Class Review 2



Ilustrasi Sebuah Menulis
By: Daroni

Senin, 10 februari 2014 pukul 9.10 di gedung TBI ruang 44, di mana mata kuliah writing dimulai.  Kala itu kita membahas tentang pengenalan mengajar (Teaching Orientation).  Dalam teaching orientation ada academic writing, dan particular.  Kita juga membahas tentang hubungan antara academic writing dengan teks, konteks, membaca, menulis, dan maknanya.  Mr. Lala pun menyinggung tentang “Who are you in my class?, dan you are.

Dalam pertemuan kali ini, Mr. Elbi menyinggung tentang siapa sih kita di kelasnya.  Kata beliau kita hanyalah seorang mahasiswa yang mengikuti mata kuliah writing tanpa tujuan, hanya seorang mahasiswa yang berusaha menyelesaikan setiap tugas-tugasnya tidak sepenuh hati, seorang mahasiswa menulis hanya untuk mendapatkan nilai yang tepat, hanya seorang mahasiswa yang menulis tanpa jiwa dan hanya seorang mahasiswa yang  mencoba untuk menyelesaikan kontrak belajar yang ada.  Benar adanya, bahwa saya tidak lebih dari apa yang digambarkan tadi.  Tapi dari dulu juga saya sudah berusaha untuk menghilangkan itu semua.  Saya hanya ingin menuntut ilmu dan mengajarkannya kembali supaya bisa bermanfaat bagi orang lain, khususnya untuk diri sendiri.

Well . . . sekarang saya akan membahas tentang penulisan akademik terlebih dahulu.  Setelah kemarin saya menuliskan tentang pengertian penulisan akademik.  Kini saya akan membahas tentang gaya penulisan akademik.  Gaya penulisan akademik bersifat formal, impersonal, evidence, dan systematic.  Struktur dan organisasi dari esai biasannya memiliki 4 bagian, yaitu pengantar, isi, kesimpulan, dan referensi juga bibliografi.


Dalam buku “The Cultural Analysis of Texts” membahas hubungan antara penulisan akademik dengan teks, konteks, membaca, menulis, dan makananya.  Sebelum saya membahas tentang the world of texts, terlibih dahulu saya membahas pengertian dari teks.  Apa itu teks?  Teks adalah bahan baku dari makna yang memproduksi sumber daya pembaca kontekstual.  Teks dilihat dari segi fisik mempunyai makna instrumen-instrumen manusia yang diperoleh dari komunikasi sehari-hari.  Sebaliknya teks yang bisa termasuk semiotik hanya ketika mereka memiliki beberapa bentuk fisik.
Teks yang termasuk semiotik adalah biasanya berupa tulisan, pidato, gambar, musik atau simbol lain.  Sedangkan yang termasuk teks fisik adalah artefak.  Teks yang pasti termasuk fisik, tetapi fisik ada dalam bentuk yang seperti semiotik. Sebaliknya, teks dapat menjadi makhluk semiotik hanya ketika mereka memiliki beberapa bentuk fisik.  Poin pentingnya  adalah bahwa mereka terorganisir dan ada kombinasi simbolis relatif padat yang tampaknya sedikit jelas.  Dalam segala bentuknya, teks ditandai dengan tiga ciri: materialitas, hubungan formal dan kebermaknaan. 

Pertama, ciri-ciri teks fisik dan semiotik.  Teks fisik selalu memiliki basis material yang baik.  Kedua, ada hubungan tertentu dalam ciri-ciri teks tertentu, seperti kata, kalimat atau seluruh teks.  Ketiga memiliki makna semantik.  Hubungan formal dan kebermaknaan semua terhubung satu sama lain yang mengingatkan fakta bahwa sebagai makhluk semiotik (dalam kebermaknaan mereka), teks tidak 'alami' tetapi diproduksi oleh usaha yaitu dibuat.

Sedangkan Konteks mencakup semua faktor-faktor seperti penulis dan pembaca yang membawa pada proses pembentukan makna, terutama diskursif mereka.  Konteks mencakup semua hal berikut:
1.      Substansi: materi fisik.
2.      Musik dan gambar
3.      Paralanguage: sifat dalam bahasa, seperti intonasi dan mimik.
4.      Situasi: sifat dan hubungan objek dan orang-orang sekitarnya.
5.      Co-text: teks yang mendahului atau mengikuti.
6.      Intertext: teks dianggap sebagai wacana lain.
7.      Participants: niat dan interpretasi mereka, pengetahuan dan keyakinan,
sikap interpersonal, afiliasi dan perasaan.
8.      Fungsi

Makna terbagi menjadi 2 bagian, yaitu makna tekstual dan makna kontekstual.  Makna kontekstual adalah makna yang disesuaikan dengan jenis bacaannya.  Sedangkan makna tekstual adalah pemaknaan yang sesuai dengan teks bacaannya.  Jika dalam Bahasa Inggris ada pemaknaan secara tekstual dan kontekstual.  Dalam Bahasa Indonesia juga ada makna konotasi dan makna denotasi.

Oleh karena itu, dalam prakteknya mustahil jika teks dan konteksnya terpisah.  Karena antara teks dan konteks saling terkait.  misalnya, wacana kerangka referensi adalah salah satu yang paling sentral dari faktor-faktor kontekstual dalam pembentukan makna.   Wacana bertindak sebagai semacam sumber daya budaya dalam batas-batas yang pembaca memproduksi makna dari teks.  Mereka menetapkan batas tidak hanya untuk apa yang dapat dikatakan tetapi juga bagaimana kata dapat dipahami.

Kita hidup di tengah-tengah makna yang dihasilkan oleh orang lain, yang sebagian besar kita ambil pada nilai nominal misalnya, fakta bahwa dalam konteks yang berbeda,  warna merah menandakan Natal, darah, kiri, cinta dan dilarang mengemudi.  Selain itu, sementara kita membaca, kita tidak berhenti untuk mengagumi pada kenyataan bahwa dalam budaya Barat, teks tertulis yang dibaca dari kiri kekanan dan dari atas ke bawah.  Arti bervariasi dari warna merah dan kesederhanaan sistem tulisan kita menyembunyikan fakta dari kami bahwa ada sejumlah besar sejarah manusia serta asumsi tentang dunia kami yang dikemas di dalamnya.  Simbolisme warna dan sistem menulis adalah contoh dari cara-cara khusus menghasilkan makna yang memiliki prasyarat historis mereka dan konsekuensi. 

Kehidupan sehari-hari orang modern, kita tidak hanya mencakup
lisan, tapi tertulis, tercetak, elektronik dan baru-baru ini juga secara digital ditransmisikan teks. Semakin banyak orang bekerja dengan teks-teks multifaset.  Pada saat yang sama, pemendekan jam kerja juga telah datang berarti bahwa kita memiliki lebih banyak waktu dibanding generasi sebelumnya untuk menyelidiki tak berujung kelimpahan teks.  Oleh karena itu, dalam dunia makna tidak ada seperti hal-hal sebagai tanda EXIT hijau atau tombol OFF merah.

Di mana pun kita pergi, kita akan menjumpai  makna, pola dan analogi.  Kita pun akan membandingkan apa yang kita hadapi dengan pengalaman sebelumnya.  Setiap saat kita menafsirkan kebutuhan, motif, keinginan dan kemampuan diri kita sendiri dan orang lain. Kita juga mengantisipasi reaksi orang lain terhadap tindakan diri kita sendiri.  Untuk sebagian besar, tetap ada yang tidak diketahui oleh diri kita sendiri. 
Senin, 10 Februari 2014
Buah pena: Daroni
PBI.A/4
Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment