Critical Review 1 : Wacana Kelas, Mampukah?


Wacana Kelas,
Mampukah? 
Author : Asy Syifa Rahmah Ihsani

Tidak bosan saya nyatakan bahwa pendidikan merupakan hal yang paling penting untuk memajukan suatu negara.  Namun, pendidikan suatu negara akan maju jika masyarakatnya mempunyai moral ataupun karakter yang baik.  Percuma saja jika negara dipimpin oleh orang yang berpendidikan tinggi tapi tak bermoral.  Sayangnya di negeri  kita tercinta ini Indonesia mengalami hal itu.  Jika ditanya tentang pendidikan, tentu saja anggota pemerintah kita berpendidikan tinggi, tapi bagaiman dengan moralnya?  Sangatlah rendah.  Terbukti dengan banyaknya korupsi, skandal sex, dan sering terjadinya percek-cokan antar anggota DPR atau anggota pemerintahan lainnya.  Begitu juga dengan masyarakatnya yang sering terlibat konflik.  Untuk menciptakan moral dan karakter bangsa Indonesia peran pendidikan sangatlah penting.  Baik itu pendidikan formal (sekolah) ataupun pendidikan di rumah.
Pendidikan di Indonesia menurut saya masih kurang dalam bidang pembentukan kararakter ataupun moral.  Padahal jika masyarakat Indonesia sudah memiliki karakter dan moral yang baik maka masalah-masalah yang mengakar (korupsi dan pertikaian) akan bisa dicabut.  Sebab seperti yang dipaparkan oleh Prof. Suyanto Ph.D, bahwa karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.
Lalu pendidikan yang bagaimana sih yang mampu menciptakan masyarakat yang bermoral dan berkarakter?  Jawabannya adalah pendidikan liberal dan pendidikan umum.  Pendidikan liberal adalah suatu jenis pendidikan dimana pendidikan yang terbaik adalah yang ada untuk melatih anak agar berfikir secara kritis dan objektif, mengikuti bentuk dasar proses ilmiah, dan melatih anak untuk meyakini hal-hal tersebut berdasarkan pengetahuan ilmiah.  Sementara pendidikan umum lebih terfokus pada pengembangan pribadi dalam skala yang lebih luas tidak sekedar aspek intelektual, tetapi semua aspek, yaitu intelektual, emosi, sosial, dan moral peserta didik (Prof. Chaedar, Pokoknya Rekayasa Literasi : 201).
Jika kedua sistem pendidikan tersebut dianut oleh bangsa kita, saya yakin bangsa kita akan menjadi bangsa yang berkarakter dan bermoral tinggi.  Namun lagi-lagi amat disayangkan ternyata Indonesia masih sangat monoton dalam pendidikannya.  Mengingat bahwa pengajaran di Sekolah Dasar masih menggunakan cara yang “ndeso”.  Siswa hanya disuruh duduk, dengar dan diam.  Bahkan lebih parahnya siswa hanya disuruh mengisi sebuah buku yang (mungkin) dibenci semua siswa yaitu LKS.  Padahal pendidikan moral harus dilaksanakan sejak dini.  Miris memang, tapi itulah wajah penuh “dosa” pendidikan Indonesia.
Mungkin itu juga yang membuat Prof. A. Chaedar Alwasilah membuat sebuah artikel yang berjudul Classroom Discourse to Foster Religious Harmony (The Jakarta Post, October 22, 2011).  Dalam artikelnya beliau menjelaskan bahwa titik utama terjadinya konflik sosial baik itu antar agama, suku ataupun kelompok disebabkan oleh kurangnya pemupukan rasa menghargai satu sama lain di pendidikan dasar.
Pemupukan seperti apa sih yang dimaksud?  Beliau menjelaskan bahwa seharusnya di pendidikan dasar  harus dibiasakan melaksanakan classroom discourse (wacana kelas) atau dialog interaktif.  Baik itu siswa dengan siswa karena biasanya siswa akan lebih senang berbicara dengan teman sebayanya ataupun siswa dengan gurunya.  Strategi ini yang dianggap Prof. Chaedar sebagai pemupukan rasa menghargai satu sama lain.
Walaupun memang jika dilihat dari usia rasanya sangat tidak mungkin siswa sekolah dasar mampu melaksanakan diskusi kelas dengan baik.  Tetapi setidaknya mereka tahu cara-cara berargumen dengan sopan dan menerima perbedaan pendapat dari teman-temannya.  Inilah yang akan menumbuhkan rasa menghargai pendapat satu sama lain.  Sehingga setelah mereka dewasa dan menjadi masyarakat demokratis, mereka akan menghargai pendapat orang lain dan tidak akan bersifat radikal.
Prof. Chaedar juga memaparkan bahwa idealnya sekolah harusnya memiliki tenaga kerja ataupun pengajar yang berasal dari berbagai macam suku, agama, budaya dan tingkatan sosial yang berbeda.  Selain itu sekolah juga harus menyediakan tempat ibadah untuk setiap agama.  Dengan demikian siswa akan lebih menghargai perbedaan dan rasa toleransi akan tumbuh dengan subur dalam jiwanya sehingga rasanya tidak akan terjadinya konflik antar kelompok, budaya apalagi agama.  Cara tradisional pengajaran agama yang menekankan aspek teologi dan ritual seharusnya tidak usah dipakai lagi.  Cara yang seperti itu biasanya mengabaikan aspek sosial-sosial, dan interaksi antar umat manusia.  Jika cara seperti itu masih digunakan maka akan ada tembok besar yang memisahkan antara umat berbeda agama padahal dari negara atau bahkan desa yang sama.
Di Indonesia pendidikan liberal harus mencakup pengetahuan, etnis, agama serta minoritas bahasa dan budaya.  Terlepas dari karir mereka, politisi, insinyur, petani atau pengusaha- siswa harus diberikan diberikan pengetahuan yang memadai di daerah-daerah.  Pendidikan liberal bertujuan membebaskan siswa dari sikap rabun dan kedaerahan terhadap orang lain.
Dalam artikelnya tersebut Prof. Chaedar sangat mempercayai bahwa untuk memupuk kerukunan antar umat beragama ataupun berbeda suku dan budaya bertitik berat pada pendidikan sekolah dasar yang melaksanakan diskusi kelas atau wacana kelas (classroom discourse).  Memang ternyata penyebab utama timbulnya konflik antar agama adalah karena mereka selalu berargumen dengan nada emosi (Drs, D Hendro P 1983 : 152) . Memang benar berdiskusi di kelas itu bisa membuat siswa berargumen dengan sopan dan menghargai perbedaan pendapat.  Sehingga nantinya jika dewasa nanti siswa-siswa tersebut akan terbiasa mengeluarkan pendapat dengan sopan tanpa emosi karena karakter mereka sudah terbentuk dengan apik.
 Seperti yang dikatakan Taufik Hidayat (Pentingnya Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar di Indonesia) bahwa Sekolah Dasar merupakan pendidikan awal penanaman karakter anak dalam perkembangan dirinya. Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran atau amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.  Karakter-karakter tersebutlah yang membuat siswa mampu menghargai perbedaan.  Karakter – karakter itu juga bisa dibentuk dengan adanya wacana kelas atau diskusi kelas (classroom discourse).
Meskipun semua pihak bertanggungjawab atas pendidikan karakter calon generasi penerus bangsa (anak-anak) tapi menerut saya aktor utama dalam pembentukan karakter-karakter tersebut adalah keluarga.  Sebab keluarga adalah orang-orang yang sangat dekat dengan siswa.  Peranan keluarga sangat penting dalam pembentukan karakter anak.  Tapi perlu diingat bahwa pembentukan karakter dalam keluarga bukan dengan cara menceramahi anak setiap hari tapi dengan cara memberikan contoh yang baik pada anaknya.
“Jangan mengkuatirkan bahwa anak-anak tidak mendengarkan Anda, kuatirkanlah bahwa mereka selalu mengamati Anda” – Robert Fulghum
“Ayat” diatas menerangkan bahwa dalam mendidik dan membentuk karakter anak orang tua tidak harus selalu membuka mulut tapi lebih efektif jika orang tua melakukan tindakan yang bisa dijadikan contoh baik untuk anaknya.  Mengutip apa yang diungkapkan Dorothy Law Nollte:
Jika anak dibesarkan dengan celaan, maka ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, maka ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, maka ia belajar mengendalikan diri
Jika anak dibesarkan dengan kelembutan, maka ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, maka ia belajar percaya
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, maka ia belajar menghargai diri sendiri

Apabila dalam keluarganya anak dididik dengan baik maka anak tersebut  akan menjadi siswa yang baik di sekolah.  Berbeda dengan anak yang keluarganya tidak mendidiknya, anak tersebut akan menjadi anak yang nakal dan sulit untuk mematuhi aturan serta (mungkin) memiliki jiwa pemberontak.
Di sinilah peranan guru Sekolah Dasar bergerak.  Guru Sekolah Dasar harus mampu membawa peserta didiknya yang latar belakang keluarganya tidak harmonis menjadi siswa yang berkarakter dan bermoral.  Namun saya rasa tidak cukup hanya dengan melakukan diskusi dengan teman sekelasnya mampu membentuk karakter dan meminimalisir tingkat pertikaian di Indonesia di masa mendatang.
Membawa visi perdamaian dan keamanan negara itu adalah tugas yang amat sangatlah berat.  Mengingat banyak sekali kasus pertikaian antar agama, suku atau budaya di negeri kita ini.  Jika kita tengok salah satu konflik yang pernah terjadi di bumi pertiwi kita ini, yaitu konflik Ambon.  Ternyata ada beberapa  faktor penyebab konflik tersebut diantaranya Yang pertama adalah dugaan adanya orang yang memanfaatkan peristiwa kematian Darfing Saeman, seorang tukang ojek, untuk kepentingan yang belum jelas. Hal tersebut ditambah dengan adanya provokator yang mungkin tidak puas dengan penyelesaian konflik tahun 1999. Dugaan adanya usaha pengalihan isu terutama isu daerah dan dugaan adanya kepentingan militer untuk tetap berada di Ambon.  Serta adanya dugaan kelambanan yang disengaja dari aparat.  Terakhir, ditambah dengan kondisi psikologi masyarakat yang mudah terbakar. (Komnas HAM: Lima faktor penyebab konflik Ambon : Berita Satu.com).
Dilihat dari faktor – faktornya saja dapat diketahui bahwa konflik agama akan sangat sulit diredakan karena  yang menyebabkan itu terjadi didasari oleh sugesti dan keyakinan yang tertanam pada diri mereka bahwa dialah yang paling benar orang lain itu salah.  Pemikiran – pemikiran radikal yang seperti inilah yang menjadikan kobaran api semakin membesar di antara dua kelompok ini.  Apa cukup hanya dengan melaksanakan classroom discourse di jenjang sekolah dasar bisa menghilangkan fenomena ini?
Jangankan konflik agama ataupun budaya yang cakupannya sudah sangat luas.  Konflik antar pelajar atau lebih dikenal dengan nama tawuran pelajar saja masih “memerahi” rapor pendidikan negeri katulistiwa ini.  Tawuran pelajar sekolah menjadi potret buram dalam dunia pendidikan Indonesia. Pada 2010, setidaknya terjadi 128 kasus tawuran antar pelajar. Angka itu melonjak tajam lebih dari 100% pada 2011, yakni 330 kasus tawuran yang menewaskan 82 pelajar. Pada Januari-Juni 2012, telah terjadi 139 tawuran yang menewaskan 12 pelajar, Jakarta Kamis, 27 September 2012 (Tvone).  Apa masalah ini akan terhapus jika hanya mengandalkan classroom discourse saja?
Classroom discourse pada pendidikan dasar memang gagasan yang baik tapi alangkah lebih baik jika yang dikembangkan itu tingkat literasinya.  Kanapa demikian? Karena menurut saya literasi adalah tulang punggung kemajuan peradaban suatu bangsa.  Dengan literasi yang tinggi bangsa akan memiliki peradaban yang maju serta masyarakat yang saling menghargai satu sama lain.  Karena orang yang berliterasi pasti orang – orang yang bermoral dan berkarakter. Budaya literasi merupakan cermin kemajuan bangsa. Para antropolog bahasa, seperti Lucian Levy-Bruhl, Claude Levi-Strauss, Walter Ong, dan Jack Goody memandang literasi (bahasa) sebagai titik pangkal pembeda masyarakat primitif dari masyarakat “beradab” (Ma’mur, 2010:4).  Sudah saatnya Indonesia bangun dari tidur pulasnya.  Sudah saatnya budaya literasi ditanamkan kepada anak usia dini ataupun anak sekolah dasar.  
Jika benih – benih literasi sudah ditanam pada anak usia dini ataupun sekolah dasar maka mereka pun akan dengan mudah mengeluarkan pendapatnya dalam berdiskusi.  Bahkan (mungkin) mereka sudah mampu mengeluarkan pendapat disertai bukti – bukti yang nyata.  Tentu saja mereka juga mampu mengeluarkan pendapat dengan sopan dan menghargai pendapat orang lain, karena mereka berliterasi.  Namun apabila pada tingkat sekolah dasar langsung melaksanakan wacana kelas atau classroom discourse tanpa penanaman budaya literasi terlebih dahulu maka siswa akan terbiasa dengan budaya lisan bukan budaya tulis (literasi).  Apalagi di era sekarang yang merupakan era kemajuan teknologi. Seperti yang dikatakan oleh Mohamad Takdir (Pendidikan Berbasis Budaya Literasi : september, 10 2012) Oral society ini semakin menguat dengan hadirnya media radio, televisi , dan gadget super canggih lainnya . Jelas, dengan kondisi ini menciptakan budaya literer secara ajek akan makin sulit terwujud. Terjadi lompatan fase di mana fase bercerita (praliterer) tidak diselingi dengan fase membaca (literer), tetapi langsung melompat ke budaya menonton (paskaliterer).
Kendati di sekolah dasar anak – anak dididik berliterasi tapi jika sudah sampai rumah tidak menuntut kemungkinan anak – anak akan asyik dengan budaya melihatnya.  Harus saya katakan (lagi) bahwa pendidikan yang paling mendasar adalah pendidikan keluarga.  Apabila orang tua siswa sudah terbiasa menuntun anaknya menuju jalan literasi maka anak tersebut akan terbiasa dan menapaki jalan tersebut dengan santai.  Keluarga merupakan “nucleus” untuk membentuk moral dan karakter siswa. 
Agar pendidikan sekolah dasar mampu memupuk rasa kerukunan  saya rasa perlu campur tangan pemerintah.  Artinya harus adanya perubahan kurikulum pembelajarannnya. Seperti yang dikatakan oleh Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar Kasim, kasus tawuran sekarang ini menjadi momentum menata kembali kurikulum satuan pendidikan yang kini tengah dilakukan pemerintah. Penataan dilakukan dengan menyeimbangkan mata pelajaran pengetahuan, kemampuan, dan karakter atau sikap. ”Uji publiknya pada Februari 2013. Sekarang masih dikerjakan,” ujar Musliar saat ditanya Kompas di sela-sela pelatihan ESQ di Menara 165, Jakarta.  Beliau juga menambahkan , kurikulum yang berbasis kompetensi sekarang ini menyebabkan mata pelajaran yang diberikan kepada anak didik dinilai berlebihan akibatnya siswa jadi terbebani.  Ya memang kurikulum sekarang memang sangat “mengerikan”.  Sepupu saya yang masih kelas 3 SD sudah mempelajari Ilmu Pengetahuan Alam yang sangat sulit.  Sedangkan cara pengajarannya siswa hanya diperintahkan untuk mengerjakan (lagi –lagi) kumpulan kertas “edan” yang memiliki julukan LKS.
Musliar juga menambahkan bahwa dengan penataan kurikulum, pelajaran akan ditekankan kembali pada pelajaran sikap dan budi luhur siswa.  Dengan perubahan kurikulum yang seperti itu saya yakin para calon generasi – generasi penerus nanti akan memiliki pendidikan serta moral yang tinggi.  Sehingga perselisihan tidak akan muncul lagi dalam sejarah Indonesia.  Dengan demikian negeri kita tercinta ini (baca : Indonesia) akan menjadi negeri yang rukun, damai, sejahtera dan maju.
Jadi menurut saya untuk menanamkan ataupun memupuk rasa kerukunan baik itu antar kelompok, etnis, atau toleransi umat beragama  tidak cukup hanya dengan wacana kelas yang dilakukan pada tingkat sekolah dasar.   Karena untuk menumbuhkan rasa kerukunan ini erat kaitannya dengan moral dan karakter seseorang atau siswa.  Pembentukan moral dan karakter tentu saja harus dilakukan dengan cara bertahap kerennya “step by step”.
Sekali lagi saya nyatakan pembentukan moral tidak cukup hanya dengan kegiatan wacana kelas saja.  Namun ada berbagai macam faktor pendukungnya.  Pertama pendidikan moral yang paling efektive adalah pendidikan dalam lingkungan keluarga.  Apabila lingkungan keluarga seorang siswa itu baik maka moral siswa tersebut juga akan baik.  Seperti halnya anak Kiai yang tertukar dengan anak preman pada saat bayi.  Setelah dewasa anak preman yang dididik  Kiai yang menjadi Kiai besar sedangkan anak Kiai yang dididik preman menjadi preman juga.  Mendidik di sini bukan sekedar menceramahi anak sampai mulut berbusa, tapi dengan tindakan – tindakan yang menjadi contoh baik untuk ditiru anaknya. 
Kedua adalah tingkat literasi siswa.  Saya berkeyakinan jika siswa berliterasi tinggi akan memiliki moral yang baik pula.  Karena literasi adalah akar untuk menumbuhkan pohon yang bernama kesuksesan.  Untuk menciptakan siswa yang berliterasi tinggi tentu jangan sepenuhnya mengandalkan pendidikan sekolah dasar.  Mengingat pendidikan di negeri  ini masih sangatlah miskin literasi. Menurut kajian oleh OECD, standar rata-rata kemampuan dan kemauan membaca dunia adalah 493, standar kemampuan dan kemauan menghitung adalah 496. Ada lima negara yang disebut- sebut memiliki tingkat literasi dan numerasi yang jauh di atas rata-rata adalah China, Korea Selatan, Finlandia, Hong Kong, dan Singapura. Tingkat literasi China saat ini adalah 556, Korea 539, Finlandia 536, Hong Kong 533, dan Singapore 526. Posisi Indonesia saat ini masih jauh di bawah rata-rata dunia dan berada di tingkat 402 untuk literasi.  Terkait literasi atau melek baca, yang saat ini terjadi di Indonesia adalah a-literasi  bukan iliterasi. A-literasi adalah ketidak-mauan membaca masyarakat, bukannya iliterasi yang  berarti ketidak mampuan membaca. Masyarakat kita mampu membaca, namun banyak yang tidak mau membaca sehingga banyak yang melakukan tindakan yang melanggar aturan dan tatanan  kehidupan.  Sehingga timbullah perselisihan karena masyarakat yang tidak mematuhi aturan dan merasa dirinya paling benar. (Ida F Priyanto  IIS-PhD Information Science, University of North Texas, Amerika Serikat).
(Lagi) pendidikan dalam keluarga berperan aktif untuk meningkatkan literasi anak bangsa.  Dengan cara membiasakan anak – anaknya membaca dan menulis sejak dini.  Jangan memanjakan anak – anaknya dengan persegi ajaib (gadget) yang mampu menampilkan video – video kesukaan sang anak.  Harusnya orang tua membiasakan diri membacakan buku cerita kepada anaknya sebelum tidur.  Dengan begitu anak akan tertarik untuk membaca.  Selain itu orang tua juga harus memberika contoh yang baik untuk anaknya, yaitu dengan cara menjadikan membaca sebagai keebutuhan hidup.
Faktor yang terakhir adalah mengubah kurikulum pendidikan Indonesia.  Ini perlu karena kurikulum pendidikan Indonesia benar – benar membuat siswa kehilangan jati diri meraka.  Mengingat pada tingkat sekolah dasar pendidikan kita sangatlah “menyiksa” siswa.   Dengan memerintahkan siswa mengisi soal yang tersusun dalam sebuh (mungkin) buku yang diberi label LKS tanpa memberikan penjelasan mengenai materi yang terkait. 
Untuk membentuk moral generasi – generasi penerus bangsa, harusnya pendidikan dasar lebih memperhatikan pelajaran – pelajaran yang berkenaan dengan sikap dan budi pekerti dan tentunya literasi.  Dengan begitu siswa akan berliterasi dan bermoral tinggi.
Ketika faktor – faktor itu terpenuhi maka siswa akan dengan leluasa mengeluarkan pendapatnya dan memiliki daya nalar yang tinggi.  Selain itu siswa juga akan memiliki moral yang baik sehingga akan menghargai perbedaan pendapat.  Generasi – generasi seperti inilah yang diimpi – impikan oleh negeri kita Indonesia ini.  Generasi yang bermoral, berpendidikan dan berliterasi tinggi yang akan mengikis perselisihan yang terjadi di bumi pertiwi kita.  Sehingga kerukunan antar umat beragama, budaya, suku ataupun kelompok tertentu akan terwujud.
 Saya tidak bermaksud menyalahkan classroom discourse pada pendidikan dasar.  Sekali lagi saya menyatakan classroom discourse pada pendidikan dasar itu memang gagasan yang cemerlang.  Akan tetapi saya merasa bahwa akan lebih baik jika siswa dibekali moral dan karakter  serta tingkat literasi yang baik dari keluarganya.  Dengan begitu pelaksanaan classroom discourse juga akan berjalan dengan baik.


REFERENCES
Hendropuspito D. 1983. Yogyakarta : Penerbit Kanisius
Al wasilah Chaedar. 2012. Bandung :  Kiblat Umat Press
http://hadirukiyah.blogspot.com/2010/07/ideologi-pendidikan-liberal.html
http://sahabatguru.wordpress.com/2011/05/23/pentingnya-pendidikan-karakter-di-sekolah-dasar-di-indonesia/
http://www.beritasatu.com/nasional/10208-komnas-ham-lima-faktor-penyebab-konflik-ambon.html
http://video.tvonenews.tv/arsip/view/62132/2012/09/27/data_tawuran_pelajar_selama_20102012.tvOne

Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment