CLASSROOM DISCOURSE: MARI KENALKAN KATA
“KERUKUKAN”
(By: Endang Siti Nurkholidah)
Bersatu ataukah bercerai-berai? Ini adalah pilihan hidup
yang sering terjadi di kehidupan masyarakat. Ini semua diakibatkan karena
banyaknya perbedaan disekeliling kita. Hidup dalam negara yang penuh keragaman
memang menjadi sebuah tantangan bagi semua manusia. Untuk hidup damai dan
berdampingan, tentu dibutuhkan toleransi satu sama lain. Memang setiap manusia
di dunia memiliki perbedaan yang signifikan dan perbedaan itu yang membuat
saling melengkapi. Perbedaan adalah sesuatu hal yang indah dalam hidup ini,
meskipun banyak orang yang tak menyadarinya. Setiap orang yang hidup di dunia
ini akan merasakan perbedaan dengan lawannya atau sesama kerabatnya. Mengapa
begitu? Karena setiap manusia memiliki perbedaan dan dibalik perbedaan ada
sebuah misteri besar yang harus kita pecahkan. Seperti perbedaan keragaman suku,
agama, maupun budaya yang ada diberbagai penjuru dunia.
Dunia memang sedang dilanda rasa dilematik akibat perubahan yang
cepat dan tidak terlekkan, sehingga menimbulkan akibat pada perubahan sosial,
budaya bahkan agama. Sepertinya ada beberapa pergeseran system nilai social,
budaya dan agama yang cukup drastic sekali. Pergeseran nilai yang sangat
penting ini menimbulkan goncangan yang sangat dahsyat. Perubahan nilai ini juga
terjadi di tanah air yang kita bangga-banggakan dan yang kita cintai. Ya,
Indonesia bumi pertiwiku. Sepertinya Indonesia salah satu Negara yang dilanda
konflik antar social, suku, budaya dan agama. Ini terbukti bahwa di Indonesia
masih banyak konflik yang sering bermunculan juga diberbagai media elektronik
maupun cetak. Contohnya seperti konflik antar agama yang terjadi pada
masyarakat.
Hampir semua manusia menyadari bahwa keragaman dan perbedaan
merupakan sebuah keniscayaan yang harus diterima dan dihadapi, walaupun
terkadang sikap yang kurang tepat terhadap keragaman sering menjadi sumber
konflik. Berdiri dalam keragaman dan perbedaan tertentu memang membuka peluang
untuk terjadinya ragam konflik kemanusiaan. Oleh karena itu manusia dituntut
untuk mencari titik-titik tertentu yang memungkinkan adanya titik temu atau
titik kebersamaan, sehingga terbuka peluang untuk tumbuhnya sikap toleran dalam
menyikapi pluralitas.
Ketika kita berbicara tentang kerukunan, berarti secara
tidak langsung kita berbicara tentang toleransi juga. Kerukunan dan toleransi
memang sudah menjadi satu paket yang tidak bisa dipisahkan. Apa itu toleransi?
Toleransi adalah perilaku terbuka dan menghargai segala perbedaan yang ada dalam
setiap kehidupan. Biasanya orang bertoleransi terhadap perbedaan kebudayaan dan
agama. Namun, konsep toleransi ini juga bisa diaplikasikan untuk perbedaan
jenis kelamin, anak-anak dengan gangguan fisik maupun intelektual dan perbedaan
lainnya. Toleransi juga berarti menghormati dan belajar dari orang lain. Menghargai
perbedaan, menjembatani kesenjangan budaya, menolak stereotip yang tidak adil,
sehingga tercapai kesamaan sikap. Toleransi juga adalah istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat
diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi
beragama, dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan
keberadaan agama-agama lainnya.
Manusia adalah makhluk indiviudu sekaligus makhluk sosial.
Sebagai makhluk sosial tentunya manusia dituntut untuk mampu berinteraksi
dengan individu lain dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Dalam menjalani
kehidupan sosial dalam masyarakat, seorang individu akan dihadapkan dengan
kelompok-kelompok yang berbeda warna dengannya salah satunya adalah perbedaan
agama. Memang banyak warna dalam kehidupan kita memang sangat indah, tapi bagaimana
jika warna itu menyimbolkan keberagaman etnis, budaya dan agama? Ini pertanyaan dan masalah yang besar yang
menimbulkan konflik antar sesama manusia di bumi ini.
Dalam menjalani kehidupan sosialnya tidak bisa dipungkiri akan
ada gesekan-gesekan yang dapat terjadi antar kelompok masyarakat, baik yang
berkaitan dengan ras maupun agama. Dalam rangka menjaga keutuhan dan persatuan
dalam masyarakat maka diperlukan sikap saling menghormati dan saling menghargai,
sehingga gesekan-gesekan yang dapat menimbulkan pertikaian dapat dihindari.
Masyarakat juga dituntut untuk saling menjaga hak dan kewajiban mereka antara
yang satu dengan yang lainnya.
Seperti yang telah Bapak Chaedar Alwasilah kemukakan dalam wacana
“Classroom
Discourse to Foster Religious Harmony” (2012:217), ada beberapa point
penting yang beliau kemukakan. Pertama,
konflik sosial dan ketidak
harmonisan agama merupakan tantangan bagi pendidik dalam melakukan yang terbaik untuk mempersiapkan generasi
berikutnya sebagai
warga negara yang
demokratis dengan karakter yang baik sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas. Memupuk sikap toleransi antara sesama umat beragama harus
dikembangkan dan diberikan pada pendidikan dasar, agar siswa bisa saling
menghormati orang lain meskipun berbeda etnis maupun agama.
Kedua, sebagai tenaga pendidik (guru)
harus memupuk sikap toleransi pada anak didiknya. Guru bisa memberi
kesempakatan kepada muridnya ketika berada dalam kelas, seperti yang bapak
Chaedar tuturkan dalam wacana “Classroom Discourse to Foster Religious
Harmony”. Misalnya guru bisa memberikan pengetahuan-pengetahuan tentang
bagaimana sikap bertoleransi pada sesama manusia, khusunya sesama umat
beragama. Selain itu juga siswa dituntut untuk mengamalkan apa yang telah
disampaikan oleh guru tentang bagaimana sikap bertoleransi dengan sesama
manusia.
Menurut
Rubin
(2009)
yang terdapat pada wacana Classroom Discourse to Foster
Religious Harmony mengemukakan bahwa diberbagai penelitian telah
menunjukkan bahwasannya anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan mereka. Dalam konteks sekolah adalah hubungan dimana antar
siswa menghormati, membantu, berbagi, dan sopan terhadap satu sama lain. Konsep interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan sosial di
dunia.
Survey
membuktikan bahwasannya memperkenalkan atau memupuk pendidikan toleransi antar sesama
manusia memang sangat penting untuk diaplikasikan di bangku sekolah dasar. Agar
siswa ketika bertumbuh jadi dewasa sudah terbiasa akan sikap saling
bertoleransi satu sama lain, khusunya toleransi beragama. Toleransi berama
sangat penting dikembangkan pada bangku sekolah usiadini, karena agama itu
sangat penting. Mengapa demikian? Agama merupakan pondasi kehidupan ya ng sangat berpengaruh dalam kehidupan
kita. Orang yang tidak beragama tidak akan memiliki pondasi. Apalagi pondasi
yang sangat kokoh! Sesama umat beragama harus mempunyai jiwa toleransi yang
sangat tinggi, karena kita hidup di dunia ini tidak hanya satu agama saja, tapi
banyak agama. Seperti agama islam, Kristen, budha, hindu, konguchu dan lain
sebagainya.
Selain itu konflik akan terjadi akibat kurangnya kerukuran
antar sesama, itu akibat dari tidak adanya toleransi, padahal kita mempunyai
satu semboyan yang mengikat semuanya. Tidak ada bukti sejarah
bahwa perbedaan etnis, budaya, bahasa dan agama menjadi sumber konflik. Inilah
modal sosial yang memperkuat dan meneguhkan keragaman bangsa kita yang telah
dikukuhkan dengan sebutan falsafah Bhinneka
Tunggal Ika. Bhinneka Tunggal Ika adalah sebuah slogan kebangsaan Indonesia
yang akrab dan tidak asing lagi di telinga kita. Slogan ini dapat dimaknai,
bahwa bangunan kebangsaan kita ditandai oleh kemampuan tiap kelompok dari
elemen bangsa untuk saling asah, asih dan asuh. Inilah sebuah rangkaian kata
yang elegan dan mudah diucapkan, akan tetapi tak mudah untuk dijalankan.
Dalam pancasila juga tertera hal tentang
pentingnya bertoleransi antar agama, terutama sila pertama yaitu bertaqwa
kepada tuhan menurut agama dan kepercayaan masing-masing adalah mutlak. Semua
agama menghargai manusia maka dari itu semua umat beragama juga wajib saling menghargai.
Dengan demikian antar umat beragama yang berlainan akan terbina kerukunan hidup
tanpa adanya konflik sosial.
Saya setuju apa yang dikemukakan
oleh Chaedar Alwasilah dalam wacana
di atas, akan tetapi ada point penting yang perlu ditambahkan dalam mendidik
atau memupuk siswa. Serta masih ada kekurangan yang perlu ditambahkan dalam
wacana miliknya Bapak Chaedar Alwasilah itu. Point penting ini adalah
lingkungan social dan keluarga. Kedua peran tersebut sangat penting untuk
membentuk anak-anak(siswa) menjadi orang yang memiliki rasa toleransi pada
orang lain.
Pertama, lingkungan sosial salah satu faktor
pendukung yang sangat penting. Tidak hanya di bangku sekolah dasar saja sikap
toleransi dikembangkan, akan tetapi lingkungan social juga sangat mendukung.
Ketika lingkungan social itu baik dan hampir semua masyarakat di lingkungan
tersebut memiliki sikap toleransi, maka siswa (anak) pun akan terdorong dan
terbiasa dengan lingkungan yang selalu menerapkan sikap toleransi pada kehidupannya.
Kedua, faktor keluarga pun sangat penting
dalam memupuk anak untuk memiliki sikap toleransi. Keluarga harus bisa menjadi
faktor pendukung yang berperan sangat besar, karena anak lebih banyak
berinteraksi dalam lingkungan keluarga. Khususnya anak yang masih berada dalam
bangku sekolah dasar. Keluarga terutama orang tua harus memberikan contoh yang
benar bagi anaknya. Seperti mengajak anak berinteraksi dengan masyarakat yang
berbeda agama, suku ataupun budaya, agar anak terbiasa menghadapi masalah ini
kelak ketika ada konflik yang melanda.
Sekolah Menengah Pertama adalah
tingkatan sekolah menengah dalam arti mendapat atau mempelajari ilmu yang lebih
lanjut dari pada sekolah dasar. Rata-rata
usia pelajar SMP sekitar 13 sampai 16 tahun. Usia beranjak remaja seperti ini
(remaja tanggung) yang rentan dengan berbagai pengaruh dan perubahan, baik itu
dari segi akhlak (moral), Sexual, bahkan penampilan. Remaja seperti ini
termasuk remaja yang sedang mengalami masa labil yang luar biasa dan sangat
diperlukan bimbingan dari orang-orang terdekatnya, seperti keluarga, guru dan
lingkungan sekitar. (Budi Hikmah)
Selain itu, dalam wacana “Classroom Discourse to Foster Religious
Harmony” hanya membahas tentang kerukunan beragama dalam konteks dalam
kelas saja. Padahal seharusnya untuk memupuk sikap toleransi dan kerukunan
beragama tidak hanya dilakukan dalam kelas, di lingkungan sekitar juga bisa
mendukung. Selanjutnya menanamkan sikap toleransi tidak hanya untuk anak saja,
akan tetapi untuk orang dewasa juga. Mengapa demikian? Untuk urusan toleransi
dan kerukuran beragama tidak hanya melihat anak-anak saja yang harus memiliki
sikap tersebut. Akan tetapi semua manusia di dunia ini. Hal ini terbukti ketika
meningkatnya
intensitas konflik sosial berlatar agama, khususnya tiga tahun terakhir, telah
memaksa kita memahami kembali makna kerukunan kehidupan beragama dalam konteks
kekinian. Penelitian Lazuardi Birru menyimpulkan bahwa indeks kerentanan
radikalisme nasional di tahun 2011 sebesar 43,6 persen, masih jauh dari zona
aman, yaitu 33,33 persen. Topik kerukunan ini mengemuka dalam diskusi terbatas
yang diadakan Lembaga Ketahanan Nasional (20/3/2012) di Jakarta. Kerentanan
kerukunan antar-umat beragama akan mengancam integrasi bangsa. Terlebih,
potensi konflik sosial di Indonesia diperkirakan semakin meningkat
beberapa tahun ke depan.
Tingkat toleransi dan penghargaan
terhadap keanekaragaman agama-agama di kalangan siswa siswa memang cukup
problematik. Meskipun lebih dari separuh menunjukkan tingkat toleransi dan
penghargaan yang cukup tinggi. Alangkah
lebih baiknya siswa yang mempunyai antusias yang bagus ini diberi penghargaan
yang membuat siswa (anak) tetap mempertahankan dan menjaga sikap toleransi yang
sudah terpupuk dalam kehidupannya.
Ada sebuah pengalaman yang patut
kita jadikan pelajaran, khususnya bagi siswa. Bicara soal pengalaman seorang
siswa, ada sebuah kejadian yang patut kita ambil hikmahnya. Ada seorang anak
(siswa) yang bersekolah di SMPN 12 Palembang (semester 1) kemudian berpindah
sekolah ke SMPN 2 Sungailiat Bangka, dari kedua SMP tersebut ada banyak
perbedaan yang dirasakan, terutama dalam soal latar belakang asal daerah dan
agama siswanya. Di SMPN 12 Palembang rata-rata semua siswa asli dari Palembang
serta beragama Islam, akan tetapi di SMPN 2 Sungailiat sangat beragam. Ada yang
keturunan Palembang, Bangka asli, Batak, Cina, Jawa, Sulawesi, Riau bahkan
Belanda, serta beragama Islam, Katolik, Protestan, Konghuchu, dan Budha. Kondisi
tersebut tidak membuat siswa terpecah belah, meski tetap ada “insiden” kecil
yang lebih mengarah ke kenakalan remaja, seperti menyebut marga atau perbedaan
secara fisik. Namun secara umum semua itu malah membuat siswa lebih dekat dan
tidak pernah mempermasalahkan asal usul nenek moyang atau agama yang dianutnya.
Terus terang “perbedaan” dan “keragaman” itu menimbulkan kesan yang sangat
mendalam bagi siswa dan hal ini membuktikan bahwa perbedaan itu memang indah,
akan tetapi hamper semua orang tidak menyadari akan hal itu.
Menurut William terdapat contoh sikap toleransi antar umat beragama
saat kegiatan keagamaan di sekolah yang pernah dia temui dan teliti, ada siswa
rohani kristen terlihat khusu melaksanakan kegiatan keagamaan yang berbarengan
dengan pesantren Ramadan. Sementara siswa muslim mengikuti pesantren kilat,
siswa non muslim melakukan kegiatan Rohani Kristen (Rokris) keduanya
melaksanakan kegiatan pada hari dan waktu yang sama. Suara puji-pujian diiringi
alunan musik jelas terdengar di salah satu ruang aula laboratorium SMAN 12
Bekasi, di ruangan lainnya puluhan siswa muslim asyik dan khusyuk menerima
materi tentang keagamaan. Sebanyak puluhan siswa non-muslim terlihat berdiri
menyanyikan lagu puji-pujian, tiga siswa memegang gitar berada paling depan,
mengiringi teman-temannya yang terlihat khusyuk menendangkan lagu puji-pujian
pada Tuhan Yang Maha Esa. Tak lama berselang, seorang siswa serta merta
memberikan pidato tentang keagamaan dan dilanjutkan dengan puji-pujian
berikutnya. Ketua Rokris SMAN 12 Bekasi Wiliam kepada Radar Bekasi menuturkan,
kegiatan ini dilakukan untuk menghormati umat muslim yang sedang melaksanakan
ibadah puasa di bulan ramadan ini. “Sebagai penghormatannya, mereka juga
mendoakan umat muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa agar diberikan
kekuatan,” jelas Wiliam.
Dilain pihak, siswa-siswi Rokris juga mendapatkan materi
tentang keagamaan seperti Iman kepada tuhan, mencintai sesama umat manusia
serta pentingnya saling menolong dan menghargai antar umat beragama. “Kita
selalu menghargai antar umat beragama, setiap manusia itu baik, hanya
terkadangmanusianya saja yang selalu menyalah gunakan kebaikan dari sebuah
agama itu,” tutur Wiliam.
Kendati melakukan kegiatan di lokasi dan waktu yang
berbarengan, kegiatan berjalan aman dan tenang, siswa-siswi muslim tetap
melakukan ibadah puasa dan kegiatan sanlat dengan siswa Rokris melakukan
kegiatan yang serupa (keagamaan.red)
dengan tenang dan nyaman. Saya rasa dengan adanya kegiatan pesantren ramadan
dan juga kegiatan rokris ini bukan berarti memecah belahkan antar umat
beragama, tapi menyatukan kerukunan antar umat beragama, yaitu dengan saling
toleransi. Dengan kegiatan seperti ini, siswa muslim mendapatkan pendalaman
agama melalui kegiatan pesantren ramadan, sedangkan siswa non-muslim
mendapatkan materi melalui kegiatan Rokris.
Contoh
di atas merupakan contoh yang patut dipelajari, bersikap toleran merupakan
solusi agar tidak terjadi perpecahan konflik agama. Semuanya harus menjadi
suatu kesadaran pribadi yang selalu dibiasakan dalam wujud interaksi sosial. Salah
satu wujud dari toleransi hidup beragama adalah menjalin dan memperkokoh tali
silaturahmi antarumat beragama dan menjaga hubungan yang baik dengan manusia
lainnya. Contoh di atas ini bisa diterapkan dalam pengaplikasian dan pemupukan
sikap toleransi dalam kehidupan siswa.
Jika
dipandang dari agama saya (Islam), seperti yang tertera dalam Quran
surat Yunus ayat 99 bahwa Tuhan tidak menciptakan seluruh umat manusia
secara eksoterik menganut satu agama. Seperti yang tersirat dalam surat al-kafirun ayat 2-6 yang artinya “…..aku tidak akan menyembah apa yang kamu
sembah. Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah. Dan aku tidak akan pernah
menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menyembah
Tuhan yang aku sembah. Untuk mullah agamamu dan untukkulah agamaku” surat
di atas menandakan bahwa adanya toleransi dalam agama dan saling menghormati satu
sama lain.
Sebagai agama dengan ajaran yang
bersifat universal, agama Islam sangat menekankan nilai-nilai kemanusiaan.
Kemanusiaan adalah satu. Manusia bukanlah berasal dari sat orang pertama, akan
tetapi juga berasal dari suatu kehendak yang menciptakannya, yakni kehendak
tuhan. (QS Al-An’am: 98 & Qs
Al-A’raf:198)
Toleransi
beragama harus dikembangkan dalam bangku sekolah dasar agar tidak ada lagi
konflik yang terjadi antara siswa. Akan
tetapi cara pengajarannya harus tepat dan tidak ada kesalah pahaman, karena cara tradisional
pengajaran
agama di bangku sekolah dasar telah dikritik
karena menekankan aspek teologis dan ritual, sementara mengabaikan aspek-aspek
sosial, interaksi yaitu horizontal dan toleransi antar pengikut agama yang
berbeda. Padahal interaksi social sangat
penting untuk mengaplikasikan sikap toleran yang kita miliki.
Ada beberapa faktor yang perlu
dicermati sehubungan dengan terjadinya konflik social yang terjadi dikalangan
siswa yang membonceng faktor etnis dan agama dibelakangnya. Pertama, kita harus menyadari bahwa
gerakan etnis merupakan sebuah gerakan yang muncul sebagai respons dari adanya
proyek modernisasi yang berporos pada kapitalisme dan budaya manusia yang
berdasarkan pada teknologi modern, tatanan komunikasi dan informasi yang juga
melahirkan model baru homogenitas seluruh dunia.
Kedua, konflik etnis terjadi akibat
rapuhnya institusi Negara yang menaungi kemajemukan masyarakat. Negara sudah
tidak mampu lagi memberikan dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, sementara
struktur alternative yang memuaskan belum tersedia. Sebelumnya system kekuasaan
yang dalam kurun waktu tertentu mampu mengendalikan kekuasaan terhadap
kelompok-kelompok yang terpisah.
Contohnya banyak konflik kekerasan
dan kerusuhan, agama (keberagamaan) acap kali diikutkan dan bahkan telah
menjadi salah satu pemicunya. Kenyataan tersebut menimbulkan
pertanyaan-pertanyaan: benarkah agama dan keberagamaan agama memiliki andil
dalam merebaknya budaya kekerasan (culture of violence) diberbagai bagian
dunia, termasuk yang terjadi di Indonesia disebabkan berbagai kepentingan dan
kesenjangan social yang mengatasnamakan agama? Jawabannya tetaplah bahwa agama
tidak mengajarkan konflik dan kekerasan. Agama selalu mengajarkan perdamaian
dan kerukunan. Baik itu agama islam, Kristen, hindu, budha dan agama lainnya.
Agama atau keberagaman masyarakat
ketika berpapasan dengan modernitas tampaknya tidak bisa menghindarkan diri
dari benturan-benturan akibat perubahan social. Manusia sebagai umat beragama
juga harus menghadapi dilemma-dilema yang pelik menyangkut benturan agama dan
perubahan social. Mereka yang masih mempertahankan ajaran agama secara secara
puritan justru terpencil dari interaksi masyarakat global. Bahkan mereka di cap
sebagai kaum fundamentalis yang dapat ditafsirkan sebagai kelompok yang kurang
fleksibel dalam memandang ajaran agama, sehingga tidak mau menerima
realitas-realitas dalam perubahan social.
Sering kali kebanyakan umat
beragama, termasuk pemerintah dan tokoh-tokoh agama, kurang peka terhadap
potensi dan gejala konflik. Baru setelah potensi itu menjadi gelombang konflik
yang multi dimensional, umat dan tokoh-tokoh agam merasa kebingungan dan
kerepotan. Padahal sebelumnya telah terbit puluhan buku, hasil penelitian dan
pemberitaan yang memperingatan akan bahaya persatuan akibat konflik agama dan
etnis. Bahkan memperingatkan bahwa di penghujung abad ke-20 dunia dan media
masa tidak lagi menyebut ideology komunisme atau nasionalisme sebagi ancaman
dan sumber konflik, melainkan telah bergeser pada gerakan keagamaan dan
sentiment yang sangat militan.
Indonesia sebagai Negara dan bangsa
keempat terbesar di muka bumi, dengan tujuh belas ribu pulau, besar dan kecil
yang terbentang dari sabang sampe meroke seperti dari Lebanon dan inggris sampai
ke Taheran di Iran. Berangkat dari kondisi objektif sering terjadinya kerusuhan
social dan gejala konflik yang mengatasnamakan agama, maka dapat dicari akar
masalahnya yang secara general dapat dirumuskaan. Solusinya adalah mendidik
anak-anak generasi penerus dengan baik, agar tidak ada lagi konflik yang
terjadi dan anak siap menghadapi perbedaan bahkan konflik ketika sudah dibekali
ilmu agama yang banyak dan bisa bermanfaat.
Semua agama mengajarkan humanism
sehingga semuanya mengajarkan: “jika tuhan memuliakan manusia, mengapa kita
selaku penganut agama tidak saling memuliakan” dan semua agama mengajarkan
positive thinking (husnu al-zhann). Oleh karena itu, salah satu pesan dibalik
kata “kerukunan” yaitu mengembangkan sikap positif terhadap komunitas lain.
Kemuliaan dan martabat seseorang akan lebih tinggi bila dia menghormati dan
memandang mulia setiap kenaikan yang dikerjakan oleh komunitas lain.
Kerukunan dan toleransi agama wajib
dikembangkan dalam bangku sekolah dasar, agar anak (siswa) siap menghadapi
zaman peradaban yang sudah berubah drastis. Agar siswa mampu menghadapi
perbedaan etnis, agama ataupun budaya yang suatu saat akan menghampirinya.
Sebagai Negara yang mempunyai slogan
yang elegan (Bhineka Tunggal Ika) yang memiliki makna yang luar biasa dibalik
slogan tersebut. “Berbeda-beda namun tetap satu jua” itulah arti dari slogan
Negara kita. Meskipun berbeda-beda etnis, suku, budaya dan agama, akan tetapi
kita harus tetap bersatu tanpa adanya konflik yang terjadi pada diri kita,
sesuai dengan slogan bangsa kita ini.
Kita bisa belajar dari sebuah pelangi. Meskipun berbeda-beda
warna akan tetapi tetap indah. Begitulah perbedaan, perbedaan itu indah namun
semua orang tidak menyadari akan hal itu. Berbeda suku, bangsa, budaya, etnis
bahkan agama itu bukan salah satu alasan terjadinya konflik dalam kehidupan
ini. Meskipun berbeda-beda kita harus tetap saling bertoleransi satu sama lain.
References :
Alwasilah, A.C., The Jakarta Post, October 22, 2011
Alwasilah, A.C. Pokoknya Rekayasa Literasi,
Bandung: Kiblat Buku Utama dan Sekolah Pascasarjanah UPI Bandung : 2012.
Alwasilah, A.C., pendidikan Umum dan
Liberal
Id.wikipedia.org/wiki/Toleransi.