Semua Punya Peran!
(Critical Review By: Fitri Maulidah)

Menanggapi artikel yang dimuat oleh harian the Jakarta post edisi 22 oktober 2011 silam, yaitu “Pembelajaran di kelas untuk memupuk keragaman beragama” dikatakan bahwa untuk mengetahui kualitas suatu bangsa dapat dilihat dari sistem pendidikan bangsa tersebut. Pendidikan dasar adalah sebagai landasan. Fungsinya adalah untuk mengembangkan kehidupan mereka serta membekalinya dengan keterampilan dasar untuk kehidupan mereka sebagai individu, anggota masyarakat dan warga negara. Pendidik ditantang untuk merubah generasi bangsa menjadi generasi yang lebih baik, untuk meningkatkan kualitas bangsa tersebut. Saya setuju dengan opini bahwa kualitas suatu bangsa yang dapat dilihat dari sistem pendidikan, namun tentunya kualitas yang dihasilkan itu tidak hanya mengacu pada sistem pendidikan saja. Sikap anggota pemerintahan, serta masyarakat juga menentukan kualitas suatu bangsa.

Menurut saya pendidik tidak hanya guru saja, karena tentunya jika hanya mengandalkan guru sebagai peningkat mutu pendidikan tentu tugas mereka sangat berat. Peranan pemerintah, masyarakat serta lingkungan yang baik sangat mendukung sistem pendidikan yang baik dan berkualitas. Jika semuanya saling koordinasi satu sama lain, tentu apa yang diharapkan untuk menjadi bangsa yang berkualitas akan terwujud. Timbulnya masalah sosial yang ada dikalangan pelajar di Indonesia menunjukkan adanya penyakit sosial yang diakibatkan oleh kurangnya pemahaman dasar yang ditanamkan mengenai rasa hormat dan saling menghargai. Masalah tersebut disebut sebagai konflik.
Robbins (1996) dalam “Organization Behavior” menjelaskan bahwa konflik adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara dua pendapat (sudut pandang) yang dipengaruhi pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif. Sedang menurut Luthans (1981) konflik adalah kondisi yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan yang saling bertentangan. Kekuatan-kekuatan ini bersumber pada keinginan manusia. Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Hal ini berarti, bila kita ingin mengetahui konflik, kita harus mengetahui kemampuan dan perilaku komunikasi. Semua konflik mengandung komunikasi, tapi tidak semua konflik berakar pada komunikasi yang buruk.
Berbagai asumsi tentang konflik dipahami berdasarkan dua sudut pandang, yaitu tradisional maupun kontemporer. Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu yang buruk yang harus dihindari. Bahkan sering kali konflik dikaitkan dengan kemarahan, agresivitas, pertentangan baik secara fisik maupun dengan kata-kata kasar. Sebaliknya, pandangan kontemporer mengenai konflik didasarkan pada anggapan bahwa konflik adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari sebagai konsekuensi logis interaksi manusia. Interaksi yang seperti apa? jika interaksi yang dilakukan tidak sling menghagai satu sama lain tentunya akan memacu terjadinya konflik.
Indonesia adalah negara yang mempunyai beraneka macam budaya serta keyakinan. Seharusnya perbedaan tersebut menjadi harmoni yang indah, bukan saling mengejek satu sama lain. Adanya perbedaan tentu tidak mudah untuk dijadikan satu, akan tetapi janganlah menjadikan perbedaan untuk menganggap yang berbeda dari kita itu lebih rendah tingkatannya. Perubahan-perubahan sosial juga mempengaruhi terjadinya konflik, maka kita harus dapat mengendalikan perubahan sosial yang terjadi.
Perubahan sosial yang terjadi semenjak dulu hingga sekarang seringkali diikuti berbagai macam  konflik, yang kadang ada sangkut pautannya dengan budaya, suku, ras bahkan agama. Konflik tersebut terkadang terjadi antara individu atau kelompok kerena perbedaan jabatan, bidang kerja dan status sosial. Sebagian kalangan berpendapat bahwa perbedaan konsep keagamaanlah yang menjadi sumber konflik utama antara umat manusia. Dikatakan bahwa sejumlah teks  keagamaan memang mengatur masalah kekerasan dan peperangan. Dalam tradisi Judeo-Christian, Yehweh –sebutan Tuhan dalam Bibel- digambarkan sebagai “God of War”, sebagaimana diterangkan dalam Mazmur 18: 40- 41, “
(40) Engkau telah mengikat pingggangku dengan keperkasaan untuk berperang; Engkau tundukkan ke bawah kuasaku orang yang bangkit melawanku. (41) Kau buat musuhku lari dari aku, dan orang-orang yang membenci aku kubinasakan.”
Dalam Islam juga dikenal konsep jihad yang dalam sejumlah hal berarti qital (peperangan).  Maka, sebagian pengamat melihat agama adalah  sumber konflik, atau setidaknya berperan terhadap berbagai konflik sosial. Ferguson (1977) mencatat, “Every major religious tradition includes its justification for violence”. Sebagian lain menyimpulkan bahwa agama-agama memberikan ajaran dan contoh-contoh yang melegitimasi pembunuhan. Seperti yang dilakukan oleh para teroris islam yang merusak segala tempat peribadahan umat non-islam, mungkin mereka menafsirkan jihad dengan cara yang salah.
Cara pandang terhadap agama dengan menempatkan agama sebagai sumber konflik, telah menimbulkan berbagai upaya menafsirkan kembali ajaran agama dan kemudian dicarikan titik temu pada level tertentu, dengan harapan konflik antara umat manusia akan teredam jika faktor “kesamaan agama” itu didahulukan. Semua ajaran agama pada dasarnya ba­ik dan mengajak kepada kebaikan. Na­­­mun nyatanya tidak semua yang di­anggap baik itu bisa bertemu dan se­iring sejalan. Bahkan, sekali waktu da­pat terjadi pertentangan antara yang sa­­­­tu dengan yang lain. Alasannya tentu ber­­ma­cam-macam. Misalnya, tidak semua yang dianggap baik itu benar. kemudian, a­pa yang benar menurut manusia belum tentu dibenarkan oleh Tuhan dan alasan lain  yang dapat dimuncul­kan.
Peranan pendidik yang kini ditantang untuk mengubah pola fikir generasi bangsa sebagai warga negara kelak. Dalam buku Pokoknya Rekayasa Literasi, pada bab 7 dijelaskan menganai pendidikan umum dan liberal. Pendidikan liberal adalah pendidikan yang diniati untuk memperluas wawasan (maha)siswa, tidak sekedar penglihatan teknis dan profesional. Pendidikan liberal mendekatkan siswa pada buku-buku yang memiliki nilai sejarah dan kebenaran yang tinggi, hal tersebut harus dipelajari dan dijadikan sumber inspirasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman yang serba modern ini. Akan tetapi, yang menjadi tantangan terbesar bagi pendidikan liberal ini adalah sejauh mana pendidikan tersebut dapat menanamkan prinsip-prinsip pendidikan agar lulusannya siap menghadapi perubahan dunia.
Dunia memang sedang dilanda arus perubahan yang begitu cepat, yang berakibat pada perubahan sosial dan kultural. Adanya pergeseran sistem nilai dan budaya yang cukup drastis, yang menimbulkan gebrakan kuat yang membuat manusia harus menyesuakan dengan nilai-nilai tersebut. Menyesuakan diri dengan perubahan nilai tentunya tidak semudah dan semulus yang kita harapkan, tak jarang penyesuaian menimbulkan konflik, tergantung bagaimana kita menyikapi perubahan tersebut.
 Pendidikan umum yang seringkali ditukar pengertian dengan pendidikan liberal, karena memiliki fungsi yang hampir sama yaitu menyiapkan individu sebagai pribadi utuh dan bukannya menyiapkan tenaga vokasional. Bedanya, tenaga liberal lebih condong pada mata pelajaran sebagai warisan tradisi dan lebih mengembangkan aspek intlektual. Untuk pendidikan umum, siswa condong fokus pada pengembangan pribadi dalam sekala yang lebih luas dari intelektual, tetapi segala aspek emosi, sosial, dan moral peserta didik.
Konflik sosial dan ketidakharmonisan agama khususnya, merupakan tantangan bagi pendidik dalam melakukan yang terbaik untuk mempersiapkan generasi berikutnya sebagai warga negara yang demokratis dengan karakter yang baik. Ali (1992) bahwa pelaksanaan pembelajaran  adalah pelaksanaan strategi-strategi yang telah dirancang untuk mencapai tujuan pembelajaran. Strategi, pendekatan, prinsip-prinsip dari metode pembelajaran diarahkan  guna mencapai tujuan pembelajaran yang efisien dan efektif.
Beberapa orang lebih memilih pendidikan umum dari pada liberal. Mereka memandang pendidikan liberal membatasi ruang lingkup pengetahuan terkini yang semakin mudah didapatkan serta perkembangan masyarakat yang semakin kompleks karena kemajuan ilmu dan teknologi yang sulit dihindari. Oleh karena itu, peranan pendidik saat ini memiliki tantangan yang lebih ekstra untuk mengimbangi semua jenis perkembangan pendidikan yang ada. Efektivitas pembelajaran dapat tercapai atau tidak tergantung dari kemampuan guru untuk mencapai keberhasilan proses pembelajaran tersebut. Dalam pembelajaran di sekolah terdapat proses belajar, yaitu proses terjadinya perubahan pengetahuan, sikap, informasi, kemampuan dan keterampilan yang sifatnya permanen melalui pengalaman. Karena proses pembelajaran adalah suatu proses yang menjadi inti dari kegiatan transfer of knowledge dan transfer of action dari guru kepada siswa di sekolah. Secara sederhana proses pembelajaran adalah merupakan interaksi antara guru dengan siswa secara langsung dalam kelas, dalam rangka mentransfer ilmu pengetahuan dan tekhnologi dari guru kepada siswa.
Untuk membentuk generasi menjaadi warga negara yang demokratis saya setuju dengan konsep yang dijelaskan dalam artikel A.Chaedar ini, yaitu kerukunan umat beragama harus dikembangkan di sekolah pada awal usia sedini mungkin. Dengan menanamkan kerukunan semenjak pendidikan dasar, siswa tentu akan terbiasa dan membawa kebiasaan tersebut sampai dia menjadi warga negara dan benar-benar menjunjung nilai yang baik yang telah ada semenjak pendidikan dasar. Pendidikan yang mengatur peserta didik berinteraksi atau diskusi dengan seusia mereka memang membuat satu sama lain saling berbagi pendapat dan tidak ada rasa takut untuk mengutarakan pendapat. Pengaturan multikultural yang dikelola oleh pendidik atau guru sangat diperlukan, karena siswa yang multikultural (perbedaan etnis, budaya, agama dan sosial) cenderung memiliki pola pikir yang dibentuk oleh latar belakang mereka masing-masing.
Wacana mengenai program sekolah yang harus memfasilitasi interaksi siswa, seperti diadakannya tempat ibadah siswa dan kebijakan yang diberlakukan, itu dikembalikan pada sekolah tersebut. Tentunya dengan melihat jumlah siswa yang ada di sekolah itu sendiri, jika jumlah siswa multikultural cukup banyak tentu perlu pengadaan tempat ibadah masing-masing. Hal tersebut untuk menanamkan kebiasaan saling menghormati satu sama lain, tentunya tak lepas dari kebijakan-kebijakan yang diberikan oleh pemerintah setempat. Peraturan yang ada pada sistem pendidikan multikultural memang membuat sekolah dan para pegawainya bekerja lebih ekstra demi tercapainya hasil pembelajaran yang diharapkan. Tentunya kebijakan yang ada akan menghasilkan wacana sipil yang positif guna menyatukan perbedaan yang beragam yang akan.
Memfasilitasi siwa yang multikultural penting juga untuk menjaga hubungan baik sesama siswa, jadi tidak ada yang merasa dijadikan anak tiri oleh lembaga sekolah tersebut. Selain fasilitas yang disediakan, adanya interksi yang baik antara siswa dengan siswa, atau siswa dengan guru yang diterapkan pada usia dini tentu  akan menjadikan keharmonisan dalam pembelajaran untuk masa yang akan datang.
Menjalin interaksi dalam kehidupan manusia di dunia ini sering kita alami kendala-kendala yang mungkin sebenarnya tidak perlu terjadi jika kita bisa memahami semua karakter dan sifat orang lain. Perlu diketahui bahwa secara umum karakter dan sifat manusia sama, tetapi dalam diri manusia sendiri terdapat karakter yang lebih dominan yang membedakan kita dengan orang lain termasuk orang tua kita dan saudara kita yang walaupun mungkin itu adalah saudara kembar kita sekalipun. Karakter dan sifat semua manusia bisa berubah-ubah kapanpun, bahkan dalam hitungan detik.  Untuk itu ada yang harus kita pahami dalam melihat karakter atau sifat tersebut, yaitu:
Ø  Tataplah matanya. Biasanya, segala bentuk ekspresi seperti sedih, bahagia, cemas, bingung dan marah akan terlihat melalui sorot mata. Gambaran kondisi seseorang pada saat memendam sesuatu akan terlihat pada sorot mata yang takkan bisa disembunyikan oleh dirinya sendiri sekalipun.
Ø  Memilih kata  yang baik. Penggunaan kata-kata yang tepat merupakan hal yang penting dalam berinteraksi, baik secara lisan maupun tulisan. Penggunaan kata-kata yang baik ternyata menggambarkan karakter atau sifat, karena perkataan adalah bentuk kebiasaan yang dilakukan seseorang dalam kesehariannya.
Ø  Memahami ekspresi. Melihat ekspresi seseorang pada saat dia berinteraksi dengan kita, akan membuat kita tahu apakah dia memahami topik yang dibicarakan atau dia hanya mencoba bersimpati pada apa yang sedang kita bicarakan saja. Dengan memahami ekspresi seseorang, membantu kita dalam mengendalikan situasi dalam berkomunikasi.
Ø  Pemilihan topik. Menentukan topik dalam berinteraksi yang tidak mudah untuk dilakukan, tentunya kita harus memilih topik yang membuat lawan bicara tertarik melakukan interaksi bersama kita.  
Setelah kita tahu dan dapat menguasai semua aspek dalam melihat karakter atu sifat seseorang, tentunya interaksi yang baik akan tecapai dalam melakukan pedidikan yang kita harapkan.
            Dalam buku Landasan Kependidikan yang ditulis oleh Prof. Dr. Made Pidarta, upaya pendidikan yang dilakukan oleh Indonesia baru dalam tahap PERHATIAN. Perhatian terhadap perlunya filsafat pendidikan tersebut baru muncul sana-sini, belum terkoordinasi dan menjadi suatu perhtian khusus untuk segera mewujudkannya. Tahapan pendidikan yang memprihatinkan ini dibuktikan dengan banyaknya konflik agama yang terjadi di Indonesia. Seperti kerusuhan di Ambon (mulai 1998), Paso (mulai 1998), Maluku Utara (2000), Sambas (2008), Papua ( 2010 ) dan Singkawang ( 2010 ).  Konflik di Maluku awalnya diketahui disebabkan oleh kesenjangan ekonomi dan kepentingan politik semata, berupa pembujukan secara berlebihan atau pemaksaan yang terselubung maupun yang terang-terangan. Faktor lainnya yaitu berkaitan dengan pernikahan. Pernikahan yang terjadi antara pemueluk agama yang berbeda seringkali menjadi penyebab munculnya gangguan hubungan antara umat beragama. Dalam islam pernikahan yang terjadi dengan agama yang lain selain islam dianggap haram!
Perniikahan tentu haru satu keyakinan, meskipun cinta tak kenal perbedaan tapi suatu saat perbedaan keyakinan akan menyebabkan konflik pada hubungan tersebut. Menurut Hendropudpito, agama adalah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-pengenut yang berproses pada kekuatan-kekuatan yang empiris yang dipercaya dan digunakan untuk mencapai keselamatan oleh pemeluknya. Sifat agama yang supranatural yang dijadikan sandaran dan diharapkan dapat mengatasi masalah non-empiris. Setiap agama hakikatnya selalu membawa misi kedamaian dan keselarasan hidup, bukan hanya hubungan sesama manusia saja, tetapi antara sesama makhluk yang diciptakan oleh Tuhan.
Bentuk-bentuk radikalisme telah mengganggu kohesi sosial dan dapat menghasilkan saling tidak percaya di antara kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat. Maksudnya, bentuk-bentuk kekerasan yang saat ini menjadi penyebab terganggunya ikatan antara masyarakat (tokoh masyarakat) yang kadang disebabkan adanya klaim kebenaran. Berbagai kasus yang diakibatkan oleh klaim kebenaran ini membuat hubungan sesama manusia menjadi tidak harmonis. Disinilah peranan pendidik sangat dibutuhkan untuk merubah paradigma yang terjadi selama ini, yaitu menganggap agama yang dianutnya sebagai yang paling benar tanpa menghargai agama lain atau tidak berdemokrasi. Para pemimpin juga, acap kali tidak memiliki pengertian yang memadai mengenai arti demokrasi,a atau tidak menyadari arti mayoritas dalam demokrasi. Seringkali mereka seringkali menjadi serba salah, bukannya mengambil tindakkan malahan mengecewakan umat-umat tertentu.
Upaya yang juga dapat dilakukan untuk memperjelas hubungan antara agama dan negara serta mengefektifkan peranan umat, dalam buku Teologi Kerukunan yaitu: pertama, melakukan pemetaan kembali terhadap makna dan peranan agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, memaksimalkan konstribusi agama dalam pembangunan negara di segala sisi. Ketiga, melakukan sosialisasi dan internalisasi agama serta dapat mendatangkan kebaikan bagi seluruh warga negara dan umat manusia, bukan hanya oleh tokoh-tokoh agama tetapi juga penyelenggaraan negara.
Laporan penelitian yang dilakukan oleh Apriliaswati yang dimuat dalam artikel A.chaidar ini saya rasa memang benar, penelitiannya ( 2011 ) menyimpulkan bahwa interaksi teman sebaya dalam dukungan kelas wacana sipil yang positif di kalangan siswa. Seperti yang saya katakan sebelumnya, dengan siswa berinteraksi antar teman sebayanya memungkinkan keterbukaan yang mutlak yang diungkapkan oleh mereka.
Namun, semua interaksi yang dilakukan siswa dalam kelas tetap harus menjadi pantauan guru sebagai pendidik dalam lingkungan sekolah. Dalam lingkungan masyarakat, orang tua atau wali siswa juga dibutuhkan untuk menjadikan siswa sebagai penerus bangsa yang kita harapkan. Kenyataan bahwa Pendidikan indonesia yang saat ini belum berhasil menciptakan bangsa yang harmonis, menurut saya penyebabnya adalah kurangnya keterlibatan berbagai pihak yang menjadi acuan dalam pendidikan untuk berperan langsung atau mendukung proses pendidikan yang ada di Indonesia.
Hubungan antara pendidik dengan peserta didik menentukan pelaksanaan pendidikan, yaitu pendidik diibaratkan sebagai kusir dan peserta didik adalah kudanya. Akan tetapi peserta didik juga mempunyai hak untuk bergerak dan berprilaku sesuai kata hatinya sendiri. Kalau begitu, pelaksanaan pendidikan antara pendidik dan peserta didik  sama-sama punya hak untuk memilih konsep, menentukan kebijakan, dan cara-cara melaksanakan pendidikan.
“Idealnya kebijakan harus ditegakkan dimana sekolah yang dikelola oleh guru dan tenaga yang berbeda agama , etnis dan dari kelompok-kelompok sosial yang berbeda . Kampus ini juga harus menyediakan tempat ibadah bagi siswa dari semua agama . Siswa akan belajar bagaimana orang lain melakukan ritual keagamaan.” Saya kurang setuju pada pendapat yang satu ini, karena kebijakkan tersebut harus dilihat dulu jumlah siswa yang ada pada sekolah atau lembaganya. Memang cara kebijakan tersebut dapat diterima, tetapi faktor agama merupakan keyakinan masing-masing individu dan siswa hanya sekedar tahu saja tidak untuk mempelajari bagaimana orang lain atau rekannya melakukan ritual keagamaan.
Dalam konteks Indonesia, pendidikan liberal harus mencakup pengetahuan etnis, agama dan minoritas bahasa dan budaya. Terlepas dari karir mereka - politisi, insinyur, petani, atau pengusaha- siswa harus diberikan pengetahuan yang memadai di daerah-daerah. Jika pendidikan liberal ini memang benar diterapkan di Indonesia, tentunya pendidikan bangsa saat ini tidak akan timbul konflik. Pendidikan liberal mempunyai dimensi-dimensi seperti dimensi intelektual, fisik, moral dan spirinatural serta dimensi keterampilan. Tentunya konflik yang ada muncul akibat pendidikan liberal yang tidak dikaji secara keseluruhan karena tidak dapat memanusiakan manusia (peserta didik). Jika pendidikan liberal benar-benar diterapkan, dan semua pihak ikut berperan dalam pendidikan yang ada di Indonesia kerukunan antara umat dan pemerintah akan terealisasikan.

References

Pidarta Made.2009.Landasa Keendidikan.PT Rineka Cipta Jakarta

Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment