TOLERANSI ‘BAK SIMALAKAMA’
EDISI CRITICAL REVIEW MINGGU KE-3 WRITING 4
Toleransi tanpa memandang suatu latar belakang dari
seseorang merupakan harga mati jika suatu individu, golongan, atau kelompok itu
menginginkan adanya suatu kelancaran dalam berlalu lintas di kehidupan sosial beragama
dan bermasyarakat. Namun akhir-akhir ini khususnya di Indonesia kita sering
digemparkan oleh kasus-kasus yang membuat hati kita tercengang melihat
banyaknya konflik-konflik yang berkepanjangan entah itu konflik antar ras,
antar agama, maupun antar sesama yang semuanya itu bentuk dari intoleran.
Bahkan yang lebih heboh lagi adalah konflik para remaja yang masih duduk di
bangku sekolah, sangat tidak patut untuk dikatakan sebagai hal yang wajar,
bahkan mereka cenderung brutal. Padahal jika kita melihat kebelakang, Indonesia
oleh warga negara asing dijuluki sebagai negara yang penduduknya sangat ramah
dan saling menghargai satu sama lain, tapi di sisi lain konflik-konflik antar
suku dan agama banyak terjadi di Indonesia. Hal ini bak buah simalakama yang
nampak bagus dari luar namun busuk dan pahit isinya. Kenapa kasus kurangnya
toleransi seperti ini bisa terjadi? Faktor apa sajakah yang menyebabkan tidak
adanya sikap respect antar agama, ras, maupun golongan? Peranan apakah yang semestinya dilakukan
oleh pemerintah melalui dinas terkait? Patut untuk kita simak bersama.
Dalam suatu laporan yang dipaparkan oleh SINDO-News,
pada periode per-januari sampai desember tahun 2012 yang lalu, di Indonesia
telah terjadi sekitar 2.883 kasus pertikaian, entah itu melibatkan konflik
antar ras, antar agama, maupun antar sesama yang terjadi di setiap daerah di
Indonesia. Parahnya lagi konflik-konflik seperti ini dari tahun ke tahun selalu
terulang dan malah meningkat drastis dari angka sebelumnya, sangat ironis memang mengingat jumlah ini tidaklah sedikit. Hal
ini harusnya menjadi pekerjaan rumah oleh pemerintah baik itu pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah yang harus bekerjasama bahu membahu mencari solusi
agar konflik tersebut tidak terulang dikemudian hari, karena konflik semacam
ini harus segera ditangani oleh pemerintah sebelum nantinya hal yang semakin
parah akan terjadi yang pada akhirnya dikhawatirkan akan memecah sebuah
kedaulatan antar sesama penduduk Indonesia. Sungguh hal yang merugikan.
Indonesia merupakan negara dengan
jumlah penduduk terbesar ke-tiga setelah China dan India. Jumlah penduduk di
Indonesia saat ini kurang lebih sekitar 250.000.000 jiwa. Uniknya walaupun Indonesia merupakan negara
yang demokratis, namun hal ini tidak berlaku dalam urusan kebebasan berakidah,
karena seseorang itu tidak boleh menyimpang dari agama yang sudah ditetapkan
dalam UUD 1945 yang menjadikan agama Islam, Kristen, Khatolik, Hindu dan Buddha
sebagai agama resmi yang wajib dianut oleh warga negara Indonesia sesuai dengan
keyakinannya masing-masing. Indonesia bukan negara yang bebas beragama menurut
keinginan pribadi apalagi ketika seseorang ingin menjadi seorang atheisme, itu
sangat dikecam keras oleh pemerintah karena mengacu pada pancasila poin yang
pertama yakni ketuhanan yang maha esa, untuk itulah warga negara Indonesia harus
mempunyai Tuhan yang harus diyakini benar-benar.
Dari jumlah penduduk yang ada, diperkirakan sekitar
79% warga Indonesia memeluk agama islam.
Dari jumlah tersebut bisa disimpulkan bahwa negara Indonesia mayoritas
penduduknya beragama islam dan 21% lainnya menganut agama Kristen, Khatolik,
Hindu, dan Buddha. Dengan data tersebut, Indonesia dijuluki sebagai negara
dengan mayoritas penduduknya muslim terbesar ke-tiga di dunia. Walaupun berpredikat
demikian, negara Indonesia melalui pemerintahnya tidak melulu meng ’anak
emaskan’ salah satu agama di Indonesia, karena baik mereka yang penganut dari
ethnis Tionghoa, umat Kristiani, umat Hindu maupun Buddha, mereka semua bebas
untuk menjalankan kepercayaannya masing-masing. Entah itu berupa kegiatan
peribadatan maupun yang lainnya. Seperti contoh dalam sebuah berita yang
dirilis oleh harian khusus Media Indonesia bahwa tingkat pertumbuhan gereja
(tempat ibadah umat Kristen) di Indonesia itu lebih pesat dan banyak ketimbang
pertumbuhan masjid (tempat ibadah umat Islam). Ini menjadi hal yang menarik
mengingat Islam sebagai mayoritas akan tetapi tidak berkuasa penuh akan segala
macam bentuk tindak tanduk yang dilakukan oleh pemerintah. Karena demokrasi
merupakan hak semua warga negara Indonesia. (MI: Jakarta, 2013)
Selain keberagaman agamanya, Indonesia juga
mencatatkan diri sebagai negara yang memiliki banyak sekali suku dan budaya
serta bahasa yang tersebar di seluruh pelosok negeri ini. Kearifan lokal ini
menjadi nilai plus tersendiri bagi negara Indonesia mengingat tingkat
keberagaman yang dimiliki saat ini mampu membius seluruh perhatian dari mata
dunia yang melihat keunikan dari Indonesia. Seperti contoh kecilnya tari Saman
dari provinsi terbarat di Indonesia yaitu provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
yang menyabet banyak sekali penghargaan ketika mengikuti karnaval kesenian dan budaya di tingkat dunia.
Jika satu kesenian saja sudah mampu membius perhatian dunia, bagaimana jika
semua kesenian budaya di Indonesia diperkenalkan di seluruh dunia? Pikirkan
saja sendiri!
Dengan semua kelebihan yang dimiliki oleh negara
yang ‘katanya’ kaya ini, namun sayangnya seiring berjalannya waktu yang semakin
canggih justru malah menghancurkan hiruk pikuk diantara perbedaan-perbedaan
entah itu perbedaan dalam segi suku, budaya, agama dsb. karena perbedaan itu sudah
tidak dianggap lagi sebagai sebuah keunikan, melainkan ada kepentingan lain
yang terselip di dalamnya serta adanya persepsi lain dari provokator yang
berusaha mempertahankan dirinya dan kelompoknya agar merasa tidak ada saingan
yang mengancam. Terkadang kawan bisa menjadi lawan, sekalipun saudara
kandungnya sendiri yang menghalangi, maka tidak peduli orang itu siapa dan yang
terpenting lagi adalah urusan ‘dia’ pribadi dapat berjalan mulus, dan juga hukum rimba seolah diterapkan kembali di negara yang ‘katanya’ negara hukum ini.
Dari berbagai macam jenis konflik di Indonesia, yang
paling banyak dan menempati urutan teratas adalah konflik yang bersinggungan
dengan agama. Entah itu antar agama maupun dari sesama penganut agama itu
sendiri. Masih segar di dalam ingatan kita ketika konflik antar kaum muslimin
di Sampang, Madura. Konflik ini bermula dari seorang Kyai setempat dari kaum
Syi’ah yang menikahi santriwatinya yaitu gadis di bawah umur, yang kemudian
mendapat respon yang sangat keras dari kaum Sunni Madura yang sebenarnya jarak
dari pesantren Syi’ah dan pesantren Sunni ini tidak terlalu jauh. Karena ada
kepentingan dari salah satu pihak, maka kesempatan ini benar-benar dimanfaatkan
untuk memprovokasi warga yang pada kejadian ini warga langsung termakan oleh
omongan dari salah satu pihak yang mengecap bahwa kaum Syi’ah di Sampang itu
sesat, tanpa mencari tahu terlebih dahulu, warga langsung membakar seluruh isi
maupun bangunan pesantren Syi’ah. Sungguh biadab, kalaupun ada masalah akidah
yang menyimpang dari suatu kaum, maka alangkah baiknya jika kita duduk bersama
dengan kepala dingin untuk memecahkan masalah tanpa ada dari salah satu pihak
yang merasa tersakiti. (Al-Habib Luthfi bin Yahya: Cirebon Bersholawat 1, 2012)
Menurut menteri agama Republik Indonesia Bpk.
Suryadharma Alie mengatakan bahwa konflik agama itu wajar, karena itu fitrah
manusia. Manusia diciptakan oleh Allah SWT termasuk di dalamnya sifat amarah,
akan tetapi amarah itu diatur oleh agama yang mengajak kita untuk sabar tidak
cepat marah, bahkan Beliau berani manyatakan bahwa negara Indonesia merupakan
negara yang paling toleran satu sama lain, tidak ada negara lain di dunia ini
yang tingkat toleransi antar agamanya seperti di Indonesia, ujar Beliau.
Namun kembali, faktanya kita harus mengelus dada
karena di kejutkan oleh berbagai macam konflik antar agama yang terjadi di
negara Indonesia. Menurut Joachim Watch, ada beberapa faktor yang mempengaruhi
konflik-konflik antar agama tersebut:
1. Pertama ialah faktor
disintegrasi, yang sangat mempengaruhi. Misalnya, di suatu daerah sudah ada
satu agama yang menjadi panutan warga setempat, kemudian seiring berjalannya
waktu ada agama lain yang masuk ke tempat itu dan mulai menarik warga yang
beragama sebelumnya. Hal ini tentunya akan menimbulkan suatu pertikaian jika
tidak ada sikap saling terbuka di antara mereka, serta akan ada adu otot untuk
saling mempertahankan keyakinannya
masing-masing.
2. Berikutnya ialah faktor
integrasi. Berbeda dengan disintegrasi yang memang sebelumnya sudah ada agama
terdahulu, faktor integrasi ini misalnya di suatu daerah tersebut dahulunya
memang tidak ada agama, melainkan hanya hukum adat yang berlaku. Kemudian
dengan seiring berjalannya waktu agama mulai masuk di kehidupan adat istiadat
tersebut yang tidak akan diterima begitu saja oleh masyarakat setempat.
Berikutnya ada konflik antar suku yang akhir-akhir
ini juga sering terjadi di Indonesia.
Merasa sering di ‘anak tirikan’ oleh pemerintah, para masyarakat di luar pulau
Jawa seringkali merasa cemburu dengan perlakuan spesial yang didapatkan oleh
masyarakat di pulau Jawa. Contoh kecil yang heboh diperbincangkan adalah ketika
hampir di seluruh wilayah di Indonesia mendapatkan musibah bencana entah itu
tanah longsor, banjiran, puting beliung dsb, dan yang terbaru di pertengahan
bulan februari tahun 2014 ini adalah meletusnya gunung Kelud yang berada di
pulau jawa dan gunung Sinabung yang berada di luar pulau jawa yang jarak
waktunya hampir berdekatan. Jarak waktu antara keduanya tidak begitu lama,
setelah gunung Sinabung meletus kurang lebih 3 bulan, maka menyusul giliran
gunung Kelud yang memuntahkan isi
perutnya. Sebenarnya yang menjadi permasalahan
ialah ketika ada kunjungan dari orang nomor satu di Indonesia yaitu Bpk.
Susilo Bambang Yudhoyono beserta para rombongan kabinet Indonesia bersatu jilid
dua menengok para korban bencana, para masyarakat korban bencana di daerah
sekitar gunung Sinabung Medan berfikiran bahwa seakan-akan ada pilih kasih oleh
pemerintah pusat, pasalnya mereka menanti-nanti kehadiran sosok Presiden untuk
setidaknya menjenguk kondisi mereka, dan hal itu ternyata baru bisa ada
kunjungan setelah menunggu hampir 3 bulan lamanya.
Berbanding terbalik ketika ada peristiwa serupa di
pulau jawa, maka presiden RI pada saat itu langsung menjenguk para korban
bencana hanya dengan durasi waktu sekitar 3 hari pasca bencana. Hal ini akan akan
menimbulkan kecurigaan sehingga membuat para warga di luar pulau jawa merasa
tidak diperlakukan dengan adil, padahal baik itu warga dari pulau jawa maupun
yang di luar pulau jawa harusnya mendapatkan perlakuan yang sama karena mereka
semua itu satu yang tergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam hal ini pemerintah yang seharusnya bersikap netral, malah seakan pemerintahnya
itu sendiri seperti mengajarkan warganya untuk bersikap nepotisme yang menjurus
fanatisme terhadap kaumnya sendiri. Jika hal demikian dibiarkan terus terjadi,
maka dikhawatirkan akan ada lebih banyak lagi perang antar suku dan ethnis
lainnya yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Namun yang terpelik dari yang terpelik ialah ketika
konflik-konflik semacam ini sudah menjamah para remaja yang menjadi cikal bakal
penerus bangsa ini (katanya). Para remaja di Indonesia sekarang ini wabil
khusus untuk remaja yang masih duduk di bangku sekolah, semakin kurangnya sikap
rasa saling memiliki satu sama lain, sikap kepedulian yang amat menipis
terhadap sesamanya, kemudian juga patut disoroti bahwa sikap respect para siswa
Indonesia sekarang ini perlahan mulai terkikis habis dimakan oleh waktu yang
semakin dan semakin canggih ini.
Kasus demi kasus tentang kenakalan para remaja
khususnya bagi siswa yang masih duduk di bangku sekolah sebenarnya sudah sejak
lama terjadi dan entah mengapa hal ini terus saja terulang dan terulang
dikemudian hari, bak borok yang sudah busuk dan tidak bisa terobati. Kenakalan
mereka sungguh tidak bisa kita anggap sebagai hal yang wajar, pasalnya kasus
mereka sungguh di luar batas kendali, karena kelakuan mereka tidak seperti para
siswa pada hakekat yang sebenarnya.
Yang paling banyak terjadi dari beberapa contoh
kasus kenakalan yang melibatkan para
siswa ialah dimana-mana terjadi fenomena tawuran antar sekolah di Indonesia.
Sungguh ironis mendengar kelakuan para penerus bangsa ini yang lebih
mementingkan egonya sendiri ketimbang mementingkan bagaimana siswa berusaha
untuk menggapai prestasi setinggi mungkin. Ketika negara lain berlomba-lomba
untuk mengejar suatu prestasi, namun itu tidak berlaku untuk para siswa di
negara Indonesia, pada era yang super canggih ini rasanya tawuran antar siswa
di sekolah merupakan hal yang sangat amat jadul karena konflik semacam ini
biasa terjadi dalam kehidupan suku-suku pedalaman yang hidup di hutan belantara
serta memakai hukum rimba sebagai acuannya. Sementara itu justru sebaliknya,
ketika di Indonesia hanya berkompetisi untuk mengharumkan nama sekolahnya lewat
tawuran, maka para siswa dari berbagai negara lain justru berlomba-lomba untuk
menciptakan suatu suasana belajar yang menyenangkan di dalam kelasnya, karena
semua hasil dari buah kesuksesan dalam belajar ialah bermula dari suatu kelas
yang menyenangkan sehingga para siswa tertarik pada pelajaran yang pada
akhirnya akan membuat para siswa berprestasi entah itu di sekolah maupun di
lingkungan tempat tinggalnya.
Pemerintah dalam hal ini melalui
dinas terkait telah memikirkan banyak cara jitu untuk menghapus total kebiasaan
buruk para siswa di Indonesia. Bahkan menteri pendidikan Indonesia Bpk.
Mohammad Nuh berani mengatakan kepada seluruh sekolah di Indonesia agar
memperingatkan para siswanya itu agar tidak mengikuti tawuran, kalau seandainya
mereka (para siswa) masih saja membandel, maka pihak sekolah jangan gentar
untuk langsung mengembalikan siswa tersebut ke orang tuanya dalam artian siswa sudah
dikeluarkan atau dipindahkan dari sekolah tersebut.
Senada dengan apa yang telah dikatakan oleh menteri
pendidikan Indonesia Bpk. Mohammad Nuh, wakil gubernur DKI Jakarta Basuki
Tjahaja Purnama atau biasa dipanggil Ahok juga sangat keras menyikapi kelakuan
yang menyimpang dari para siswa yang hobby tawuran untuk segera memindahkan
atau mengeluarkan siswa tersebut dari sekolah tanpa ampun jika siswa tersebut memang
terbukti telah mengikuti tawuran antar pelajar.
Untuk menyiapkan generasi-generasi penerus bangsa
yang lebih toleran terhadap sesamanya dan berbudaya luhur serta berprestasi
dalam hal akademik maupun olahraga, pemerintah Indonesia harus membenahi sistem
pendidikan, entah itu menyiapkan guru yang professional yang mengerti akan
kebutuhan dasar siswa, dan juga dari
segi kurikulum harus balance antara praktik di kelas dan di lapangan, karena
dari methode yang diajarkan harus berkolaborasi antara seorang guru dengan
murid dan juga jangan terpatok oleh satu buku. Harus ada pembinaan menyeluruh yang
dilakukan oleh pemerintah seperti pembinaan siswa, pembinaan siswa meliputi dua
fungsi yakni controlling dan supervise, praktek pada kedua fungsi tersebut di
lapangan nantinya ialah lebih ke direct (tatap muka) dan indirect (pengajaran
dilakukan dengan lebih banyak berdiskusi, tanya jawab, dsb.) agar pengajaran
lebih efektif. (Djudju Sudjana: 43-48, 2010)
Kebanyakan dari pengajaran di Indonesia masih
menggunakan buku paket sebagai bahan utama pembelajaran. Hal demikian sungguh
sangat tidak efektif, harusnya siswa dibebaskan untuk mencari materi lain dari
berbagai macam referensi agar suasana di kelas mempunyai pandangan yang berbeda
terhadap pelajaran tersebut. Hal ini sangat menarik karena nantinya akan ada
sebuah perdebatan antar siswa ketika mereka mengungkapkan pendapat mengenai
informasi yang mereka dapatkan masing-masing, dan yang terpenting nantinya
adalah para siswa akan lebih kritis terhadap sesuatu dan bisa mengetahui
sesuatu apa saja yang baik untuknya dan buruk untuknya. Umumnya dalam buku paket
itu materi yang diajarkan adalah materi-materi yang umum yang sudah ada, ini
menyebabkan seorang siswa malas untuk membaca karena informasi yang mereka
dapatkan itu hanya terpatok pada lingkup sebuah buku paket saja. Jika siswa
malas membaca, maka pengetahuan mereka akan loyo dan jauh tertinggal karena
tidak punya suplemen pengetahuan, memang benar, membaca itu layaknya sebuah
suplemen (Palmer: 1964).
Pembenahan menyeluruh pada pendidikan umum di
Indonesia baik itu di tingkat SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MAN, maupun pada jenjang
Perguruan Tinggi (PT) harus secara liberalis, maksudnya adalah harus dengan
niat belajar yang benar dan juga lebih
mempersilahkan peserta didiknya untuk memperluas wawasan siswa semata, dan juga
untuk para mahasiswa, tidak hanya sekedar pelatihan tekhnis dan professional
melainkan juga lebih diminta lagi untuk memeperluas wawasannya selaku seorang
mahasiswa yang membedakannya dengan seorang siswa.
Jika seorang siswa maupun mahasiswa sudah berwawasan
luas, maka benar menurut isi buku Oxford
Learner’s dictionary (1989: 717), bahwa nantinya akan lebih berfungsinya
makna adjektiv liberal berarti tolerant and open-minded; free from predice;
yakni toleran (Arab: tasamuh),
berfikiran terbuka, tidak picik dan tidak berburuk sangka. Sinonimnya adalah broad atau general, yakni luas atau umum. Verba turunannya, to liberate atau liberalize, berarti membebaskan pikiran yang luas yang berisi
pengetahuan juga harus luas. Karena hidup di zaman serba canggih ini sangat
memerlukan bekal berupa pengetahuan yang luas agar hidup kita kelak tidak
ketinggalan zaman dengan orang lain khususnya dari bangsa lain yang siap
menggusur kita kapan saja dimana saja jika kita tidak mempuyai pengetahuan luas
(Pokoknya Rekayasa Literasi: 19,
2012)
Mengembangkan minat dan bakat seorang siswa agar
tidak terjerumus kedalam perbuatan yang buruk memang harus dilakukan, mengingat
manusia pada dasarnya memiliki sejumlah potensi dan kemampuan yang diberikan
oleh Allah SWT ada 8 hal, yakni; (1) al fitrah ‘cinta murni’, (2) al aql ‘akal’,
(3) al hayya ‘tenaga’, (4) al khuluq ‘karakter’, (5) at taba ‘tabiat’, (6) as
sajiah ‘bakat’, (7) as sifat ‘perilaku’,
(8) al amal ‘tindak tanduk’ untuk mengembangkan potensinya tersebut manusia
memerlukan pendidikan. Karena pada dasarnya pendidikan itu berusaha menampakkan
atau dapat mengaktualisasi potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik. (A.
Mujib: 43-48, 2008)
Jika para regenerasi bangsa ini sudah berwawasan
luas, maka ini akan menghasilkan komposisi yang ciamik. Dalam suatu negara yang
modern, komponen dalam suatu pendidikan itu pada hakekatnya tidak memandang
latar belakang dari seseorang, justru jika ada suatu perbedaan misalnya agama,
suku, ras, bahasa, dsb. yang terjadi di dalam suatu kelas harusnya itu menjadi
bahan perbincangan yang menarik untuk sama-sama mengetahui budaya masing-masing
sebagai suatu kesatuan masyarakat. Apalagi Indonesia ini mempunyai banyak
sekali keragaman yang terkandung di dalamnya seperti perbedaan agama, budaya,
maupun suku dari tiap-tiap daerah. Jika masing-masing pribadi sudah saling
mengetahui, maka akan ada sikap saling menghargai satu sama lain yang pada
akhirnya tidak akan ada pertikaian antar agama, suku, ras dsb. lagi yang
terjadi di Indonesia, mengingat para generasi penerus bangsa mempunyai wawasan yang
luas dan kritis, akan tetapi kritis dalam hal yang bermanfaat.
Jika sudah seperti ini, maka class cultural understanding sangat bermanfaat dalam pendidikan
liberalis, karena bukan hanya melulu membahas tentang pelajaran, akan tetapi pemahaman
tentang perbedaan yang terjadi di lingkumgan masyarakat akan mereka fahami dengan
baik dan pada akhirnya tidak akan ada
lagi pertikaian antar agama maupun antar ras yang terjadi di Indonesia.
Terjadinnya suatu hubungan yang tidak harmonis antar
sesama manusia merupakan sesuatu yang sudah lazim terjadi di dalam roda
kehidupan bersosial dan bermasyarakat. Akan tetapi hal ini akan berdampak buruk
untuk regenerasi sebuah bangsa jika hal ini terus menerus dibiarkan terjadi.
Banyak faktor yang menyebabkan suatu hubungan itu tidak harmonis, diantaranya
ialah; kurangnya sikap toleransi antar sesama masyarakat entah itu antar agama
maupun antar suku, hilangnya kepedulian diri dari lingkungan sekitar, kurangnya
pengetahuan tentang pendidikan karakter yang seharusnya diajarkan kepada remaja
sebagai tonggak penerus bangsa, dan masalah-masalah yang lainnya sehingga
menimbulkan banyak konflik yang terjadi di masyarakat Indonesia saat ini.
Pembinaan sejak dini para remaja
yang masih duduk di bangku sekolah patut untuk dilakukan secara intensif dan
menyeluruh, agar tidak terulang kembali konflik-konflik yang sudah terjadi pada
pendahulunya dan memulai lembaran dunia baru yang toleran, respect, menghargai
perbedaan-perbedaan dalam masyarakat karena semua itu sudah diatur dalam sebuah
sistem pendidikan yang bebasis nasional. Pendidikan nasional adalah pendidikan
yang mengacu pada pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai agama,
kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan zaman. Para
regenerasi bangsa Indonesia yang tidak lagi melihat suatu latar belakang
sesamanya dan diharapkan mampu lebih baik lagi di masa yang akan datang sesuai
dengan apa yang dicita-citakan oleh pejuang bangsa Indonesia di masa lampau.
REFERENCES
·
Pokoknya
Rekayasa Literasi (Chaedar Al-Wasilah: 2012).
·
Pendidikan
Agama Islam (A. Mujib: 43-48, 2008).
·
SINDO
News.
·
EDITORIAL
MEDIA INDONESIA.
·
Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun
2003.
·
Oxford
Learner’s dictionary (1989: 717).
·
(Djudju
Sudjana: 43-48, 2010).
·
(Palmer:
1964).
·
Wikipedia