Critical Review 1 : Toleransi 'Bak Simalakama'

TOLERANSI ‘BAK SIMALAKAMA


EDISI CRITICAL REVIEW MINGGU KE-3 WRITING 4

            Toleransi tanpa memandang suatu latar belakang dari seseorang merupakan harga mati jika suatu individu, golongan, atau kelompok itu menginginkan adanya suatu kelancaran dalam berlalu lintas di kehidupan sosial beragama dan bermasyarakat. Namun akhir-akhir ini khususnya di Indonesia kita sering digemparkan oleh kasus-kasus yang membuat hati kita tercengang melihat banyaknya konflik-konflik yang berkepanjangan entah itu konflik antar ras, antar agama, maupun antar sesama yang semuanya itu bentuk dari intoleran. Bahkan yang lebih heboh lagi adalah konflik para remaja yang masih duduk di bangku sekolah, sangat tidak patut untuk dikatakan sebagai hal yang wajar, bahkan mereka cenderung brutal. Padahal jika kita melihat kebelakang, Indonesia oleh warga negara asing dijuluki sebagai negara yang penduduknya sangat ramah dan saling menghargai satu sama lain, tapi di sisi lain konflik-konflik antar suku dan agama banyak terjadi di Indonesia. Hal ini bak buah simalakama yang nampak bagus dari luar namun busuk dan pahit isinya. Kenapa kasus kurangnya toleransi seperti ini bisa terjadi? Faktor apa sajakah yang menyebabkan tidak adanya sikap respect antar agama, ras, maupun golongan?   Peranan apakah yang semestinya dilakukan oleh pemerintah melalui dinas terkait? Patut untuk kita simak bersama.
Dalam suatu laporan yang dipaparkan oleh SINDO-News, pada periode per-januari sampai desember tahun 2012 yang lalu, di Indonesia telah terjadi sekitar 2.883 kasus pertikaian, entah itu melibatkan konflik antar ras, antar agama, maupun antar sesama yang terjadi di setiap daerah di Indonesia. Parahnya lagi konflik-konflik seperti ini dari tahun ke tahun selalu terulang dan malah meningkat drastis dari angka sebelumnya, sangat ironis memang  mengingat jumlah ini tidaklah sedikit. Hal ini harusnya menjadi pekerjaan rumah oleh pemerintah baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang harus bekerjasama bahu membahu mencari solusi agar konflik tersebut tidak terulang dikemudian hari, karena konflik semacam ini harus segera ditangani oleh pemerintah sebelum nantinya hal yang semakin parah akan terjadi yang pada akhirnya dikhawatirkan akan memecah sebuah kedaulatan antar sesama penduduk Indonesia. Sungguh hal yang merugikan.
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar ke-tiga setelah China dan India. Jumlah penduduk di Indonesia saat ini kurang lebih sekitar 250.000.000 jiwa.  Uniknya walaupun Indonesia merupakan negara yang demokratis, namun hal ini tidak berlaku dalam urusan kebebasan berakidah, karena seseorang itu tidak boleh menyimpang dari agama yang sudah ditetapkan dalam UUD 1945 yang menjadikan agama Islam, Kristen, Khatolik, Hindu dan Buddha sebagai agama resmi yang wajib dianut oleh warga negara Indonesia sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Indonesia bukan negara yang bebas beragama menurut keinginan pribadi apalagi ketika seseorang ingin menjadi seorang atheisme, itu sangat dikecam keras oleh pemerintah karena mengacu pada pancasila poin yang pertama yakni ketuhanan yang maha esa, untuk itulah warga negara Indonesia harus mempunyai Tuhan yang harus diyakini benar-benar.
Dari jumlah penduduk yang ada, diperkirakan sekitar 79% warga Indonesia  memeluk agama islam. Dari jumlah tersebut bisa disimpulkan bahwa negara Indonesia mayoritas penduduknya beragama islam dan 21% lainnya menganut agama Kristen, Khatolik, Hindu, dan Buddha. Dengan data tersebut, Indonesia dijuluki sebagai negara dengan mayoritas penduduknya muslim terbesar ke-tiga di dunia. Walaupun berpredikat demikian, negara Indonesia melalui pemerintahnya tidak melulu meng ’anak emaskan’ salah satu agama di Indonesia, karena baik mereka yang penganut dari ethnis Tionghoa, umat Kristiani, umat Hindu maupun Buddha, mereka semua bebas untuk menjalankan kepercayaannya masing-masing. Entah itu berupa kegiatan peribadatan maupun yang lainnya. Seperti contoh dalam sebuah berita yang dirilis oleh harian khusus Media Indonesia bahwa tingkat pertumbuhan gereja (tempat ibadah umat Kristen) di Indonesia itu lebih pesat dan banyak ketimbang pertumbuhan masjid (tempat ibadah umat Islam). Ini menjadi hal yang menarik mengingat Islam sebagai mayoritas akan tetapi tidak berkuasa penuh akan segala macam bentuk tindak tanduk yang dilakukan oleh pemerintah. Karena demokrasi merupakan hak semua warga negara Indonesia. (MI: Jakarta, 2013)
Selain keberagaman agamanya, Indonesia juga mencatatkan diri sebagai negara yang memiliki banyak sekali suku dan budaya serta bahasa yang tersebar di seluruh pelosok negeri ini. Kearifan lokal ini menjadi nilai plus tersendiri bagi negara Indonesia mengingat tingkat keberagaman yang dimiliki saat ini mampu membius seluruh perhatian dari mata dunia yang melihat keunikan dari Indonesia. Seperti contoh kecilnya tari Saman dari provinsi terbarat di Indonesia yaitu provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang menyabet banyak sekali penghargaan ketika mengikuti  karnaval kesenian dan budaya di tingkat dunia. Jika satu kesenian saja sudah mampu membius perhatian dunia, bagaimana jika semua kesenian budaya di Indonesia diperkenalkan di seluruh dunia? Pikirkan saja sendiri!  
Dengan semua kelebihan yang dimiliki oleh negara yang ‘katanya’ kaya ini, namun sayangnya seiring berjalannya waktu yang semakin canggih justru malah menghancurkan hiruk pikuk diantara perbedaan-perbedaan entah itu perbedaan dalam segi suku, budaya, agama dsb. karena perbedaan itu sudah tidak dianggap lagi sebagai sebuah keunikan, melainkan ada kepentingan lain yang terselip di dalamnya serta adanya persepsi lain dari provokator yang berusaha mempertahankan dirinya dan kelompoknya agar merasa tidak ada saingan yang mengancam. Terkadang kawan bisa menjadi lawan, sekalipun saudara kandungnya sendiri yang menghalangi, maka tidak peduli orang itu siapa dan yang terpenting lagi adalah urusan ‘dia’ pribadi dapat berjalan mulus, dan juga  hukum rimba seolah diterapkan kembali di  negara yang ‘katanya’ negara hukum ini.
Dari berbagai macam jenis konflik di Indonesia, yang paling banyak dan menempati urutan teratas adalah konflik yang bersinggungan dengan agama. Entah itu antar agama maupun dari sesama penganut agama itu sendiri. Masih segar di dalam ingatan kita ketika konflik antar kaum muslimin di Sampang, Madura. Konflik ini bermula dari seorang Kyai setempat dari kaum Syi’ah yang menikahi santriwatinya yaitu gadis di bawah umur, yang kemudian mendapat respon yang sangat keras dari kaum Sunni Madura yang sebenarnya jarak dari pesantren Syi’ah dan pesantren Sunni ini tidak terlalu jauh. Karena ada kepentingan dari salah satu pihak, maka kesempatan ini benar-benar dimanfaatkan untuk memprovokasi warga yang pada kejadian ini warga langsung termakan oleh omongan dari salah satu pihak yang mengecap bahwa kaum Syi’ah di Sampang itu sesat, tanpa mencari tahu terlebih dahulu, warga langsung membakar seluruh isi maupun bangunan pesantren Syi’ah. Sungguh biadab, kalaupun ada masalah akidah yang menyimpang dari suatu kaum, maka alangkah baiknya jika kita duduk bersama dengan kepala dingin untuk memecahkan masalah tanpa ada dari salah satu pihak yang merasa tersakiti. (Al-Habib Luthfi bin Yahya:  Cirebon Bersholawat 1, 2012)
Menurut menteri agama Republik Indonesia Bpk. Suryadharma Alie mengatakan bahwa konflik agama itu wajar, karena itu fitrah manusia. Manusia diciptakan oleh Allah SWT termasuk di dalamnya sifat amarah, akan tetapi amarah itu diatur oleh agama yang mengajak kita untuk sabar tidak cepat marah, bahkan Beliau berani manyatakan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang paling toleran satu sama lain, tidak ada negara lain di dunia ini yang tingkat toleransi antar agamanya seperti di Indonesia, ujar Beliau.
Namun kembali, faktanya kita harus mengelus dada karena di kejutkan oleh berbagai macam konflik antar agama yang terjadi di negara Indonesia. Menurut Joachim Watch, ada beberapa faktor yang mempengaruhi konflik-konflik antar agama tersebut:
1.     Pertama ialah faktor disintegrasi, yang sangat mempengaruhi. Misalnya, di suatu daerah sudah ada satu agama yang menjadi panutan warga setempat, kemudian seiring berjalannya waktu ada agama lain yang masuk ke tempat itu dan mulai menarik warga yang beragama sebelumnya. Hal ini tentunya akan menimbulkan suatu pertikaian jika tidak ada sikap saling terbuka di antara mereka, serta akan ada adu otot untuk saling  mempertahankan keyakinannya masing-masing.
2.     Berikutnya ialah faktor integrasi. Berbeda dengan disintegrasi yang memang sebelumnya sudah ada agama terdahulu, faktor integrasi ini misalnya di suatu daerah tersebut dahulunya memang tidak ada agama, melainkan hanya hukum adat yang berlaku. Kemudian dengan seiring berjalannya waktu agama mulai masuk di kehidupan adat istiadat tersebut yang tidak akan diterima begitu saja oleh masyarakat setempat.
Berikutnya ada konflik antar suku yang akhir-akhir ini juga sering terjadi  di Indonesia. Merasa sering di ‘anak tirikan’ oleh pemerintah, para masyarakat di luar pulau Jawa seringkali merasa cemburu dengan perlakuan spesial yang didapatkan oleh masyarakat di pulau Jawa. Contoh kecil yang heboh diperbincangkan adalah ketika hampir di seluruh wilayah di Indonesia mendapatkan musibah bencana entah itu tanah longsor, banjiran, puting beliung dsb, dan yang terbaru di pertengahan bulan februari tahun 2014 ini adalah meletusnya gunung Kelud yang berada di pulau jawa dan gunung Sinabung yang berada di luar pulau jawa yang jarak waktunya hampir berdekatan. Jarak waktu antara keduanya tidak begitu lama, setelah gunung Sinabung meletus kurang lebih 3 bulan, maka menyusul giliran gunung Kelud yang  memuntahkan isi perutnya. Sebenarnya yang menjadi permasalahan  ialah ketika ada kunjungan dari orang nomor satu di Indonesia yaitu Bpk. Susilo Bambang Yudhoyono beserta para rombongan kabinet Indonesia bersatu jilid dua menengok para korban bencana, para masyarakat korban bencana di daerah sekitar gunung Sinabung Medan berfikiran bahwa seakan-akan ada pilih kasih oleh pemerintah pusat, pasalnya mereka menanti-nanti kehadiran sosok Presiden untuk setidaknya menjenguk kondisi mereka, dan hal itu ternyata baru bisa ada kunjungan setelah menunggu hampir 3 bulan lamanya.
Berbanding terbalik ketika ada peristiwa serupa di pulau jawa, maka presiden RI pada saat itu langsung menjenguk para korban bencana hanya dengan durasi waktu sekitar 3 hari pasca bencana. Hal ini akan akan menimbulkan kecurigaan sehingga membuat para warga di luar pulau jawa merasa tidak diperlakukan dengan adil, padahal baik itu warga dari pulau jawa maupun yang di luar pulau jawa harusnya mendapatkan perlakuan yang sama karena mereka semua itu satu yang tergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam hal ini pemerintah yang seharusnya bersikap netral, malah seakan pemerintahnya itu sendiri seperti mengajarkan warganya untuk bersikap nepotisme yang menjurus fanatisme terhadap kaumnya sendiri. Jika hal demikian dibiarkan terus terjadi, maka dikhawatirkan akan ada lebih banyak lagi perang antar suku dan ethnis lainnya yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Namun yang terpelik dari yang terpelik ialah ketika konflik-konflik semacam ini sudah menjamah para remaja yang menjadi cikal bakal penerus bangsa ini (katanya). Para remaja di Indonesia sekarang ini wabil khusus untuk remaja yang masih duduk di bangku sekolah, semakin kurangnya sikap rasa saling memiliki satu sama lain, sikap kepedulian yang amat menipis terhadap sesamanya, kemudian juga patut disoroti bahwa sikap respect para siswa Indonesia sekarang ini perlahan mulai terkikis habis dimakan oleh waktu yang semakin dan semakin canggih ini.
Kasus demi kasus tentang kenakalan para remaja khususnya bagi siswa yang masih duduk di bangku sekolah sebenarnya sudah sejak lama terjadi dan entah mengapa hal ini terus saja terulang dan terulang dikemudian hari, bak borok yang sudah busuk dan tidak bisa terobati. Kenakalan mereka sungguh tidak bisa kita anggap sebagai hal yang wajar, pasalnya kasus mereka sungguh di luar batas kendali, karena kelakuan mereka tidak seperti para siswa pada hakekat yang sebenarnya.
Yang paling banyak terjadi dari beberapa contoh kasus  kenakalan yang melibatkan para siswa ialah dimana-mana terjadi fenomena tawuran antar sekolah di Indonesia. Sungguh ironis mendengar kelakuan para penerus bangsa ini yang lebih mementingkan egonya sendiri ketimbang mementingkan bagaimana siswa berusaha untuk menggapai prestasi setinggi mungkin. Ketika negara lain berlomba-lomba untuk mengejar suatu prestasi, namun itu tidak berlaku untuk para siswa di negara Indonesia, pada era yang super canggih ini rasanya tawuran antar siswa di sekolah merupakan hal yang sangat amat jadul karena konflik semacam ini biasa terjadi dalam kehidupan suku-suku pedalaman yang hidup di hutan belantara serta memakai hukum rimba sebagai acuannya. Sementara itu justru sebaliknya, ketika di Indonesia hanya berkompetisi untuk mengharumkan nama sekolahnya lewat tawuran, maka para siswa dari berbagai negara lain justru berlomba-lomba untuk menciptakan suatu suasana belajar yang menyenangkan di dalam kelasnya, karena semua hasil dari buah kesuksesan dalam belajar ialah bermula dari suatu kelas yang menyenangkan sehingga para siswa tertarik pada pelajaran yang pada akhirnya akan membuat para siswa berprestasi entah itu di sekolah maupun di lingkungan tempat tinggalnya.
            Pemerintah dalam hal ini melalui dinas terkait telah memikirkan banyak cara jitu untuk menghapus total kebiasaan buruk para siswa di Indonesia. Bahkan menteri pendidikan Indonesia Bpk. Mohammad Nuh berani mengatakan kepada seluruh sekolah di Indonesia agar memperingatkan para siswanya itu agar tidak mengikuti tawuran, kalau seandainya mereka (para siswa) masih saja membandel, maka pihak sekolah jangan gentar untuk langsung mengembalikan siswa tersebut ke orang tuanya dalam artian siswa sudah dikeluarkan atau dipindahkan dari sekolah tersebut.
Senada dengan apa yang telah dikatakan oleh menteri pendidikan Indonesia Bpk. Mohammad Nuh, wakil gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau biasa dipanggil Ahok juga sangat keras menyikapi kelakuan yang menyimpang dari para siswa yang hobby tawuran untuk segera memindahkan atau mengeluarkan siswa tersebut dari sekolah tanpa ampun jika siswa tersebut memang terbukti telah mengikuti tawuran antar pelajar.
Untuk menyiapkan generasi-generasi penerus bangsa yang lebih toleran terhadap sesamanya dan berbudaya luhur serta berprestasi dalam hal akademik maupun olahraga, pemerintah Indonesia harus membenahi sistem pendidikan, entah itu menyiapkan guru yang professional yang mengerti akan kebutuhan dasar siswa, dan juga  dari segi kurikulum harus balance antara praktik di kelas dan di lapangan, karena dari methode yang diajarkan harus berkolaborasi antara seorang guru dengan murid dan juga jangan terpatok oleh satu buku. Harus ada pembinaan menyeluruh yang dilakukan oleh pemerintah seperti pembinaan siswa, pembinaan siswa meliputi dua fungsi yakni controlling dan supervise, praktek pada kedua fungsi tersebut di lapangan nantinya ialah lebih ke direct (tatap muka) dan indirect (pengajaran dilakukan dengan lebih banyak berdiskusi, tanya jawab, dsb.) agar pengajaran lebih efektif. (Djudju Sudjana: 43-48, 2010)
Kebanyakan dari pengajaran di Indonesia masih menggunakan buku paket sebagai bahan utama pembelajaran. Hal demikian sungguh sangat tidak efektif, harusnya siswa dibebaskan untuk mencari materi lain dari berbagai macam referensi agar suasana di kelas mempunyai pandangan yang berbeda terhadap pelajaran tersebut. Hal ini sangat menarik karena nantinya akan ada sebuah perdebatan antar siswa ketika mereka mengungkapkan pendapat mengenai informasi yang mereka dapatkan masing-masing, dan yang terpenting nantinya adalah para siswa akan lebih kritis terhadap sesuatu dan bisa mengetahui sesuatu apa saja yang baik untuknya dan buruk untuknya. Umumnya dalam buku paket itu materi yang diajarkan adalah materi-materi yang umum yang sudah ada, ini menyebabkan seorang siswa malas untuk membaca karena informasi yang mereka dapatkan itu hanya terpatok pada lingkup sebuah buku paket saja. Jika siswa malas membaca, maka pengetahuan mereka akan loyo dan jauh tertinggal karena tidak punya suplemen pengetahuan, memang benar, membaca itu layaknya sebuah suplemen (Palmer: 1964).
Pembenahan menyeluruh pada pendidikan umum di Indonesia baik itu di tingkat SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MAN, maupun pada jenjang Perguruan Tinggi (PT) harus secara liberalis, maksudnya adalah harus dengan niat belajar yang benar dan juga  lebih mempersilahkan peserta didiknya untuk memperluas wawasan siswa semata, dan juga untuk para mahasiswa, tidak hanya sekedar pelatihan tekhnis dan professional melainkan juga lebih diminta lagi untuk memeperluas wawasannya selaku seorang mahasiswa yang membedakannya dengan seorang siswa.
Jika seorang siswa maupun mahasiswa sudah berwawasan luas, maka benar menurut isi buku Oxford Learner’s dictionary (1989: 717), bahwa nantinya akan lebih berfungsinya makna adjektiv liberal berarti tolerant and open-minded; free from predice; yakni toleran (Arab: tasamuh), berfikiran terbuka, tidak picik dan tidak berburuk sangka. Sinonimnya adalah broad atau general, yakni luas atau umum. Verba turunannya, to liberate atau liberalize, berarti membebaskan pikiran yang luas yang berisi pengetahuan juga harus luas. Karena hidup di zaman serba canggih ini sangat memerlukan bekal berupa pengetahuan yang luas agar hidup kita kelak tidak ketinggalan zaman dengan orang lain khususnya dari bangsa lain yang siap menggusur kita kapan saja dimana saja jika kita tidak mempuyai pengetahuan luas (Pokoknya Rekayasa Literasi: 19, 2012)
Mengembangkan minat dan bakat seorang siswa agar tidak terjerumus kedalam perbuatan yang buruk memang harus dilakukan, mengingat manusia pada dasarnya memiliki sejumlah potensi dan kemampuan yang diberikan oleh Allah SWT ada 8 hal, yakni; (1) al fitrah ‘cinta murni’, (2) al aql ‘akal’, (3) al hayya ‘tenaga’, (4) al khuluq ‘karakter’, (5) at taba ‘tabiat’, (6) as sajiah ‘bakat’,  (7) as sifat ‘perilaku’, (8) al amal ‘tindak tanduk’ untuk mengembangkan potensinya tersebut manusia memerlukan pendidikan. Karena pada dasarnya pendidikan itu berusaha menampakkan atau dapat mengaktualisasi potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik. (A. Mujib: 43-48, 2008)
Jika para regenerasi bangsa ini sudah berwawasan luas, maka ini akan menghasilkan komposisi yang ciamik. Dalam suatu negara yang modern, komponen dalam suatu pendidikan itu pada hakekatnya tidak memandang latar belakang dari seseorang, justru jika ada suatu perbedaan misalnya agama, suku, ras, bahasa, dsb. yang terjadi di dalam suatu kelas harusnya itu menjadi bahan perbincangan yang menarik untuk sama-sama mengetahui budaya masing-masing sebagai suatu kesatuan masyarakat. Apalagi Indonesia ini mempunyai banyak sekali keragaman yang terkandung di dalamnya seperti perbedaan agama, budaya, maupun suku dari tiap-tiap daerah. Jika masing-masing pribadi sudah saling mengetahui, maka akan ada sikap saling menghargai satu sama lain yang pada akhirnya tidak akan ada pertikaian antar agama, suku, ras dsb. lagi yang terjadi di Indonesia, mengingat para generasi penerus bangsa mempunyai wawasan yang luas dan kritis, akan tetapi kritis dalam hal yang bermanfaat.
Jika sudah seperti ini, maka class cultural understanding sangat bermanfaat dalam pendidikan liberalis, karena bukan hanya melulu membahas tentang pelajaran, akan tetapi pemahaman tentang perbedaan yang terjadi di lingkumgan masyarakat akan mereka fahami dengan baik dan pada akhirnya tidak akan ada  lagi pertikaian antar agama maupun antar ras yang terjadi di Indonesia.
            Terjadinnya suatu hubungan yang tidak harmonis antar sesama manusia merupakan sesuatu yang sudah lazim terjadi di dalam roda kehidupan bersosial dan bermasyarakat. Akan tetapi hal ini akan berdampak buruk untuk regenerasi sebuah bangsa jika hal ini terus menerus dibiarkan terjadi. Banyak faktor yang menyebabkan suatu hubungan itu tidak harmonis, diantaranya ialah; kurangnya sikap toleransi antar sesama masyarakat entah itu antar agama maupun antar suku, hilangnya kepedulian diri dari lingkungan sekitar, kurangnya pengetahuan tentang pendidikan karakter yang seharusnya diajarkan kepada remaja sebagai tonggak penerus bangsa, dan masalah-masalah yang lainnya sehingga menimbulkan banyak konflik yang terjadi di masyarakat Indonesia saat ini.
            Pembinaan sejak dini para remaja yang masih duduk di bangku sekolah patut untuk dilakukan secara intensif dan menyeluruh, agar tidak terulang kembali konflik-konflik yang sudah terjadi pada pendahulunya dan memulai lembaran dunia baru yang toleran, respect, menghargai perbedaan-perbedaan dalam masyarakat karena semua itu sudah diatur dalam sebuah sistem pendidikan yang bebasis nasional. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang mengacu pada pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan zaman. Para regenerasi bangsa Indonesia yang tidak lagi melihat suatu latar belakang sesamanya dan diharapkan mampu lebih baik lagi di masa yang akan datang sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh pejuang bangsa Indonesia di masa lampau.


REFERENCES

·       Pokoknya Rekayasa Literasi (Chaedar Al-Wasilah: 2012).
·       Pendidikan Agama Islam (A. Mujib: 43-48, 2008).
·       SINDO News.
·       EDITORIAL MEDIA INDONESIA.
·       Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003.
·       Oxford Learner’s dictionary (1989: 717).
·       (Djudju Sudjana: 43-48, 2010).
·       (Palmer: 1964).
·       Wikipedia
Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment