Critical Review 1: Membumikan Pendidikan Multikultural: Tonggak Pemersatu Bangsa


MEMBUMIKAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL: TONGGAK PEMERSATU BANGSA
By: Astri Rahayu

Geliat dunia remaja yang berjumlah 63,4 juta atau sekitar 26,7 persen dari total penduduk Indonesia kian banyak menyita perhatian media. Sayangnya, kabar dari dunia remaja yang mengisi headline media massa justru didominasi oleh berita miring dan negatif. Kasus kenakalan remaja yang mengarah pada kriminalitas remaja, dengan berbagai bentuknya tak henti-hentinya menjadi trending topik, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Sudah separah itukah kondisi remaja saat ini?  Sungguh yang sangat membuat ironis adalah kalangan remaja itu termasuk kalangan terdidik (pelajar/mahasiswa) yang seharusnya menjadi tonggak pemersatu bangsa malah berbuat seperti tidak berpendidikan. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya pendidikan multicultural yang mereka dapatkan ketika pendidikan dasar.
Di era globalisasi dewasa ini, pertemuan unsur-unsur budaya telah terjadi secara intens tanpa mengenal dimensi ruang dan waktu. Pluralitas cultural dan segala aspeknya akan mengiringi nilai-nilai dan konsep-konsep parsial ke dalam kotak-kotak primodialisme. Fenomena ini mengisyaratkan bahwa budaya, suku, agama, ras dan antar golongan, selain dapat merupakan faktor pemersatu (integrative factors) juga menjadi faktor penyebab konflik (Harahap Syahrin: 2011). Tergantung bagaimana ia kelola dan didayagunakan, oleh sebab itu perlu hadirnya pendidikan multicultural di sekolah-sekolah sebagai tempat dimana siswa bisa saling belajar berinteraksi satu sama lain dengan cara yang sopan dan bijaksana walau terdapat banyak perbedaan.
Pendidikan secara cultural pada umumnya berada dalam lingkup peran, fungsi dan tujuan yang tidak berbeda. Semuanya hidup dalam upaya yang bernaksud mengangkat dan menegakkan martabat manusia melalui transmisi yang dimilikinya, terutama dalam bentuk transfer of knowledge dan transfer of values. Manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap tuhan yang maha esa sebagai karsa sila pertama pancasila, tidak dapat terwujud secara tiba-tiba. Proses pendidikan itu berlangsung seumur hidup manusia baik di lingkungan keluarga, di lingkungan sekolah dan di masyarakat.
Saya akan mengungkap kembali opini pak Chaedar dalam Wacana kelas untuk memupuk kerukunan beragama, bahwa Jika kita ingin mengetahui kualitas suatu bangsa maka kita bisa melihat dari kualitas system pendidikannya. Dijelaskan juga tentang tujuan pendidikan dasar yang dimana memberikan siswa dengan keterampilan dasar dalam mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu, anggota masyarakat, dan warga Negara.
Semua konflik sosial dan ketidakharmonisan agama merupakan tantangan bagi pendidik dalam mempersiapkan generasi yang berkarakter baik sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas, oleh karena itu pak Chaedar dalam wacananya menyatakan bahwa kerukunan umat beragama harus dikembangkan di sekolah melalui promosi program kreatif dan inovatif untuk mendukung wacana sipil yang positif di kalangan siswa.
Wacana sipil positif yang seperti apa?  Yang dimaksud ialah siswa harus dilatih mendengarkan secara aktif dengan mempertahankan kontak mata langsung, berdiri diam, kemudian bergiliran untuk berbicara serta bagaimana untuk menyumbangkan ide-ide yang relevan dengan topik diskusi. Mengapa harus demikian caranya?  Ini disebabkan adanya multicultural seperti siswa yang berasal dari latar belakang etnis, agama, dan sosial yang berbeda serta pola berfikir siswa yang dominan dibentuk dari latar belakang mereka. Sehingga harus adanya program sekolah yang sengaja memfasilitasi dan mendukung interaksi rekan untuk mengembangkan wacana sipil yang positif. Semua ini start di pendidikan sekolah dasar.
Di pendidikan sekolah dasar, guru kelas berfungsi untuk mengawasi siswa dan harus tahu bagaimana merancang dan memfasilitasi interaksi teman sebaya dengan benar, serta mengembangkan wacana positif sebagai bagian dari pendidikan kewarganegaraan. Oleh karena itu, perlu adanya mempromosikan interaksi teman sebaya yang dilaksanakan sebagai salah satu kegiatan rutin di kelas. Contohnya siswa harus diberi kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain melalui tugas-tugas kelompok untuk berlatih mendengarkan penuh perhatian, berdebat hormat, dan berani mengemukakan pendapat untuk mempersiapkan mereka untuk hidup sebagai anggota fungsional dari suatu masyarakatyang demokratis.
Setidaknya sebagai anak SD, walaupun mereka belum mampu untuk memberikan alasan informasi serta argument mereka, tapi mereka akan bisa mengekpresikan kesepakatan dan ketidaksepakatan dengan cara yang sopan. Selain itu bonusnya, para siswa akan percaya satu sama lain sehingga kompromi dan consensus dapat dicapai dengan cara sipil. Dijelaskan bahwa pada penyelesaian pendidikan formal mereka, siswa memasuki dunia dimana kemampuan menjaga hubungan baik dengan yang agama yang berbeda, etnis dan kelompok-kelompok sosial yang berbeda, hal itu sangat penting untuk keberhasilan individu. Sebaliknya ketidakmampuan menjaga hubungan baik dapat merugikan individu dan dapat menyebabkan konflik sosial dalam suatu masyarakat tertentu.
Masyarakat Indonesia dengan “budaya timurnya” cenderung memberikan resistensi atau bahkan perlawanan terhadap koreksi. Keadaan demikian membuat konflik cenderung semakin tajam, dan pada klimaknya sering kali menyebabkan terjadinya benturan fisik yang mengakibatkan jatuhnya korban. Bentuk-bentuk radikalisme inilah yang mengganggu kohesi sosial dan dapat menghasilkan saling tidak percaya antar kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat.
Poin penting yang menjadi tujuan pak Chaedar dalam wacana ini bahwa, pendidikan bukan hanya mengembangkan penalaran ilmiah saja tetapi juga wacana positif. Penalaran ilmiah sangat diperlukan dalam mengembangkan warga intelektual, sedangkan kompetensi wacana sipil sangat penting untuk menciptakan warga negara beradab. Kondisi yang ironis sekarang ini adalah bahwa pendidikan kita gagal memberikan para siswa kompetensi wacana sipil seperti kita bisa lihat para birokrat dan politisi, mereka bisa menduduki kursi kekuasaan karna pendidikan yang mereka peroleh. Sayangnya, banyak dari mereka tidak memiliki kompetensi tersebut.
Kita pasti masih mengingat momen pada 2010 ketika para birokrat dan politisi bersemangat mempertontonkan adu bertukar kata-kata kasar mereka di kursi parlemen yang disiarkan langsng di seluruh negeri. Sungguh memalukan!
Saya menanggapi opini di “Wacana kelas untuk memupuk kerukunan beragama”. Terdapat beberapa poin-poin yang janggal di dalam wacana pak Chaedar. Pertama, Masalah sosial berulang seperti tawuran pelajar, bentrokan pemuda dan bentuk lain dari radikalisme di seluruh Indonesia adalah indikasi dari peenyakit sosial dan diakibatkan karena semata-semata kurangnya kepekaan dan rasa hormat terhadap orang lain yang berbeda agama, etnis, ras ataupun golongan.
Menurut saya bukan hanya faktor itu saja penyebab terjadinya tawuran. Dari segi psikologis sendiri, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu (sering disebut kepribadian) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar.
1. Faktor internal. Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang / pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan.
2. Faktor keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau dia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, dia akan menyerahkan dirinya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
3. Faktor lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.
4. Faktor Ekonomi. Masalah ekonomi juga acapkali menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya tawuran. Kesenjangan ekonomi antar pelajar, dan persaingan antar sesama, menyebabkan sering terjadi tawuran di kalangan pelajar dan masyarakat. Faktor ekonomi, bahkan bisa menimbulkan eskalasi tawuran yang bersifat massive seperti yang terjadi pada tahun 1998 menjelang runtuhnya rezim Orde Baru yang turut menjadi penyebab Presiden Soeharto terpaksa mengundurkan diri sebagai Presiden RI.
6. Faktor Pacar. Masalah pacar seperti berebut pacar, saing-saingan pacar, ada yang menggoda pacar satu sekolah, juga acapkali menimbulkan tawuran yang kemudian bereskalasi menjadi tawuran antar sekolah yang melibatkan massa yang besar karena solidaritas atas sesame.
            5. Faktor sekolah. Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus     mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik” siswanya.
 Perploncoan di lingkungan pendidikan formal, diindikasikan sebagai arena pemupukan insting destruktif. Komentar-komentar “pedas” pendidik kepada siswa, juga bisa jadi memberi pengaruh tersendiri bagi pemupukan insting destruktif ini. Maka, solusi paling tepat dalam menghentikan tawuran ini selain mendorong sekolah agar melakukan upaya-upaya kreatif dalam membina siswa, sekolah juga harus memangkas segala bentuk perilaku yang bisa memicu munculnya insting destruktif tersebut. Selain itu dari keluarga siswa tersebut sebaiknya dari dini perlu halnya ajaran agama masing-masing lebih diajarkan karena semua agama pada dasarnya mengajarkan kebaikan.
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, bagaimana cara pencegahannya?   Seperti kita ketahui, tawuran yang menjadi salah satu kekerasan yang diakibatkan oleh  perubahan sosial yang terjadi, yang akhirnya menimbulkan krisis, dimana sebagian orang mengalami dislokasi, tidak tahu posisinya dalam tatanan masyarkat yang berubah, atau sebagian mereka mengalami disorientasi, kehilangan orientasi dan arah tujuan hidupnya akibat transisi kehidupan yang tidak dapat dikuasainya. Ada beberapa cara pencegahannya, yaitu:
a. Ajarkan Cinta dan Penghayatan Ajaran Agama di Rumah. Sumber utama timbulnya tawuran dan segala macam kejahatan bermula dari keluarga. Keluarga yang baik, dimana ajaran agama dipahami dan diamalkan dengan baik, hampir tidak pernah kedengaran menimbulkan masalah dalam keluarga, di sekolah, di masyarakat dan bahkan dalam Negara. Oleh karena itu, pendidikan dini terhadap anak-anak merupakan kunci untuk mencegah segala macam tawuran dan perbuatan tidak benar di dalam masyarakat, bangsa dan Negara.
Sejak dini harus ditanamkan cinta kepada anak-anak untuk mencintai Allah sebagai Pencipta semesta alam, cinta kepada kedua orang, dan cinta kepada sesama. Dalam rangka mewujudkan cinta, orang tua harus selalu mengajarkan dan memberi contoh untuk selalu mendoakan kedua orang tua, mempraktikkan akhlak mulia serta bersyukur atas segala pemberian Tuhan kepada manusia.
2. Jadikan Sekolah Pusat Pembinaan Generasi Muda. Sekolah memiliki fungsi, peran dan tugas mulia, tidak hanya mendidik anak-anak didik supaya menjadi cerdas dan berilmu, tetapi juga memiliki akhlak mulia, cinta kepada Allah sebagai Sang Pencipta, kepada kedua orang tua, guru, karyawan dan teman-teman sekolah di dalam dan di luar sekolah. Oleh karena itu, sekolah harus dijadikan sebagai laboratorium pembinaan generasi muda.
Kesalahan dan kelemahan selama ini, karena sekolah hanya dijadikan sebagai tempat pembelajaran bukan sebagai pusat pendidikan yang mengajarkan ilmu pengetahuan dan bagaimana hidup yang benar dengan penuh taburan cinta kepada Allah, kepada kedua orang tua, para guru, karyawan dan teman-teman satu sekolah dan di berbagai sekolah yang tengah menimbah ilmu pengetahuan dan ilmu kehidupan. Dengan menjadikan sekolah sebagai pusat pembinaan generasi muda, maka berarti kita telah mencegah terjadinya tawuran di masa datang.
3. Pandu Anak-anak Memilih Teman Bergaul. Lingkungan pergaulan turut menentukan perilaku dan akhlak seorang anak. Orang tua suka tidak suka dan mau tidak mau, harus memandu dan mengarahkan anak-anaknya supaya bergaul dengan anak-anak dari keluarga yang baik-baik, dalam arti mengamalkan ajaran agama, cinta kasih kepada Allah, kedua orang tua, dan sesama manusia. Orang tua harus tegas melarang anak-anaknya untuk bergaul dengan sembarang orang, kalau tidak ingin anaknya terjerembab ke lembaga kejahatan termasuk tawuran.
4. Lakukan Penyuluhan Berkesinambungan. Manusia memiliki kelemahan yaitu suka lengah, lupa, malas, puas diri, dan merasa tidak tepat terus-menerus menjadi orang baik. Maka tidak ada orang yang selamanya baik, dan tidak ada orang yang selamanya tidak baik. Untuk mencegah supaya manusia tidak selalu tidak baik, maka diperlukan penyuluhan yang berkesimbangungan.
Penyuluhan kepada anak-anak didik dan generasi muda (pemuda), semakin diperlukan karena mereka sedang menghadapi goncangan psikologis karena mengalami pubersitas, depresi karena khawatir terhadap masa depan, galau karena sedang jatuh cinta, stress menghadapi banyak mata pelajaran, dan berbagai persoalan yang tidak mudah dipecahkan. Menghadapi banyak persoalan, penyluhan kepada mereka amat diperlukan untuk menanamkan dan menumbuhkan kembali spirit dan harapan baru.
5. Ajak Dialog dan Beri Ruang Apresiasi. Menghadapi anak-anak dan generasi muda, tidak lagi cocok dengan system komando, perintah dan menekan. Karena telah terjadi perubahan sosial yang luar biasa akibat perkembangan telekomunikasi yang sangat maju, sehingga anak-anak sejak kecil sudah melakukan hubungan sosial dengan berbagai kalangan melalui dunia maya. Untuk mendekati anak-anak dan generasi muda termasuk untuk mencegah terjadinya tawuran, tidak punya pilihan kecuali sering menggelar dialog untuk mendengar apa maunya mereka. Selain itu, untuk mencegah tawuran, anak-anak muda terutama pelajar dan siswa, harus diberi apresiasi, sarana prasarana dan dana supaya mereka bisa mengekspresikan bakat dan minat. Dengan adanya berbagai kesibukan, maka mereka tidak punya waktu untuk tawuran.
Menurut saya, keimanan dan ketakwaan tidaklah dapat terwujud tanpa agama. Hanya agamalah yang dapat menuntun manusia menjadi manusia yang bertaqwa terhadap tuhan yang maha Esa. Hal ini tertuang dengan jelas dalam tujuan pendidikan nasional, mempunyai makna yang dalam bagi pembentukan manusia Indonesia seutuhnya. Mengenai pentingnya belajar menurut A. R. Shaleh dan Soependi Soeryadinata: anak manusia tumbuh dan berkembang, baik pikiran, rasa, kemauan, sikap dan tingkah lakunya.
Mungkin masih segar dalam ingatan kita terjadinya peristiwa penusukan terhadap Asia Sihombing dan Tiur Lindah (pengurus Gereja HKBP Bekasi), bukan merupakan tindakan spontan yang dilakukan oleh 10 pelaku. Artinya, para pelaku penusukan dan pemukulan itu bukan disebabkan rasa iri dan dengki melihat orang lain melakukan ibadah sesuai keyakinannya, tetapi lebih disebabkan ekses dari tidak dipenuhinya peraturan pemerintah yang dituang dalam Peraturan Bersama Menteri- bahwa untuk membangun sebuah rumah ibadah harus memenuhi kretaria yang telah baku di negri ini, yang ketentuannya juga disepakati oleh seluruh pimpinan agama-agama yang ada di negri ini, termasuk pimpinan gereja KHBP.
Jika kemudian tidak atau belum terpenuhinya Peraturan Bersama Menteri yang tertuang dalam Nomor 8 dan Nomor 9 tentang  kerukunan  dan keharmonisan antar umat beragama, seharusnya pimpinan Gereja HKBP dan jemaatnya tidak secara emosional dan memaksakan diri melangsungkan kebaktiannya setiap minggu di pemukiman yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Banyak kasus lain yang menyulut konflik antara umat Islam dan Kristen, seperti peristiwa di Slipi (Jakarta Barat), di Pulau Banyak (Jakarta), peristiwa Manado, peristiwa Flores, peristiwa Donggo (Kabupaten Bima), dan banyak lagi. Oleh karena itu pentingnya
Kemudian poin selanjutnya adalah kampus juga harus menyediakan tempat ibadah bagi siswa dari semua agama sehingga, siswa akan belajar bagaimana orang lain beribadah dan ini akan menjadi bentuk efektif pendidikan agama dalam lingkungan sekolah multicultural. Menurut saya, itu cara yang kurang tepat karena ketika kita belajar menghargai perbedaan, perbedaan ras, suku, bangsa, ataupun agama maka itu berawal dari paradigma kita tentang perbedaan tersebut.
Menurut saya, selain memakan banyak area yang terpakai, proses peribadatan agak sedikit terganggu karena kekhusu’an kita dalam beribadah pasti akan terganggu oleh kesibukan dan keributan yang diciptakan mahasiswa di dalam kampus. Contohnya, ketika mayoritas mahasiswa suatu universitas itu beragama Kristen kemudian ada kaum minoritas yang beragama islam, maka ketika kaum minoritas ini akan beribadah maka secara otomatis akan terganggu dengan kaum mayoritas yang bisa saja tidak perduli dengan apa yang kaum minoritas lakukan. Jadi semua bertumpu pada, bagaimana kita bisa menghargai agama, ras, atau etnis lain ketika kita bersosialisasi.
Cara yang lebih efektif adalah saling tenggang rasa, saling menghargai, toleransi antar umat beragama, tidak memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu, melaksanakan ibadah sesuai agamanya, dan mematuhi peraturan keagamaan baik dalam agamanya maupun peraturan negara atau pemerintah.
Tampaknya kisi-kisi yang terbaca pada TOR SSE (Sampoerna School of Education) dalam upaya membangun Indonesia baru, tiga potensi di atas juga ingin dikembangkan. Kisi-kisi itu berbunyi: 1. Membangun Indonesia dimulai dari manusianya. Pendidikan dipercaya sebagai sarana yang tepat untuk membangun manusia Indonesia untuk memiliki nilai-nilai yang dibutuhkan; 2. Konflik dan kekerasan yang berbasis agama perlu dihindari, salah satunya melalui pendidikan; 3. Pentingnya implementasi pendidikan moral secara masif di tengah degradasi moral bangsa yang hampir melewati ambang batas.
Menurut Syahrin Harahap dalam Teologi Kerukunan bahwa Indonesia sebagai Negara dan bangsa keempat terbesar di muka bumi, dengan tujuh belas ribu pulau, besar dan kecil, yang terbentang dari Sabang sampai Merauke seperti Libanon dan Inggris sampai Teheran di Irak. Betapa majemuknya masyarakat kita dari segi kebahasaan, adat istiadat, dan agama. Untuk masyarakat majemuk seperti Indonesia maka agama dapat menjadi pemersatu (uniting factor). Namun dalam beberapa hal, agama dapat juga dengan mudah disalahgunakan sebagai alat pemecah belah (devending factor).
Poin selanjutnya menanggapi opini pak Chaedar, bahwa para birokrat dan politisi yang tidak memiliki kompetensi namun memiliki penalaran ilmiah yang baik adalah sebuah kegagalan dari system pendidikan kita saat ini. Menurut pandangan saya, kaum intelek seperti para birokrat, politisi dan mahasiswa yang berpendidikan tinggi malah melakukan hal-hal yang tidak “BERMORAL” seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Para siswa dan mahasiswa yang belajar dan mendapatkan pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan mereka masih sering melakukan tindakan yang kurang bermoral. Dalam hal ini tenaga pendidik dan orang tua ikut serta bertanggung jawab sebab merekalah yang memberi pelajaran dan pendidikan bagi peserta didik bagi penerus bangsa. Oleh karena itu perlu adanya perbaikan dalam sistem pendidikan di Indonesia sehingga pendidikan nasional yang bermoral dapat terwujud.
Menurut pendapat saya, dalam hal ini saya mengartikan tenaga pendidik adalah guru dan orang tua. Kita dapat melihat dalam kehidupan kita hal buruk apa yang di lakukan oleh tenaga pendidik yang mengajarkan hal-hal tidak bermoral, misalnya saja para orang tua menuntut anaknya untuk lulus sekolah dengan nilai yang bagus sedangkan orang tua tidak mengajarkan bagaimana cara yang benar untuk melakukannya, anak yang telah dituntut untuk lulus akan melakukan apapun agar dapat lulus sesuai keinginan orang tuanya, segala macam akan ia lakukan contohnya saja mencontek, jika dari awal ia telah belajar berbuat curang maka akan jadi apa ia nantinya, ia akan ketagihan dan kehilangan jati dirinya.
Guru pun kadang mengajarkan hal yang tidak pantas seperti ketika ujian nasional guru-guru memperbolehkan mencontek bahkan membuat tim sukses agar semua siswanya lulus seratis persen dan tidak mebuat malu nama sekolah, kadang masih ada guru yang melakukan kekerasan dan pembedaan terhadap siswa yang baik dan nakal, biasanya untuk siswa yang nakal guru berlaku keras dan kurang peduli bahkan kadang dianggap tidak ada dan hanya megganggu siswa lain saja. Sehingga alangkah lebih baik jika tenaga pendidik, terutama guru harus memiliki akhlak yang baik yang akan menjadi panutan bagi anak didiknya sehingga mereka akan menjadi pribadi yang bermoral, jujur, berakhlak baik, mampu membedakan yang baik dan yang benar.
Selain tenaga pendidik, pemerintah juga harus membenahi diri sebab mereka juga contoh bagi generasi penerus bangsa, segala tindak tanduk mereka dapat ditiru dengan mudah oleh calon penerus bangsa baik yang masih anak-anak hingga dewas dengan kemajuan teknologi, seperti televisi yang setiap harinya menyiarkan berita tentang pejabat yang korupsi, pejabat yang terlibat tindak kriminal dan lain sebagainya.
Tentu hal ini akan berakibat tidak baik bagi pembentukan moral dan karakter generasi penerus bangsa. Pendidikan moral pun sebaiknya di lakukan sejak dari usia dini bagaimana mereka diajarkan untuk dapat membedakan hal yang baik dan yang buruk sebab pada usia seperti ini pendalaman mereka akan dalam dan akan terus berlanjut hingga mereka dewasa dan tidak mudah dilupakan meskipun ketika belajar melakukannyan sangat sulit seperti kata pepatah “belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu”, dan di masa awal inilah peran orang tua sebenarnya yang mana jika mereka dapat mendidik anaknya menjadi pribadi yang bermoral maka kejadian seperti sekarang ini akan dapat diminimalisir.
Pendidikan yang paling penting pertama kali adalah pendidikan dasar, yang dimana pendidikan dasar adalah tiang penanaman pendidikan multikultural dan wacana sipil yang positif. Memang benar sekali bahwa konsep interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan sosial (Rubin: 2009). Mengapa saya setuju dengan konsep tersebut?  Seperti kita ketahui, teman sebaya adalah salah satu media yang tersedia selain guru yang berada di sekolah. Par asiswa akan belajar semua bukan hanya dari teman sebaya saja tetapi dari guru dan orang tua. Peranan guru dan orang tua disini sangat penting sebagai dasar pembentukkan karakter siswa yang bisa menanamkan kerukunan beragama di sekolah maupun di masyarakat.
Pengembangan kerukunan hidup beragama menjadi suatu syarat utama untuk tercapainya kehidupan yang dicita-citakan. Termasuk pula pada sekolah, karena ada beberapa sekolah di negeri ini yang siswa-siswinya menganut agama yang berbeda. Oleh karena itu, kerukunan hidup beragamaharus ditanamkan dan dibangun oleh segenap masyarakat, termasuk masyarakat di lingkungan sekolah. Pelajar selaku penganut agama, memahami dan mengamalkan ajaran agama sesuai dengan keyakinan masing-masing adalah suatu kewajiban, sehingga memungkinkan terciptanya kerukunan hidup beragama di sekolah.
Dari semua penjelasan, penyampaian kelemahan, kelebihan dan opini-opini yang janggal di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang kita harus terapkan kepada anak-anak sebagai generasi penerus bangsa maka pendidikan nasional yang bermorallah yang penting kita harus ajarkan. Memang dibutuhkan dan seharusnya memang diterapkan, namun kita tahu bahwa orang-orang tidak terlalu memperhatikannya. Bagaimana dapat kita lihat banyak lembaga-lembaga pendidikan berlomba-lomba menciptakan pendidikan bertaraf internasional yang bermutu tinggi sedangkan pendidikan nasional saja belum dibenahi dengan benar. Sehingga alangkah baiknya jika pendidikan nasional dipebaiki terlebih dulu, di mulai dari tenaga pendidiknya.
Tenaga pendidik harus dapat menjadi contoh yang baik bagi generasi penerus bangsa agar dapat diwujudkan pendidikan yang baik dan bermoral sehingga tanpa menjadi pendidikan bertaraf internasional pun pendidikan kita akan mencetak prestasi- presatsi yang akan dikenal dunia dan tentu saja akan mengangkat nama Indonesia di kancah dunia. namun dilihat dari keadaan sekarang hal tersebut mungkin akan sulit dilakukan dan membutuhkan waktu yang lama karena pendidikan di Indonesia sudah terlanjur  memburuk namun tidak ada salahnya jika di coba untuk memperbaikinya sebab keadaan tidak akan berubah jika kita tidak mau berusaha untuk merubahnya.
Penting juga menerapkan pendidikan liberal di sekolah yang bertujuan membebaskan siswa dari sikap rabun terhadap perbedaan orang lain dari segi perbedaan agama, ras, suku, dan golongan, sehingga menciptakan karakter saling menghargai dan menghormati satu sama lain dan akhirnya mempunyai moral yang baik juga. Pernyataan itu dapat dipahami bahwa pendidikan saat ini yang cenderung mendehumanisasikan peserta didik, sudah seharusnya diakhiri melalui pemberian kebebasan kepada mereka untuk memperoleh ilmu pengetahuan kapan dan dari mana saja. Karena itu, jika sekolah menjadi pembatas untuk memeroleh pengetahuan, maka menghapus sekolah (deschooling society) mungkin merupakan sebuah jawaban (Bank, James A. 1977).
Semua dimulai di pendidikan dasar, bahwa siswa harus diajarkan bagaimana berinteraksi dengan baik dan sopan dengan teman-temannya yang berbeda agama, etnis, ras, dan golongan. Maka, ketika siswa bisa bersikap saling menghargai dan menghormati seperti bisa menyumbangkan ide-ide yang relevan dengan topik diskusi, berdebat dengan cara yang sopan, mau mendengarkan pendapat orang lain, percaya satu sama lain, mendengarkan penuh perhatian dan akhirnya sekolah akan menjadi laboratotium utama dalam proses interaksi siswa bersama teman-teman sebayanya dan sekaligus juga sebagai sarana berlatih masyarakat sipil.
Kesimpulan yang dapat saya ambil adalah bahwa pendidikan nasional yang bermoral memang dibutuhkan dan seharusnya memang diterapkan, namun kita tahu bahwa orang-orang tidak terlalu memperhatikannya. Bagaimana dapat kita lihat banyak lembaga-lembaga pendidikan berlomba-lomba menciptakan pendidikan bertaraf internasional yang bermutu tinggi sedangkan pendidikan nasional saja belum dibenahi dengan benar. Sehingga alangkah baiknya jika pendidikan nasional dipebaiki terlebih dulu, di mulai dari tenaga pendidiknya.
Tenaga pendidik yaitu orang tua dan guru harus menjadi contoh yang baik bagi generasi penerus bangsa agar dapat diwujudkan pendidikan yang baik dan bermoral sehingga tanpa menjadi pendidikan bertaraf internasional pun pendidikan kita akan mencetak prestasi- presatsi yang akan dikenal dunia dan tentu saja akan mengangkat nama Indonesia di kancah dunia. namun dilihat dari keadaan sekarang hal tersebut mungkin akan sulit dilakukan dan membutuhkan waktu yang lama karena pendidikan di Indonesia sudah terlanjur  memburuk namun tidak ada salahnya jika di coba untuk memperbaikinya sebab keadaan tidak akan berubah jika kita tidak mau berusaha untuk merubahnya.
Dengan begitu diharapkan generasi masa depan bangsa yaitu anak-anak sekarang bisa menjadi cikal bakal perubahan yang jauh lebih baik dari segi karakter dan moralnya. Bukannya hanya sekedar memiliki penalaran ilmiah yang bagus, tetapi mempunyai wacana sipil positif juga. Karena itu bimbingan dari para pendidik di sekolah dan di rumah sangat mempengaruhinya, dimulai pembentukan dan penanaman nilai moral dan budaya kerukunan beragama dari lingkungan keluarga, sekolah kemudian masyarakat sehingga tercapailah kestabilan kerukunan umat beragama di negeri tercinta kita ini. INDONESIA. SALAM SUPER UNTUK KITA SEMUA!

REFERENSI
Salin, I Made dkk. 2009. Pengembangan Materi Budi Pekerti. Denpasar : Dwi Jaya Mandiri.
Syahrin, Harahap.  2011. Teologi Kerukunan. : Jakarta: Prenada Media Group.
Sri Suryati, Ni Luh dkk. 2008. Panduan Budi Pekerti. Denpasar : Dwi Jaya Mandiri.
Bank, James A. 1977. Teaching Strategies for Sosial Studies: Inquary, Valuing, and Decision Making. Addison-Wesley Publishing Company.





Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment