critical review 1

Kenaifan Pendidikan
By: Daroni 

Paham liberalisme, suatu pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan, melindungi hak, dan kebebasan (freedoms), serta proses perubahan sosial secara inskrimental demi menjaga stabilitas jangka panjang.  Sehingga pendididkan liberal menghasilkan kesadaran naïf.  Kesadaran akan makna pentingnya nilai-nilai keagamaan bagi kehidupan mendorong mereka untuk melestarikan nilai-nilai keagamaan itu bukan hanya untuk dirinya tetapi juga untuk keturunannya, keluarganya dan generasi berikutnya secara umum.  Proses untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan tersebut ditempuh melalui jalur pendidikan dan pengajaran di dalam keluarga (informal), di masyarakat (non formal) dan atau di sekolah (formal).  Dalam dunia pendidikan yang makin kompleks, pembedaan terhadap ketiga wilayah pendidikan itu semakin tidak bisa ditarik garis merahnya secara tegas karena pada kenyataannya ketiga wilayah ini saling mendukung dan saling mengisi dan bahkan pendidikan nonformal menjadi tempat atau cara pelaksanaan pendidikan formal.
Seiring waktu berjalan, pendidikan pun ikut terus berkembang dengan hiruk pikuk kehidupan manusia.  Masalah demi masalah silih berganti.  Manakala masalah pendidikan memasuki ruang lingup filosofis, sudinya pendidikan menyandarkan itu pada filsafat pendidikan.  Filsafat pendidikan akan menjawab secara filosofis atas masalah-masalah yang muncul dari belahan dunia pendidikan.  Filsafat pendidikan akan menjadi peneropong belantara yang penuh pohon masalah pendidikan, yang terus tumbuh dari masa ke masa, dan tak kunjung habis.  Lebih dari itu Filsafat pendidikan juga menjadi arah perjalanan kemajuan pendidikan sekaligus mengoreksi kekurangannya guna mencapai tujuan pendidikan yang dicita-citakan, dan tetap eksisnya dunia pendidikan.
Menurut A. Chaedar Alwasilah: Filsafat Pendidikan adalah studi ihwal tujuan, hakikat, dan isi yang ideal dari pendidikan (Chaedar, 2008:101).  Pendidikan yang menjadi sarana mencerdaskan dan mencerahkan manusia sangatlah luas lingkup bahasannya.  Obyek filsafat pendidikan sangat luas, seluas aspek pendidikan dan aspek yang terkait.  Semua aspek yang berhubungan dengan upaya manusia untuk mengerti dan atau memahami hakikat pendidikan itu sendiri, yang berhubungan bagaimana pelaksanaan pendidikan yang baik, dan bagaimana tujuan pendidikan dapat dicapai sesuai yang dicita-citakan (Jalaluddin, 2007:25).  Jelas sudah bahwa lingkup bahasan filsafat pendidikan itu aspek-aspek yang berhubungan dengan pendidikan, seperti: hakekat dasar, tujuan, isi dan kebijakan serta penyelanggaraan pendidikan.
Umumnya orang memahami pendidikan sebagai suatu kegiatan mulia yang selalu mengandung kebajikan dan senantiasa bersifat netral.  Pendidikan formal mengalami kegoncangan karena dampak dari pertikaian ideologi dan perspektif pendidikan tersebut.  Sesungguhnya berbagai kritik mendasar tersebut justru semakin mendewasakan pendidikan, yakni memperkaya model pendidikan.  Tanpa disadari, pendidikan formal tengah mengalami transisi dari model pendidikan yang sama sekali tidak menghiraukan perubahan masyarakat sekelilingnya, menuju model pendidikan pembangunan, dimana pendidikan harus diabdikan untuk memperkuat pembangunan, tanpa dipersoalkan apa hakekat ideologi yang menjadi dasar bagi pembangunan itu sendiri.  Dewasa ini arus ini semakin berkembang, dengan fenomena munculnya gagasan ‘sekolah unggulan’ dan sering terdengar gagasan ‘link and match’ dalam aspek pendidikan.  Yang dimaksud sesungguhnya adalah bagaimana pendidikan harus memiliki kaitan dan relevansi dengan dunia Industri.  Konon gagasan ini juga tengah bergejolak dalam sistim pendidikan pesantren (Oepen, M. & Karcher, WThe Impact of Pesantren and Educational and Community Development in Indonesia. Jakarta: P3M, 1986). 
Latar belakang perkembangan pesantren tradisional kepada modern karena semangat baru dalam kehidupan keagamaan (religious revivalsm).  Hal ini akibat dari bertambahnya jumlah haji, guru-guru ngaji, murid-murid pesantren, tumbuhnya proto-nasionalisme, dan pada pertengahan abad ke-19, banyak anak-anak muda dari Jawa tinggal di Mekkah dan Madinah untuk memperdalam pengetahuan agama, dan pada akhir abad ke-19, banyak ulama kelahiran Jawa yang diakui kebesarannya ilmunya dengan menjadi pengajar tetap masjid Al-Haram seperti Syekh Nawawi banten, Syekh Mahfudz Termas.  Mengikuti hipotesa Karel A. Steenbrin Karel A. Steenbrink, (Pesantren Madrasah Sekolah pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Jakarta: LP3ES, 1986, xiv) yang mrngatakan bahwa sejak permulaan abad ke-20 telah terjadi perubahan besar dalam pendidikan Islam Indonesia atau pesantren.  Pergeseran ini terjadi karena beberapa faktor, yaitu:
  1. Kolonialisme dan sistem pendidikan liberal.  Propaganda pendidikan liberal Belanda ini berdampak pada sistem pesantren.
  2. Orientasi keilmuan pesantren.  Tidak seperi abad ke-16 sampai abad ke-18, orientasi keilmuan pesantren abad ke-20 tidak hanya ke Hijaz melainkan ke Timur Tengah, seperti Mesir, Baghdad, atau bahkan ke Eropa.
  3. Gerakan pembaharuan Islam.  Pergesekan ini melahirkan sasaran krikik terhadap pesantren.  Akibatnya pesantren merespon secara beragam, mulai dari penolakan, konfrontasi hingga kekaguman dan peniruan naïf terhadap pola pendidikan Barat (Edit. Mastuki dan M. Ishom El-Saha, Intelektualisme Pesantren Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Keemasan Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka, 2006, 3-4).
Untuk kesekian kalinya, pendidikan tengah diuji untuk mampu memberikan jawaban yang menyulitkan, yakni antara melegitimasi ataupun melanggengkan sistim dan struktur sosial yang ada, ataupun pendidikan harus berperan kritis dalam melakukan perubahan sosial dan transformasi sosial menuju dunia yang lebih adil.  Kedua peran pendidikan dilematis tersebut hanya bisa dijawab melalui pemilihan paradigma dan ideologi pendidikan yang mendasarinya.  pendidikan tidak hanya berkutat pada pertanyaan seputar sekolah, kurikulum, dan kebijakan pendidikan, tapi juga tentang keadilan social dan kesetaraan (Joe Kincheole, 2005).  Visi sosial dan pendidikan yang berbasis pada keadilan dan kesetaraan ini tidak hanya tertuang dalam tulisan dan kata, tapi juga termanifestasikan dalam praktek pendidikan sehari-hari.
Pertama, pandangan paradigma konservatif.  Bagi mereka ketidak kesederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami, suatu hal yang mustahil bisa dihindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah atau bahkan takdir tuhan.  Dalam bentuknya yang klasik atau awal peradigma konservatif dibangun berdasarkan keyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan atau mempengarhui perubahan sosial, hanya tuhan lah yang merencanakan keadaan masyarakat dan hanya dia yang tahu makna dibalik itu semua.  Dengan pandangan seperti itu, kaum konservatif lama tidak menganggap rakyat memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk merubah kondisi mereka.  Namun dalam perjalanan selanjutnya, paradigma koservatif cenderung lebih menyalahkan subyeknya.
Teruntuk kaum konservatif, mereka yang menderita, yakni orang orang miskin, buta huruf, kaum tertindas dan mereka yang dipenjara, menjadi demikian karena salah mereka sendiri.  Banyak orang lain yang ternyata bisa bekerja keras dan berhasil meraih sesuatu. Banyak orang kesekolah dan belajar untuk berperilaku baik dan oleh karenanya tidak dipenjara.  Kaum miskin haruslah sabar dan belajar untuk menunggu sampai giliran mereka datang, karena pada akhirnya kelak semua orang akan mencapai kebebasan dan kebahagiaan. Kaum konservatif sangat melihat pentingnya harmoni dalam masyarakat dan menghindarkan konflik dan kontradiksi.
Paradigma pendidikan konservatif misalnya merupakan anak cabang dari filsafat skolastik di barat yang perenialis sekalgus esensialis.  Ketika peradaaban barat didomiasi oleh otoritas gereja pada saat itu manusia tidak memiliki kuasa untuk merubah segala macam  tatann sosial yang ada.  Bahkan otritas menentukan nasib dirinya  sediri tak dimilikinya. Otoritas sepenuhnya menjadi  milik gereja, sehingga bapak-bapak pendeta seolah mewakili kehendak dan perwujudan tuhan di bumi.  Bahkan bisa dikatakan terlalu sehingga sangat fatalistik.
Dengan membaca karakter paradigma pendidikan  konservatif, amat kentara di dalamnya yang bernuansa perenialistis dan esensialis. Akibatnya pendidikan konsevatif hanya sebatas perwujudan manusia dalam menjalani hidupnya. Menusia cenderung bepikiran naif atau bahka magis karena keyakinan untuk mempertahankan norma-norma yang telah mapan sangat kuat. Bahkan pendidikan kondervatf yang berorientasi keakhiratan itu telah menenggelamkan  eksistensi manusia sebagai pelakuaktif kehidupannya. Jelaslah jika paradigma pendidikan konservatif sangt naïf, bahkan telah terperosok ke dalam magis.
Kedua pandangan Paradigma Liberal.  Golongan ini berangkat dari keyakinan bahwa memang ada masalah di masyarakat, tetapi bagi mereka pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat.  Dengan keyakinan seperti itu tugas pendidikan juga tidak ada sangkut pautya dengan persoalan politik dan ekonomi.  Sebenarnya kaum liberal selalu berusaha untuk menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan, dengan jalan memecahkan berbagai masalah yang ada dalam pendidikan dengan usaha reformasi.  Umumnya yang dilakukan adalah seperti: perlunya membangun kelas dan fasilitas baru, memoderenkan peralatan sekolah dengan pengadaan komputer yang lebih canggih dan laboratorium.  Seharusnya manusia berfungsi sebagai subjek aktif yang menjalankan modernitas tadi tetapi realitasnya justru mengatakan lain. Justru manusia harus menadi objek dari kemajuan teknologi  karya akal mereka sendiri.  Modernitas kemudian menjadi sebuah pardoks bagi kebebasan manusia.
Selain itu juga berbagai investasi untuk meningkatkan metodologi pengajaran dan pelatihan yang lebih effisien dan partisipatif, seperti kelompok dinamik (group dynamics) ‘learning by doing’, ‘experimental learning’, ataupun bahkan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) dan sebagainya.  Usaha peninkatan tersebut terisolasi dengan system dan struktur ketidak adilan kelas dan gender, dominasi budaya dan represi politik yang ada dalam masyarakat.  Pendekatan liberal inilah yang mendominasi segenap pemikiran tentang pendidikan baik pendidikan formal seperti sekolah, maupun pendidikan non-formal seperti berbagai macam pelatihan.  Konsep pendidikan dalam tradisi liberal berakar pada cita cita Barat tentang individualisme.  Ide politik liberalisme sejarahnya berkaitan erat dengan bangkitnya kelas menengah yang diuntungkan oleh kapitalisme.  Pengaruh liberalisme dalam pendidikan dapat dianalisa dengan melihat komponen komponennya.
Pengaruh liberal ini kelihatan dalam pendidikan yang mengutamakan prestasi melalui proses persaingan antar peserta didik.  Penilaian untuk menentukan murid terbaik, adalah implikasi dari paham pendidikan ini.  Pengaruh pendidikan liberal juga dapat dilihat dalam berbagai pendekatan “andragogy” seperti dalam training management, kewiraswastaan, menejemen lainnya.  Achievement Motivation Training (AMT) yang diciptakan oleh David McClelland adalah contoh terbaik pendekatan liberal.   McClelland berpendapat bahwa akar masalah keterbelakangan dunia ketiga karena mereka tidak memiliki apa yang dinamakannya N Ach (Max Weber: The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. New York: 1930).
Pardigma pendidikan liberal yang bermuara pada  semangat modernisasi di barat lebih mengutamakan kebebasan indivdu.  Jika kita membaca secara cerdas fenomena modernisasi  sebenarnya merupakan suatu gerakan protes, atau bisa dikatakan sebagai counter atas hegemoni otoritas gereja.  paradigma ini termasuk beraliran progresif  dan eksistensialis. Modernisasi merupakan jawaban atas skolastik yang boleh dikatan telah meniadakan potensi-potensi  kemnusiaan. Dengan memahami karakter pendidikan liberal itu, kita bisa memilah-milahnya dalam perspektif aliran-aliran filsafatnya. Paradigma pendidikan liberal yang rasional jelas bernuansa progregsif eksistenislistik dan esensialistik. Meskipun dalam berbagai aspek sedikit ke arah perenialistik, namun tidak seberapa, disinilah kemudian melahirkan problem kemanusian baru.
Positivisme juga berpengaruh dalam pendidikan liberal. Positivisme sebagai suatu paradigma ilmu sosial yang dominan dewasa ini juga menjadi dasar bagi model pendidikan Liberal. Positivisme pada dasarnya adalah ilmu sosial yang dipinjam dari pandangan, metode dan teknik ilmu alam memahami realitas. Positivisme sebagai suatu aliran filsafat berakar pada tradisi ilmu-ilmu sosial yang dikembangkan dengan mengambil cara ilmu alam menguasai benda, yakni dengan kepercayaan adanya universalisme and generalisasi, melalui metode determinasi, 'fixed law' atau kumpulan hukum teori (Schoyer, 1973).  Positivisme berasumsi bahwa penjelasan tungal dianggap 'appropriate' untuk semua fenomena.  Oleh karena itu mereka percaya bahwa riset sosial ataupun pendidikan dan pelatihan harus didekati dengan metode ilmiah yakni obyektif dan bebas nilai.  Pengetahuan selalu menganut hukum ilmiah yang bersifat universal, prosedur harus dikuantifisir dan diverifikasi dengan metode “scientific”.   Dengan kata lain, positivisme mensaratkan pemisahan fakta dan values dalam rangka menuju pada pemahaman obyektif atas realitas sosial.  
Habermas, seorang penganut teori Kritik melakukan kritik terjadap positivisme dengan menjelaskan berbagai katagori pengetahuan sebagai berikut (Critical theory adalah aliran yang diassosiasikan dengan Mazhab Frankfurt (Frankfurt School) yang mulai di Jerman tahun 1923, Bottomore, 1984; Held, 1980, Fay,1975).  Pertama, adalah apa yang disebutnya sebagai ‘instrumental knowledge’ atau positivisme dimana tujuan pengetahuan adalah untuk mengontrol, memprediksi, memanipulasi dan eksploitasi terhadap obyeknya.  Kedua, ‘hermeneutic knowledge’ atau interpretative knowledge, dimana tugas ilmu pengetahuan hanyalah untuk memahami.  Ketiga adalah ‘critical knowledge’ atau ‘emancipatory knowledge’ yakni suatu pendekatan yang dengan kedua pendekatan sebelumnya.  Pendekatan ini menempatkan ilmu pengetahuan sebagai katalys untuk membebaskan potensi manusia.  Paradigma pendidikan liberal pada dasarnya sangatlah positivistik.  Kuatnya pengaruh filasafat positivisme dalam pendidikan dalam kenyataannya mempengaruhi pandangan pendidikan terhadap masyarakat. Metode yang dikembangkan pendidikan mewarisi positivisme seperti obyetivitas, empiris, tidak memihak, detachment, rasional dan bebas nilai juga mempengaruhi pemikiran tentang pendidikan dan pelatihan (Schroyer, T. The Critique of Domination: The Origins and Development of Critical Theory. Boston: Beacon Press, 1973).
Meskipun Freire lebih dikenal sebagai tokoh pendidikan, namun kerangka analisisnya banyak dipergunakan justru untuk melihat kaitan ideologi dalam perubahan sosial. Tema pokok gagasan Freire pada dasarnya mengacu pada pada suatu landasan bahwa pendidikan adalah 'proses memanusiakan manusia kembali". Gagasan ini berangkat dari suatu analisis bahwa sistim kehidupan sosial, politik, ekonom, dan budaya, membuat masyarakat mengalami proses 'demumanisasi'. Pendidikan, sebagai bagian dari sistim masyarakat justru menjadi pelanggeng proses dehumanisasi tersebut. Secara lebih rinci Freire menjelaskan proses dehumanisasi tersebut dengan menganalisis entang kesadaran atau pandangan hidup masyarakat terhadap diri mereka sendiri.
Freire menggolongan kesadaran manusia menjadi kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naif (naival consciousness) dan kesadaran kritis (critical consciousness) (Smith, W.A The meaning of Conscientacao: The Goal of Paulo Freire’s Pedagogy Amherst: Center for International Education, UMASS, 1976).  Yang dimaksud kesadaran magis yakni tingkat kesadaran yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya saja masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan kemiskinan mereka dengan sistim politik dan kebudayaan.  Kesadaran magis lebih melihat faktor diluar manusia (natural maupun supra natural) sebagai penyebab dan ketakberdayaan.  Proses pendidikan yang menggunakan logika ini tidak memberikan kemampuan analisis, kaitan antara sistim dan struktur terhadap satu permalahan masyarakat. Peserta secara dogmatik menerima ‘kebenaran’ dari guru, tanpa ada mekanisme untuk memahami ‘makna’ ideologi dari setiap konsepsi atas kehidupan masyarakat.
Yang kedua adalah kesadaran naif.  Keadaan yang di katagorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat ‘aspek manusia’ menjadi akar penyebab masalah masarakat.  Dalam kesadaran ini ‘masalah etika, kreativitas, ‘need for achevement’ dianggap sebagai penentu perubahan sosial.  Jadi dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat miskin, bagi mereka disebabkan karena ‘salah’ masyarakat sendiri, yakni mereka malas, tidak memiliki kewiraswataan, atau tidak memiliki budaya ‘membangunan’ dan seterusnya (Pemikiran yang bisa dikatagorikan dalam analisis ini adalah para penganut modernisasi yang menjadi aliran yang dominan dalam ilmu ilmu sosial juga mempengaruhi pendidikan dan training).
Kesadaran ketiga disebut sebagai kesadaran Kritis.  Kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah.  Pendekatan struktural menghindari ‘blaming the victims” dan lebih menganalisis untuk secara kritis menyadari struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya dan akibatnya pada keadaaan masyarakat.  Paradigma kritis dalam pendidikan, melatih murid untuk mampu mengidentifikasi ‘ketidak adilan’ dalam sistim dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistim dan struktur itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya.  Tugas pendidikan dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan kesematan agar peserta pendidikan terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik.

Kesimpulan
Setiap Paradigma pendidikan tidak bisa terlepas dari akar filosofisnya.  Paradigma pendidikan manapun tetap tidak bisa lepas dari aliran filsafat yang menjadi induknya sebab pendidkan sebagai ilmu merupakan cabang dari filsafat dalam aplikasinya.  Dengan membaca karakter paradigma pendidikan  konservatif, amat kentara di dalamnya yang bernuansa perenialistis dan esensialis.  Akibatnya pendidikan konsevatif hanya sebatas perwujudan manusia dalam menjalani hidupnya.  Manusia cenderung bepikiran naif atau bahkan magis karena keyakinan untuk mempertahankan norma-norma yang telah mapan sangat kuat. Bahkan pendidikan kondervatf yang berorientasi keakhiratan itu telah menenggelamkan  eksistensi manusia sebagai pelakuaktif kehidupannya.  Jelaslah jika paradigma pendidikan konservatif sangt naïf, bahkan telah terperosok ke dalam magis.
Paradigma pendidikan liberal ternyata belum mampu  mejawab problem kemanusiaan  abad mutakhir.  Meskipun berasaskan rasionalitas sebagai bagian dari potensi-potensi keanusiaan paradigma yang satu ini  telah terhambat oleh modernitas yang cenderung mengeksploitasi dan mempersempit kebebasan manusia kondisi seperti itulah yang kemudian mewajibkan lahirnya paradigma baru dalam pendidikan.  yang membuat mereka cerdas dan mampu menulis adalah dibebaskannya mereka untuk menentukan pilihannya sendiri. Untuk menjadi penulis yang baik diperlukan keberanian untuk tampil tidak sempurna (Chaedar).
Tidak dapat dipungkiri setiap ilmu yang telah lahir di muka bumi tentulah memiliki arti dan fungsi bagi kehidupan manusia.  Begitu pula filsafat pendidikan suatu ilmu yang memiliki peranan dan fungsi dalam kehidupan khususnya kehidupan dunia pendidikan. Untuk mengembangkan ilmu pendidikan yang bercorak Indonesia secara valid, terlebih dahulu dibutuhkan pemikiran dan perenungan yang mendalam tentang ilmu itu sendiri dan budaya serta geografis Indonesia yang akan mewarnainya.  Sejalan pula dikatakan Kilpatrick: Berfilsafat dan mendidik adalah dua fase dalam satu usaha. Berfilsafat berarti memikirkan dan mempertimbangkan nilai-nilai dan cita-cita yang lebih baik. Sedangkan pendidikan atau mendidik adalah suatu usaha merealisasikan nilai2 dan cita-cita dalam kehidupan dan kepribadian manusia (Djumransyah, 2006:42).
Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment