Pilar Kekuatan: Tempatkan Mereka Tepat Ditempat Seharusnya
( by Desi Diana)
Saya mencoba untuk
menanggapi opini dari A. Chaedar Alwasilah di The Jakarta Pos tanggal 22 Oktober
2011: “Kelas wacana untuk memupuk kerukunan umat beragama”. Memang benar hanya dengan melihat
kualitas dan praktek sistem pendidikan hampir semua Negara maju dan berkembang
dengan baik. Karena pendidikan adalah
suatu usaha sadar yang teratur dan sistematis, yang dilakukan oleh orang-orang
yang diserahi tanggung jawab untuk mempengaruhi sifat-sifat dan tabi’at dari
cita-cita pendidikan. Di Indonesia anak
usia 7-12 tahun diwajibkan untuk sekolah dasar, program pendidikan dasar 9
tahun pun merupakan kewajiban bagi masyarakat.
Hal ini dilaksanakan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang terdidik, minimal
memiliki pengetahuan dan keterampilan dasar yang esensial.
Dengan kemampuan
dasar ini, diharapkan dapat digunakan para lulusan untuk melanjutkan ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi atau dijadikan bekal untuk menjalani hidup dan
menghadapi kehidupan dalam masyarakat.
Namun, pada kenyataanya semua ini tidak dibarengi dengan tingkah laku
dan akhlak yang mulia. Karena pilar
kekuatan mereka belum tepat ditempat yang seharusnya. Khususnya adanya konflik social dan
ketidakharmonisan agama yang merupakan tantangan bagi pendidik dalam melakukan
yang terbaik untuk mempersiapkan generasi berikutnya sebagai warga Negara yang
demokratis dengan karakter yang baik sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas.
Berdasarkan
penelitian di Harvard University Amerika Serikat. Ternyata kesuksesan seseorang tidak
semata-mata ditentukan oleh pengetahuan dan kemampuan teknis dan kognisinya
(hard skill) saja. Tetapi lebih oleh
kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan
hanya ditentukan sekitar 20 persen hard skill dan sisanya 80 persen soft
skill. Dan kecakapan soft skill ini
terbentuk melalui pelaksanaan pendidikan karakter pada anak. Ada sebuah kata bijak mengatakan, “Ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu
adalah lumpuh”.
Agama adalah pilar
kekuatan kita. Agama (wahyu) adalah
agama yang menghendaki iman kepada Tuhan, kepada para rasul-Nya kepada
kitab-kitab-Nya untuk disebarkan kepada segenap umat manusia. Sedangkan agama menurut Ensiklopedia
Indonesia diuraikan sebagai berikut “Agama (umum), manusia mengakui dalam agama
adanya yang suci, manusia itu insyaf, bahwa ada sesuatu kekuasaan yang
memungkinkan dan melebihi segala yang ada.
Sehingga dengan demikian manusia mengikuti norma-norma yang ada dalam
agama baik tata aturan kehidupan maupun tata aturan agama itu sendiri. Sehingga dengan adanya agama kehidupan
manusia menjadi teratur, tentram, dan bermakna.
Peranan social
agama harus dilihat terutama sebagai sesuatu yang mempersatukan. Terutama peranan social dalam
pendidikan, yang dapat dikatakan sebagai
kekuatan yang mempersatukan antar warga masyarakat didalam lingkungan sekolah,
maupun diluar lingkungan sekolah. Hal
ini juga dapat mempersatukan antar umat beragama lainnya. Apabila ia tidak dianut oleh seluruh atau
sebagian besar anggota masyarakat, ia bisa menjadi kekuatan yang
mencerai-beraikan, memecah-belah dan bahkan menghancurkan.
Maka tidak akan
terlepas dari tingkah laku manusia, dan bila berbicara tentang tingkah laku,
maka erat hubungannya dengan bagaimana pendidik yang telah didapatkan oleh
seorang anak dirumah atau dilingkungan sekolah.
Oleh karena itu, usaha yang harus ditempuh untuk menjadikan anak sebagai
manusia yang baik dalam lingkungan pendidikan adalah penyampaian pendidikan
moral (akhlak), karena akhlak merupakan pencerminan tingkah laku manusia dalam
kehidupannya. Manusia sebagai makhlik
social yang membutuhkan hubungan dan interaksi social dengan sesama
manusia. Dalam kehidupan social
kemasyarakatan umat islam dapat berhubungan dengan siapa saja tanpa batasan
ras, bangsa dan agama.
Pada judul “Kelas
Wacana untuk Memupuk Kerukunan Umat Beragama” yang ditulis oleh A. Chaedar Alwasilah dikatakan bahwa, konflik
social dan ketidakharmonisan agama yang merupakan tantangan bagi pendidik dalam
melakukan yang terbaik untuk mempersiapkan generasi berikutnya sebagai warga
Negara yang demokratis. Untuk mewujudkan
tujuan ini, kerukunan umat beragama harus dikembangkan disekolah pada awal usia
dini.
Menurut tanggapan
saya, kita ketahui bahwa pendidikan dasar merupakan peletak dasar sebagai
pendidikan untuk tahap-tahap berikutnya
karena dengan mengikuti gagasan konsep belajar sepanjang hidup, pendidikan
dasar memberikan tekanan kepada, belajar untuk mengetahui, belajar untuk
bekerja, belajar menjadi dirinya sendiri dan belajar hidup bersama, yang
semuanya merupakan bekal untuk terus belajar di jenjang pendidikan lebih tinggi
lagi. Dan semuanya harus dibarengi
dengan akhlak yang mulia.
Di barengi dengan
pendidikan agama, tentu saja. Akan
tetapi pendidikan agama yang diperoleh seorang anak bukan hanya tanggung jawab
dari seorang guru saja, orang tualah yang harus lebih intens untuk mendidik
anak-anak mereka. Sedangakan disekolah,
anak-anak hanya belajar pelajaran agama.
Dan itupun tidak efektif.
Sebaiknya, adanya penguatan dalam pelajaran agama yang dapat mengurangi
kenakalan siswa. Hal ini dikarenakan
rusaknya moral anak didik harus menjadi perhatian utama para guru disekolah
maupun orang tua siswa. Menteri Agama
(Menag) Suryadharma Ali mengatakan, penguatan mata pelajaran agama secara umum
dan khususnya pendidikan agama menjadi upaya efektif penangkal konflik
siswa. Evaluasi pembelajaran siswa di
sekolah semakin penting di saat rusaknya moral anak didik. Sehingga penguatan pendidikan pelajaran agama
sebagai langkah pendalaman nilai agama. Rusaknya
moral siswa, seperti tawuran antar pelajar dan penyimpangan lainnya itu karena
pemahaman dan praktek keagamaan yang minim.
Disekolah guru hanya memposisikan sebagai benteng moral anak-anak, yang
harus dapat berfikir keras dan berusaha lebih optimal untuk mendidik para
siswanya.
Studi Aprilliaswati
mengajarkan kepada kita bahwa pendidikan harus mengembangkan tidak hanya
penalaran ilmiah, tetapi juga wacana sipil positif. Penalaran ilmiah sangat diperlukan dalam
mengembangkan warga intelektual, sedangkan kompetensi wacana sipil sangat
penting untuk menciptakan warga Negara yang beradab. Dijelaskan bahwa pendidikan kita saat ini
gagal untuk memberikan para siswa dengan kompetensi wacana sipil. Sebagian besar politisi dan birokrat telah
dating kekuasaan karena pendidikan yang telah mereka peroleh. Sayangnya, banyak dari mereka memiliki
kompetensi tersebut.
Bisa kita lihat
tahun 2000 lalu, PISA (Programme for
International Student Assessment) mengeluarkan hasil evaluasinya mengenai
kualitas anak-anak berumur 15 tahun untuk kompetensi membaca. Dari 40 negara, ternyata diketahui bahwa
anak-anak Finlandia memiliki kemampuan membaca paling baik di dunia. Tiga tahun kemudian, Negara ini menghasilkan
anak-anak berkemampuan matematika terbaik di dunia. Tahun 2006, Finlandia merupakan salah satu
dari 57 negara terbaik di bidang sains.
Tahun 2009, Negara ini menjadi yang terbaik kedua di sains, ketiga di
membaca dan keenam di matematika diantara hampir setengah juta siswa di
dunia. Apa rahasia mereka?
Bisa dilihat
bagaimana sistem pendidikan di Finlandia dilakukan. Sistem rasio antara guru dan murid sangat
ideal sekali, 1 banding 12 dengan jumlah siswa sekitar 600.000 orang. Bandingkan dengan Amerika (1 banding 24,
dengan jumlah siswa hampir 1.1 juta orang) dan Indonesia. Di Indonesia, jumlah kelas masih sangat
besar. Satu kelas bisa berisi 30 bahkan
50 orang. Sangat tidak mungkin bagi
seorang guru mampu memberikan kemampuan terbaiknya untuk setiap siswa secara
merata. Di Finlandia, siswa yang
dianggap perlu tambahan atau berkebutuhan khusus, diberikan kebutuhan khusus
pula. Di Indonesia, sifatnya masih
sangat sporadis dan personal bukan dari pemerintah. Yang ada malah perlombaan les privat dan si
anak kehilangan waktu untuk menikmati hidupnya sebagai anak kecil. Tempatkanlah mereka ditempat seharusnya.
Menurut saya memang
benar, karena berdasarkan artikel yang diterbitkan 27 November 2012 pada
website BBC, sistem pendidikan Indonesia menempati peringkat terendah di dunia
menurut table liga global yang diterbitkan oleh Firma Pendidikan Pearson. Ranking ini memadukan hasil tes internasional
dan data seperti tingkat kelulusan antara 2006 dan 2010. Indonesia berada di posisi terbawah bersama
Meksiko dan Brasil. Perbandingan
internasional dalam dunia pendidikan telah menjadi semakin penting dan table
liga terbaru ini berdasarkan pada serangkaian hasil tes global yang
dikombinasikan dengan ukuran sistem pendidikan seperti orang dapat mengenyam
pendidikan tingkat perguruan tinggi.
Apakah ada yang
salah dengan sistem pendidikan kita? Bagaimana dengan adanya pendidikan liberal
dan pendidikan umum di Indonesia?
Menurut Oxford Learners’s Dictionary (1989:
717), adjektiva liberal berarti tolerant and open-minded, free from prejudice,
yakni toleran, berfikir terbuka, tidak picik dan tidak berburuk sangka. Pikiran yang luas berisi pengetahuan yang
luas. Hidup pada zaman kini memerlukan
pengetahuan yang luas agar kelak tidak ketinggalan zaman. Pendidikan liberal adalah pendidikan yang
diniati untuk memperluas wawasan (maha)siswa, tidak sekedar pelatihan teknis
dan professional. Tantangan terbesar
bagi pendidikan liberal adalah sejauh mana pendidikan liberal mampu menanamkan
prinsip-prinsip pendidikan agar lulusan siap menghadapi perubahan dunia. Pendidikan liberal harus membekali mahasiswa
dasar-dasar pendidikan “umum” yang memungkinkan mereka mampu belajar tiada
henti dalam dunia kerjanya. Dalam
kehidupan sehari-hari kita jauh lebih mudah belajar dari umum ke khusus
daripada sebaliknya, dari khusus ke umum.
Untuk itu, kurikulum S-1 harus membekali mahasiswa kompetensi dalam tiga
hal sebagai berikut:
1.
Akademik : menulis, matematika, sains;
2.
Aplikasi : berpikir kritis, belajar yang terintegrasi dan teraplikasi;
3.
Keterampilan lunak : etika, kerjasama, kebinekaan, dan
beljar sepanjang hayat.
Dalam wacana
pendidikan istilah pendidikan umum sering dipertukarkan dengan pendidikan
liberal karena fungsinya hampir sama, yaitu menyiapkan individu sebagai pribadi
utuh, bukannya menyiapkan tenaga vokasional.
Perbedaannya, pendidikan liberal terfokus pada mata pelajaran sebagai
warisan tradisi (klasik) dan lebih mengembangkan aspek intelektual. Pendidikan umum lebih berfokus pada
pengembangan pribadi dalam skala yang lebih luas tidak sekedar aspek
intelektual, tetapi semua aspek, yaitu intelektual, emosi, social, dan moral
peserta didik. Pendidikan nilai lebih
terwadahi oleh pendidikan umum daripada oleh pendidikan liberal.
Ketika politisi dan
birokrat gagal untuk mendidik masyarakat, sekolah harus dikembalikan dan
diberdayakan untuk berfungsi secara maksimal.
Guru SD harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendorong
pengalaman bermakna, yaitu, interaksi dengan siswa lain dari agama yang
berbeda, etnis dan kelompok-kelompok social yang berbeda.
Menurut saya bukan
hanya dari lingkungan sekolah saja yang berperan dalam mendidik para siswa
tersebut, apalagi dengan mereka harus dapat berinteraksi dengan orang-orang
yang bisa dikatakan belum mereka kenal. Ditambah dengan orang-oarang yang
berbeda agama dan lainnya. Bagi
anak-anak membangun kebersamaan didalam sebuah perbedaan itu sangatlah
susah. Hampir semua manusia menyadari
bahwa keragaman dan perbedaan merupakan sebuah keniscayaan yang harus diterima
dan dihadapi, walaupun terkadang sikap yang kurang tepat terhadap keragaman
yang ada sering menjadi sumber konflik, jika bukannya permusuhan dan
peperangan. Berhenti pada tampakan
keragaman dan perbedaan tertentu membuka peluang untuk terjadinya ragam konflik
kemanusiaan. Oleh karenanya, manusia
dituntut untuk mencari titik-titik tertentu yang memungkinkan adanya titik temu
atau paling tidak kebersamaan, sehingga terbuka peluang untuk tumbuhnya toleran
dalam menyikapi pluralitas.
Umat islam
merupakan mayoritas penduduk Indonesia dan penganut islam terbesar di
dunia. Namun Indonesia bukanlah Negara
islam, bukan pula Negara sekuler, tetapi Negara pancasila. Kita sebagai Negara yang berpancasila. Kerukunan beragama ditengah keanekaragaman
budaya merupakan aset dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia. Dalam perjalanan bangsa,
pancasila telah teruji sebagai alternative yang paling tepat untuk
mempersatukan masyarakat Indonesia yang sangat majemuk di bawah tatanan yang demokratis. Sayangnya, wacana mengenai pancasila seolah
lenyap seiring dengan berlangsungnya reformasi.
Berbagai macam
kendala yang sering kita hadapi dalam mensukseskan antar umat beragama, dari
luar maupun dalam negeri kita sendiri.
Namun dengan kendala tersebut warga Indonesia selalu optimis, bahwa
dengan banyaknya agama yang ada di Indonesia, maka banyak pula solusi untuk
mengahadapi kendala-kendala tersebut.
Dari berbagai pihak telah sepakat untuk mencapai tujuan kerukunan antar
umat beragama di Indonesia seperti masyarakat dari berbagai golongan,
pemerintah, dan organisasi-organisasi agama yang berperan aktif dalam
masyarakat. Keharmonisan dalam
komunikasi antar sesama adalah tujuan dari kerukunan beragama, agar terciptanya
masyarakat yang bebas dari ancaman, kekerasan hingga konflik agama.
Dikatakan bahwa,
cara tradisional pengajaran agama telah dikritik karena menekankan aspek
teologi dan ritual, sementara mengabaikan aspek-aspek social, interaksi yaitu,
horizontal dan toleran antar pengikut agama yang berbeda.
Menurut tanggapan
saya, Negara kita Indonesia telah mewajibkan pada setiap sekolah dasar maupun
sekolah menengah atas diwajibkan untuk belajar pelajaran agama. UU 1945 menjamin setiap penduduk mendapatkan
pendidikan. Negara berkewajiban memberikan
pelayanan pendidikan, termasuk pendidikan keagamaan. Pendidikan keagamaan sebagaimana diatur dalam
UU No 20 Tahun 2003 merupakan salah satu jenis pendidikan. Pendidikan keagamaan lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah No 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan
keagamaan. Pendidikan agama sangatlah
penting bagi siswa-siswa disekolah, agar mereka menjadi orang-orang hebat yang
beradab.
Filsuf pendidikan
Amerika, Emerson (1837) pernah berkata, “A man must be a man before he can be
a good farmer, tradesman, or engineer”. Dia
menunjukkan pentingnya pendidikan liberal untuk seoarang pria. Dalam konteks Indonesia, pendidikan liberal
mencangkup pengetahuan etnis, agama, dan minoritas bahasa dan budaya. Dengan demikian didefinisikan, pendidikan
liberal bertujuan membebaskan siswa dari sikap rabun dan kedaerahan terhadap
orang lain.
Tanggapan saya bahwa, pendidikan
liberal bukan hanya dapat membebaskan para siswa dari sikap rabun dan
kedaerahan saja. Pendidikan liberal
adalah pendidikan yang diniati untuk memperluas wawasan (maha)siswa, tidak
sekedar pelatihan teknis dan professional.
Pendidikan liberal dimaksudkan untuk menjadikan manusia seutuhnya. Pada buku A. Chaedar Alwasilah dijelaskan
bahwa, untuk memahami konsep ini perlu diketahui sejumlah dimensi ihwal manusia
untuk memahami aspek pendidikan liberal yang hendak memanusiakan manusia. Manusia yang diciptakan makhluk yang memiliki
tampilan fisik yang terbaik, tentu bisa dibahas dari berbagai dimensi. Namun, dari perspektif pendidikan liberal
pada umumnya, para ahli menyebut dimensi-dimensi berikut ini:
1.
Dimensi Intelektual
Aku berpikir, karena itu aku berada.
Demikian sesumbar Descartes.
Dalam al-Qur’an banyak ayat yang memerintahkan agar manusia bertafakur,
berakal, berfikir, dan sejenisnya, yaitu melakukan tafsir, analisis, sintesis,
evaluasi, argument, komparasi dan kontras.
Manusia dan binatang sama-sama memiliki benda fisik bernama brain atau
otak. Namun, hanya manusia yang dapat
memfungsikannya untuk berpikir atau bernalar sebagai pekerjaan non-fisik. Manusia juga seperti binatang mampu melakukan
kerja fisik seperti berlari. Bedanya
manusia memiliki rasio untuk melakukan kerja non-fisik itu. Sementara itu binatang melakukannya bukan
karena rasio melainkan karena insting.
Pendidikan umum seyogiyanya membekali manusia pengetahuan sehingga
dirinya mampu mengenal potensi intelektual dirinya agar perilakunya terpandu
oleh kekuatan intelektualnya.
2.
Dimensi Fisik
Manusia tercipta dari tanah, hidup diatas dunia memakmurkan dunia dengan
segala macam profesi yang dimiliki, dan dikembalikan lagu (dikubur) ke dalam
tanah [simak QS al-A’raf:10-12].
Pendekatan fisik atau biologis terhadap manusia menjelaskan struktur
tubuh manusia yang sangat sempurna dibandingkan binatang. Struktur fisik demikian itu menentukan fungsi
yang bisa diperankan olah manusia.
Bagaimana manusia berinteraksi dengan alam sekitarnya bergantung pada
bagaimana memanfaatkan potensi-potensi fisiknya ini. Kajian ilmiah ihwal fisik manusia dilakukan
oleh biologi dengan segala cabangnya.
Pendidikan umum seyogiyanya membekali manusia pengetahuan sehingga
dirinya mampu mengenal dirinya sendiri secara fisik.
3.
Dimensi Emosional
Bila kehidupan atau life menjadi kajian biologi, pikiran atau mind adalah
kajian psikologi; yakni aspek-aspek mental atau psikis dari segala yang hidup
(Phenix: 1964), yakni untuk memenuhi kebutuhan biologisnya untuk bertahan dan
melanggengkan dirinya yang memunculkan dorongan atau motivasi untuk melakukan
kegiatan. Emosi adalah bagian dari motivasi
seperti rasa takut, marah, cinta, dan senang.
Pendidikan umum seyogiyanya membekali
manusia pengetahuan sehingga ia mampu mengendalikan emosi-emosi seperti ini.
4.
Dimensi Moral dan Spiritual
Sesuai dengan fitrahnya, manusia cenderung mempercayai hal-ihwal yang ada
diluar kuasa dirinya. Dalam lintasan
sejarah tercatat manusia yang menyembah pohon besar, batu, sungai, roh leluhur,
dan dzat kuasa yang berbeda dari dirinya dan alam semesta. Pengakuan akan kuasa dan proses pencotraan
Tuhan tersebut dimanifestasikan dalam berbagai bentuk ritual ibadah yang
dirasakan sangat membahagiakan. “sebagai bentuk kristalisasi keimanan, agama
menjadi wadah bagi setumpuk pengharapnnya” (Achmad: 69). Pendidikan umum harus membekali manusia
pemahaman akan dirinya dan orang lain sebagai makhluk berdimensi moral
spiritual.
5.
Dimensi Keterampilan (praktis)
Dalam kehidupan
sehari-harinya, manusia melakukan hal-hal praktis dan untuk mempertahankan
kehidupannya ia harus melakukan hal-hal praktis seperti menyalakan kompor,
mencuci pakaian, mengganti air karbutator, dan sebagainya. Dalam konteks yang lebih makro dan akdemik
keterampilan-keterampilan ini diwadahi oleh pendidikan vokasi. Pendidikan umum harus membekali manusia
kemampuan melakukan hal-hal praktis secara benar dan membawa kemaslahatan.
Bila pendidikan
diniati sebagai upaya yang sistematis untuk memanusiakan manusia, yakni manusia
utuh atau insan kamil, produk akhir pendidikan adalah manusia yang berakhlak
mulia. Suatu proses bisa saja dikatakan
sebagai proses pendidikan, tetapi tidak memanusiakan manusia. Bisa jadi, disebabkan karena apa yang diajarkan
kepada para siswa tidak menyentuh dimensi manusia secara keseluruhan, yakni
dimensi fisik, intelektual, emosional, moral, spiritual, dan praktis.
Dapat saya
simpulkan bahwa, kita sebagai warga Negara Indonesia yang mempunyai sistem
pendidikan yang bisa dikatakan masih rendah.
Mungkin kita bisa memperbaiki ini semua dengan adanya pendidikan
karakter, yakni karakter merupakan kunci keberhasilan individu. Pendidikan karakter ini sangat penting bagi
pendidikan di Indonesia. Pendidikan
karakter akan menjadi dasar atau basic dalam pembentukan karakter berkualitas
bangsa, yang tak hanya mengabaikan nilai-nilai social seperti kebersamaan,
toleransi, gotong royong, saling membantu,saling menghormati, dan
sebaginya. Peserta didik adalah hal yang
paling pentingdalam dunia pendidikan, karena tanpa adanya peserta didik,
pendidikan tidak akan berlangsung.
Ank-anak mempunyai pembawaan yang kuat sejak dilahirkan, baik buruknya
anak sangat tergantung pada pembawaan yang ada padanya, bukan dari
pendidikan. Perkembangan jiwa anak
sangat tergantung pada pembawaan dan pendidikan yang diterimanya. Hal ini sejalan dengan apa yang disabdakan
oleh Nabi Muhammad SAW, bahwa “Tidaklah anak yang dilahirkan
itu kecuali telah membawa fitrah (kecenderungan untuk percaya kepada Allah
SWT), kedua orangtuanyalah yang menjadikan anak tersebut beragama Yahudi,
Nasrani ataupun Majusi (HR. Muslim)”.
Hadits ini mengisyaratkan kepada kita bahwa pada dasarnya anak itu telah
membawa fitrah beragama, dan kemudian tergantung kepada pendidikan selanjutnya.
Kalau mereka mendapatkan pendidikan agama dengan baik, maka mereka akan menjadi
orang yang taat beragama. Tetapi sebaliknya, bilamana benih agama yang telah
dibawa tidak dipupuk dan dibina dengan baik, maka anak akan menjadi orang yang
tidak beragama ataupun jauh dari agama.
Jadi, suatu pendidikan itu harus dibarengi dengan akhlak yang mulia dari
setiap anak. Hal ini untuk menjadikan
pribadi yang berkualitas dalam menjalani kehidupan didunia. Tempatkan mereka tepat ditempat seharusnya.
REFERENCES
Alwasilah Chaedar. 2012. Pokoknya
Rekayasa Literasi. Bandung: PT Kiblat Buku Utama
Harahap Syahrin. 2011. Teologi
Kerukunan. Jakarta:Prenada
Nottingham Elizabeth K. 2002. Agama dan Masyarakat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada