Critical Review 1




Name: DIANA
Class: PBI A/4th semester
Subject: Writing 4
Lecture: Mr. LaLa Bumela, M.Pd.
Jumlah kata: 2.788
“ Pelangi  Kehidupan”
             Pelangi merupakan sebuah anugerah terindah dari tuhan sebagai suatu simbol keindahan karena terdiri dari berbagai macam warna yang satu sama lainnya membentuk kesatuan warna yang nampak elok di pandang oleh mata.Seperti halnya  Indonesia sebagai negara dan bangsa kempat terbesar di muka bumi, dengan tujuh belas ribu pulau, besar dan kecil, yang terbentang dari Sabang sampai Merauke  memiliki berbagai macam suku bangsa, etnis, agama, dan berbagai macam perbedaan lainnya yang tersebar diberbagai pulau, kota, daerah ,bahkan pelosok desa.

        Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tentunya membutuhkan sebuah sinergi yang potensial sesuai dengan ranah kehidupan yang terus mengalami perkembangan yang begitu pesat. Kemajuan suatu bangsa merupakan hakikat bangsa sebagai hasil dari usaha dalam mengoptimalkan kinerja sumber daya manusia(SDM) dan sumber daya alam(SDA) yang dimiliki oleh bangsa tersebut. Salah satu faktor terpenting dalam pengupayaan menuju kemajuan suatu bangsa yang berpotensi tinggi adalah dengan adanya pendidikan karena dimana pendidikan merupakan sebuah inti dari kemajuan suatu bangsa yang berpengaruh terhadap perkembangan aspek lain seperti aspek budaya, politik, ekonomi, dan sosial.
       Keberadaan pendidikan yang menjadi pundi- pundi bangsa nampaknya sangat beragam jenisnya karena pendidikan dikenal oleh masyarat sejak masa anak- anak sebagai dasar pengetahuan . Selain itu dalam dunia pendidikan tentunya peserta didik dalam pendidikan bukan hanya tergolong dari satu suku, etnis, budaya dan agama. Maka untuk menjadi pengikat kesatuan bangsa tidak boleh memprioritaskan hanya pada satu suku atau satu agama saja karena hal itu bisa menjadi bumerang dalam membunuh kesatuan bangsa dan meruntuhkan kerukunan beragama yang pluralitas.
         Adapun pengertian pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan.(SoekidjNotoatmojo.2003:16).
       Adapun unsur- unsur pendidikan ialah input, pendidik, proses, dan output. Keempat unsure tersebut yaitu; input; pendidikan  mencakup sasaran pendidikan, yaitu: individu, kelompok dan masyarakat. Pendidik yaitu pelaku pendidik,, proses; upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain. Sedangkan output;   Yaitu melakukan apa yang diharapkan  atau perilaku (Soekidjo Notoatmodjo. 2003:16) 
       Akan tetapi pendidikan itu ada yang bersifat umum dan liberal. Namun dalam ranah kehidupan biasanya orang sering tertukar untuk membedakan antara penddidkan umum dan pendidikan liberal karena keduanya memiliki fungsi yang  hampir sama yaitu untuk menyiapkan individu sebagai pribadi utuh, bukannya menyiapkan tenaga vokasional. Perbedaannya, pendidikan liberal terfokus pada mata pelajaran sebagaia warisan tradisi(klasik) dan lebih mengembangkan aspek intelektual. Sedangkan pendidikan umum lebih terfokus pada pengembangan pribadi dalam skala yang lebih luas tidak sekadar aspek intelektual, tetapi semua aspek, yaitu intelektual, emosi, sosial, dan moral peserta didik.
         Terkait dengan masalah kerukunan beragama yang terdiri dari agama yang pluralitas memang sedikit membesit kita untuk membentengi diri kita dalam hal  berperilaku dan berbicara karena kita sebagai seorang umat beragama yang memeluk kepercayaan yang berbeda- beda tentunya dalam setiap agama itu mempunyai prinsip dan aturan yang berbeda.
          Untuk menghadapi berbagai konflik sosial yang terjadi diperlukan adanya”Ke’arifan Pluralitas”(Gnostic Pluralism), dan kemampuan; seta harus mampu melihat konflik yang terjadi secara jernih, holistis, dan komprehensif. Artinya, suatu konflik sosial apalagi bernuansa etnik dan agama tidak akan terjadi secara tersendiri melainkan terkait dengan faktor- faktor lain yang sangat rumit di luarnya. Jadi, menghadapi dan mencari solusi bagi setiap kasus konflik haruslah dengan pendekatan interdisipliner dan lintas sektoral secara tuntas.
          Kearifan pluralitas tersebut akan memungkinkan kita untuk mencari upaya pemecahan konflik yang melibatkan agama dan etnis yang sering terjadi. Untuk itu kita harus bisa membangun keharmonisan dan kerukunan beragama satu dengan agama yang lain dalam upaya mewujudkan cita- cita bangsa yang tercakup kedalam lima pilar dalam pancasila yaitu ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesi, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
        Dalam upaya mewujudkan kondisi bangsa sesuai dengan lima pilar dalam pancasila yaitu dengan menjalankan seluruh kegiatan baik dalam pendidikan, politik, ekonomi, sosial budaya tidaklah mudah seperti membalikkan telapak tangan karena kita harus saling toleran antar umat beragama tidak saling mencemooh satu sama lain melainkan saling menghargai dan menghormati.
          Sepintas gambaran yang terusik dalam ranah kehidupan masayarat dalam beragama diwarnai oleh sebuah perbedaan yang sangat signifikan dari masing- masing agama termuat dalam sebuah wacana yang ditulis oleh pelopor bahasa sekaligus penulis terkenal  yaitu Prof.Alwasilah dengan berbagai macam hasil karya tulisnya yang berjuta- juta bahkan lebih  sehingga kita tak mampu untuk menghitungnya. Salah satu karya tulis beliau yaitu wacana 7.2 mengenai masalah memupuk kerukunan beragama.
         Serangkaian hal yang tersirat dalam wacana bapak chaedar Alwasilah mengenai kerukunan beragama antara lain: bahwa jika kita mengetahui kualitas suatu bangsa tidak hanya melihat dari segi kualitas dan praktek sistem pendidikan saja karena pada umumnya hampir semua negara maju pada hakikatnya sudah menyadari bahwa adanya suatu link yang baik untuk membentuk sistem pendidikan yang baik.  Hal itu memang sudah di sadari namun tidak semuanya berjalan secara maksimal  karena ada kalanya dalam suatu kemauan untuk menjadi  bangsa yang mempunyai integritas tinggi pasti timbulnya masalah yang tidak dapat kita hindari dan harus kita hadapi bersama dsan bersatu. Dengan bersatu maka meski masalah terus datang silih berganti namun akan tetap bisa di atasi dengan baik asalkan kita bersatu untuk membangun sitem pendidikan yang baik. Seperti pepatah peribahasa yang berbunyi”Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”.
         Selain itu bahwa salah satu tujuan dari pendidikan dasar adalah untuk memberikan keterampilan dasar kepada siswa untuk mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu, anggota masyarakat dan warga negara serta sebagai dasar untuk pendidikan lebih lanjut. Apa yang tersirat dari wacana tersebut menurut saya bahwa untuk memberikan keterampilan dasar kepada siswa pilar yang utama yaitu bukan pendidikan dasar melainkan orang tua karena asupan pertama pendidikan anak tiada lain berawal dari orang tua dimana orang tua memberikan didikan kepada anaknya yang mulai dari hal terkecil yaitu mengajari dan melatih anak untuk berbicara, merangkak, jalan, cara memegang alat makan dan sampai  pada hal yang besar yaitu memberikan pengetahuan baik secara fisik maupun moral, Seperti mengenalkan lingkungan .
         Masalah sosial yang kerapa terjadi di kalangan masyarakat yaitu sering terjadi  tawuran pelajar, bentrokan pemuda dan bentuk lain dari radikalisme di seluruh Indonesia adalah indikasi dari penyakit sosial yang kurangnya kepekaan dan rasa hormat terhadap oerang lain dari kelompok yang berbeda. Kejadian itu sangat membabi buta dan sudah mendarah daging karena berawal dari masalah yang mencuat dari angkatan siswa sebelumnya yaitu dari kalangan siswa senior yang tawuran dengan  salah satu siwa lain pada beberapa tahun silam yang biasanya memakan korban karena alat yang digunakan dalam tawuran adalah alat yang berbahaya seperti senjata tajam berupa parang yang bisa melukai salah satu siwa dan terjadi pertumpahan darah yang teramat pedih. Sehingga kejadian itu berlanjut pada generasi siwa berikutnya yang berasumsi bahwa siwa sekolah kami menjadi korban maka harus terbayar. Bisa dikatakan hilangnya nyawa harus dibayar dengan nyawa lagi.
         Namun jika dilihat dari konteks islam yaitu dalam syariat islam ditetapkan lima tujuan pokok yang merupakan dasar yang bersifat religius bagi hak- hak asasi manusia(human rights) yakni: menjaga agama, nyawa, akal, harta, serta keturunan. Sebagaimana tugas menjaga agama menjadikan Islam melarang pemaksaan dalam agama maupun pemurtadan. Dengan menjaga nyawa, Islam melarang pembunuhan tanpa hak(QS.4:92) dan menghukum sebagai pembunuhan masal bagi seorangh pembunuh walaupun yang terbunuh hanya satu orang.(QS.5:32).
       Selain itu dari agama lain juga menerapkan konsep berdasarkan hak asasi manusia  seperti dalam agama Kristen yaitu pada zaman Paus Yohanes ke XXIII yang menerapkan konsep tentang hak asasi manusia dikecam sebagai pandangan sekularis dan natiralis. Kemudian dengan surat Edaran Pacem in Terris(perdamaian di Muka Bumi)-nya yaitu pada tanggal 11 April 1963, yang pada akhirnya diterima Vatikan.  Bahkan menurut Gahandi sendiri menegaskan bahwa seorang pengikut ahimsa harus mampu mencintai musuhnya, ia harus mampu menerapkan kesamaan hukum terhadap musuhnya sebagaimana yang dibelakukan terhadap ayahnya atau keluarganya , dan sebaliknya.  Adapun dengan jargon anti kekerasan dan perlawanan terhadap penindasan yang dikumandangkan Mahatma Gandhi setidaknya mewakili peran Hindu dalam mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan.(Jakarta; Esensia,1985:136).
        Memang benar bahwa kepekaan  dan rasa hormat itu harus ditanamkan dalam diri kita terutama pada anak- anak yang harus menghormati orang tua dan orang lain disekitarnya supaya moral anak itu tertanam dengan baik. Dan kita sebagai calon orang tua harus  berperilaku baik karena sikap kita akan menurun pada anak kita kelak. Seperti dikatakan dalam peribahasa bahwa” buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”.  Timbulnya konflik sosial tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yang perlu dicermati sehubungan dengan terjadinya konflik sosial yang membawa faktor etnis dan agama diantaranya yaitu:
         Pertama, gerakan etnis merupakan sebuah gerakan yang muncul sebagai respons dari adanya proyek modernisasi yang berporos pada kapitalisme dan budaya manusia yang berdasarkan pada teknologi modern, tatanan komunikasi, dan informasi yang juga melahirkan model baru homogenitas seluruh dunia. Kedua, kelompok etnis terjadi akibat rapuhnya negara yang menaungi kemajemukan masyarakatnya. Negara sudah tidak mampu lagi memberikan dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, sementara struktur alternative yang memuaskan belum tersedia. Ketiga, munculnya gerakan etnis dalam sebuah negara disebabkan oleh kuatnya tekanan politik melalui isu demokratisasi, hak asasi manusia, dan lingkungan hidup. Isu ini telah berhasil memberikan inspirasi berbagai keompok suku dan agam dalam sebuah negara, terutama di dunia  serta membangkitkan perlawanan terhadap bangsa dan negara(lihat Republika, 23 April 1999).
         Problematika sosial dan keharmonisan agama tentunya menjadi suatu tantangan bagi pendidik karena sebagai seorang pendidik harus bisa menghasilkan generasi muda yang berpotensi serta berkarakter yang baik sebagai warga negara yang demokratis sebagaiamana di atur dalam UU Sisdiknas. Menurut saya memang benar bahwa nasib generasi muda itu berada ditangan seorang pendidik. Apakah pendidik mampu menghasilkan generasi muda yang berpotensi atau tidak. Semuanya bergantung pada upaya kinerja dan potensi pendidik yang bertanggung jawab terhadap profesinya  guna untuk mencerdaskan dan mencetak generasi muda yang berpotensi dan berkarakter baik sesuai dengan sistem pendidikan nasional.
           Aturan mengenai sistem pendidikan nasional sesuai dengan UU Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 pada point kedua dan ketiga yang berbunyi “bahwa undang-Undang dasar negara republik Indonesia tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam bangsa yang diatur dengan undang-undang”, serta harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.
      Dalam berupaya mewujudkan kerukunan umat beragama, langkah awal dalam penerapan suatu sikap tentunya media utamanya adalah sekolah lebih tepatnya penerapan sikap toleran antar beragama bisa di tanamkan pada kalangan siwa yaitu dengan membuat serangkaian program- program yang kreatif dan inovatif. Hal itu memang benar adanya karena jika dilihat dari konteks fungsinya  sekolah merupakan media yang tepat dalam penerapan sikap toleran beragama karena pada kenyataanya tidak semua siswa yang duduk dalam suatu lembaga sekolah itu beragama yang sama melainkan mereka berbeda- beda agama seperti ada yang beragama islam, kristen, katholik yang masing- masing mempunyai aturan dan tata cara yang berbeda dalam pengaplikasian beribadahnya.
          Hal itu bisa kita ambil sebagai salah satu contoh yang nyata yang terjadi di negara Indonesia khususnya di lingkungan sekolah yang terletak di kota Cirebon. Misalnya di salah satu SMPN yang pernah menjadi bagian dari pengalaman saya dalam menuntut ilmu karena disana saya mengenyam pendidikan selama 3 tahun. Disekolah tersebut saya menemui siswa yang berlatar belakang agama Kristen . Dalam setiap waktu sholat seluruh siswa di sekolah diwajibkan untuk melaksanakan sholat dimasjid. Akan tetapi siswa tersebut menghargai kita yaitu dengan diam di kelas dan bahkan siswa itu menanyakan kepada salah satu salah siwa “kenapa kamu tidak sholat?’’. Hal itu bisa kita jadikan sebagai cermin dari sikap toleran antar umat beragama.
      Dilihat dari latar belakang siswa  pada umumnya mempunyai latar belakang yang berbeda mulai dari etnis, agama, sosial bahkan pola pikir mereka cenderung terbentuk dari latar belakang mereka masing- masing. Dan sebagai pihak sekolah harus bisa memfasilitasi interaksi siswa dalam perbedaan tersebut. Tentunya pihak sekolah harus pandai dalam mengorganisir  suatu program guna untuk menanamkan rasa perbedaan dan bukan kesamaan. Namun dalam kalangan masyarakat biasanya menafsirkan atau beranggapan bahwa keragaman adalah sebagai sumber konflik.
       Untuk upaya pelaksanaan berbagai program disekolah  bisa menggunakan berbagai pendekatan untuk memupuk saling pengertian dan menghormati antara siswa yang berbeda agama yang pada hakikatnya mempunyai latar belakang yang berbeda bisa menggunakan pendekatan keprihatinan bersama anak- anak dan minat dalam lingkungan. Biasanya anak- anak  terkadang mendapat pesan dari orang tua dan orang dewasa penting  lainnya yang bertentangan dengan nilai- nilai yang mereka pelajari disekolah. Sehingga dalam tahun- tahun formatif  mereka, anak- anak belum bisa mengartikulasikan sikap sosial mereka sendiri dan nilai- nilai, melainkan masih meniru apa yang mereka pelajari dari orang tua mereka.(Jakarta post, 22 Oktober 2011).
          Adapun bentuk- bentuk dari radikalisme telah mengganggu kohesi soisal dan dapat menghasilkan  saling tidak percaya di antara kelompok- kelompok sosial dalam masyarakat.Seperti kasus bunuh diri- pemboman gereja di Surakarta bulan lalu, dan bisa meningkatakan ketidakharmonisan dalam beragama. Dari kejadian tersebut memang sangat disayangkan karena ketidak sadaran manusia akan pentingnya toleransi, menghormati dan menghargai antar beragama dan kelompok lain belum tumbuh dan sadar yaitu masih menyimpan rasa egois dan arogan.
         Kejadian tersebut adalah terkait dengan hal antara hubungan negara dengan agama yang mengalami disharmonisasi akibat dari munculnya kecenderungan sikap liberal pemerintah yang berhadapan dengan pemahaman agama yang radikal. Sebab radikalisme beragama akan langsung berhadapan dengan idiom-idiom penyelenggaraan negara dana praktik penyimpangan yang jauh dari agama, khususnya dalam pandangan kaum radikalis, Sehingga hal ini dipandang sebagai sesuatu yang harus dicegah dengan sungguh- sungguh sebagai aplikasi dari perintah nahi munkar(pencegahan yang munkarat).
          Konflik dan disharmonisasi antara umat beragama dan pemerintah bisa terjadi lebih parah bila ada pihak yang mengorganisir radikalisme secara sistematis untuk melakukan tibdakan kekerasan dan terror. Contoh lain yaitu seperti yang terjadi di kota Cirebon terkait dengan konflik sosial dan disharmonisai antar umat beragama yaitu terjadi pengeboman di kapolres  Cirebon yang belum di ketahui apa motif di balik pengeboman itu tapi tidak lain bisa terkait dengan disharmonisasi.
        Selain itu adanya konflik yang tertulis dalam wacana pak chaedar yaitu masih segar dalm ingatan kita adalah terjadinya insiden memalukan pada tahun 2010, ketika anggota parlemen saling bertukar kata- kata kasar dengan cara tidak sopan dalam siding yang disiarkan langsung diseluruh negeri. Saya setuju dengan wacana tersebut karena hal itu memang benar adanya bahwa sering kali ketika di sebuah berita di salah satu stasiun televisi ditayangkan sebuah berita yang tidak mengenakkan dan sangat memalukan karena dalam berita itu para anggota parlemen ketika dalam pelaksanaan sidang bersikap seperti layaknya hewan yang mengeluarkan kata- kata kotor yang tidak sepantasnya sebagai seorang berpendididkan dan mempunyai jabatan yang seharusnya dari sidang tersebut mengasilkan suatu keputusan guna untuk memecahkan masalah demi kebaikan dan kesejahteraan masyarat malah justru sibuk dengan sikap arogannya.
           Dari kasus itu sebut saja anggota dewan kita yang kerap kali ketika rapat persidangan pengambilan keputusan dalam upaya penurunan harga BBM misalnya tidak menghasilkan keputusan yang baik dan proses persidangan berjalan lambat. Bahkan untuk merundimngkan keputusan terkait kenaikan BBM saja  tidak cukup diadakan rapat sidang hanya dalam kurun waktu sekali dan langsung mendapatkan keputusan. Malah persidangan cenderung diadakan berulang kali yang justru malah merugikan masayarakat bukan malah menguntungkan. Mengapa demikian? Karena dalam setiap proses persidangan anggota DPR biasanya menghabiskan dana yang sangat besar sampai mencapai milyaran. Lantas bagaimana jika persidangan itu diadakan berulang- ulang malah justru mengahamburkan dana negara saja.
        Bahkan disamping anggota parlemen yang berkata kasar dan kotor ada juga anggota parlemen yang ketika dalam pelaksnaan persidangan ada yang malah mengantuk. Semua itu adalah akibat dari kurangnya kesadaran kita sebagai manusia yang pada hakikatnya tidak bisa hidup sendiri dan memerlukan bantuan orang lain justru tidak menanamkan rasa hormat dan sangat tidak mencerminkan keharmonisan antar umat beragama.
              Dari semua konflik sosial yang terkait dengan sisi etnis,agama, politik , ekonomi dan budaya tersebut  merupakan sebuah alokasi kita untuk mengaplikasikan nilai- nilai, moral, sikap dan tindakan kita sebagai warga negara yang pada dasarnya kita hidup didunia ini tidak sendiri adanya orang lain yang berfungsi sebagai pelengkap hidup kita. Terkait dari perbedaan etnis, agama, budaya  yang ada di sekitar kita khususnya di negara Indonesia harus menjadi sebuah  tombak menuju keharmonisan bukan malah menjadi kericuhan yang sudah membabi buata dan mendarah daging dikalangan masyarakat Indonesia.
          Kebiasaan buruk itu kerap terjadi di semua kalangan baik kalangan antar pelajar yang sering tawuran, pengeboman  dan terror yang terjadi diberbagi daerah baik yang dilakukan oleh satu suku atau agama maupun berbeda. Ketidak harmonisan itu harus ditanamkan dan dan diterapkan sejak kecil yaitu pada ank- anak supaya citra generasi bangsa tidak bobrok akan keberdaan konflik sosial yang yang kerap terjadi dari adanya masyarakat. Penanaman nilia, moral dan sikap toleran bisa diterapkan di sekolah karena selain dari orang tua sekolah merupakan media kedua setelah orang tua yang menjadi pusat media anak dalam menuntut ilmu pendidikan. Serta sebagai pihak sekolah harus mempunyai program yang terotganisir, kreatif dan inovatif guna menselaraskan keragaman beragama. Maka program tersebut jangan berpatokan pad satu sisi agama dan stu etnis saja melainkan hanya berdasarkan cita- cita bangsa sesuai dengan lima pilar yang terkandung dalam pancasila.
 Referensi
SoekidjoNotoatmojo.2003:16Jakarta;Esensia,1985:136
Republika,23 April 1999
 Jakarta post, 22 Oktober 2011
Jakarta post,Opinion, sat, October 22 2011
Pendidkikan Umum dan Liberal:201
Perubahan sosial dan konflik.1994: 86
Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment