Critical Review 1



Critical Review 1
Menengok Lalu Lantang Pendidikan Indonesia
Melihat sisi yang sebenarnya dari pendidikan Indonesia itu sangat membuat tertekuk pikiran ini. Masih di titik yang jenuh, itulah pendidikan di Indonesia. Faktor terkemuka adalah gagalnya Indonesia dalam mendidik siswa dasar yang menjadi sumbu utama pendidikan Indonesia. Hal itu seperti yang telah dijabarkan artikel dari Pak A. Chaedar Alwasilah, dalam bukunya Pokoknya Rekayasa Literasi, Bab 7.

Pendidikan ditetepkan sebagai aspek terpenting dalam kehidupan, pengaruhnya sangat kental untuk kehidupan seseorang. Pendidikan yang digaris bawahi adalah ‘pendidikan dasar’. Bagaimana pendidikan dasar sangat ber-effect tinggi bagi masing-masing anak. Subjek yang tersorot di sini adalah guru sekolah dasar yang menjadi orang tua kedua seorang siswa dan yang menjadi pengaruh dasar pendidikannya. Objek yang tersorot terkhususkan untuk anak-anak yang memulai pendidikan dasarnya dan mulai mencari jati dirinya masing-masing.
Sebuah tantangan besar untuk para pendidik dan menjadi sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan mengajar di sekolah dasar. Namun, sesuatu hal yang mulia pula menjadi seorang yang mampu membantu seorang anak menemukan jati dirinya dan memberikan ilmu tentunya. Oleh karena itu, menjadi seorang guru SD atau TK janganlah setengah-setengah. Hal itu dikarenakan perannya yang amat berpengaruh bagi kehidupan siswanya.
Kendali yang yang dipegang seorang guru pada sekolah dasar menjadi sebuah poros pendidikan siswanya. Hal yang perlu ditandai pula adalah bagaimana seorang guru memberikan ilmu untuk anak-anak beserta bimbingan moral, mental dan akhlaknya di sini, karena memang itulah yang dinamakan ‘Pendidik’. Berbeda dengan pengajar yang hanya memberikan materi atau ilmunya TANPA memberikan bimbingan moral dan mental.
Pengertian pendidikan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003, tentang sisitem pendidikan nasional Bab I pasal 1 dinyatakan bahwa pendidikan adlah usaha sadar atau terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Pendidikan di sini menegaskan bahwa dalam pendidikan hendaknya tercipta sebuah wadah di mana peserta didik bisa secara aktif mempertajam dan memunculkan ke permukaan potensi-potensinya.  Sehingga menjadi kemampuan-kemampuan yang dimilikinya secara alamiah. Definisi ini juga memungkinkan sebuah keyakinan bahwa manusia secara ilmiah memiliki dimensi jasad, kejiwaan, dan spiritualitas. Di samping itu, definisi yang sama memberikan ruang untuk berasumsi bahwa manusia memiliki peluang untuk bersifat mandiri, aktif, rasional, sosial, dan spiritual. (Abdul Latif, 7 : 2007)
Dalam Islam, pendidikan sangatlah penting. Begitu pula dengan pendidikan dasar. Islam mengajarkan umatnya untuk berilmu sejak lahir sampai mati. “Carilah ilmu sejak dari buaian hingga ke liang lahat”. (Al-Hadits). Di agama yang lainnya pun sama bahwa pendidikan dasar itu sangatlah penting dan berpengaruh. Pada usia dinilah seorang yang bernama manusia ini mulai bergerak mencari sesuatu yang ia pikirkan. Mereka mulai membentuk moral dan pribadinya dalam pendidikan dasarnya. Di sinilah mereka diajarkan untuk hidup bersama, saling menghargai segala macam perbedaan, dan mengenal orang lain yang hidup bersamanya.
Dengan adanya pendidikan dasar ini, tentunya manusia memiliki pegangan teguh dari sang pendidik dan lingkungannya. Lantas, bagaimana cara seorang pendidik mengenalkan kehidupan beserta aspek-aspeknya pada seorang anak? Lalu, apa yang menjadi permasalahan di negara atau dunia ini kaitannya dalam pendidikan dasar? Bagaimana cara bangsa ini mengatasi segala permasalahan yang ada mengenai pendidikan?
Sebuah artikel ber-tittlekan “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony”, dari Prof. Alwasilah (2012 : 217) menggagas sebuah wacana yang bergaris bawah mengenai pendidikan dasar di usia dini dan pengaruhnya terhadap perkembangan sosial mereka. Ketika seorang anak masuk dalam jenjang sekolah dasar, mereka mulai dikembangkan mental dan moralnya. Mereka pula diajarkan untuk saling berinteraksi dan menghargai sesamanya. Hal itu agar kerukunan tetap ada dan terjaga dengan baik, terlebih pada kerukunan Agama yang harus diajarkan cara bertoleransinya.
Dalam pengaturan multikultural, siswa berasal dari latar belakang etnis, Agama, dan sosial yang berbeda serta pola pikir mereka pula dominan dibentuk oleh latar belakang mereka. Program sekolah harus sengaja memfasilitasi interaksi rekan untuk mengembangkan wacana sipil positif. (Par.7). seorang guru Sekolah Dasar harus menyadari bahwa siswanya membutuhkan pengertian mengenai perbedaan.
Menurut Pak Chaedar, siswa harus dilatih untuk mendengarkan secara aktif yakni dengan mempertahankan kontak mata langsung, berdiri diam, dan bergiliran dalam berbicara. Di sini siswa benar-benar diajarkan beinteraksi dan interaktif. Mereka harus bisa  menanggapi atau merespon apa yang mereka lihat atau mereka dengar. Seperti halnya di dalam diskusi, mereka harus diajarkan bagaimana untuk menyumbangkan ide-ide yang relevan dengan topik diskusi.
Pada saat menjelajahi pendidikan formal mereka, siswa memasuki dunia di mana kemampuan untuk menjaga hubungan baik sangat penting untuk keberhasilan individu. Sebaliknya, ketidakmampuan untuk menjaga hubungan baik dapat merugikan individu dan dapat menyebabkan tingkat tertentu konflik sosial dalam suatu masyarakat tertentu. (Par.11)
Konflik sosial tersebut terbukti pada kejadian-kejadian di waktu lampau seperti konflik antaretnis dan agama besar yang terjadi di daerah Sambas pada tahun 2008, Ambon pada tahun 2009, Papua pada tahun 2010, dan Singkawang pada tahun 2010. Jika hal tersebut tidak dibenahi dengan cara yang tepat, maka konflik yang pelik tersebut akan terulang kembali.
Menurut Pak Chaedar, pendidikan di bangsa ini bisa terbilang gagal untuk memberikan kompetensi wacana sipil. Sebagian besar, para politisi dan birokrat mendapatkan kekuasaan karena pendidikan yang mereka peroleh. Yang sangat disayangkan ialah banyak dari mereka tidak memiliki kompetensi tersebut.
Politisi yang tadinya diharap-harapkan untuk serta mendidik anak-anak sekolah, malah memberikan contoh yang negatif seperti terjadinya keributan dan berkata kasar pada tahun 2010 ketika mengadakan sidang di luar negeri. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendidikan politik ternyata selama ini belum cukup untuk mempromosikan kompetensi dalam wacana sipil.
Ketika para politisi itu gagal untuk mendidik masyarakatnya, sekolah harus dikembalikan dan diberdayakn untuk berfungsi secara maksimal. Yang menjadi pusat perhatian adalah gru SD harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendorong pengalaman bermakna, yaitu interaksi dengan siswa lainnnya dari agama, etnis, dan kelompok-kelomppok yang berbeda. Menurut Djuju Sudjana, pembinaan terhadap anak kecil dapat dilakukan melalui dua proses. Pertama, proses controlling. Pengontrolan dilakukan karena anak-anak harus diatur perilakunya yang masih labil. Kedua, proses supervisi. Supervisi ialah suatu aktifitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu para guru dan pegawai sekolah dalam melakukan pekerjaan secara aktif.
Pak Chaedar menyimpulkan bahwa dalam konteks di Indonesia, pendidikan liberal harus mencakup pengetahuan etnis, agama, dan minoritas bahasa dan budaya. Terlepas dari karir mereka-politisi, insyinyur, petani, atau pengusaha-siswa harus diberikan pengetahuan yang memadai di daerah-daerah.
Dengan demikian dapat didefinisikan, pendidikan liberal bertujuan membebaskan siswa dari sikap rabun dan provinsi terhadap orang lain. Pada dasarnya, itulah penempatan kamil insan, yaitu orang-orang yang ideal yang memenuhi kriteria untuk mengasumsikan setiap pekerjaan ataupenunjukan sebagai warga negara yang demokratis.
Beralih menanggapi statement pertama mengenai kualitas negara bisa dilihat dari kualitas pendidikannya itu memang sangatlah benar. Namun, untuk menjadi statment utama dalam sebuah artikel, nampaknya membuat pembaca tak terfokus dengan judulnya yang kurang kohesi dengan paragraf utama. Pendidikan yang baik ialah target besar suatu negara untuk mencapai kualitas terbaiknya. Pendidikan merupakan hak asasi dari setiap generasi. Pendidikan merupakan suatu proses pembangunan kerangka berfikir manusia sejak ia berada di permukaan bumi. Undang-Undang Dasar negeri ini sudah mengamatkan agar pendidikan merupakan hak dasar yang harus ditrima oleh warganya (Aceng Kosasih, Konsep Pendidikan Nilai).
Warga negara harus memegang pendidikan yang kuat karena pendidikan mampu mengembangkan potensial individu dan mengembangkan kepribadiannya. Hal itu sebagaimana yang telah termaktub dalam Bab II pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasinal dijelaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. Merekalah yang menentukan nasib negaranya sendiri. Orang yang mendapatkan pendidikan di sini ialah bertujuan agar orang tersebut menjadi manusia yang seutuhnya. Mereka yang mengenyam pendidikan dengan benar akan mendapatkan segala aspek yang positif untuk kehidupannya dan berpengaruh positif pula untuk bangsa dan negaranya. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Drs, Abdul Latif, M.Pd. bahwasannya: Tujuan pendidikan yang dirumuskan berdasarkan landasan Pancasila dan UUD 1945 pada dasarnya adalah manusia seutuhnya. Manusia seutuhnya yang dimaksud adalah pertama, manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. kedua, berbudi pekerti luhur. Ketiga, memiliki pengetahuan dan keterampilan. Keempat, sehat jasmani dan rohani. Kelima, berkepribadian mantap dan mandiri. Dan keenam, memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Jika manusia itu telah tercapai segala tujuan dalam pendidikan tersebut maka mereka dapat menjunjung tinggi negaranya.
Manusia memiliki pekembangan dalam hidupnya. Manusia bertahap dalam segala hal. Begitu pula dengan pendidikan. Manusia dianjurkan untuk mengenyam pendidikan dasar yang akan mengenalkannya sebuah kehidupan dan ilmu pengetahuan. Pada pendidikan dasarnya pula manusia akan mulai mencari jati dirinya. Maka dari itu, pendidikan dasar menjadi hal utama yang perlu disoroti dan dijaga kualitasnya. Seperti yang telah dijelaskan oleh Pak Chaedar bahwa anak dibimbimg untuk mengembangkan keterampilan individu, masyarakat, dan warga neegara. Hal ini sama halnya dengan tugas perkembangan masa kanak-kanak (6-12) menurut Havighurst dalam buku Landasan Pendidikan (Tatang Syaripudin 2012: 116) bahwa tugas perkembangan anak diantaranya ialah mengembangkan konsep-konsep yang perlu dalam kehidupan sehari-hari, mengembangkan kesadaran diri, moralitas, dan suatu skala nilai-nilai, mengembangkan kebebasan pribadi, dan mengembangkan sikap-sikap terhadap kelompok sosial dan lembaga.
Apabila kita membiasakan diri untuk berlaku positif sejak dini, maka saat dewasa pun semuanya akan mudah dijalani. Menurut Pak Chaedar, mengajarkan sesuatu ketika seorang telah dewasa itu akan sangat sulit. Erikson yang melakukan penelitian terhadap perkembangan anak dari bayi hingga dewasa menyimpulkan bahwa masa kanak-kanak merupakan gambaran awal manusia sebagai seorang manusia. Perilaku yang berkelainan pada orang dewasa dapat dideteksi sejak anak-anak. Para ahli psikologi berpendapat bahwa tahun-tahun prasekolah pada usia 2-5 tahun adalah tahap yang paling penting dari seluruh tahapan perkembangan. Menurut hasil penelitian ahli syaraf (neuroscience) dinyatakan bahwa perkembangan otak manusia yang paling pesat terjadi pada tahun pertama kehidupannya. Maka dari itu, pendidikan dasar dilakukan sejak kecil sehingga tidak ada lagi yang namanya konflik pelajar atau konflik sejenis. Semua itu agar seseorang mendapatkan masa depannya yang cerah.
Pendidikan dasar bukan hanya di lakukan di Sekolah Dasar, akan tetapi di luar sekolah pula. Pada modul Landasan Pendidikan : 175  dijelaskan bahwa pendidikan terbagi ke dalam tiga jenis, yaitu pendidikan Informal, nonformal, dan formal. Pendidikan informal yaitu pendidikan yang berlangsung secara wajar (alamiah) di dalam lingkungan kehidupan sehari-hari. Contohnya pendidikan yang berlangsung di dalam keluarga, pergaulan anak sebaya, pendidikan di lingkungan masyarakat, dan lain-lain. Pendidikan nonformal ialah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilakukan secara terstruktur dan berjenjang (Pasal I ayat 12 UU RI No.20 Tahun 2003). Sedangkan  Pendidikan formal ialah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (Pasal I ayat 11 UU RI No. Tahun 2003).
Semua jenis pendidikan dasar bagi anak-anak akan sangat lebih berpengaruh terhadap perkembangannya. Maka dari itu, orang tua, keluarga, teman, masyarakat, dan guru menjadi aktor yang berperan penting bagi seorang anak. Selain itu, benar apa kata Pak Chaedar bahwa pendidikan dan kerukunan agama pula harus diajarkan sejak kecil. Hal ini berarti seorang anak harus tahu mengenai perbedaan agama, mengenal toleransi, dan saling berinteraksi dengan orang lain. Agama adalah hal yang sangat sensitif. Seorang harus hati-hati dalam memahaminya. Oleh karena itu, anak-anak harus mulai diajarkannya menghargai perbedaan dan kerukunan agama. Hal ini juga khususnya di Indonesia yang memiliki perbedaan agama, suku, budaya, bahasa, dan sebagainya yanng membuat mereka terpecah belah apabila pendidikannya kurang maksimal. Hebatnya, sekalipun berbeda, tetapi  manusia tetap memiliki hak-hak dan kewajiban kewarganegaraan yang sama, tanpa dibedakan karena suku, agama, ras, dan antar-golongan. Belajar mencari resolusi setiap konflik yang mungkin timbul melalui cara-cara yang disepakati bersama (m.kompasiana.com).
Dalam Islam, toleransi pun diajarkan. Toleransi dalam Islam ialah menghargai dan membiarkan umat lain menjalankan ibadah atau merayakan hari besarnya, tanpa mengikutinya. Hal itu karena di dalam ayat suci al-Qur’an telah terkemuka jelas pada surat al-Kafirun ayat 6 yang artinya “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Memang di dalam Islam semuanya sangat berhati-hati, namun bukan berarti Islam itu rasis. Islam sangat menghargai toleransi namun bukan berarti seorang itu mengikuti apa yang diibadahkan umat lain. Pak Chaedar tidak menjelasksn secara detail tolransi umat Islam yang ada di Indonesia. Padahal, hal itu sangat menarik karena negara Indonesia sendiri mayoritas adalah kaum Muslim.
Ternyata, Indonesia mndapat award negara IN-tolerant kedua di dunia bersama afghanistan dan negara yang lainnya (m.kompasnia.com). Di sini terjadi karena umat Islam di Indonesia yang memiliki latar belakang yang berbeda. Hal ini juga bisa dikarenakan kekuatan agama yang sangat erat. Sebenarnya, Umat Islam telah banyak yang bertoleransi. Namun, cara bertolransinya berbeda dengan tolransi agama lain sehingga membuat kesalahpahaman antara masyarakatnya. Hal ini wajar terjadi, karena setiap agama memiliki prinsip yang berbeda. Hal yang perlu ditandai ialah bagaimana caranya agar seorang anak yang masih bisa kita latih agar bisa bertoleransi dengan benar. Sebenarnya, pelajaran yang paling NETRAL tersebut telah ada dalam Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Educations).
Mengambiil kutipan dari buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk Sekolah Dasar kelas 3 tahun 1997. Di sini, siswa diajarkan sebuah kerukunan yang harmonis dan netral khususnya untuk warga negara Indonesia. Tuhan menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal dan saling bersilaturrahmi. Manusia selalu membutuhkan hubungan dengan sesamanya dalam hidupnya, baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat sekitarnya. Hubungan tersebut diharapkan agar dapat menciptakan kehidupan yang rukun, damai, serta hidup bersama dengan baik dan serasi. Kehidupan semacam ini akan terwujud jika  ada sikap saling menerima, saling menghormati, saling menghargai, dan saling kerja sama di antara sesama anggota masyarakat tersebut. Karena perbedaan di indonesia sangat beragam, maka Pendidikan Kewarganegaraan ini wajib hukumnya bagi seluruh warga Indonesia.
Hal yang tidak searah ketika Pak Chaedar menyebutkan bahwa idealnya sekolah yang memilki agama yang berbeda maka sekolah tersebut harus membangun tempat ibadah semua agama agar semua siswa saling memahami dan toleransi. Hal yang tidak logik ialah tentu saja tidk mungkin membangun gereja atau  kuil di tengah-tengah sekolah karena memang intensitas ibadah yang berbeda. Masjid selalu ada dan didirikan karena memang umatnya beribadah minimal lima kali sehari.
Berbagai penelitian, namun tidak jelas dan detail penelitian yang bagaimana dan di mana. Telah menunjukkan bahwa anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan mereka. Penelitian yang tidak jelas ini bisa jadi hanya sebuah pengalaman. Seharusnya, yang namamnya penelitian harus detail datanya. Dalam artikel yang dikutip dari Rubin ini dijelaskan bahwa anak-anak mulai belajar menghormati, membantu, berbagi, dan umumnya sopan satu sama lain. Hal itu memang tidak salah, Hurlock mendefinisikan perkembangan sosial anak berfungsi sebagai pencapaian suatu kemampuan untuk berperilaku sesuai denan dengan harapan sosial yang ada. (Abdul Latief, 2007 : 93).
Kasus-kasus yang terjadi belakangan adalah kasus yang tidak boleh terulang kembali. Indonesia memang terkenal dengan teroris-terorisnya. Kejadian yang menimpa gereja di Surakata karena pengebomanitu memang dilakukan oleh orang Islam yang mengaku dirinya jihad dan wajib menghancurkan tempat maksiat. Akan tetapi, hal yang mereka kerjakan itu bukan hal yang dibolehkan oleh agama. Agama Islam memang mengharuskan kita untuk Amar ma’ruf nahi munkar, yakni mengerjakan sesuatu yang baik dan melarang atau mencegah sesuatu yang buruk. Mereka yang pemahamannya didoktrin oleh Islam liberal  hanya mengerti bahwa mereka amar ma’ruf apabila mereka mampu menghancurkan tempat-tempat ma’siat bahkan ikut mati dalam penghancurannya. Tentu saja hal ini salah besar.  Islam mengajarkan bahwa orang kafir yang wajib dimusnakan ialah hanya orang kafir yang sangat memusuhi Islam dan mengganggu Islam disebut juga kafir kharbi. Apabila orang kafir itu tidak menganggu (kafir zimmi), maka seorang muslim bahkan diperbolahkan untuk bekerja sama dalam hal keduniawian. (Kitab Sulammuttaufiq)
Di sinilah siswa mengetahui banyaknya perbedaan yang terjadi di negerinya. Melihat konflik yang terjadi di negeri Indonesia itu berarti pendidikan dasarnya harus lebih difokuskan kembali. Anak perlu belajar berinteraksi, saling menghargai, saling menghormati, belajar aktif, interaktif, cekatan, dan lain sebagainya. Menurut Apriliaswati (2011), keributan yang terjadi di dalam kelas tidak selamanya negative, hal itu merupakan interaksi antara siswanya. Akan tetapi, jika keributan itu terjadi berulang kali dan sulit untuk menghentikannya maka hal itu tetap saja negatif dan akan berpengaruh jelek terhadap proses belajar mengajar. Seperti pengalaman ketika saya mengajar di DTA (sejajar dengan Sekolah Dasar), dan anak-anak hanya ribut maka materi yang ingin disampaikan hilang begitu saja dan tergcegah oleh situasi yang tidak bisa terkontrolkan. Namun, memang disitulah mereka berinteraksi dan saling berhubungan, aslakan guru mampu mengontrol dan mengolah lagi agar kelas tetap normal.
Solusi dari permasalahan-permasalahan di atas ialah perlunya pendidikan umum dan liberal untuk warga negara agar mereka tidak sempit wawasannya dan tidak berpandang hanya dalam satu sudut. Menurut Oxford Learner’s Dictionary (1989 : 717). Liberal berarti tolerant dan open mind . Pendidikan liberal ialah pendidikan yang diniati untuk  memperluas wawasan , tidak sekedar latihan teknis dan profesional. (A.Chaedar, 2012 :19).  Selain pendidikan gama, pendidikan umum dan liberal pun sangat penting. Namun, hal itu harus balance. hal itu karena pendidikan umum hanya untuk di dunia, sedangkan pendidikan agama berfungsi untuk kemaslahatan dunia dan akhirat. Jadi, tetap saja pendidikan agama harus menjadi utama.
Pendidikan liberal acap kali tertukar oleh pendidikan umum. Namun, keduanya berbeda. Pendidikan liberal terfokus pada mata pelajaran sebagai warisan tradisi (klasik) dan lebih mengembangkan aspek intelektual. Pendidikan umum lebih terfokus pada pengembangan pribadi dalam skala yang lebih luas dan tidak sekedar aspek intelektual, tetapi semua aspek., yaitu intelektual, emosi, sosial, dan moral peserta didik. Pendidikan umum menjadi dasar pemikiran seseorang dan sebagai konsep dalam mempraktikanpendidikan khususnya. Hal tersebut contohnya ialah MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum) yang berperan penting pada akademis mahasiswanya. Selain pendidikan dasar tersebut, pendidikan moral adalah salah satu item yang jangan sampai terlupakan. Moral menjadi utama dibanding kepintaran seseorang. Hal itu seperti yang terjadi pada para koruptor Indonesia, mereka memiliki pengetahuan yang mendalam tetapi rendah moral. Begitu pula kurikulum 2013 memiliki prinsip lebih mementingkan pendidikan moral dari pada kepintaran atau kecerdasan.
Tradisional agama memang telah dikritik karena memang dianggap memberikan sikap yang egois dan tidak memperdulikan pranata sosial. Namun, sebenarnya hal itu wajar karena setiap agama memiliki prinsip yang berbeda tinggal bagaimana manusi bisa saling memahami dan menghargai perbedaan tersebut.
Gagasan-gagasan mengenai artikel “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” dari Pak Chaedar begitu membuat merinding dan membuka kulit mati pikiran pembaca menjadi hidup dan lebih segar. Hal yang tadinya tidak disadari menjadi hal yang tersoroti. Pak Chaedar memilki prinsip teguh dan gagasan-gagasan menarik dalam wacananya. Beliau menyuguhkan fakta-fakta teraktual dan opini-opini yang panas.
Dalam hidup yang berkependidikan, Pak Cheadar menitikberatkan agar kita peduli terhadap akal dan pikiran kita yang harus digunakan untuk berfikir dan terus mencari solusi dalam kehidupan.  Beliau seakan mengubah mind set pembaca agar lebih kritis dan sadar kembali terhadap pendidikannya. Pak Chaedar seorang yang netral dan tetap bisa bebagi ilmunya kepada siapapun. Beliau sangat peduli terhadap kerukunan beragama dan bernegara sehingga mngedepankan pendidikan dasar dan liberal. Hal itu mengingatkan pada seorang motivator ternma Mario Teguh yang selalu netral dan tidak memihak ke satu sisi saja. Beliau memikirkan pentingnya relasi dalam segala aspek yang terjadi di dunia ini.
In other hand, sebenarnya ada beberapa statement Pak Chaedar yang tidak searah seperti pendirian semua tempat peribadahan di lembaga yang bermacam-macam agama atau etnis. Pengaplikasian toleransi tidak pula seperti itu karena semua memiliki kebutuhan masing-masing. Karena dilihat dari intensitas beribadah yang tinggi pada agama Islam, maka masjid pun didirikan di mana-mana. Berbeda dengan agama lain yang intensitas ibadahnya lebih rendah.
Berkutak pada judul, banyak orang awam yang tidak mudah menafsirkan judul artikel ini dengan maksud dan tujuan artikel yang sebenarnya. Dari satu kelas setelah membaca artikel ini, hampir semua mahasiswa memahami bahwa artikel ini hanya tentang kerukunan agama dan tidak meluncur ke arah pendidikan umum bahkan liberal. Namun, setelah ditelaahi ternyata tujuan tersirat itu muncul yang membicarakan tentang pendidikan dasar, umum, dan liberal. Oleh karena itu, alangakah lebih baik apabila judul lebih dimudahkan lagi untuk dipahami agar pembaca tidak tersesat ketika membacanya.
Akhirnya, artikel ini sangat menjunjung tinggi nilai-nilai pendidikan dan moral. Pembaca seakan diberi mantra sehingga tiba-tiba penasaran dan menelusuri bacaan ini serta menganalisa informasi yang berkaitan. Seakan menyelami samudera, informasi di dalamnya sangat luas sehingga kita tidak sempit berfikr untuk menganalisanya.






References
Alwasilah, A.C. Pokoknya Rekayasa Literasi, Bandung: Kiblat Buku Utama dan Sekolah Pascasarjanah UPI Bandung : 2012

Latif, Abdul. Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakatan, Bandung : Refika Aditama, 2007.
Syaripudin, Tatang. Landasan Pendidikan, Jakarta : Direktorat Jendral  Pendidikan Islam, 2012.
Abdilah, dkk. Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan,  Jakarta : Dep[artemen Penddidikan dan kebudayaan, 1967.






Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment