Critical Review 1: Pilar Kekuatan: Tempatkan Mereka Tepat Ditempat Seharusnya



Pilar Kekuatan: Tempatkan Mereka Tepat Ditempat Seharusnya
( by Desi Diana)

Saya mencoba untuk menanggapi opini dari A. Chaedar Alwasilah di The Jakarta Pos tanggal 22 Oktober 2011: “Kelas wacana untuk memupuk kerukunan umat beragama”.  Memang benar hanya dengan melihat kualitas dan praktek sistem pendidikan hampir semua Negara maju dan berkembang dengan baik.  Karena pendidikan adalah suatu usaha sadar yang teratur dan sistematis, yang dilakukan oleh orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk mempengaruhi sifat-sifat dan tabi’at dari cita-cita pendidikan.  Di Indonesia anak usia 7-12 tahun diwajibkan untuk sekolah dasar, program pendidikan dasar 9 tahun pun merupakan kewajiban bagi masyarakat.  Hal ini dilaksanakan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang terdidik, minimal memiliki pengetahuan dan keterampilan dasar yang esensial. 
Dengan kemampuan dasar ini, diharapkan dapat digunakan para lulusan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau dijadikan bekal untuk menjalani hidup dan menghadapi kehidupan dalam masyarakat.  Namun, pada kenyataanya semua ini tidak dibarengi dengan tingkah laku dan akhlak yang mulia.  Karena pilar kekuatan mereka belum tepat ditempat yang seharusnya.  Khususnya adanya konflik social dan ketidakharmonisan agama yang merupakan tantangan bagi pendidik dalam melakukan yang terbaik untuk mempersiapkan generasi berikutnya sebagai warga Negara yang demokratis dengan karakter yang baik sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas.
Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat.  Ternyata kesuksesan seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh pengetahuan dan kemampuan teknis dan kognisinya (hard skill) saja.  Tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill).  Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen hard skill dan sisanya 80 persen soft skill.  Dan kecakapan soft skill ini terbentuk melalui pelaksanaan pendidikan karakter pada anak.  Ada sebuah kata bijak mengatakan, “Ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh”.
Agama adalah pilar kekuatan kita.  Agama (wahyu) adalah agama yang menghendaki iman kepada Tuhan, kepada para rasul-Nya kepada kitab-kitab-Nya untuk disebarkan kepada segenap umat manusia.  Sedangkan agama menurut Ensiklopedia Indonesia diuraikan sebagai berikut “Agama (umum), manusia mengakui dalam agama adanya yang suci, manusia itu insyaf, bahwa ada sesuatu kekuasaan yang memungkinkan dan melebihi segala yang ada.  Sehingga dengan demikian manusia mengikuti norma-norma yang ada dalam agama baik tata aturan kehidupan maupun tata aturan agama itu sendiri.  Sehingga dengan adanya agama kehidupan manusia menjadi teratur, tentram, dan bermakna.
Peranan social agama harus dilihat terutama sebagai sesuatu yang mempersatukan.  Terutama peranan social dalam pendidikan,  yang dapat dikatakan sebagai kekuatan yang mempersatukan antar warga masyarakat didalam lingkungan sekolah, maupun diluar lingkungan sekolah.  Hal ini juga dapat mempersatukan antar umat beragama lainnya.  Apabila ia tidak dianut oleh seluruh atau sebagian besar anggota masyarakat, ia bisa menjadi kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah-belah dan bahkan menghancurkan.
Maka tidak akan terlepas dari tingkah laku manusia, dan bila berbicara tentang tingkah laku, maka erat hubungannya dengan bagaimana pendidik yang telah didapatkan oleh seorang anak dirumah atau dilingkungan sekolah.  Oleh karena itu, usaha yang harus ditempuh untuk menjadikan anak sebagai manusia yang baik dalam lingkungan pendidikan adalah penyampaian pendidikan moral (akhlak), karena akhlak merupakan pencerminan tingkah laku manusia dalam kehidupannya.  Manusia sebagai makhlik social yang membutuhkan hubungan dan interaksi social dengan sesama manusia.  Dalam kehidupan social kemasyarakatan umat islam dapat berhubungan dengan siapa saja tanpa batasan ras, bangsa dan agama.
 Pada judul “Kelas Wacana untuk Memupuk Kerukunan Umat Beragama” yang ditulis oleh  A. Chaedar Alwasilah dikatakan bahwa, konflik social dan ketidakharmonisan agama yang merupakan tantangan bagi pendidik dalam melakukan yang terbaik untuk mempersiapkan generasi berikutnya sebagai warga Negara yang demokratis.  Untuk mewujudkan tujuan ini, kerukunan umat beragama harus dikembangkan disekolah pada awal usia dini.
Menurut tanggapan saya, kita ketahui bahwa pendidikan dasar merupakan peletak dasar sebagai pendidikan untuk tahap-tahap berikutnya  karena dengan mengikuti gagasan konsep belajar sepanjang hidup, pendidikan dasar memberikan tekanan kepada, belajar untuk mengetahui, belajar untuk bekerja, belajar menjadi dirinya sendiri dan belajar hidup bersama, yang semuanya merupakan bekal untuk terus belajar di jenjang pendidikan lebih tinggi lagi.  Dan semuanya harus dibarengi dengan akhlak yang mulia.
Di barengi dengan pendidikan agama, tentu saja.  Akan tetapi pendidikan agama yang diperoleh seorang anak bukan hanya tanggung jawab dari seorang guru saja, orang tualah yang harus lebih intens untuk mendidik anak-anak mereka.  Sedangakan disekolah, anak-anak hanya belajar pelajaran agama.  Dan itupun tidak efektif.  Sebaiknya, adanya penguatan dalam pelajaran agama yang dapat mengurangi kenakalan siswa.  Hal ini dikarenakan rusaknya moral anak didik harus menjadi perhatian utama para guru disekolah maupun orang tua siswa.  Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali mengatakan, penguatan mata pelajaran agama secara umum dan khususnya pendidikan agama menjadi upaya efektif penangkal konflik siswa.  Evaluasi pembelajaran siswa di sekolah semakin penting di saat rusaknya moral anak didik.  Sehingga penguatan pendidikan pelajaran agama sebagai langkah pendalaman nilai agama.  Rusaknya moral siswa, seperti tawuran antar pelajar dan penyimpangan lainnya itu karena pemahaman dan praktek keagamaan yang minim.  Disekolah guru hanya memposisikan sebagai benteng moral anak-anak, yang harus dapat berfikir keras dan berusaha lebih optimal untuk mendidik para siswanya.
Studi Aprilliaswati mengajarkan kepada kita bahwa pendidikan harus mengembangkan tidak hanya penalaran ilmiah, tetapi juga wacana sipil positif.  Penalaran ilmiah sangat diperlukan dalam mengembangkan warga intelektual, sedangkan kompetensi wacana sipil sangat penting untuk menciptakan warga Negara yang beradab.  Dijelaskan bahwa pendidikan kita saat ini gagal untuk memberikan para siswa dengan kompetensi wacana sipil.  Sebagian besar politisi dan birokrat telah dating kekuasaan karena pendidikan yang telah mereka peroleh.  Sayangnya, banyak dari mereka memiliki kompetensi tersebut.
Bisa kita lihat tahun 2000 lalu, PISA (Programme for International Student Assessment) mengeluarkan hasil evaluasinya mengenai kualitas anak-anak berumur 15 tahun untuk kompetensi membaca.  Dari 40 negara, ternyata diketahui bahwa anak-anak Finlandia memiliki kemampuan membaca paling baik di dunia.  Tiga tahun kemudian, Negara ini menghasilkan anak-anak berkemampuan matematika terbaik di dunia.  Tahun 2006, Finlandia merupakan salah satu dari 57 negara terbaik di bidang sains.  Tahun 2009, Negara ini menjadi yang terbaik kedua di sains, ketiga di membaca dan keenam di matematika diantara hampir setengah juta siswa di dunia.  Apa rahasia mereka?

Bisa dilihat bagaimana sistem pendidikan di Finlandia dilakukan.  Sistem rasio antara guru dan murid sangat ideal sekali, 1 banding 12 dengan jumlah siswa sekitar 600.000 orang.  Bandingkan dengan Amerika (1 banding 24, dengan jumlah siswa hampir 1.1 juta orang) dan Indonesia.  Di Indonesia, jumlah kelas masih sangat besar.  Satu kelas bisa berisi 30 bahkan 50 orang.  Sangat tidak mungkin bagi seorang guru mampu memberikan kemampuan terbaiknya untuk setiap siswa secara merata.  Di Finlandia, siswa yang dianggap perlu tambahan atau berkebutuhan khusus, diberikan kebutuhan khusus pula.  Di Indonesia, sifatnya masih sangat sporadis dan personal bukan dari pemerintah.  Yang ada malah perlombaan les privat dan si anak kehilangan waktu untuk menikmati hidupnya sebagai anak kecil.  Tempatkanlah mereka ditempat seharusnya.
Menurut saya memang benar, karena berdasarkan artikel yang diterbitkan 27 November 2012 pada website BBC, sistem pendidikan Indonesia menempati peringkat terendah di dunia menurut table liga global yang diterbitkan oleh Firma Pendidikan Pearson.  Ranking ini memadukan hasil tes internasional dan data seperti tingkat kelulusan antara 2006 dan 2010.  Indonesia berada di posisi terbawah bersama Meksiko dan Brasil.  Perbandingan internasional dalam dunia pendidikan telah menjadi semakin penting dan table liga terbaru ini berdasarkan pada serangkaian hasil tes global yang dikombinasikan dengan ukuran sistem pendidikan seperti orang dapat mengenyam pendidikan tingkat perguruan tinggi.
Apakah ada yang salah dengan sistem pendidikan kita? Bagaimana dengan adanya pendidikan liberal dan pendidikan umum di Indonesia?
Menurut Oxford Learners’s Dictionary (1989: 717), adjektiva liberal berarti tolerant and open-minded, free from prejudice, yakni toleran, berfikir terbuka, tidak picik dan tidak berburuk sangka.  Pikiran yang luas berisi pengetahuan yang luas.  Hidup pada zaman kini memerlukan pengetahuan yang luas agar kelak tidak ketinggalan zaman.  Pendidikan liberal adalah pendidikan yang diniati untuk memperluas wawasan (maha)siswa, tidak sekedar pelatihan teknis dan professional.  Tantangan terbesar bagi pendidikan liberal adalah sejauh mana pendidikan liberal mampu menanamkan prinsip-prinsip pendidikan agar lulusan siap menghadapi perubahan dunia.  Pendidikan liberal harus membekali mahasiswa dasar-dasar pendidikan “umum” yang memungkinkan mereka mampu belajar tiada henti dalam dunia kerjanya.  Dalam kehidupan sehari-hari kita jauh lebih mudah belajar dari umum ke khusus daripada sebaliknya, dari khusus ke umum.  Untuk itu, kurikulum S-1 harus membekali mahasiswa kompetensi dalam tiga hal sebagai berikut:
1.      Akademik : menulis, matematika, sains;
2.      Aplikasi : berpikir kritis, belajar yang terintegrasi dan teraplikasi;
3.      Keterampilan lunak : etika, kerjasama, kebinekaan, dan beljar sepanjang hayat.
Dalam wacana pendidikan istilah pendidikan umum sering dipertukarkan dengan pendidikan liberal karena fungsinya hampir sama, yaitu menyiapkan individu sebagai pribadi utuh, bukannya menyiapkan tenaga vokasional.  Perbedaannya, pendidikan liberal terfokus pada mata pelajaran sebagai warisan tradisi (klasik) dan lebih mengembangkan aspek intelektual.  Pendidikan umum lebih berfokus pada pengembangan pribadi dalam skala yang lebih luas tidak sekedar aspek intelektual, tetapi semua aspek, yaitu intelektual, emosi, social, dan moral peserta didik.  Pendidikan nilai lebih terwadahi oleh pendidikan umum daripada oleh pendidikan liberal.
Ketika politisi dan birokrat gagal untuk mendidik masyarakat, sekolah harus dikembalikan dan diberdayakan untuk berfungsi secara maksimal.  Guru SD harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendorong pengalaman bermakna, yaitu, interaksi dengan siswa lain dari agama yang berbeda, etnis dan kelompok-kelompok social yang berbeda.
Menurut saya bukan hanya dari lingkungan sekolah saja yang berperan dalam mendidik para siswa tersebut, apalagi dengan mereka harus dapat berinteraksi dengan orang-orang yang bisa dikatakan belum mereka kenal. Ditambah dengan orang-oarang yang berbeda agama dan lainnya.  Bagi anak-anak membangun kebersamaan didalam sebuah perbedaan itu sangatlah susah.  Hampir semua manusia menyadari bahwa keragaman dan perbedaan merupakan sebuah keniscayaan yang harus diterima dan dihadapi, walaupun terkadang sikap yang kurang tepat terhadap keragaman yang ada sering menjadi sumber konflik, jika bukannya permusuhan dan peperangan.  Berhenti pada tampakan keragaman dan perbedaan tertentu membuka peluang untuk terjadinya ragam konflik kemanusiaan.  Oleh karenanya, manusia dituntut untuk mencari titik-titik tertentu yang memungkinkan adanya titik temu atau paling tidak kebersamaan, sehingga terbuka peluang untuk tumbuhnya toleran dalam menyikapi pluralitas. 

Umat islam merupakan mayoritas penduduk Indonesia dan penganut islam terbesar di dunia.  Namun Indonesia bukanlah Negara islam, bukan pula Negara sekuler, tetapi Negara pancasila.  Kita sebagai Negara yang berpancasila.  Kerukunan beragama ditengah keanekaragaman budaya merupakan aset dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.  Dalam perjalanan bangsa, pancasila telah teruji sebagai alternative yang paling tepat untuk mempersatukan masyarakat Indonesia yang sangat majemuk di bawah tatanan yang demokratis.  Sayangnya, wacana mengenai pancasila seolah lenyap seiring dengan berlangsungnya reformasi. 
Berbagai macam kendala yang sering kita hadapi dalam mensukseskan antar umat beragama, dari luar maupun dalam negeri kita sendiri.  Namun dengan kendala tersebut warga Indonesia selalu optimis, bahwa dengan banyaknya agama yang ada di Indonesia, maka banyak pula solusi untuk mengahadapi kendala-kendala tersebut.  Dari berbagai pihak telah sepakat untuk mencapai tujuan kerukunan antar umat beragama di Indonesia seperti masyarakat dari berbagai golongan, pemerintah, dan organisasi-organisasi agama yang berperan aktif dalam masyarakat.  Keharmonisan dalam komunikasi antar sesama adalah tujuan dari kerukunan beragama, agar terciptanya masyarakat yang bebas dari ancaman, kekerasan hingga konflik agama.
Dikatakan bahwa, cara tradisional pengajaran agama telah dikritik karena menekankan aspek teologi dan ritual, sementara mengabaikan aspek-aspek social, interaksi yaitu, horizontal dan toleran antar pengikut agama yang berbeda.
Menurut tanggapan saya, Negara kita Indonesia telah mewajibkan pada setiap sekolah dasar maupun sekolah menengah atas diwajibkan untuk belajar pelajaran agama.  UU 1945 menjamin setiap penduduk mendapatkan pendidikan.  Negara berkewajiban memberikan pelayanan pendidikan, termasuk pendidikan keagamaan.  Pendidikan keagamaan sebagaimana diatur dalam UU No 20 Tahun 2003 merupakan salah satu jenis pendidikan.  Pendidikan keagamaan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan.  Pendidikan agama sangatlah penting bagi siswa-siswa disekolah, agar mereka menjadi orang-orang hebat yang beradab.
Filsuf pendidikan Amerika, Emerson (1837) pernah berkata, “A man must be a man before he can be a good farmer, tradesman, or engineer”.  Dia menunjukkan pentingnya pendidikan liberal untuk seoarang pria.  Dalam konteks Indonesia, pendidikan liberal mencangkup pengetahuan etnis, agama, dan minoritas bahasa dan budaya.  Dengan demikian didefinisikan, pendidikan liberal bertujuan membebaskan siswa dari sikap rabun dan kedaerahan terhadap orang lain.
Tanggapan saya bahwa, pendidikan liberal bukan hanya dapat membebaskan para siswa dari sikap rabun dan kedaerahan saja.  Pendidikan liberal adalah pendidikan yang diniati untuk memperluas wawasan (maha)siswa, tidak sekedar pelatihan teknis dan professional.  Pendidikan liberal dimaksudkan untuk menjadikan manusia seutuhnya.  Pada buku A. Chaedar Alwasilah dijelaskan bahwa, untuk memahami konsep ini perlu diketahui sejumlah dimensi ihwal manusia untuk memahami aspek pendidikan liberal yang hendak memanusiakan manusia.  Manusia yang diciptakan makhluk yang memiliki tampilan fisik yang terbaik, tentu bisa dibahas dari berbagai dimensi.  Namun, dari perspektif pendidikan liberal pada umumnya, para ahli menyebut dimensi-dimensi berikut ini:
1.      Dimensi Intelektual
Aku berpikir, karena itu aku berada.  Demikian sesumbar Descartes.  Dalam al-Qur’an banyak ayat yang memerintahkan agar manusia bertafakur, berakal, berfikir, dan sejenisnya, yaitu melakukan tafsir, analisis, sintesis, evaluasi, argument, komparasi dan kontras.  Manusia dan binatang sama-sama memiliki benda fisik bernama brain atau otak.  Namun, hanya manusia yang dapat memfungsikannya untuk berpikir atau bernalar sebagai pekerjaan non-fisik.  Manusia juga seperti binatang mampu melakukan kerja fisik seperti berlari.  Bedanya manusia memiliki rasio untuk melakukan kerja non-fisik itu.  Sementara itu binatang melakukannya bukan karena rasio melainkan karena insting.  Pendidikan umum seyogiyanya membekali manusia pengetahuan sehingga dirinya mampu mengenal potensi intelektual dirinya agar perilakunya terpandu oleh kekuatan intelektualnya.
2.      Dimensi Fisik
Manusia tercipta dari tanah, hidup diatas dunia memakmurkan dunia dengan segala macam profesi yang dimiliki, dan dikembalikan lagu (dikubur) ke dalam tanah [simak QS al-A’raf:10-12].  Pendekatan fisik atau biologis terhadap manusia menjelaskan struktur tubuh manusia yang sangat sempurna dibandingkan binatang.  Struktur fisik demikian itu menentukan fungsi yang bisa diperankan olah manusia.  Bagaimana manusia berinteraksi dengan alam sekitarnya bergantung pada bagaimana memanfaatkan potensi-potensi fisiknya ini.  Kajian ilmiah ihwal fisik manusia dilakukan oleh biologi dengan segala cabangnya.  Pendidikan umum seyogiyanya membekali manusia pengetahuan sehingga dirinya mampu mengenal dirinya sendiri secara fisik.
3.      Dimensi Emosional
Bila kehidupan atau life menjadi kajian biologi, pikiran atau mind adalah kajian psikologi; yakni aspek-aspek mental atau psikis dari segala yang hidup (Phenix: 1964), yakni untuk memenuhi kebutuhan biologisnya untuk bertahan dan melanggengkan dirinya yang memunculkan dorongan atau motivasi untuk melakukan kegiatan.  Emosi adalah bagian dari motivasi seperti rasa takut, marah, cinta, dan senang.  Pendidikan umum seyogiyanya  membekali manusia pengetahuan sehingga ia mampu mengendalikan emosi-emosi seperti ini.
4.      Dimensi Moral dan Spiritual
Sesuai dengan fitrahnya, manusia cenderung mempercayai hal-ihwal yang ada diluar kuasa dirinya.  Dalam lintasan sejarah tercatat manusia yang menyembah pohon besar, batu, sungai, roh leluhur, dan dzat kuasa yang berbeda dari dirinya dan alam semesta.  Pengakuan akan kuasa dan proses pencotraan Tuhan tersebut dimanifestasikan dalam berbagai bentuk ritual ibadah yang dirasakan sangat membahagiakan.  “sebagai bentuk kristalisasi keimanan, agama menjadi wadah bagi setumpuk pengharapnnya” (Achmad: 69).  Pendidikan umum harus membekali manusia pemahaman akan dirinya dan orang lain sebagai makhluk berdimensi moral spiritual.
5.      Dimensi Keterampilan (praktis)
Dalam kehidupan sehari-harinya, manusia melakukan hal-hal praktis dan untuk mempertahankan kehidupannya ia harus melakukan hal-hal praktis seperti menyalakan kompor, mencuci pakaian, mengganti air karbutator, dan sebagainya.  Dalam konteks yang lebih makro dan akdemik keterampilan-keterampilan ini diwadahi oleh pendidikan vokasi.  Pendidikan umum harus membekali manusia kemampuan melakukan hal-hal praktis secara benar dan membawa kemaslahatan.
Bila pendidikan diniati sebagai upaya yang sistematis untuk memanusiakan manusia, yakni manusia utuh atau insan kamil, produk akhir pendidikan adalah manusia yang berakhlak mulia.  Suatu proses bisa saja dikatakan sebagai proses pendidikan, tetapi tidak memanusiakan manusia.  Bisa jadi, disebabkan karena apa yang diajarkan kepada para siswa tidak menyentuh dimensi manusia secara keseluruhan, yakni dimensi fisik, intelektual, emosional, moral, spiritual, dan praktis.
Dapat saya simpulkan bahwa, kita sebagai warga Negara Indonesia yang mempunyai sistem pendidikan yang bisa dikatakan masih rendah.  Mungkin kita bisa memperbaiki ini semua dengan adanya pendidikan karakter, yakni karakter merupakan kunci keberhasilan individu.  Pendidikan karakter ini sangat penting bagi pendidikan di Indonesia.  Pendidikan karakter akan menjadi dasar atau basic dalam pembentukan karakter berkualitas bangsa, yang tak hanya mengabaikan nilai-nilai social seperti kebersamaan, toleransi, gotong royong, saling membantu,saling menghormati, dan sebaginya.  Peserta didik adalah hal yang paling pentingdalam dunia pendidikan, karena tanpa adanya peserta didik, pendidikan tidak akan berlangsung.  Ank-anak mempunyai pembawaan yang kuat sejak dilahirkan, baik buruknya anak sangat tergantung pada pembawaan yang ada padanya, bukan dari pendidikan.  Perkembangan jiwa anak sangat tergantung pada pembawaan dan pendidikan yang diterimanya.  Hal ini sejalan dengan apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW, bahwa  Tidaklah anak yang dilahirkan itu kecuali telah membawa fitrah (kecenderungan untuk percaya kepada Allah SWT), kedua orangtuanyalah yang menjadikan anak tersebut beragama Yahudi, Nasrani ataupun Majusi (HR. Muslim)”.  Hadits ini mengisyaratkan kepada kita bahwa pada dasarnya anak itu telah membawa fitrah beragama, dan kemudian tergantung kepada pendidikan selanjutnya. Kalau mereka mendapatkan pendidikan agama dengan baik, maka mereka akan menjadi orang yang taat beragama. Tetapi sebaliknya, bilamana benih agama yang telah dibawa tidak dipupuk dan dibina dengan baik, maka anak akan menjadi orang yang tidak beragama ataupun jauh dari agama.  Jadi, suatu pendidikan itu harus dibarengi dengan akhlak yang mulia dari setiap anak.  Hal ini untuk menjadikan pribadi yang berkualitas dalam menjalani kehidupan didunia.  Tempatkan mereka tepat ditempat seharusnya.









 REFERENCES

Alwasilah Chaedar. 2012. Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung: PT Kiblat Buku Utama
Harahap Syahrin. 2011. Teologi Kerukunan. Jakarta:Prenada
Nottingham Elizabeth K. 2002. Agama dan Masyarakat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment