cara yang bisa merubah generasi muda untuk terhindar dari konflik yang dilakukan oleh pendahulunya. Karena dari segi politik sendiri, Indonesia telah teracuni oleh banyaknya politikus-politikus yang korupsi dan tidak bermoral. Pendidikan yang mereka anut sejak kecil memberikan sumbangsih utama atas perbuatan mereka ini. Sehingga guna mencegah terjadinya masalah sosial yang terus menerus terjadi ini, maka dibutuhkan pendidikan yang tidak cuma mengasah otak generasi muda tapi juga mampu mengajarkan mengenai arti penting dari demokrasi dan rasa hormat baik itu antar umat beragama, ras, etnis dan kelompok.
Pendidikan yang mendidik seharusnya dilakukan sedari anak kecil. Berdasarkan hasil penelitian sekitar 50% kapabilitaas kecerdasan orang dewasa telah terjadi ketika anak berumur 4 tahun, 80% telah terjadi perkembangan yang pesat tentang jaringan otak ketika anak berumur 8 tahun dan mencapai puncaknya ketika anak berumur 18 tahun, dan setelah itu walaupun dilakukan perbaikan nutrisi tidak akan berpengaruh terhadap perkembangan kognitif.
Hal ini berarti bahwa perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu 4 tahun pertama sama besarnya dengan perkembangan yang terjadi pada kurun waktu 14 tahun berikutnya. Sehingga periode ini merupakan periode kritis bagi anak, dimana perkembangan yang diperoleh pada periode ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan periode berikutnya hingga masa dewasa. Sementara masa emas ini hanya datang sekali, sehingga apabila terlewatkan berarti habislah peluangnya.
Jelas mengapa sulit sekali merubah moral para petinggi bangsa ini yang enak-enakan memakan hasil jerih payah masyarakatnya. Hukuman yang harusnya dapat membuat mereka jera malah dapat mereka beli. Negara ini memang membutuhkan calon pemimpin-pemimpin baru yang sedari kecil dipupuk dengan akhlak dan rasa demokarsi yang tinggi.
Pendidikan anak adalah perkara yang sangat penting di dalam Islam. Di dalam Al-Quran kita dapati bagaimana Allah menceritakan petuah-petuah Luqman yang merupakan bentuk pendidikan bagi anak-anaknya. Begitu pula dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kita temui banyak juga bentuk-bentuk pendidikan terhadap anak, baik dari perintah maupun perbuatan beliau mendidik anak secara langsung.
Seorang pendidik, baik orangtua maupun guru hendaknya mengetahui betapa besarnya tanggung-jawab mereka di hadapan Allah ‘azza wa jalla terhadap pendidikan putra-putrinya. Tentang perkara ini, Allah azza wa jalla berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (At-Tahrim: 6)
Juga di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap di antara kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban.” (HR. Al Bukhari & Muslim)
Akhlak merupakan pondasi yang utama dalam pembentukan pribadi manusia seutuhnya. Pendidikan yang mengarah pada terbentuknya pribadi yang berakhlak, merupakan hal pertama yang harus dilakukan. Pembinaan akhlak di sekolah harus dilakukan secara teratur dan terarah agar siswa dapat mengembangkan dan mepraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini sesuai dengan fungsi dan tujuan pendidikan dalam Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor: 20 tahun 2003 bab 1 pasal 1 dijelaskan bahwa:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik seacara aktif mengemban potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, Bangsa dan Negara” (UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003).
Berdasarkan Undang-undang di atas jelas bahwa salah satu dari tujuan pendidikan nasional adalah agar peserta didik dapat mengembangkan potensinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang tidak hanya diperlukan bagi dirinya tetapi juga untuk masyarakat, Bangsa dan Negara.
Penanaman pendidikan sedari anak masih dini dapat mencegah mereka melakukan tindak kekerasan. Belakangan ini terjadi banyak konflik-konflik antaragama yang terjadi di Tanah Air. Misalnya antar Syiah-Sunni di Sampang yang bermula dari persoalan keluarga, masalah izin tempat beribadah di GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia, hingga persoalan sweeping yang dilakukan sejumlah organisasi massa.
Salah satu cara untuk mencegah konflik antar agama ini yaitu dengan menanamkan nilai toleransi pada anak sedini mungkin dan mengajarkan mereka untuk hidup demokratis. Sehingga ketika siswa berinteraksi dengan siswa lain dari agama yang berbeda, etnis dan dari kelompok-kelompok sosial yang berbeda mereka mampu bertindak demokratis dan bertoleransi.
Siswa berasal dari latar belakang yang berbeda. Baik dari etnis, agama dan sosial yang berbeda. Pola pikir mereka dibentuk oleh latar belakang mereka, keluarga, teman sebaya dan lingkungan tempat mereka tinggal. Lingkungan yang buruk membentuk anak menjadi seorang yang berkarakter buruk, menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Mereka menganggap dengan kekerasan masalah akan selesai, padahal kekerasan yang dilakukan akan menimbulkan kekerasan yang lain. Sebagai contoh adalah kasus tawuran yang sekarang ini marak terjadi, kebanyakan pemicunya adalah kekerasan yang dilakukan baik itu berupa kekerasan yang diterima oleh seseorang baik itu berupa ejekan, hinaan, maupun kekerasan fisik yang berujung timbulnya rasa solidaritas dari komunitas orang itu untuk melakukan pembalasan terhadap apa yang dilakukan pada teman mereka kemudian terjadilah penyerangan yang selalu berkelanjutan. Andai mereka tahu bahwa kekerasan tidak pernah dapat menyelasaikan masalah bahkan hanya membuat masalah yang baru.
Lingkungan di sekitar anak harus mengajarkan mereka menjadi karakter yang baik. Sekolah sebagai tempat anak untuk menghabiskan hampir seluruh waktunya menjadi lingkungan yang dapat merubah perkembangan anak. Program sekolah harusnya bisa memfasilitasi interaksi antar siswa untuk mengembangkan kemampuan bersosialisasi mereka secera positif.
Siswa seharusnya diajarkan cara untuk memberikan pendapat dengan baik, memberikan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, menyumbangkan ide-ide mereka dan belajar untuk bermusyawarah. Sehingga diharapkan mereka mampu memecahkan masalah yang terjadi di antara teman sebaya dan mampu beradaptasi dengan lingkungan sosial mereka.
Sebagai fasilitator, guru harus bisa memfasilitasi interaksi siswa dengan siswa lainnya, sehingga siswa mampu berinteraksi dengan benar, dan dapat terhindar dari adu jotos atau jambak-jambakan rambut. Siswa seharusnya belajar dari masalah bukan belajar membuat masalah. Siswa juga harus diajarkan untuk menghargai pendapat orang lain. Yaitu saling menghormati, membantu, berbagi, dan sopan terhadap satu sama lain. Konsep interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan sosial.
Di dalam UU Sisdiknas, disebutkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak:
a.       Mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama;
b.      Mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya;
c.       Mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya;
d.      Mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya;
Pihak sekolah sepatutnya mengerti dan menerapkan peraturan pendidikan tersebut, sehingga di dalam kelas tidak terjadi pertumpahan darah gara-gara perbedaan agama atau budaya. Tidak lupa juga mereka harus memberikan apreasiasi kepada siswa yang berbakat dan mendukung bakatnya untuk mendapatkan prestasi. Bantuan dana berupa BOS dan buku-buku gratis seharusnya digelontorkan tanpa dicicipi atau dinikmati terlebih dahulu uangnya.
Pada dasarnya setiap anak yang tumbuh dan berkembang, sebelum ia mengalami proses pendidikan di sekolah, sejatinya berasal dari rumah tempat ia menjalani hari-harinya bersama keluarga. Karena itu orangtualah yang memegang peran yang sangat penting dalam hal pendidikan anak, walaupun ada beberapa kondisi yang menyebabkan anak tidak bisa mendapatkan pendidikan dari orang tuanya, seperti anak yatim piatu semenjak lahir, anak yang dibuang oleh orang tuanya. Tetapi dalam kondisi normal, orang tua merupakan pendidik anak yang pertama dan utama. Bahkan dalam Al-Qur’an serta Sunnah banyak sekali ditegaskan tentang pentingnya mendidik anak bagi para orang tua. Anak yang terdidik dengan baik oleh orang tuanya akan tumbuh menjadi anak yang pandai menjaga dirinya dari pengaruh buruk lingkungan, karena ia telah dibekali oleh ilmu tentang hidup dan kehidupan yang di dalamnya terdapat ilmu yang paling bermanfaat yaitu ilmu agama.
Setiap orang tua harus senantiasa belajar tentang ilmu mendidik anak karena tidak ada sekolah khusus untuk menjadi orang tua. Tetapi banyak sekali yang dapat memfasilitasi hal itu jika kita bersungguh-sungguh ingin belajar menjadi orang tua yang baik, terutama di zaman ini dimana perkembangan ilmu dan teknologi begitu cepat dan mampu menembus ruang dan waktu. Orang tua yang memiliki bekal ilmu dalam mendidik anak akan sadar tentang pentingnya pendidikan anak sejak usia dini bahkan sejak anak masih berada di dalam rahim ibu, bahkan menurut penelitian, kondisi ibu saat hamil sangat mempengaruhi akhlak anak, bila ibu mampu menjaga diri dari makanan-makanan yang tidak halal dan juga perilaku-perilaku yang tidak terpuji Insya Allah anak yang lahir akan menjadi anak yang sholeh. Karena tidak ada bayi yang terlahir kecuali suci, namun ia mencontoh dari orang tua, tontonan televisi, media, guru dan lingkungan pergaulannya.
Jika kerjasama antara pendidik dan orang tua terjalin dengan baik, maka siswa dapat terawasi dengan benar. Berangkat dari sinilah siswa yang telah terasah akan menjadi bagian dari masyarakat yang akan mengubah pola kehidupan negara ini menjadi lebih baik. Calon-calon pemimpin baru yang akan menggeser era penjajahan bangsa sendiri menjadi era emas di jaman globalisasi.
Sesuai dengan apa yang termaktub dalam Undang-undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003, menyatakan bahwa:
“Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.” (UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003).
Jelas sekali di sini, sistem pendidikan bangsa ini tidak salah, yang salah adalah prakteknya. Pengorupsian seragam sekolah, afair buku paket, penyelewengan dana Beasiswa dan BOS, guru yang bertindak cabul dan bolos kerja. Tenaga pendidik seakan tidak sadar betul akan peran penting mereka sebagai pendidik, Guru yang seharusnya digugu dan ditiru sekarang lebih dikenal sebagai tukang gulat dan tukang rusuh. Akibatnya peserta didiknya pun mewarisi watak dari si pendidik, sehingga marak terjadi tawuran pelajar, pembolosan massal dan pemerkosaan.
Potret buram pendidikan negeri ini harusnya dapat menyadarkan petinggi-petinggi yang ada. Tidak cuma bungkam dan masa bodoh saja tapi secepatnya menyingsingkan lengan baju dan bahu membahu mengangkat negeri yang hampir roboh diterjang badai kerusakan. Hukuman atas para pelaku tindak kejahatan harusnya lebih tegas lagi sehingga menimbulkan kejeraan atas tindak perilakunya. Bangsa Indonesia ini adalah bangsa yang bermartabat dan berbudi pekerti yang luhur. Nilai-nilai norma ini sepatutnya ada di dalam jiwa para pemimpin bangsa ini, bukannya malah nafsu dan keinginan birahi saja.
Pendidikan yang ada di Indonesia seharusnya dapat mencetak generasi emas, sebagaimana yang ada di Undang-undang Sisdiknas. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (Undang-undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003).
Namun kenyataan kembali bertolak belakang dengan apa yang diharapkan. Fungsi pendidikan nasional seolah dilupakan begitu saja. Bahkan untuk dapat masuk sekolah pun dipersulit terlebih dahulu. Uang pelicin menjadi tiket masuk wajib ke sekolah favorit, para penerima beasiswa seolah dinomortigabelaskan oleh pihak sekolah. Anak pejabat, tokoh terkenal dan konglomerat menempati urutan utama sebagai ganti dari penerima beasiswa tersebut.
Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. (Undang-undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003).
Hal ini menjadi tanda tanya besar, jadi harus selebar apa mata kita supaya dapat membaca dan memahami fungsi dan tujuan pendidikan di negeri ini?
Langkah yang harus diambil
            Bangsa Indonesia yang dahulu dikenal dengan raungannya yang tangguh, yang mampu mengusir dua penjajahnya dan dapat memerdekakan diri kemudian muncul di wajah dunia dengan garangnya, sekarang tinggal sejarah saja. Indonesia tercemar dengan peringkat korupsinya yang masuk dalam ranking tiga besar di dunia. Teracuni oleh para petinggi yang bersikap acuh tak acuh dengan masyarakatnya. Tertinggal jauh oleh teknologi yang terus menerus mengalir tiada batas. Hingga termalukan oleh skandal yang dilakukan pejabat dan pemimpin yang beritanya menyeruak bak bunga raflesia.
            Pendidikan mengambil peran penting untuk menetralkan kembali kadar kejahatan dan kebrobokan moral bangsa ini. Generasi muda siap digembleng untuk bertarung melawan penyakit yang telah ditularkan para pendahulunya. Dengan berbagai tantangan dan cobaan yang menanti, generasi muda harus siap bertahan sekuat mungkin. Pendidikan di Indonesia yang katanya sistem pendidikannya mampu mencetak generasi emas dengan akhlak mulia sehingga dapat menggantikan pemimpin sekarang.
“Bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.” (Undang-undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003).
Pendidikan di Indonesia harusnya bercermin kembali kepada tujuan pendidikannya. Yaitu pendidikan yang mampu menanamkan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang tidak hanya diperlukan bagi dirinya tetapi juga untuk masyarakat, Bangsa dan Negara. Maka dengan pendidikan yang mendidik negeri ini akan terbebas dari belenggu masalah yang ada, bukannya malah pendidikan yang penuh dengan masalah.



Referensi
Al Wasilah, A. Chaedar, Pokoknya Rekayasa Literasi, 2012
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003
Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment