Pendidikan Sejak Dini,
Keharmonisan Dikemudian Hari
Keharmonisan Dikemudian Hari
(By:
Fitriatuddiniyah)
Dalam
khazanah kehidupan, kita tidak bisa terlepas dari istilah perbedaan. Berbeda dalam berfikir, berpendapat,
bertindak, pekerjaan, status, juga keyakinan atau kepercayaan (beragama). Perbedaan merupakan keberagaman yang timbul
karena banyaknya pemikiran yang tercipta dari jutaan kepala yang menjadikannya
suatu perbedaan. Namun, perbedaan
tersebut menjadi sebuah warna dalam kehidupan yang justru menjadikan sebuah
kesatuan yang saling melengkapi satu sama lain.
Untuk
menjadikan sebuah perbedaan tersebut menjadi sebuah keharmonisan, perlu adanya
usaha yang sangat keras. Oleh karena
itu, kita memulainya dengan memberikan pendidikan dasar pada generasi muda yang
merupakan generasi yang diharapkan membawa perubahan yang harmonis. Pendidikan
dasar ini juga merupakan langkah awal untuk mewujudkannya, yang kemudian
menjadi dasar untuk pendidikan selanjutnya.
Seperti
yang ada dalam sebuah artikel karya A. Chaedar Alwasilah, pada The Jakarta Post, Oktober, 2011 yang
berjudul “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” yang berbicara
tentang membina kerukunan beragama di kelas. Dalam artikelnya ini, beliau berbicara tentang
pemberian pendidikan dasar dengan keterampilan dasar terhadap siswa untuk
mengembangkan potensi yang ada pada dirinya di dalam kehidupan mereka sebagai
invidu, anggota masyarakat, dan warga negara.
Dimana keterampilan dasarnya tersebut merupakan langkah awal untuk
pendidikan selanjutnya, karena pada dasarnya pendidikan terus berlanjut hingga
sepanjang hayat.
Berkaitan
dengan artikel beliau, bahwa moral yang rusak menjadi pemicu warga (siswa atau
mahasiswa) seperti tawuran, bentrokan antar pelajar, dan lain sebagainya. Mereka memiliki sikap ingin menang sendiri,
tidak peduli terhadap lingkungannya, dan akibatnya kehidupan tak mengenal
tentram, nyaman, dan damai. Masalah atau
penyakit sosial warga negara Indonesia, khususnya para siswa yang kurang
memiliki rasa hormat dan kepedulian terhadap orang lain dari kelompok yang
berbeda menjadi sebuah kenyataan sekarang ini yang terjadi di masyarakat.
Konflik sosial
dan
ketidakharmonisan
agama
khususnya
merupakan tantangan bagi
pendidik dalam
melakukan yang terbaik untuk
mempersiapkan generasi berikutnya
sebagai warga negara
yang demokratis
dengan
karakter yang baik
sebagaimana diatur dalam
UU Sisdiknas.
Kaitannya
dengan agama, untuk menjaga dan menciptakan keharmonisan beragama adalah dengan
memegang dan menjunjung tinggi rasa toleransi antar umat beragama, selalu siap
membantu sesama denagn tidak melakukan diskriminasi terhadap suatu agama, saling
menghormati satu sama lain, menyelesaikan masalah dengan kepala dingin, dan
mengambil sikap secara bijaksana.
Toleransi
agama adalah suatu sikap saling mengerti dan menghargai satu sama lain tanpa
adanya sikap diskriminasi dalam hal apapun, khususnya dalam masalah agama. Setiap agama memang memiliki perbedaan, oleh
karena itu kerukunan umat beragama sangat penting untuk mencapai sebuah
kesejahteraan negeri ini.
Rasa
tenggang rasa, toleransi, saling menghormati dan menghargai, bersahabat dengan
orang yang berbeda agama harus dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari, bahkan
dari usia dini. Seperti yang dikatakan
A. Chaedar dalam artikelnya tersebut yang mengatakan bahwa dalam mencapai
sebuah kerukunan beragama harus diterapkan dari mulai pendidikan awal, di
sekolah misalnya. Di dalam lingkungan
kelas, interaksi antara yang beragama satu dengan yang lainnya harus diterapkan
secara disiplin.
Kembali
menyingkap artikel A. Chaedar tersebut yang mengenai kerukunan umat beragama
harus dikembangkan di sekolah pada awal usia mungkin. Hal ini tentu membutuhkan usaha yang pasti
dengan program-program yang kreatif dan inovatif untuk mendukung warga sipil
yang positif di kalangan siswa. Oleh
karena itu, guru juga mempunyai peranan penting dalam mewujudkan interaksi yang
aktif, kreatif dan positif tersebut.
Mengenai
perbedaan di Indonesia. Indonesia memiliki berbagai macam ragam suku, adat, budaya,
ras, bahasa, juga agama (kepercayaan).
Perbedaan tersebut dipersatuakan dengan adanya Pancasila sebagai
ideologi dasar negara Indonesia, juga semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, yang merupakan alat pemersatu
perbedaan-perbedaan yang ada di Indonesia.
Ideologi
dasar negara Indonesia adalah Pancasila.
Nama ini terdiri dari dua kata dari bahasa Sansekerta, yaitu panca yang berarti lima, dan sila berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman
kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Lima sendi
utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil
dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan, dan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. (id.wikipedia.org/wiki/Pancasila)
Sedangkan “Bhinneka Tunggal Ika” adalah semboyan atau moto bangsa
Indonesia. Frasa ini berasal dari bahasa
jawa kuno, kata bhinneka berarti
”beraneka ragam” atau berbeda-beda. Kata
neka dalam bahasa Sansekerta berarti
“macam” dan menjadi pembentuk kata aneka dalam
bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti “satu”. Seringkali semboyan ini diterjemahkan dengan
kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu
jua”. Semboyan ini bermakna
meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu
kesatuan. (id.wikipedia.org/wiki/Bhinneka_Tunggal_Ika)
Disini sudah jelas bahwasannya,
meski Indonesia memiliki berbagai ragam dan perbedaan, namun Indonesia tetap
satu. Pancasila memiliki tujuan yang
penting untuk mempersatukan bangsa Indonesia dengan latar belakang yang
berbeda, khususnya dalam hal beragama. Di
sila pertama menyatakan Ketuhanan Yang Maha Esa, ini bermaksud bahwa Keesaan
Tuhan yang disembah oleh bangsa Indonesia.
Dengan jelas bahwa di sila ini kita menangkap tujuannya adalah
mempersatukan keberagaman agama di bawah payung Ketuhanan Yang Maha Esa.
Namun, sayangnya ideologi dan
semboyan tersebut kurang melekat di hati dan fikiran warga negaranya. Beritanya masih sering kita baca, dengar, dan
lihat diberbagai media massa. Seperti
penyerangan masjid Ahmadiyah oleh massa di Tulung Agung dan penyegelan masjid
Ahmadiyah di Bekasi oleh Pemda setempat, konflik Maluku, Poso, ditambah
sejumlah kasus terpisah di berbagai tempat dimana kaum Muslim terlibat konfilk
secara langsung dengan umat kristen yang dipicu oleh perbedaan konsep diantara
kedua agama ini. Bahkan dalam satu agama
yang berbeda aliran, seperti penyerangan dan pengusiran atas pengikut Syi’ah di
sampang, menjadi catatan buruk Indonesia yang disebutkan oleh Pew Centre paling
parah menderita konflik agama.
Laporan-laporan terkait kehidupan beragama di Indonesia baik yang
dikeluarkan oleh CRCS, the Wahid Institute menunjukkan bahwa kondisi
keberagaman di Indonesia semakin memprihatinkan.
Ketua
Pengurus Harian PHDI Pusat, Bidang Agama dan Antar Iman mengatakan bahwa, “Pemeluk agama yang bersikap exclusive itu
mempromosikan agamanya pada masyarakat luas bagaikan para pengusaha
mempromosikan produknya sebagai unggul yang paling wah dalam segala hal. Sikap
yang demikian itu menimbulkan upaya beragama lenih banyak diekspresikan keluar
diri dari pada kedalam diri sendri.
Karena sibuk mempromosikan Agama untuk orang lain, lalu lupa
mengekspresikan ajaran Agama itu pada diri.” Bersikap exclusive itu adalah
suatu sikap yang demikian mengagungkan agama yang dianutnya melebihi agama lain
yang dianggap agama yang paling rendah.
Agama seyogianya dapat dijadikan pendorong paling utama untuk
mengeksistensikan nilai-nilai kemanusiaan yang ada pada diri manusia itu
sendiri.
Bung
Karno sering menyatakan bahwa “Homo homini sosius”, artinya manusia adalah
sahabatnya manusia. Bukanlah “Homo
homini lupus”, yang berarti manusia bukan srigala bagi manusia”. Dalam Subha Sita Weda ada dinyatakan: “Wasu
dewa kutumbakam” artinya semua umat manusia penghuni bumi ini adalah
bersaudara. Manusia adalah makhluk hidup
yang memiliki persamaan sekaligus perbedaan.
Alam semesta dengan segala isinya adalah ciptaan Tuhan. Karena itu, semua manusia apapun agamanya
adalah ciptaan Tuhan.
Kehidupan bersama dalam masyarakat
selalu berhadapan dengan dua kondisi sosial.
Kondisi sosial yang selalu dihadapi itu adalah hidup dalam suasana
harmoni dan hidup dalam suasana konflik.
Kondisi harmoni dan konflik silih berganti menghadiri kehidupan bersama
yang masing-masing memiliki dimensi positif dan negatif.
Oleh karena itu semua, nilai
spiritual dan nilai material yang tumbuh seimbang dan berlanjut itu sangat
dibutuhkan dalam kehidupan untuk membangun manusia dan masyarakat yang
harmonis, dinamis, dan produktif. Dimana
hal tersebut dapat menjadi wadah kehidupan untuk mewujudkan apa yang disebut
dengan hidup aman, damai, dan bahagia lahir batin.
Selain itu, berdasarkan diskusi yang
dihadirkan Rizal Panggabean dari Pusat Studi Keagamaan dan Perdamaian (PSKP),
UGM. Ia memaparkan tiga model penanganan
konflik keagamaan yang digunakan di Indonesia, pertama dengan penanganan berbasis kekuatan atau kekuasaan (power-based approach), yaitu pendekatan
menggunkan represi, ancaman, dan intimidasi dalam penyelesaian konflik. Kedua,
pendekatan berbasis hak melalui proses hukum di pengadilan (right-based
approach), dengan menggunakan proses pengadilan yaitu mencari pelanggarnya,
mengadili, dan memenjarakannya. Kertiga,
pendekatan berbasis kepentingan (interest-based approach), yang saat ini
diupayakan sebagai model penanganan alternatif dalam menyelesaikan konflik
keberagaman di Indonesia. Contoh model
penanganan konflik ini bisa dilihat pada kasus penyerangan terhadap kelompok
Syi’ah di Bangil, dan MTA di Nganjuk.
(crcs.ugm.ac.id/article/874/Model_penanganan_konflik_agama)
Kembali berbicara mengenai
pendidikan. Pada umumnya anak-anak usia
sekolah lebih memilih berinteraksi dengan rekan-rekan atau teman sejawatnya di
sekolah. Di sekolah, mereka saling menghormati, menghargai, membantu, berbagi,
dan umumnya sopan terhadap satu sama lain.
Konsep interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori
pembangunan sosial (Rubin, 2009). Oleh
karena itu, seorang guru harus menyadari pentingnya interaksi yang baik dan
efektif, baik dengan para muridnya, maupun antara teman sebayanya.
Di sekolah, khususnya dalam lingkup
kelas. Mereka semua terdiri dari latar
belakang yang berbeda, seperti agama, bahasa, suku, budaya, sosial, dan pola
fikir mereka pun dominan dibentuk oleh latar belakang mereka masing-masing. Maka, selain guru yang memiliki peran penting
dalam berinteraksi di kelas, sekolah juga harus memfasilitasi interaksi rekan
untuk menembangkan wacana sipil positif.
Hidup
bersama antara manusia berlangsung dalam berbagai bentuk perhubungan dan
berbagai jenis situasi. Tanpa adanya sebuah
proses interaksi dalam hidup itu tidaklah mungkin bagi manusia untuk hidup
bersama. Proses interaksi itu
dimungkinkan oleh kenyataan, bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki sifat
sosial yang besar. Setiap proses
interaksi tersebut terjadi dalam suatu ikatan situasi yang nyata. Diantara berbagai jenis situasi itu, terdapat
satu jenis situasi khusus yakni situasi kependidikan. Pendidikan merupakan sebagian dari fenomena interaksi
kehidupan manusia.
Pada
hakekatnya pendidikan itu terdiri dari aksi dan reaksi atau timbal balik yang
tak tak terbilang banyaknya, baik antara perorangan maupun antar kelompok. Oleh karenanya, pendidikan merupakan bagian
dari interaksi baik di kelas atau di lingkungan tertentu. Pada dasarnya, pendidikan berintikan interaksi
antara guru dan siswa. Tanpa adanya
faktor guru dan peserta didik dengan berbagai potensi kognitif, afektif, dan
psikomotorik yang dimiliki, tidak mungkin proses interaksi belajar mengajar di
kelas atau di tempat lain dapat berlangsung dengan baik.
Ada
beberapa pola interaksi yang harus diterapkan guru di kelas, yaitu pola
keikhlasan, pola kekeluargaan, pola kesederajatan, pola uswatun hasanah, dan
pola kebebasa. Pola komunikasi guru dan
siswa dalam interaksi di kelas terbagi menjadi dua yaitu pola komunikasi
sebagai aksi atau komunikasi satu arah dalam pendidikan dan komunikasi, sebagai
interaksi atau komunikasi banyak arah dalam interaksi pendidikan.
Disamping
itu, beliau mengungkap tentang pendidikan liberal dalam konteks Indonesia yang
harus mencakup pengetahuan etnis, agama, dan minoritas bahasa dan budaya.
Terlepas dari karir atau status mereka dalam masyarakat seperti polisi,
insinyur, petani, atau pengusaha, dokter, guru, dan lain sebagainya, siswa
harus diberikan pengetahuan yang memadai pada daerah-daerah tersebut.
Lalu bagaimanakah pendidikan liberal
tersebut?
Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan Negara. (UU
SISDIKNAS No. 20 tahun 2003).
Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang
tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan,
pertimbangan, dan kebijaksanaan. Salah
satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan melewati generasi.
Berdasarkan
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), liberal memiliki arti bersifat bebas;
berpandangan bebas (luas dan terbuka). Jadi,
paradigma ideologi pendidikan liberal dapat diartikan sebagai model dalam teori
ilmu pengetahuan dalam memanusiakan manusia melalui pendidikan yang sesuai
dengan paham, teori, dan tujuan yang merupakan satu program sosial politik yang
bebas berpandangan luas dan terbuka. Ciri utama pendidikan yang berideologi
liberal adalah selalu berusaha menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi
dan politik di luar dunia pendidikan. Hal
ini terlihat pada benang merah kebijakan Mendiknas beberapa tahun terakhir. Oleh karenanya kompetensi yang harus dikuasai
peserta didik merupakan upaya untuk memenuhi dan menyesuaikan tuntutan dunia
kerja sebagaimana dikemukakan dalam setiap pergantian kurikulum baru kita
(Manshour Fakih, 2002).
Disamping itu, kita mengenal tentang
pendidikan umum (General Education).
Dimana pendidikan umum merupakan pendidikan yang berkenaan dengan
perkembangan keseluruhan kepribadian seseorang dalam kaitannya dengan
masyarakat dan lingkungan hidupnya. Agar
mereka (siswa dan mahasiswa atau peserta didik) memiliki rasa tanggung jawab
terhadap diri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan warga dunia agar senantiasa
berfikir kritis, konstruktif, ilmiah, menghormati pendapat orang lain, emosi
stabil, dengan dilandasi prinsip-prinsip etika dan moral. (Sudirman, 2008:http://dedencorner.blogspot.com/)
Dalam
SK Mendiknas No. 008-E/U/1975 disebutkan bahwa Pendidikan Umum ialah pendidikan
yang bersifat umum yang wajib diikuti oleh semua siswa dan mencakup program
Pendidikan Moral Pancasila yang berfungsi bagi pembinaan warga negara yang
baik.
Jadi,
dapat disimpulkan bahwa pendidikan umum merupakan program pendidikan yang
mengembangkan keseluruhan kepribadian siswa dan mahasiswa agar setiap dalam
berfikir ilmiah dan mengelola emosi dilandasi etika dan moral yang berfungsi
membina siswa dan mahasiswa menjadi warga negara yang baik.
Latar
belakang pendidikan umum (General Education) adalah muncul sebagai reaksi
terhadap kecenderungan masyarakat modern yang mendewakan produk teknologi dan
cenderung mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan sebagai akibat dari produk sistem
pendidikan modern yang sekuler, yaitu pendidikan yang mementingkan pengembangan
spesialisai, sementara pengembangan nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat
universal nyaris terabaikan.
Laporan
lima puluh tahunan dari Nation Society for the study of education tahun 1958,
program study general education di Amerika, dilatarbelakangi oleh empat hal,
yaitu:
1. Sebagai
reaksi masyarakat terhadap spesialisasi keilmuan yang berlebihan, dimana para
spesialis telah mendewakan hasil-hasil temuannya yang menakjubkan, sementara
lupa pada nilai-nilai essensial kemanusiaannya.
2. Sebagai
reaksi terhadap kepincangan penguasaan minat-minat khusus dengan perolehan
peradaban yang lebih luas.
3. Sebagai
reaksi terhadap pengkotak-kotakan kurikulum dan pecahnya pengalaman belajar
siswa.
4. Sebagai
reaksi terhadap formalism dalam pendidikan liberal.
Abad 20 di Amerika dan Eropa, hasil
analisis mereka menyimpulkan bahwa sistem pendidikan modern telah menghasilkan
para saintis dan teknokrat yang handal tapi tidak melahirkan para lulusan yang
memiliki integritas kepribadian yang matang.
Arah
atau tujuan program pendidikan umum adalah menyiapkan latar belakang akademik
atau prior-knowledge yang kaya mengenai kegiatan-kegiatan manusia dan mengenai
pengetahuan secara terorganisir. Untuk
itu, sejumlah lembaga pendidikan guru diarahkan kepada materi pelajaran yang
terpadu. Prinsip dasar pendidikan umum
ialah diarahkan kepada penguasaan pengetahuan dan keahlian, meningkatkan rasa
tanggung jawab sosial, mengetahui beberapa wilayah pengetahuan lain, adanya
relasi antara satu wilayah pengetahuan dengan pengetahuan lainnya, dan yang
penting ialah kualitas pemahaman seseorang terhadap suatu wilayah pengetahuan
atau adanya suatu keterpaduan makna atau meaningful
unity dalam struktur kurikulum.
Dalam menanggapi keadaan bahwa
pendidikan modern telah menciptakan para ilmuan dan teknisi yang handal tetapi
kurang akan nilai-nilai kemanusiaan, diadakanlah pendidikan umum. Pendidikan
umum yang merupakan program pendidikan yang mengembangkan keseluruhan
kepribadian siswa dan mahasiswa agar dalam setiap berpikir ilmiah dan mengelola
emosi dilandasi etika dan moral yang berfungsi membina siswa dan mahasiswa menjadi
warga negara yang baik.
Dari
semua pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa saya menanggapi dan menyetujui
apa yang disampaikan A. Chaedar dalam artikelnya tersebut. Dimana pemberian pendidikan dasar merupakan
langkah awal untuk memupuk keharmonisan atau kerukunan beragama di lingkungan
masyarakat. Tujuannya adalah untuk
memberikan para siswanya keterampilan dasar untuk mengembangkan kehidupan
mereka sebagai individu, anggota warga masyarakat, dan warga negara. Dan pendidikan dasar ini merupakan langkah
awal untuk mencapai keterampilan dasar para siswa untuk melanjutkan ke
pendidikan selanjutnya, karena pada dasarnya, pendidikan terus berlangsung
hingga akhir hayat.
Interaksi
dalam kelas yang aktif, kreatif, dan produktif sangatlah diperlukan untuk memupuk
suatu kebersamaan dan persatuan karena adanya perbedaan. Sebab, tentu saja di dalam kelas terdiri dari
siswa-siswa yang memiliki latar belakang yang berbeda pada setiap individunya. Hal ini juga untuk dapat menggapai suatu
keharmonisan khususnya dalam agama, dengan mereka saling menghargai,
menghormati, dan saling menerima satu sama lain yang berbeda agama.
Selain
itu, pendidikan memiliki peranan penting dalam pengembangan kemampuan
seseorang. Pendidikan merupakan salah
satu sarana untuk mendapatkan pengetahuan yang nantinya menjadi bekal dalam
kehidupan di tengah masyarakat. Disini
kita mengenal dengan pendidikan liberal yang diartikan sebagai model dalam
teori ilmu pengetahuan dalam usaha sadar dant terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlakukan dirinya dan masyarakatnya sesuai dengan paham, teori, dan
tujuan yang merupakan suatu program sosial politik yang bebas, berpandangan
luas, dan terbuka.
Namun demikian menurut saya
pendidikan liberal harus diimbangi dengan pendidikan umum. Dimana pendidikan umum merupakan pendidikan yang
berkenaan dengan perkembangan keseluruhan kepribadian seseorang dalam kaitannya
dengan masyarakat dan lingkungan hidupnya.
Agar mereka (siswa dan mahasiswa atau peserta didik) memiliki rasa
tanggung jawab terhadap diri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan warga dunia
agar senantiasa berfikir kritis, konstruktif, ilmiah, menghormati pendapat
orang lain, emosi stabil, dengan dilandasi prinsip-prinsip etika dan
moral. Karena selain cemerlang dalam hal
teknologi atau sains, mereka akan gemilang dalam bersikap.
Referensi:
A. Chaedar Alwasilah,
“Classroom Discourse to Foster Religious Harmony”, Oktober, 2011:The Jakarta Post
http://id.wikipedia.org/wiki/Pancasila
http://id.wikipedia.org/wiki/Bhinneka_Tunggal_Ika
UU SISDIKNAS No. 20
tahun 2003
Sudirman,
2008:http://dedencorner.blogspot.com/