Critical Review 1
Menengok Lalu Lantang Pendidikan Indonesia
Melihat sisi yang sebenarnya dari pendidikan Indonesia itu sangat
membuat tertekuk pikiran ini. Masih di titik yang jenuh, itulah pendidikan di
Indonesia. Faktor terkemuka adalah gagalnya Indonesia dalam mendidik siswa
dasar yang menjadi sumbu utama pendidikan Indonesia. Hal itu seperti yang telah
dijabarkan artikel dari Pak A. Chaedar Alwasilah, dalam bukunya Pokoknya
Rekayasa Literasi, Bab 7.
Pendidikan ditetepkan sebagai aspek terpenting dalam kehidupan,
pengaruhnya sangat kental untuk kehidupan seseorang. Pendidikan yang digaris
bawahi adalah ‘pendidikan dasar’. Bagaimana pendidikan dasar sangat ber-effect
tinggi bagi masing-masing anak. Subjek yang tersorot di sini adalah guru
sekolah dasar yang menjadi orang tua kedua seorang siswa dan yang menjadi pengaruh
dasar pendidikannya. Objek yang tersorot terkhususkan untuk anak-anak yang
memulai pendidikan dasarnya dan mulai mencari jati dirinya masing-masing.
Sebuah tantangan besar untuk para pendidik dan menjadi sesuatu yang
harus dipertanggungjawabkan mengajar di sekolah dasar. Namun, sesuatu hal yang
mulia pula menjadi seorang yang mampu membantu seorang anak menemukan jati
dirinya dan memberikan ilmu tentunya. Oleh karena itu, menjadi seorang guru SD
atau TK janganlah setengah-setengah. Hal itu dikarenakan perannya yang amat
berpengaruh bagi kehidupan siswanya.
Kendali yang yang dipegang seorang guru pada sekolah dasar menjadi
sebuah poros pendidikan siswanya. Hal yang perlu ditandai pula adalah bagaimana
seorang guru memberikan ilmu untuk anak-anak beserta bimbingan moral, mental
dan akhlaknya di sini, karena memang itulah yang dinamakan ‘Pendidik’. Berbeda
dengan pengajar yang hanya memberikan materi atau ilmunya TANPA memberikan
bimbingan moral dan mental.
Pengertian pendidikan dalam Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Nomor 20 tahun 2003, tentang sisitem pendidikan nasional Bab I
pasal 1 dinyatakan bahwa pendidikan adlah usaha sadar atau terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Pendidikan di sini menegaskan bahwa dalam pendidikan hendaknya
tercipta sebuah wadah di mana peserta didik bisa secara aktif mempertajam dan
memunculkan ke permukaan potensi-potensinya. Sehingga menjadi kemampuan-kemampuan yang
dimilikinya secara alamiah. Definisi ini juga memungkinkan sebuah keyakinan
bahwa manusia secara ilmiah memiliki dimensi jasad, kejiwaan, dan
spiritualitas. Di samping itu, definisi yang sama memberikan ruang untuk
berasumsi bahwa manusia memiliki peluang untuk bersifat mandiri, aktif,
rasional, sosial, dan spiritual. (Abdul Latif, 7 : 2007)
Dalam Islam, pendidikan sangatlah penting. Begitu pula dengan
pendidikan dasar. Islam mengajarkan umatnya untuk berilmu sejak lahir sampai
mati. “Carilah ilmu sejak dari buaian hingga ke liang lahat”.
(Al-Hadits). Di agama yang lainnya pun sama bahwa pendidikan dasar itu
sangatlah penting dan berpengaruh. Pada usia dinilah seorang yang bernama
manusia ini mulai bergerak mencari sesuatu yang ia pikirkan. Mereka mulai
membentuk moral dan pribadinya dalam pendidikan dasarnya. Di sinilah mereka
diajarkan untuk hidup bersama, saling menghargai segala macam perbedaan, dan
mengenal orang lain yang hidup bersamanya.
Dengan adanya pendidikan dasar ini, tentunya manusia memiliki
pegangan teguh dari sang pendidik dan lingkungannya. Lantas, bagaimana cara
seorang pendidik mengenalkan kehidupan beserta aspek-aspeknya pada seorang
anak? Lalu, apa yang menjadi permasalahan di negara atau dunia ini kaitannya
dalam pendidikan dasar? Bagaimana cara bangsa ini mengatasi segala permasalahan
yang ada mengenai pendidikan?
Sebuah artikel ber-tittlekan “Classroom Discourse to Foster
Religious Harmony”, dari Prof. Alwasilah (2012 : 217) menggagas sebuah
wacana yang bergaris bawah mengenai pendidikan dasar di usia dini dan
pengaruhnya terhadap perkembangan sosial mereka. Ketika seorang anak masuk
dalam jenjang sekolah dasar, mereka mulai dikembangkan mental dan moralnya.
Mereka pula diajarkan untuk saling berinteraksi dan menghargai sesamanya. Hal
itu agar kerukunan tetap ada dan terjaga dengan baik, terlebih pada kerukunan
Agama yang harus diajarkan cara bertoleransinya.
Dalam pengaturan multikultural, siswa berasal dari latar belakang
etnis, Agama, dan sosial yang berbeda serta pola pikir mereka pula dominan
dibentuk oleh latar belakang mereka. Program sekolah harus sengaja
memfasilitasi interaksi rekan untuk mengembangkan wacana sipil positif. (Par.7). seorang guru
Sekolah Dasar harus menyadari bahwa siswanya membutuhkan pengertian mengenai
perbedaan.
Menurut Pak
Chaedar, siswa harus dilatih untuk mendengarkan secara aktif yakni dengan mempertahankan
kontak mata langsung, berdiri diam, dan bergiliran dalam berbicara. Di sini
siswa benar-benar diajarkan beinteraksi dan interaktif. Mereka harus bisa menanggapi atau merespon apa yang mereka
lihat atau mereka dengar. Seperti halnya di dalam diskusi, mereka harus
diajarkan bagaimana untuk menyumbangkan ide-ide yang relevan dengan topik
diskusi.
Pada saat
menjelajahi pendidikan formal mereka, siswa memasuki dunia di mana kemampuan
untuk menjaga hubungan baik sangat penting untuk keberhasilan individu.
Sebaliknya, ketidakmampuan untuk menjaga hubungan baik dapat merugikan individu
dan dapat menyebabkan tingkat tertentu konflik sosial dalam suatu masyarakat
tertentu. (Par.11)
Konflik sosial
tersebut terbukti pada kejadian-kejadian di waktu lampau seperti konflik
antaretnis dan agama besar yang terjadi di daerah Sambas pada tahun 2008, Ambon
pada tahun 2009, Papua pada tahun 2010, dan Singkawang pada tahun 2010. Jika
hal tersebut tidak dibenahi dengan cara yang tepat, maka konflik yang pelik
tersebut akan terulang kembali.
Menurut Pak
Chaedar, pendidikan di bangsa ini bisa terbilang gagal untuk memberikan
kompetensi wacana sipil. Sebagian besar, para politisi dan birokrat mendapatkan
kekuasaan karena pendidikan yang mereka peroleh. Yang sangat disayangkan ialah
banyak dari mereka tidak memiliki kompetensi tersebut.
Politisi yang tadinya diharap-harapkan untuk serta mendidik anak-anak
sekolah, malah memberikan contoh yang negatif seperti terjadinya keributan dan
berkata kasar pada tahun 2010 ketika mengadakan sidang di luar negeri. Hal
tersebut menunjukkan bahwa pendidikan politik ternyata selama ini belum cukup
untuk mempromosikan kompetensi dalam wacana sipil.
Ketika para politisi itu gagal untuk mendidik masyarakatnya, sekolah harus
dikembalikan dan diberdayakn untuk berfungsi secara maksimal. Yang menjadi
pusat perhatian adalah gru SD harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mendorong pengalaman bermakna, yaitu interaksi dengan siswa lainnnya dari
agama, etnis, dan kelompok-kelomppok yang berbeda. Menurut Djuju Sudjana, pembinaan
terhadap anak kecil dapat dilakukan melalui dua proses. Pertama, proses controlling.
Pengontrolan dilakukan karena anak-anak harus diatur perilakunya yang masih
labil. Kedua, proses supervisi. Supervisi ialah suatu aktifitas
pembinaan yang direncanakan untuk membantu para guru dan pegawai sekolah dalam
melakukan pekerjaan secara aktif.
Pak Chaedar menyimpulkan bahwa dalam konteks di Indonesia, pendidikan
liberal harus mencakup pengetahuan etnis, agama, dan minoritas bahasa dan
budaya. Terlepas dari karir mereka-politisi, insyinyur, petani, atau
pengusaha-siswa harus diberikan pengetahuan yang memadai di daerah-daerah.
Dengan demikian dapat didefinisikan, pendidikan liberal bertujuan membebaskan
siswa dari sikap rabun dan provinsi terhadap orang lain. Pada dasarnya, itulah
penempatan kamil insan, yaitu orang-orang yang ideal yang memenuhi kriteria untuk
mengasumsikan setiap pekerjaan ataupenunjukan sebagai warga negara yang
demokratis.
Beralih menanggapi statement pertama mengenai kualitas negara bisa dilihat
dari kualitas pendidikannya itu memang sangatlah benar. Namun, untuk menjadi
statment utama dalam sebuah artikel, nampaknya membuat pembaca tak terfokus
dengan judulnya yang kurang kohesi dengan paragraf utama. Pendidikan yang baik
ialah target besar suatu negara untuk mencapai kualitas terbaiknya. Pendidikan
merupakan hak asasi dari setiap generasi. Pendidikan merupakan suatu proses
pembangunan kerangka berfikir manusia sejak ia berada di permukaan bumi. Undang-Undang
Dasar negeri ini sudah mengamatkan agar pendidikan merupakan hak dasar yang
harus ditrima oleh warganya (Aceng Kosasih, Konsep Pendidikan Nilai).
Warga negara harus memegang pendidikan yang kuat karena pendidikan mampu
mengembangkan potensial individu dan mengembangkan kepribadiannya. Hal itu
sebagaimana yang telah termaktub dalam Bab II pasal 3 Undang-Undang Republik
Indonesia No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasinal dijelaskan
bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. Merekalah
yang menentukan nasib negaranya sendiri. Orang yang mendapatkan pendidikan di
sini ialah bertujuan agar orang tersebut menjadi manusia yang seutuhnya. Mereka
yang mengenyam pendidikan dengan benar akan mendapatkan segala aspek yang
positif untuk kehidupannya dan berpengaruh positif pula untuk bangsa dan
negaranya. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Drs, Abdul Latif, M.Pd.
bahwasannya: Tujuan pendidikan yang dirumuskan berdasarkan landasan
Pancasila dan UUD 1945 pada dasarnya adalah manusia seutuhnya. Manusia
seutuhnya yang dimaksud adalah pertama, manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa. kedua, berbudi pekerti luhur. Ketiga, memiliki
pengetahuan dan keterampilan. Keempat, sehat jasmani dan rohani. Kelima,
berkepribadian mantap dan mandiri. Dan keenam, memiliki rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan. Jika manusia itu telah tercapai segala
tujuan dalam pendidikan tersebut maka mereka dapat menjunjung tinggi negaranya.
Manusia memiliki pekembangan dalam hidupnya. Manusia bertahap dalam segala
hal. Begitu pula dengan pendidikan. Manusia dianjurkan untuk mengenyam
pendidikan dasar yang akan mengenalkannya sebuah kehidupan dan ilmu
pengetahuan. Pada pendidikan dasarnya pula manusia akan mulai mencari jati
dirinya. Maka dari itu, pendidikan dasar menjadi hal utama yang perlu disoroti
dan dijaga kualitasnya. Seperti yang telah dijelaskan oleh Pak Chaedar bahwa
anak dibimbimg untuk mengembangkan keterampilan individu, masyarakat, dan warga
neegara. Hal ini sama halnya dengan tugas perkembangan masa kanak-kanak (6-12)
menurut Havighurst dalam buku Landasan Pendidikan (Tatang Syaripudin 2012:
116) bahwa tugas perkembangan anak diantaranya ialah mengembangkan
konsep-konsep yang perlu dalam kehidupan sehari-hari, mengembangkan kesadaran
diri, moralitas, dan suatu skala nilai-nilai, mengembangkan kebebasan pribadi,
dan mengembangkan sikap-sikap terhadap kelompok sosial dan lembaga.
Apabila kita membiasakan diri untuk berlaku positif sejak dini, maka saat
dewasa pun semuanya akan mudah dijalani. Menurut Pak Chaedar, mengajarkan
sesuatu ketika seorang telah dewasa itu akan sangat sulit. Erikson yang
melakukan penelitian terhadap perkembangan anak dari bayi hingga dewasa
menyimpulkan bahwa masa kanak-kanak merupakan gambaran awal manusia sebagai
seorang manusia. Perilaku yang berkelainan pada orang dewasa dapat dideteksi
sejak anak-anak. Para ahli psikologi berpendapat bahwa tahun-tahun prasekolah
pada usia 2-5 tahun adalah tahap yang paling penting dari seluruh tahapan
perkembangan. Menurut hasil penelitian ahli syaraf (neuroscience)
dinyatakan bahwa perkembangan otak manusia yang paling pesat terjadi pada tahun
pertama kehidupannya. Maka dari itu, pendidikan dasar dilakukan sejak kecil
sehingga tidak ada lagi yang namanya konflik pelajar atau konflik sejenis.
Semua itu agar seseorang mendapatkan masa depannya yang cerah.
Pendidikan dasar bukan hanya di lakukan di Sekolah Dasar, akan tetapi di
luar sekolah pula. Pada modul Landasan Pendidikan : 175 dijelaskan bahwa pendidikan terbagi ke
dalam tiga jenis, yaitu pendidikan Informal, nonformal, dan formal. Pendidikan
informal yaitu pendidikan yang berlangsung secara wajar (alamiah) di dalam
lingkungan kehidupan sehari-hari. Contohnya pendidikan yang berlangsung di
dalam keluarga, pergaulan anak sebaya, pendidikan di lingkungan masyarakat, dan
lain-lain. Pendidikan nonformal ialah jalur pendidikan di luar
pendidikan formal yang dapat dilakukan secara terstruktur dan berjenjang (Pasal
I ayat 12 UU RI No.20 Tahun 2003). Sedangkan Pendidikan formal ialah jalur pendidikan
yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi (Pasal I ayat 11 UU RI No. Tahun 2003).
Semua jenis pendidikan dasar bagi anak-anak akan sangat lebih berpengaruh
terhadap perkembangannya. Maka dari itu, orang tua, keluarga, teman,
masyarakat, dan guru menjadi aktor yang berperan penting bagi seorang anak. Selain
itu, benar apa kata Pak Chaedar bahwa pendidikan dan kerukunan agama pula harus
diajarkan sejak kecil. Hal ini berarti seorang anak harus tahu mengenai
perbedaan agama, mengenal toleransi, dan saling berinteraksi dengan orang lain.
Agama adalah hal yang sangat sensitif. Seorang harus hati-hati dalam
memahaminya. Oleh karena itu, anak-anak harus mulai diajarkannya menghargai
perbedaan dan kerukunan agama. Hal ini juga khususnya di Indonesia yang
memiliki perbedaan agama, suku, budaya, bahasa, dan sebagainya yanng membuat
mereka terpecah belah apabila pendidikannya kurang maksimal. Hebatnya,
sekalipun berbeda, tetapi manusia tetap
memiliki hak-hak dan kewajiban kewarganegaraan yang sama, tanpa dibedakan
karena suku, agama, ras, dan antar-golongan. Belajar mencari resolusi setiap
konflik yang mungkin timbul melalui cara-cara yang disepakati bersama (m.kompasiana.com).
Dalam Islam, toleransi pun diajarkan. Toleransi dalam Islam ialah
menghargai dan membiarkan umat lain menjalankan ibadah atau merayakan hari
besarnya, tanpa mengikutinya. Hal itu karena di dalam ayat suci al-Qur’an telah
terkemuka jelas pada surat al-Kafirun ayat 6 yang artinya “Bagimu agamamu
dan bagiku agamaku”. Memang di dalam Islam semuanya sangat berhati-hati,
namun bukan berarti Islam itu rasis. Islam sangat menghargai toleransi namun
bukan berarti seorang itu mengikuti apa yang diibadahkan umat lain. Pak Chaedar
tidak menjelasksn secara detail tolransi umat Islam yang ada di Indonesia.
Padahal, hal itu sangat menarik karena negara Indonesia sendiri mayoritas
adalah kaum Muslim.
Ternyata, Indonesia mndapat award negara IN-tolerant kedua di dunia bersama
afghanistan dan negara yang lainnya (m.kompasnia.com). Di sini terjadi
karena umat Islam di Indonesia yang memiliki latar belakang yang berbeda. Hal
ini juga bisa dikarenakan kekuatan agama yang sangat erat. Sebenarnya, Umat
Islam telah banyak yang bertoleransi. Namun, cara bertolransinya berbeda dengan
tolransi agama lain sehingga membuat kesalahpahaman antara masyarakatnya. Hal
ini wajar terjadi, karena setiap agama memiliki prinsip yang berbeda. Hal yang
perlu ditandai ialah bagaimana caranya agar seorang anak yang masih bisa kita
latih agar bisa bertoleransi dengan benar. Sebenarnya, pelajaran yang paling
NETRAL tersebut telah ada dalam Pendidikan Kewarganegaraan (Civic
Educations).
Mengambiil kutipan dari buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
untuk Sekolah Dasar kelas 3 tahun 1997. Di sini, siswa diajarkan sebuah
kerukunan yang harmonis dan netral khususnya untuk warga negara Indonesia. Tuhan
menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal dan
saling bersilaturrahmi. Manusia selalu membutuhkan hubungan dengan sesamanya
dalam hidupnya, baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat sekitarnya. Hubungan
tersebut diharapkan agar dapat menciptakan kehidupan yang rukun, damai, serta
hidup bersama dengan baik dan serasi. Kehidupan semacam ini akan terwujud
jika ada sikap saling menerima, saling
menghormati, saling menghargai, dan saling kerja sama di antara sesama anggota
masyarakat tersebut. Karena perbedaan di indonesia sangat beragam, maka Pendidikan
Kewarganegaraan ini wajib hukumnya bagi seluruh warga Indonesia.
Hal yang tidak searah ketika Pak Chaedar menyebutkan bahwa idealnya sekolah
yang memilki agama yang berbeda maka sekolah tersebut harus membangun tempat
ibadah semua agama agar semua siswa saling memahami dan toleransi. Hal yang
tidak logik ialah tentu saja tidk mungkin membangun gereja atau kuil di tengah-tengah sekolah karena memang
intensitas ibadah yang berbeda. Masjid selalu ada dan didirikan karena memang
umatnya beribadah minimal lima kali sehari.
Berbagai penelitian, namun tidak jelas dan detail penelitian yang bagaimana
dan di mana. Telah menunjukkan bahwa anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk
berinteraksi dengan rekan-rekan mereka. Penelitian yang tidak jelas ini bisa
jadi hanya sebuah pengalaman. Seharusnya, yang namamnya penelitian harus detail
datanya. Dalam artikel yang dikutip dari Rubin ini dijelaskan bahwa anak-anak
mulai belajar menghormati, membantu, berbagi, dan umumnya sopan satu sama lain.
Hal itu memang tidak salah, Hurlock mendefinisikan
perkembangan sosial anak berfungsi sebagai pencapaian suatu kemampuan untuk
berperilaku sesuai denan dengan harapan sosial yang ada. (Abdul Latief,
2007 : 93).
Kasus-kasus yang terjadi belakangan adalah kasus yang tidak boleh terulang
kembali. Indonesia memang terkenal dengan teroris-terorisnya. Kejadian yang
menimpa gereja di Surakata karena pengebomanitu memang dilakukan oleh orang
Islam yang mengaku dirinya jihad dan wajib menghancurkan tempat maksiat. Akan
tetapi, hal yang mereka kerjakan itu bukan hal yang dibolehkan oleh agama.
Agama Islam memang mengharuskan kita untuk Amar ma’ruf nahi munkar,
yakni mengerjakan sesuatu yang baik dan melarang atau mencegah sesuatu yang
buruk. Mereka yang pemahamannya didoktrin oleh Islam liberal hanya mengerti bahwa mereka amar ma’ruf
apabila mereka mampu menghancurkan tempat-tempat ma’siat bahkan ikut mati dalam
penghancurannya. Tentu saja hal ini salah besar. Islam mengajarkan bahwa orang kafir yang wajib
dimusnakan ialah hanya orang kafir yang sangat memusuhi Islam dan mengganggu
Islam disebut juga kafir kharbi. Apabila orang kafir itu tidak menganggu
(kafir zimmi), maka seorang muslim bahkan diperbolahkan untuk bekerja
sama dalam hal keduniawian. (Kitab Sulammuttaufiq)
Di sinilah siswa mengetahui banyaknya perbedaan yang terjadi di negerinya.
Melihat konflik yang terjadi di negeri Indonesia itu berarti pendidikan
dasarnya harus lebih difokuskan kembali. Anak perlu belajar berinteraksi,
saling menghargai, saling menghormati, belajar aktif, interaktif, cekatan, dan
lain sebagainya. Menurut Apriliaswati (2011), keributan yang terjadi di dalam
kelas tidak selamanya negative, hal itu merupakan interaksi antara siswanya. Akan
tetapi, jika keributan itu terjadi berulang kali dan sulit untuk
menghentikannya maka hal itu tetap saja negatif dan akan berpengaruh jelek
terhadap proses belajar mengajar. Seperti pengalaman ketika saya mengajar di
DTA (sejajar dengan Sekolah Dasar), dan anak-anak hanya ribut maka materi yang
ingin disampaikan hilang begitu saja dan tergcegah oleh situasi yang tidak bisa
terkontrolkan. Namun, memang disitulah mereka berinteraksi dan saling
berhubungan, aslakan guru mampu mengontrol dan mengolah lagi agar kelas tetap
normal.
Solusi dari permasalahan-permasalahan di atas ialah perlunya pendidikan
umum dan liberal untuk warga negara agar mereka tidak sempit wawasannya dan
tidak berpandang hanya dalam satu sudut. Menurut Oxford Learner’s Dictionary
(1989 : 717). Liberal berarti tolerant dan open mind .
Pendidikan liberal ialah pendidikan yang diniati untuk memperluas wawasan , tidak sekedar latihan
teknis dan profesional. (A.Chaedar, 2012 :19). Selain pendidikan gama, pendidikan umum
dan liberal pun sangat penting. Namun, hal itu harus balance. hal itu
karena pendidikan umum hanya untuk di dunia, sedangkan pendidikan agama
berfungsi untuk kemaslahatan dunia dan akhirat. Jadi, tetap saja pendidikan
agama harus menjadi utama.
Pendidikan liberal acap kali tertukar oleh pendidikan umum. Namun, keduanya
berbeda. Pendidikan liberal terfokus pada mata pelajaran sebagai warisan
tradisi (klasik) dan lebih mengembangkan aspek intelektual. Pendidikan umum
lebih terfokus pada pengembangan pribadi dalam skala yang lebih luas dan tidak
sekedar aspek intelektual, tetapi semua aspek., yaitu intelektual, emosi,
sosial, dan moral peserta didik. Pendidikan umum menjadi dasar pemikiran
seseorang dan sebagai konsep dalam mempraktikanpendidikan khususnya. Hal
tersebut contohnya ialah MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum) yang berperan penting
pada akademis mahasiswanya. Selain pendidikan dasar tersebut, pendidikan moral
adalah salah satu item yang jangan sampai terlupakan. Moral menjadi utama
dibanding kepintaran seseorang. Hal itu seperti yang terjadi pada para koruptor
Indonesia, mereka memiliki pengetahuan yang mendalam tetapi rendah moral.
Begitu pula kurikulum 2013 memiliki prinsip lebih mementingkan pendidikan moral
dari pada kepintaran atau kecerdasan.
Tradisional agama memang telah dikritik karena memang dianggap memberikan
sikap yang egois dan tidak memperdulikan pranata sosial. Namun, sebenarnya hal
itu wajar karena setiap agama memiliki prinsip yang berbeda tinggal bagaimana
manusi bisa saling memahami dan menghargai perbedaan tersebut.
Gagasan-gagasan mengenai artikel “Classroom Discourse to Foster
Religious Harmony” dari Pak Chaedar begitu membuat merinding dan membuka
kulit mati pikiran pembaca menjadi hidup dan lebih segar. Hal yang tadinya
tidak disadari menjadi hal yang tersoroti. Pak Chaedar memilki prinsip teguh
dan gagasan-gagasan menarik dalam wacananya. Beliau menyuguhkan fakta-fakta
teraktual dan opini-opini yang panas.
Dalam hidup yang berkependidikan, Pak Cheadar menitikberatkan agar kita
peduli terhadap akal dan pikiran kita yang harus digunakan untuk berfikir dan
terus mencari solusi dalam kehidupan. Beliau seakan mengubah mind set pembaca
agar lebih kritis dan sadar kembali terhadap pendidikannya. Pak Chaedar seorang
yang netral dan tetap bisa bebagi ilmunya kepada siapapun. Beliau sangat peduli
terhadap kerukunan beragama dan bernegara sehingga mngedepankan pendidikan dasar
dan liberal. Hal itu mengingatkan pada seorang motivator ternma Mario Teguh yang
selalu netral dan tidak memihak ke satu sisi saja. Beliau memikirkan pentingnya
relasi dalam segala aspek yang terjadi di dunia ini.
In other hand, sebenarnya ada beberapa statement Pak Chaedar yang tidak
searah seperti pendirian semua tempat peribadahan di lembaga yang
bermacam-macam agama atau etnis. Pengaplikasian toleransi tidak pula seperti
itu karena semua memiliki kebutuhan masing-masing. Karena dilihat dari
intensitas beribadah yang tinggi pada agama Islam, maka masjid pun didirikan di
mana-mana. Berbeda dengan agama lain yang intensitas ibadahnya lebih rendah.
Berkutak pada judul, banyak orang awam yang tidak mudah menafsirkan judul
artikel ini dengan maksud dan tujuan artikel yang sebenarnya. Dari satu kelas
setelah membaca artikel ini, hampir semua mahasiswa memahami bahwa artikel ini
hanya tentang kerukunan agama dan tidak meluncur ke arah pendidikan umum bahkan
liberal. Namun, setelah ditelaahi ternyata tujuan tersirat itu muncul yang
membicarakan tentang pendidikan dasar, umum, dan liberal. Oleh karena itu,
alangakah lebih baik apabila judul lebih dimudahkan lagi untuk dipahami agar
pembaca tidak tersesat ketika membacanya.
Akhirnya, artikel ini sangat menjunjung tinggi nilai-nilai pendidikan dan
moral. Pembaca seakan diberi mantra sehingga tiba-tiba penasaran dan menelusuri
bacaan ini serta menganalisa informasi yang berkaitan. Seakan menyelami
samudera, informasi di dalamnya sangat luas sehingga kita tidak sempit berfikr
untuk menganalisanya.
References
Alwasilah, A.C. Pokoknya Rekayasa Literasi, Bandung: Kiblat Buku
Utama dan Sekolah Pascasarjanah UPI Bandung : 2012
Latif, Abdul. Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakatan, Bandung : Refika Aditama, 2007.
Syaripudin, Tatang. Landasan Pendidikan, Jakarta : Direktorat
Jendral Pendidikan Islam, 2012.
Abdilah, dkk. Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan, Jakarta : Dep[artemen Penddidikan dan
kebudayaan, 1967.