Pendidikan dari
Sang Pendidik
Oleh Apif Rahman Hakim
Pendidikan
merupakan salah satu hal terpenting dan
tidak bisa terpisahkan dalam kehiduan kita sehari-hari. Kemanapun seseorang pergi pasti akan ada
pendidikan disekitarnya, tidak hanya sebatas pendidikan formal melainkan
pendidikan informal dan non formal
Pendidikan formal
adalah kegiatan yang sistematis, bertingkat, dimulai
dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi dan yang setaraf
dengannya; termasuk kedalamnya ialah
kegiatan studi yang berorientasi
akademis dan umum, program spesialisasi,
dan latihan professional, yang dilaksanakan dalam waktu
yang terus menerus.
Pendidikan informal adalah
proses yang berlangsung sepanjang usia sehingga sehingga setiap orang
memperoleh nilai, sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang bersumber
dari pengalaman hidup sehari-hari, pengaruh
lingkungan termasuk di dalamnya adalah pengaruh kehidupan keluarga,
hubungan dengan tetangga, lingkungan pekerjaan dan permainan, pasar, perpustakaan,
dan media massa.
Pendidikan nonformal ialah
setiap kegiatan teroganisasi dan sistematis, di luar sistem persekolahan
yang , dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan
yang lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik
tertentu di dalam mancapai tujuan belajarnya.
Ketiga
pengertian di atas dapat
digunakan untuk membedakan program
pendidikan yang termasuk ke dalam setiap jalur
pendidikan tersebut. Sebagai bahan untuk menganalisis
berbagai program pendidikan maka ketiga batasan pendidikan di atas perlu
diperjelas lagi dengan kriteria yang dapat membedakan antara pendidikan
yang program-programnya bersifat nonformal dengan pendidikan yang
program-programnya bersifat informal dan formal. Perbedaan antara pendidikan
yang program-programnya bersifat nonformal dan informal dapat dikemukakan
sebagai berikut. Pendidikan yang program-programnya bersifat nonformal
memiliki tujuan dan kegiatan yang terorganisasi, diselenggarakan di
lingkungan masyarakat dan lembaga-lembaga, untuk
melayani kebutuhan belajar khusus para peserta
didik. Sedangkan pendidikan yang program-
programnya bersifat informal tidak diarahkan untuk melayani
kebutuhan belajar yang terorganisasi. Kegiatan
pendidikan ini lebih umum,
berjalan dengan sendirinya, berlangsung terutama
dalam lingkungan keluarga, serta melalui media massa, tempat
bermain, dan lain sebagainya.
Apabila
kegiatan yang termasuk pendidikan yang program-programnya bersifat informal ini
diarahkan untuk mencapai tujuan belajar tertentu maka kegiatan tersebut
dikategorikan baik ke dalam pendidikan yang program-programnya bersifat
nonformal maupun pendidikan yang program-programnya bersifat formal.
Tetapi semua
itu terkadang bertolak belakang dengan kejadian-kejadian disekitarnya, misalnya
seorang pelaku pendidikan formal belum mempunyai attitude atau tingkah laku
yang menunjukan keformalan dirinya dalam belajar. Sebagai contohnya di bumi pertiwi ini sering
sekali terjadi tawuran antar sekolah yang mencerminkan buruknya kualitas
pendidikan dan atau sebuah pendidikan karakter di Indonesia ini.
Penanaman
pendidikan karakter karakter oleh sang pendidik kepada yang dididik adalah
sangat penting dan berpengaruh besar terhadap pertumbuhan jiwa pelaku
pendidikan ( siswa). Oleh karenanya,
penanaman karakter yang religius dan taat bertoleransi alangkah baikya kita
tanamkan sejak dini kepada ank-anak yang belajar disekolah, tidak hanya pada
pendidikan formal saja melainkan pada pendidikan nonformal dan informal.
Seiring
berjalannya waktu, para pelau pendidikan formal sebenarnya sudah diajari
bagaimana untuk saling menghormati satu sama lainnya. Tapi karena lingkungan sekitar ( teman-teman)
sebanyanya yang selalu ada besama mereka terus mengajak mereka kepada hal-hal
yang tidak baik pastinya pendidikan karakter pun akan hilang seiring berjaannya
waktu. Karena mereka hanya belajar
sesaat saja pada waktu disekolah setelah itu kembali kepada lingkungannya
masing-masing.
Disinilah
peran orang tua muncul, dimana peran orangtua muncul sebagai pelaku sang
pendidik informal bagi anak-anaknya.
Karena karakter yag diberikan oleh orangtua sangatlah berperan penting
bagi anak-anaknya, orangtua pun seharusnya ikut mengawasi keseharian
anak-anaknya dalam bermain bersama teman-temannya dalam lingkungannya dengan
menanykan kemana sajakah atau apa sajakah yang sudah dilakukan oleh
anak-anaknya diluar sana dan memberikan evaluasi untuk anak-anaknya agar
menjadi pribadi yang baik dan bijak.
Setelah
pendidikan formal dan informal sudah tertanam pada jiwa si anak disinilah ada
tugas kedua untuk para sang pendidik untuk memperthankan karakter yang ditanam
pada jiwa sang anak. Karena percuma saja
karakter sudah tertanam tapi tidak dipertahankan apalagi sampai tidak diawasi
lagi oleh sang pendidik karakter itu pun akan berkurang atau bahkan hilang
dikarenakan pergaulan yang sangat ekstrim yang dilakukan si anak bersama
teman-temannya yang akan melunturkan lagi keseluruhan karakter yang baik yang
sudah ditanam pada si anak tersebut.
Disinilah
peran para pendidik muncul lagi untuk mempertahankan dan memperkuat karakter
yang berbudi pekerti tinggi yang ada pada diri si anak didik. Karena di zaman sekarang ini walaupun siswa
sudah mempunyai karakter yang baik tetapi dikarenakan karakter tersebut tidak
diperahankan atau tidak diperkuat lagi imbasnya adalah siswa tersebut akan
kembali terbawa oleh temannya yang belum mempunya karater yang baik dan akan
berujung pada konflik-konflik yang tidak diinginkan, seperti halnya tawuran,
konflik antar etnis dan masih banyak lagi konflik-konflik yang seharusnya tidak
dilakukan oleh sang pelajar.
Pada kasus ini
yang ditakutkan adalah masalah sosial yang berulang seperti bentrokan antar
pemuda atau ormas masyarakat lainnya dan bentuk lain dari radikelisme di
seluruh Indonesia adalah indikasi dari penyakit sosial, yaiitu kurangnya
semata-mata kepekan dan rasa hormat terhaadap terhadap orang lain dari kelompok
yang berbeda.
Setelah
semuanya seperti itu, maka muncullah sebuah pertanyaan : bagaimana memahami
perilaku dan pemikiran mereka ( siswa)? Jawabanya adalah “emosi” mereka. Emosi sangat menguasai logika berpikir mereka
anak-anak dan remaja. Remaja dan anak-anak jauh lebih banyak didorong oleh
perasaan mereka daripada pemikiran yang baik untuk mereka. Dengan mengetahui
hal ini, maka sia-sia upaya kita mengkuliahi mereka seharian. Membombardir
pikiran mereka dengan nasehat positif, menjadikan diri kita motivator dadakan
didepan mereka tidak akan mempan. Justru membuat anak bertambah “sebal”
dengan kelakuan kita. Komentar atau nasihat
seperti : “kamu harus giat belajar”, “jangan buang waktumu dengan
bermain terus”, “jaga kebersihan dikamarmu”, kecuali bila kita
sudah terlebih dahulu mengenali perasaan mereka.
Dalam kondisi
emosi yang negatif seorang anak tidak dapat menerima input dan nasehat bahkan
titah sekalipun yang dapat mengubah perilaku mereka. Berbeda hasilnya jika kita
mampu mengerti dan mengenali perasaan emosi mereka terlebih dahulu maka mereka
akan terbuka dan mendengarkan saran logis dari kita. Anak–anak dan remaja akan melakukan sesuatu
jika membuat mereka merasa nyaman atau enak di rasanya atau hatinya.
Dengan
demikian maka cobalah oleh pelaku pendidikan seperti orang tua dan guru untuk
benar-benar memahami perilaku dan karakter mereka dan mencoba untuk
menetralisirkan perilaku negatitif pada anak.
Karena kalau sang pendidik sudah bisa mengerti dan mengenali perasaan
emosi mereka, maka tidak menutup kemungkinan mereka pun akan luluh dan sang
pendidik akan mampu menguasai dan menetralisir emosi yang negatif pada siswa
tersebut.
Studi Konflik Agama dan Sosial
Di era
globalisasi dewasa ini pertemuan unsur-unsue budaya telah terjadi secara intens
tanpa mengenal apa itu dimensi rang dan waktu.
Pluralitas kultural dan segala aspeknya akan mengiringi nilai-nilai dan konsep-konsep
parsial ke dalam kotak-kotak primordialisme.
Fenomena ini mengisyaratkan bahwa budaya, selain dapat merupakan faktor
pemersatu ( integrative factors), juga menjadi faktor penyebab konflik. Tergantung bagaimana ia dikelola dan
didayaguanakan.
Dewasa ini
memang yang namanya arus perubahan sosial dan kultural sedang melanda planet
bumi ini di seluruh dunia. Perubahan
yang ditampilkan disini begitu cepat dan tak terelakkan sehingga umat manusia
pun dituntut untuk menyesuaikan dan mengikuti pada perubahan budaya dan
sosial. Efek dari semua itu adalah
pergeseran nilai yang cepat dan akibatnya dapat menimbulkan goncangan yang kuat
karena umat manusia harus menyesuaikan perilakunya terhadap nilai baru tersebut.
Tetapi pada
pelaksanaannya terhadap nilai perubahan yang melanda di beberapamnegara tidak
selalu berjalan mulus. Mungkin
dibeberapa negara nilai peubahan ini sudah berjalan dengan mulus karena semua
itu sudah dikonsep oleh si pelaku perubahan dan mereka berhasil meredam potensi
konflik. Tetapi semua itu sangat berbeda
di Indonesia yang rentan akan terjadinya konflik, pihak satu mengoreksi pihak
yang lain sebaliknya pihak yang dikoreksi juga melakukan hal yang sama. Inilah sebab terjadinya konflik, karena orang
di Indonesia dengan “budaya timurnya”
cenderung resistensi atau bahkan perlawanan terhadap koreksi. Kejadian seperti itu membuat konflik
cenderung semakin tajam dan berkembang, dan pada titik akhirna terjadilah
benturan fisik yang bisa mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.
Disinilah peran
sang pendidik sangat dipertaruhkan.
Karena mereka mempunyai peran yang sangat penting untuk membina,
menggiring dan mengarahkan para peserta didik ke arah yang relevan agar peserta
didik tidak menjadi pelaku atau korban dari perubahan sosial dan budaya yang
mengarah ke hal negatif yang bisa berujung konflik dan pada akhirnya terjadi
perkelahian yang diiringi dengan jatuhnya korban.
Problematika
Pendidikan
Menurut prof. A chaedar Al Wasilah di dalam bukunya
Pokoknya Rekayasa Literasi, beliau menyatakan bahwa pendidikan dasar adalah
untuk memberikan siswa dengan keterampilan dasar untuk mengembangkan kehidupan
mereka sebagai individu, anggota masyarakat dan warga negara ketrampilan dasar
ini juga merupakan dasar untuk pendidikan lebih lanjut.
kekhawatiran sang pendidik terhadap
konflik sosial dan ketidakharmonisan agama khususnya merupakan tantangan bagi
pendidik dalam melakukan yang erbaik untuk mempersiapkan generasi berikutnya
sebagai warga negara yang demokratis dengan karakter yang baik sebagaiman diatur
dalam UU Sisdiknas.
Dalam pengaturan multikultural,
siswa berasal dari latar belakang etnis, agama dan sosial yang berbeda dan pola
piker mereka dominan dibentuk oleh latar belakang mereka. Program sekolah harus sengaja memfasilitasi iteraksi
rekan untuk mengembangkan wacana sipil positif.
Indicator wacana sipil termasuk mendengarkan penuh perhtian,
menyumbangkan ide-ide atau pendapat, mengajukan pertanyaan, menyatakan
kesepakatan dan ketidaksepakatan dan mencapai kompromi dengan cara yang hormat.
Dalam arti praktis ini akan berlaku
untuk setiap mata pelajaran disekolah.
Siswa harus dilatih untuk
mendengarkan secara aktif dengan mempertahankan kontak mata langsung, berdiri
diam dan bergiliran dalam bebicara.
Mereka juga haru diajarkan bagaimana untuk menyumbangkan ide-ide yang
relevan dengan topik diskusi. Pada
sekolah dasar, guru kelas berfungsi untuk mengawasi untuk hamper sepanjang
hari, haruskah mereka tahu bagaimana merancang dan memfasilitasi interaksi
teman sebaya dengan benar, mereka akan mengembangkan wacana sipil positif
sebagai bagian dari pendidikan kewarganegaraan.
Pada
menyelesaikan pendidikan formal mereka, siswa memasuki dunia di mana kemampuan
untuk menjaga hubungan baik sangat penting untuk keberhasilan individu.
Sebaliknya, ketidakmampuan untuk menjaga hubungan baik dapat merugikan individu
dan dapat menyebabkan tingkat tertentu konflik sosial dalam suatu masyarakat
tertentu.
Sebuah laporan
penelitian oleh Apriliaswati ( 2011 ) menyimpulkan bahwa interaksi teman sebaya
dalam dukungan kelas wacana sipil yang positif di kalangan siswa . Interaksi
rekan dalam studi sosial, kelas Indonesia dan Pancasila tidak perilaku
mengganggu jika guru mengelola secara efektif. Menjadi berisik tidak selalu
negatif. Ini bisa menjadi bukti interaksi interaktif
dan mencerahkan.
Oleh karena
itu, disarankan agar mempromosikan interaksi sebaya harus dilaksanakan sebagai salah
satu kegiatan rutin kelas. Siswa harus diberi kesempatan untuk berinteraksi
dengan satu sama lain melalui tugas-tugas kelompok untuk berlatih mendengarkan
penuh perhatian, berdebat hormat dan suara mengorbankan untuk mempersiapkan
mereka untuk hidup sebagai anggota fungsional dari suatu masyarakat yang
demokratis.
Sebagai siswa
SD, anak-anak yang belum mampu memberikan alasan informasi dan bukti dari
argumen mereka tapi bisa mengekspresikan kesepakatan dan ketidaksepakatan
dengan cara yang sopan. Selain itu, para siswa tampak percaya satu sama lain,
sehingga kompromi dan konsensus dapat dicapai dengan cara sipil.
Studi
Aprilliaswati mengajarkan kepada kita bahwa pendidikan harus mengembangkan
tidak hanya penalaran ilmiah, tetapi
juga wacana sipil positif. Penalaran ilmiah sangat diperlukan dalam mengembangkan
warga intelektual, sedangkan kompetensi wacana sipil sangat penting untuk menciptakan
warga negara yang beradab.
Pendidikan
kita saat ini gagal untuk memberikan para siswa dengan kompetensi wacana sipil
. Sebagian besar politisi dan birokrat telah datang ke kekuasaan karena
pendidikan yang mereka telah diperoleh. Sayangnya, banyak dari mereka tidak memiliki
kompetensi tersebut.
Jajak Pendapat
Di era globalisasi seperti ini,
penanaman karakter pada anak usia dini sangatlah penting. Karena begitu besarnya pengaruh karakter yang
dibangun oleh anak-anak sehingga anak tersebut akan benar-benar menjiwai
karakter tersebut. Mungkin pada sebagian
orang diluar sana sangat mengesampingkan pendidikan dasar karakter, tapi semua
itu padahal sangatlah penting untuk bisa menjadi bekal anak-anak kita yang akan
meneruskan perjuangan bangsa ini.
Ciri utama pendidikan yang berideologi liberal adalah
selalu berusaha menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di
luar dunia pendidikan. Hal ini terlihat pada benang merah kebijakan Mendiknas
beberapa tahun terakhir. Oleh karenanya kompetensi yang harus dikuasai peserta
didik merupakan upaya untuk memenuhi dan menyesuaikan tuntutan dunia kerja
sebagaimana dikemukakan dalam setiap pergantian kurkulum baru kita .
Singkat cerita, liberalisme yang diagung-agungkan dan
diacu oleh sistem pendidikan kita telah merusakkan sendi-sendi negara bangsa
Indonesia. banyak media yang mengatakan
bahwa pendidikan kita rusak-rusakan, dan Depdiknas merupakan satu dari dua
Departemen terkorup di Indonesia – satunya lagi Departemen Agama. Mulai afair
buku paket, korupsi seragam sekolah, penyelewengan dana Beasiswa dan BOS,
sampai kekerasan dan tindak cabul guru pada siswinya; di kalangan siswa pun
merebak mulai dari sekadar bolos sekolah, nyabu, sampai bunuh diri dan seks
bebas. Ini efek negatif yang luar biasa besarnya, dan tentu tak dapat diabaikan
begitu saja
Disisi lain
pendidikan liberal yang hanya terfokus pada mata pelajaran sebagai warisan
tradisi ( klasik ) dan lebih mengembangkan aspek intelektualnya saja. Padahal seharusnya yang dibutuhkan bangsa ini
adalah lebih berfokus pada pengembangan pribadi dalam skala yang luasa tidak
hanya di di aspek intelektualnya saja tetapi harus ada aspek-aspek yang
menunjang, seperti : emosi, intelektual
dan moral peseta didik.
Disinilah
peranan pemerintah sekarang yang harus benar-benar membenahi pendidikan di
Indonesia supaya tidak menganut liberalisme yang hanya memacu pada sebatas
aspek intelektualnya saja dan itupun hanya sebuah kisah klasik terdahulu yang
dibawa oleh zaman kompeni ( Belanda ).
Pada studi
kasus terdahulu, Indonesia dihadapkan pada kasus sebagai bangssa yang tidak
bermoral. Mengapa demikian? Karena
konflik kesinambungan untuk membina kerukunan antar umat beragama tidak ada,
mereka hanya memikirkan pribadi mereka masing-masing karena pendidikan yang
dianut hanyalah mengenai intelektual saja tidak mengenai tentang moral dan
emosi peserta didik. Inilah
faktor-faktor yang menyebabkan sering terjadinya konflik dimana-mana karena
kurangnya atau bahkan mungkin tidak adanya pendidikan moral dan emosi bagi si
peserta didik dari sang pendidik.
Indonesia adalah bangsa yang beradab dan memilki
peradaban. Indonesia sangatlah unik dan memilki karakteristik yang khas. Begitu
pula dalam pendidikan, sistem dan prinsip pendidikan di Indonesia tidak
dibenarkan untuk mengiblat kepada orang lain. Karena Indonesia sama sekali
berbeda dengan mereka. Indonesia memilki kebijaksanaan local (local wisdom)
yang jauh lebih baik dari Negara manapun. Jika pendidikan di Indonesia ingin
berhasil dan mencapai keberhasilan maka pendidikan di Indonesia haruslah
berorientasikan kepada kebijaksanaan local dan budi luhur yang dimilki bangsa
ini.
Kesimpulannya
adalah pendidikan pada hakikatnya dalah betujuan sama yakni ingin meningkatkan
kecerdasan seseorang atau suatu bangsa agar tercapainya suatu tujuan yang
harmonis dan dinamis untuk memajukan kualitas diri seseorang dan kualitas suatu
bangsa. Tetapi itu semua tidak mudah
seperti membalikkan telapak tangan, ada berbagai tantangan zaman disepan yang
harus dihadapi peserta didik atau sang pendidik.
Perubahan
sosial dan kultural adalah salah satu tantangan yang harus ditaklukan oleh
peserta didik dan sang pendidik. karena
disinilah nantinya akan ada pergeseran sistem nilai sosial dan budaya yang
cukup drastis. Efek dari pergeseran
nilai sosial dan budaya tersebut adalah bisa memunculkan goncangan kuat karena
manusia harus menyesuaikan terhadap pergesaran nilai sosal dan budaya.
Oleh karena
itu penanaman pendidikan umum, sebagai bekal untuk peserta didik yang diberikan
oleh sang pendidik sangatlah mempunyai pengaruh yang dahsyat. Karena didalamnya tidak hanya terkandung
nilai intelektual saja melainkan terkandung unsur-unsur dan nilai-nilai moral
dan emosi si peserta didik. Kalau sistem
pendidikan umum seperti ini sudah merajalela di Indonesia tidak menutup
kemungkinan tidak akan adanya konflik atau ketidaksinambungan antar umat
beragama karena mereka sudah di pupuk dengan nilai moral dan emosi yang
nantinya akan membawa si peserta didik ke arah yang jernih dan dapat berfifkir
dewasa tanpa harus adanya emosi dan mengeluarkan moral yanng bejat karena unsur
moral dan emosi yang ada pada si peserta didik sudah ditanam dan di pupuk uoleh
sang pendidik untuk bisa dijadikan bekal oleh para peserta didik.
Seiiring
berjalannya waktu, bangsa ini pun akan merasakan buah yang baik dan manis yang
sudah terkandung dan tertanam pada peserta didik dengan tidak adanya konflik
sosial atau agama karena mereka yakin dengan hal seperti itu hanya akan
merugikan dirinya dan bangsa ini saja dan disinilah akan adanya senyum lebar
dan nafas segar sehingga menimbulkan angin segar bagi bangsa ini dan sang
pendidik.
Referensi
A. Chaedar Al Wasilah, Class
Discourse to foster religion harmony
KAMMI KOMISARIAT THORIQ bin
ZIYAD