Critical Review 1 : Toleransi agama di alam pendidikan

Toleransi agama di alam pendidikan

Kerukunan beragama sangat diperlukan di suatu negara yang memiliki banyak agama dan banyak budaya atau yang disebut dengan masyarakat multikultural. Dengan adanya pembinaan kerukunan antara umat beragama maka masyarakat akan memiliki rasa hormat-menghormati dan saling harga-menghargai terhadap orang lain yang memiliki agama dan budaya yang berbeda denganya. Oleh karena itu anak-anak bangsa ini harus dimasukan ke pendidikan dasar, karena disana mereka akan dibekali ilmu pengetahuan dan keterampilan juga diajari bagaimana mereka sebagai individu, anggota masyarakat dan warga negara.

Memang keyakinan dalam beragama tidak bisa ditoleransi sebagaimana yang dikemukakan oleh M. Rasjidi bahwa agama adalah masalah yang tidak dapat ditawar-tawar, apalagi berganti. Ia mengibaratkan agama bukan sebagai (seperti) rumah atau pakaian yang kalau perlu dapat diganti. Jika seseorang memeluk keyakinan, maka keyakinan itu tidak dapat pisah darinya.  Berdasarkan keyakinan inilah, menurut Rasjidi, umat beragama sulit berbicara objektif dalam soal keagamaan, karena manusia dalam keadaan involved (terlibat). Sebagai seorang muslim misalnya, ia menyadari sepenuhnya bahwa ia  involved (terlibat) dengan Islam. Namun, Rasjidi mengakui bahwa dalam kenyataan sejarah masyarakat adalah multi-complex yang mengandung religious pluralism, bermacam-macam agama. Hal ini adalah realitas, karena itu mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri, dengan mengakui adanya religious pluralism dalam masyarakat Indonesia.
Tidak jarang terjadi konflik-konflik masalah keagamaan karena agama bukan hal yang baru, sebelum indonesia merdeka saja masalah tersebut sudah ada. Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar Negara yang tidak bisa diganggu gugat, nilai yang terkandung dalam kedua fondasi Negara Indonesia itu mempunyai nilai yang kuat, jika pemahamannya hanya sebagian saja maka akan salah mengartikan. Indonesia adalah Negara pancasila yang didalamnya mewajibkan warga negaranya untuk memiliki tuhan, bermoral, bersatu, namun nilai-nilai lain yang terkandung didalamnya itu sangat luas.
Sebagai contoh yang sering terjadi adalah toleransi antar umat beragama, walaupun di sekolah SD, SMP, SMA adanya pemisahan sekolah antara yang islam dan yang kristen (sekolah khusus kristiani dan sekolah khusus muslim sampai pendidikan tingkat SMA), tetapi tetap saja ketika mereka sudah diluar lingkungan sekolah, mereka adalah satu yaitu warganegara Indonesia. Disinilah peran toleransi sangat dibutuhkan. Tidak mudah memang ketika harus mendengarkan pemikiran dari orang lain, tetapi itu adalah salah satu bentuk toleransi yang harus kita lakukan sebagai sesama warga negara. Boleh saja para anggota DPR yang ketika mengikuti sidang saling adu argumen untuk mendapatkan suatu keputusan tetapi alangkah indahnya ketika adu argumen itu bisa berakhir dengan cara damai, dan bukannya saling adu mulut sampai adu fisik. Bukan hanya itu saja, remaja sekarang banyak yang saling adu fisik gara-gara memperebutkan seorang wanita, padahal jika dibicarakan dengan baik mungkin tidak akan adanya kata adu fisik tersebut. Yang sangat membahayakan adalah disaat warga Ambon yang (ngotot) ingin memisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kalau kita masih mempunyai pandangan yang fanatik, bahwa hanya agama kita sendiri saja yang paling benar, maka itu menjadi penghalang yang paling berat dalam usaha memberikan sesuatu pandangan yang optimis. Namun ketika kontak-kontak antaragama sering kali terjadi sejak tahun 1950-an, maka muncul paradigma dan arah baru dalam pemikiran keagamaan. Orang tidak lagi bersikap negatif dan apriori terhadap agama lain. Bahkan mulai muncul pengakuan positif atas kebenaran agama lain yang pada gilirannya mendorong terjadinya saling pengertian.
Di masa lampau, kita berusaha menutup diri dari tradisi agama lain dan menganggap agama selain agama kita sebagai lawan yang sesat serta penuh kecurigaan terhadap berbagai aktivitas agama lain, maka sekarang kita lebih mengedepankan sikap keterbukaan dan saling menghargai satu sama lain. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat yang berasal dari etnis, agama dan sosial yang berbeda akan menghasilkan pola pikir yang berbeda pula, pola pikir mereka dibentuk dari latar belakang mereka. Inilah yang menjadi masalah besar terutama untuk para guru bagaimana mereka mendidik generasi masa depan agar menjadi warga negara yang demokratis dengan karakter yang baik sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas.
Pendidikan yang seharusnya
Dewasa ini berkembang tuntutan untuk perubahan kurikulum pendidikan yang mengedepankan perlunya membangun karakter bangsa. Hal ini didasarkan pada fakta dan persepsi masyarakat tentang menurunnya kualitas sikap dan moral anak-anak atau generasi muda. Pada saat ini yang diperlukan sekarang adalah kurikulum pendidikan yang berkarakter; dalam arti kurikulum itu sendiri memiliki karakter, dan sekaligus diorientasikan bagi pembentukan karakter peserta didik. Perbaikan kurikulum merupakan bagian tak terpisahkan dari kurikulum itu sendiri (inherent), bahwa suatu kurikulum yang berlaku harus secara terus-menerus dilakukan peningkatan dengan mengadopsi kebutuhan yang berkembang dalam masyarakat dan kebutuhan peserta didik.
Untuk mewujudkannya, yakni generasi bangsa yang baik. kerukunan umat beragama sangat dibutuhkan, makanya kerukunan beragama ini dikembangankan di sekolah pada awal usia mungkin. Lalu, bagaimana cara untuk mewujudkan kelas yang dinamakan “wacana kelas untuk memupuk kerukunan beragama”. Dalam pengaturan multikultural, siswa berasal dari latar belakang etnis, agama dan sosial yang berbeda dan pola pikir mereka dominan dibentuk oleh latar belakang mereka. Berbagai penelitian telah menunjukan bahwa anak-anak usia sekolah lebih untuk berintraksi dengan rekan-rekan mereka. Dalam konteks sekolah, itu adalah hubungan dimana rekan-rekan menghormati, membantu, berbagi, dan umumnya sopan terhadap satu sama lainnya. Konsep interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan sosial (Rubin, 2009).
Seperti halnya yang ditulis oleh Prof. Chaedar Alwashilah tentang “Kelas untuk Mendorong Kerukunan Beragama” yang mengatakan bahwa hubungan antar teman sejawat atau sekelas lebih erat ketimbang hubungan dengan keluarga sendiri. Sebagai contoh ketika ada seorang kaka yang mempunyai uang lebih memilih meminjamkan uangnya kepada teman sepermainannya sendiri dari pada memberikannya kepada adiknya yang sedang merengek meminta uang dari orang tuanya, karena mereka memiliki sikap saling menghormati terhadap rekan-rekannya, membantu, berbagi, dan umumnya sopan terhadap satu sama lainnya. Mereka lebih memilih berinteraksi dengan rekan-rekan mereka. Maka dari itu pengkonsepan interaksi dengan teman sekelas atau sebayanya  adalah komponen penting dalam teori pembangunan jiwa sosial para siswa.
Mendengarkan penuh perhatian, menyumbangkan ide-ide atau berpendapat, mengajukan pertanyaan, menyatakan kesepakatan dan ketidaksepakatan, dan mencapai kompromi dengan cara yang hormat adalah merupakan indikator wacana sipil yang positif. Mendengarkan secara aktif dengan mempertahankan kontak mata langsung, siswa juga harus dilatih berbicara dengan bergiliran, dan mereka juga harus diajarkan bagaimana untuk berpartisipasi ketika berdiskusi dengan mengungkapkan pendapat atau ide-ide yang relevan dengan topik yang sedang didiskusikan.
Program sekolah harus sengaja memfasilitasi interaksi antara teman sebayanya untuk mengembangkan wacana sipil positif (Chaedar Alwashilah:). Sebenarnya bukan hanya sekolah yang harus berperan dalam hal ini, tetapi juga orang tua harus memiliki peran penting dalam membentuk karakter generasi penerus bangsa ini. Orang tua seharusnya memberi bekal yang padat kepada anak-anaknya, dalam hal ini adalah cara berkomunikasi, berinteraksi, sopan-santun, dan lain sebagainya perlu diajarkan sejak dini. Seorang siswa yang datang ke sekolah memiliki latar belakang yang berbeda-beda pada setiap harinya. Ada yang semangat, ada yang lesu, mengantuk karena mungkin begadang karena bekerja untuk orang tuanya, ada yang dipaksa oleh orang tuanya, dan lain-lain. Hal-hal semacam ini yang membuat siswa tidak berkonsentrasi ketika belajar di sekolah. Akibatnya, mereka melampiakan kekesalannya tersebut diserahkan kepada teman sekelasnya yang mungkin membuat keributan atau kekurang nyamanan bagi siswa lain atas keberadaannya di kelas tersebut.
Demikianlah mengapa orang tua ikut berperan besar terhadap pendidikan anak-anaknya. Tugas sekolah hanya memfasilitasi, menugasi, mengajari, dan memberi pengarahan, kepada siswanya untuk ini atau itu yang pasti menyuruh melakukan hal yang positif. Namun, semuanya itu tergantung pada siswa tersebut. Sekolah adalah tempat kedua setelah lingkungan keluarga.
Pada pendidikan liberal pun peranan orang tua tidak kalah penting dalam mendidik anak-anaknya. Tugas orang tua adalah mendidik sejak si anak bayi sampai akil baligh orang tua berkewajiban untuk membimbing dan mendidik anaknya. Namun orang tua yang peduli adalah yang selalu membimbing dan mengawasinya selama hidupnya. Dalam hal ini pendidikan yang bersifat liberal yang identik dengan rasa saling menghormati dan menghargai perbedaan orang lain dalam kehidupan ini. Seperti etnis, budaya, agama, dan bahkan ras. Memang benar ketika Pa Chaedar mengatakan “Pendidikan liberal bertujuan membebaskan siswa dari sikap rabun dan provinsi terhadap orang lain”. Di sini yang dituliskan dalam wacana tersebut adalah hanya peran sekolah dalam menghargai perbedaan antar etnis, budaya, agama, dan ras. Namun, tidak disertakan peran orang tua di dalamnya. Sekali lagi, orang tua adalah pendidik pertama bagi anak-anaknya. Jika orang tuanya saja tidak menghargai perbedaan yang dimiliki orang lain, lalu bagaimana anaknya bisa menghargai orang lain, sedangkan orang tuanya saja seperti itu.
Pendidikan yang terlupakan
Menurut Oxford Learner’s Dictionary (1989: 717) pendidikan liberal berarti tolerant and open-mineded (Arab: Tasamuh), berpikiran terbuka, tidak picik,dan tidak buruk sangka. Pada pendidikan liberal ini siswa dididik untuk menjadi siswa yang berpengetahuan luas dan memiliki pikiran yang luas pula artinya pikiran yang luas adalah siswa mampu bertoleransi, menghormati, dan menghargai segala perbedaan yang ada di lingkungan sekitarnya. Ilmu yang luas saja tidak cukup karena banyak orang yang memiliki pengetahuan luas namun banyak dari mereka yang tersesat atau malah membodohi orang-orang yang disekitarnya bahkan ada juga yang menjadi korup. Seperti yang kita ketahui para pejabat petinggi negara menganggap bahwa korupsi sudah biasa bukan rahasia lagi. Apakah itu hasil orang yang berilmu ? sungguh menyedihkan bangsa ini. Ilmu yang dimilikinya tidak bisa memberikan manfaat kepadanya.
Inilah yang dibutuhkan masyarakat kita untuk mencapai ilmu yang bermanfaat. Menghargai, berlaku jujur meskipun tidak ada yang melihatnya, setelah masyarakat kita saling mempercayai satu sama lainnya maka negara ini pun tidak akan terjadi kecurangan, penipuan, dan kasus-kasus kriminal lainnya. Sebetulna islam telah memberikan jalan bagaimana cara belajar dan mengajar, dikitab ta’lim muta’allim meskipun ini yang punya orang islam namun ini sangat cocok untuk diterapkan di segala pendidikan, baik itu formal maupun informal. Disitu ada juga menerangkan saling menghormati dan menghargai sesama teman baik yang berbeda suku bangsa berbeda adat, apalagi menghormati terhadap guru. Itu sangat diwajibkan, karena gurulah yang memberikan ilmu, yang mendidik, juga yang membimbing.
Pendidikan di sekolah hanya meneruskan kegiatan yang tidak diajarkan oleh orang tua siswanya. Seperti komunikasi antar teman sekelas, menghargai pendapat, bergiliran berbicara dan diam, dan lain sebagainya adalah kegiatan yang mungkin tidak ada dalam lingkungan keluarga. Bukan tidak mungkin siswa membawa apa yang diajarkan kepadanya ke tempat di mana dia belajar, dalam hal ini adalah sekolah. Sebenarnya sekolah sudah benar menuntun siswanya untuk saling berinteraksi sesamanya meskipun tidak semua siswa mau dituntun. Pendidikan Kewarganegaraan pun tidak menunjukkan keefektifannya dalam mendidik para siswa yang intinya untuk menghargai segala perbedaan yang ada di negeri ini. Pancasila juga sepertinya sudah benar dalam 69 tahun ini dan tidak ada yang perlu direvisi lagi sepertinya. Lalu siapa yang salah mendidik bangsa ini sehingga dikenal sebagai bangsa yang anarkis? Tidak menghargai perbedaan?
Pendidikan ini yang seharusnya dirubah total. Banyak konflik di negeri yang dikarenakan perbedaan etnis dan agama. Seperti yang terdapat pada wacana “Bukti kejadian tersebut sangat banyak, seperti konflik antaretnis dan agama besar yang terjadi di daerah Sambas ( 2008 ) , Ambon ( 2009 ) , Papua ( 2010 ) dan Singkawang ( 2010 ) menyebutkan hanya beberapa”. Kemudian pada era Reformasi yang ketika itu etnis Tiong Hoa yang dibantai habis-habisan, diperkosa, dijarah, dan lain sebaginya oleh orang pribumi, peristiwa di Sampit yang melibatkan etnis Dayak dan Madura, dan masih banyak lagi. Apalagi pada masa tersebut Indonesia telah giat membangun negaranya. Seperti membuat pesawat sendiri, membuat pabrik otomotif sendiri dan lain sebagainya. Akan tetapi bertolak belakang dengan pendidikan di negeri ini. Mereka para etnis berbeda lebih memilih sekolah yang latarnya sama dengan latar dimana mereka hidup baik dari agama maupun budaya.
Itulah sebabnya banyak sekolah independen di negeri ini yang mengatasnamakan agama, dan sekolah tersebut hanya menerima siswa yang dari agama yang disyaratkan oleh pihak sekolah. Begitu banyak sekolah di negeri ini namun pendidikannya tidak didasari Pancasila yang sangat menghargai perbedaan orang lain. 
Dalam sejarah pembuatan Piagam Jakarta (sekarang Pancasila) dibuat dengan menghargai perbedaan agama yang ada pada Panitia Pencetusnya. Ketika itu A.A Maramis tidak menyetujui jika Indonesia dijadikan negara yang beasaskan islam. Kemudian K.H Wahid Hasyim sebagai ketuanya menyetujui permintaan tersebut dan dirubahlah sila pertama seperti yang biasa dibacakan ketika upacara sampai saat ini.
Hanya beberapa sekolah saja di negeri ini yang memfasilitasi perbedaan baik etnis atau agama, selainnya tidak. Nah, di sini lah peran orang tua sangat dibutuhkan untuk mendidik anak-anaknya dalam menghargai perbedaan. Tidak seperti Arab Saudi yang memang semua penduduknya menganut satu agama, yaitu Islam. Dan tidak seperti Vatikan (sebuah negara kecil di Italia) yang hampir semua penduduknya menganut satu agama juga, yaitu Kristen. Indonesia memiliki 5 sampai 6 agama dalam berbagai aliran tersendiri yang mungkin tidak dimiliki oleh negara lain yang lebih maju.  Akan tetapi perbedaan itu dikotori oleh orang-orang yang hanya mementingkan kepentingan pribadinya sendiri.
Untuk itu, orang tua seharusnya mendidik anaknya untuk membagi pengalaman masa lalunya. Masa lalu yang baik bisa dijadikan contoh atau pelajaran untuk anaknya supaya tidak mengulang perbuatan yang sama. Perlu lah sebenarnya diajarkan sejarah pada anak sejak dini, seperti diceritakan bagaimana perjuangan bangsa ini untuk merebut kebebasan dari bangsa lain.
Teringat pada masa perjuangan, pejuang negeri untuk merebut kebebasan tidak melihat perbedaan dalam melawan penjajah. Mereka hanya ingin satu, yaitu merdeka. Kemerdekaan pun akhirnya didapat namun, keselarasan hidup untuk saling menghargai satu sama lain tidak dijunjung tinggi.
Kenyataan yang sebenarnya ada pada diri anak terutama pada masa Sekolah Dasar (SD) adalah anak selalu menuruti apa yang dikatakan oleh gurunya. Karena memang pada saat itu anak sedang menemukan dunia baru. Namun, tetap orang tua punya peran lebih kepada anaknya untuk selalu mendidik dengan semestinya. Nah, ketika di sekolah baru lah peran guru diperlukan. Tapi seperti yang sudah dijelaskan, lingkungan keluarga lebih banyak waktunya ketimbang lingkungan sekolah. Bisa dibilang orang tua dan guru mestinya melakukan pendekatan lebih untuk memantau anaknya dalam belajar di sekolah ataupun di rumah.
Ilustrasi remaja sekarang
Ilustrasi remaja zaman sekarang banyak diwarnai dengan pencitraan yang tidak baik yang dibuat oleh remaja itu sendiri. Ini dikarenakan kurangnya perhatian dari orang tua, guru, dan teman sebayanya. Bisa dibandingkan anak yang dididik dalam lingkungan keluarga yang baik serta lingkungan sekolah yang baik juga, maka tingkat pembentukan karakternya akan jauh berbeda dengan anak yang lingkungan keluarganya saja tidak baik seperti Broken Home, dan lingkungan yang kurang baik dari temannya. Hal ini akan mempengaruhi pikiran anak yang notabene adalah anak dari orang tuanya, kemudian ditularkan pula di lingkungan di mana ia belajar, bermain ataupun sekedar bercanda dengan teman sebayanya. Itulah mengapa banyak tawuran antar pelajar di negeri ini. Peningkatan komunikasi antar sekolah juga perlu dillakukan demi hubungan pelajar antar sekolah. Seperti adanya lomba-lomba  tingkat pelajar baik SD, SMP, maupun SMA. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga hubungan baik dari sekolah sampai pelajarnya. Hal ini juga adalah termasuk bentuk liberalisme dalam hal pendidikan dengan tidak memfasilitasi siswanya namun tetap mengenalkan siswanya kepada siswa dari sekolah lain.
Menurut Hasibuan (1998), pola pembelajaran yang efektif adalah pola pembelajaran yang di dalamnya terjadi interaksi dua arah antara guru dan siswa, artinya guru tidak harus selalu menjadi pihak yang lebih dominan. Pada pola pembelajaran ini guru tidak boleh hanya berperan sebagai pemberi informasi, tetapi juga bertugas dan bertanggung jawab sebagai pelaksana yang yang harus menciptakan situasi memimpin, merangsang, dan menggerakkan secara aktif. Selain itu, guru harus dapat menimbulkan keberanian siswa baik untuk mengeluarkan idenya maupun hanya sekadar untuk bertanya. Hal itu disebabkan karena mengajar bukannya hanya suatu aktivitas yang sekadar menyampaikan informasi kepada siswa, melainkan suatu proses yang menuntut perubahan peran seorang guru dari informator menjadi pengelola belajar yang bertujuan untuk membelajarkan siswa agar terlibat secara aktif sehingga terjadi perubahan-perubahan tingkah laku siswa sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya
Jadi, bisa kita simpulkan bahwa indonesia memiliki beragam agama dan budaya serta memiliki latar belakang yang berbeda-beda yang sesuai dengan adat kebudayaannya masing-masing. Maka dari itu indonesia harus menerapkan pendidikan yang membina anak didiknya menjadi siswa yang memiliki rasa hormat, menghargai atas perbedaan yang ada serta memiliki tanggung jawab sebagai bangsa yang demokratis dan pancasilaist. Dengan kata lain penjunjungan atas harga dan martabat budaya dan agama harus dimiliki oleh setiap siswa agar mereka menjadi generasi bangsa yang baik dengan cara membina, menanamkan,  dan mengenalkan kepada agama budaya yang ada di negri pertiwi ini. Serta mendidik siswa yang mampu berinteraksi dengan baik sebagai anak generasi bangsa yang multikultur.
Referensi
·       Pokoknya Rekayasa Literasi (Chaedar Al-Wasilah: 2012).
·       Oxford Learner’s dictionary (1989: 717).


Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment