Indonesia (Ayo!) Menulis
(by : Asy Syifa Rahmah Ihsani)
(by : Asy Syifa Rahmah Ihsani)
Dewasa ini, menulis menjadi hal yang
disepelekan oleh kaula muda. Apalagi kalangan anak-anak yang orang tua didiknya tidak pernah mengajari atau
mengingatkan betapa pentingnya menulis.
Padahal dengan menulis kita bisa mengasah otak kita menjadi lebih pintar,
karena menurut Muchlisin Riadi dalam artikelnya Selasa, 9 Juli 2013 (Pengertian, Tujuan dan Tahapan Menulis) menulis merupakan kegiatan
berupa penuangan ide/gagasan dengan kemampuan yang kompleks melalui aktivitas
yang aktif produktif dalam bentuk simbol huruf dan angka secara sistematis
sehingga dapat dipahami oleh orang lain. Dengan demikian dengan saat kita
menulis otak kita akan berfikir lebih dalam untuk bisa memunculkan ide-ide yang
akan kita tuangkan dalam kertas. Menulis
juga merupakan faktor terpenting untuk membuat bangsa ini menjadi lebih
maju. Seperti halnya jepang yang
sekarang adalah negara yang sangat maju, Jepang bisa seperti sekarang tak lepas
dari budaya baca tulis.
Sebegitu
besarnya efek menulis untuk sebuah kemajuan negara, namun sayang tingkat budaya
menulis di negeri kita tercinta ini, Indonesia
masih sangatlah minim. Menurut International Publisher
Association Kanada, Indonesia hanya mampu menerbitkan 5.000 judul/tahun, jauh
lebih kecil dibanding Jepang 65.000 judul/tahun, Jerman 80.000 judul/tahun, dan
Inggris 100.000 judul/tahun. Dari 250.000 sekolah di Indonesia hanya 5%
yang memiliki perpustakaan. Masyarakat kita, termasuk guru,
siswa dan bahkan mahasiswa serta dosenpun, belum terbiasa menulis.
Menurut saya yang menjadi dalang
dari rendahnya budaya menulis di Indonesia adalah karena minat membaca
masyarakat Indonesia sangatlah rendah. Dengan
membaca kita akan banyak memperoleh ilmu pengetahuan lalu apa yang mau ditulis
apabila pengetahuan kita tidak memadai karena kita tidak terbiasa membaca? Dan lagi pada umumnya
orang tidak akan tergerak untuk menulis buku bila mereka sendiri tidak gemar
membaca buku. Apalagi di era sekarang yang serba modern
dengan munculnya televisi, laptop, dan gadget lainnya masyarakat lebih senang
menonton dari pada membaca. Data BPS 2006 menunjukkan, orang Indonesia yang membaca untuk
mendapatkan informasi baru 23,5 persen dari total penduduk. Sedangkan dengan
menonton televisi sebanyak 85,9 persen dan mendengarkan radio sebesar 40,3
persen.
Ditambah lagi orang tua dari zaman sekarang
jarang sekali memberikan anaknya buku cerita ataupun membacakan cerita sebelum
tidur bahkan orang tua dari kalangan atas malah memberikan gadget super canggih
yang telah diisi dengan film kartun.
Padahal dengan melakukan tindakan yang demikian secara tidak langsung
telah menghancurkan minat anak untuk membaca.
Harusnya kebiasaan membaca harus dikembangkan sejak dini
Penyebab lainnya adalah karena sistem
pendidikan di Indonesia masih belum berhasil membudayakan menulis. Saya sependapat dengan C W Watson dalam artikelnya ‘’Learning and
Teaching Process: More about Readers and Writers” (The Jakarta Post, 11 February,
2012) bahwa ketidak berhasilannya sistem pendidikan Indonesia dalam membudayakan
menulis adalah karena buruknya kurikulum menulis dan kurangnya pelatihan untuk
menulis di kampus dan sekolah. Sungguh
disayangkan di tingkat pendidikan SMA tidak ada yang namanya pelajaran wajib
membaca, mangarang ataupun menulis.
Padahal pada masa SMA kreatifitas dan daya imajinasi siswa sedang dalam
masa puncak sehingga sangat mungkin sekali anak SMA akan menghasilkan karya
tulis yang meakjubkan.
Di Jepang dan AS, selain membaca buku pelajaran, siswa
diharuskan membaca 32 buku dan di Thailand lima buku. Buku yang telah dibaca
kemudian diwajibkan diresensi. Kebiasaan resensi buku ini dimaksudkan agar para
siswa nantinya mampu menuliskan bidang keahliannya sesuai profesi
masing-masing. Indonesia harus berlali
dengan kecepatan ekstra untuk mengejar ketertinggalan ini. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah
dengan cara merubah sistem pendidikan kita
Selain itu keahlian tenaga kerja pengajar juga mempengaruhi rendahnya budaya tulis di Indonesia ini. Pengajar seperti halnya guru maupun dosen yang tidak memiliki keahlian menulis atau bajkan malas untuk menulis maka akan menghasilkan siswa ataupun mahasiswa yang tidak jauh beda dari pengajarnya ( generasi yang tidak mempunyai budaya literasi). Pengajar ataupun pendidik adalah orang yang sangat berperan penting dalam proses pembentukan generasi-generasi selanjutnya. Maka untuk meningkatkan tingkat budaya menulis di Indonesia sebaiknya dan seharusnya pengajar haruslah orang-orang yang memiliki keahlian menulis. Celakanya guru ataupun dosen di Indonesia yang memiliki keterampilan menulis sangatlah minim.
Oleh
karena itu pemerintah berupaya untuk menciptakan pengajar yang mempunyai
keterampilan menulis dengan cara membuat “Peraturan Menteri Pendayaan Aparatur
Negara Reformasi Birokrasi (Permenpan RB) No. 16 tahun 2009, Peraturan Bersama
Mendiknas dan Kepala BKN Nomor 03/V/PB/2010 dan Nomor 14 Tahun 2010 tanggal 6
Mei 2010, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 35 tahun 2010, yang
mengatur bahwa guru minimal dari golongan III/b yang akan naik pangkat ke
jenjang lebih tinggi diwajibkan membuat karya tulis” (artikel Inddonesia
Menulis : Menjadi Bangsa Berbudaya Menulis http://gerakanindonesiamenulis.blogspot.com/2012/02/indonesia-menulis-menjadi-bangsa.html). Selain itu saya sangat setuju dengan pendapat
Prof. A Chaedar Alwasilah yang mengatakan bahwa mewajibkan para dosen setiap
tahun menulis artikel jurnal atau buku teks (Pikiran Rakyat, 28 Februari
2012).
Saya rasa dengan mewajibkan dosen
untuk menulis artikel jurnal ataupun buku teks tiap tahun maka tingkat budaya
menulis di Indonesia akan naik.
Mengingat sedikitnya jumlah
jurnal yang diciptakan oleh Indonesia.
Data Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (PDII LIPI), di mana jumlah jurnal ilmiah (cetak) di Indonesia hanya
sekitar 7.000 buah. Dari jumlah tersebut, hanya 4.000 jurnal yang masih terbit
secara rutin, dan sedikitnya hanya 300 jurnal ilmiah nasional yang telah
mendapatkan akreditasi LIPI. Sedangkan data dari Scimagojr, Journal and Country
Rank tahun 2011 menunjukkan selama kurun 1996-2010 Indonesia telah memiliki
13.047 jurnal ilmiah. Dari 236 negara yang diranking, Indonesia berada di
posisi ke-64. Sementara Malaysia telah memiliki 55.211 jurnal ilmiah dan
Thailand 58.931 jurnal ilmiah (Kompas.com, 7/2/2012).
Bukan
hanya pengajar saja yang mempengaruhi
rendahnya budaya menulis di Indonesia kita ini.
Mahasiswa juga turut andil, mengingat mahasiswa zaman sekarang yang
malasnya bukan main. Tidak sedikit
mahasiswa yang menyalahgunakan kecanggihan teknologi yang ada. Seperti mengcopy-paste makalah ataupun
karangan orang lain di internet.
Mahasiswa-mahasiswa yang seperti inilah yang akan membawa Indonesia
semakin dalam ke lautan yang bernama keterpurukan. Nasib Indonesia ada di tangan mahasiswa. Mahasiswalah yang menentukan maju tidaknya
bangsa ini. Tentunuya Indonesia memiliki
harapan besar kepada mahasiswa yang berkualitas dan cinta tanah air untuk bisa
membawa Indonesia lebih maju. Untuk menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang
maju maka mahasiswa harus merubah kebiasaannya mengcopy paste dengan kebiasaan
membaca. Dengan membaca kita akan
mendapatkan wawasan yang luas, setelah wawasan kita luas maka akan muncul
hasrat untuk membagi wawasan itu dengan orang lain dengan cara menuliskannya.
Masalah ketertinggalan Indonesia
sepertinya bukan pada ekonomi atau politik tapi ada pada budaya menulis atau literasinya. Yang membuat budaya menulis Indonesia rendah
adalah minat baca masyarakat yang rendah, sistem pendidikan di Indonesia,
pengajar yang sebagian besar tidak memiliki keahlian menulis, dan mahasiswa
yang copy-paste. Jika budaya menulis di
Indonesia baik seperti halnya di Jepang maka tidak akan ada lagi kemiskinan dan
korupsi. Oleh karena itu sebagai bangsa
Indonesia kita harus berupaya dan berusaha untuk mengatasi masalah yang sangat
crucial ini. Dimulai dari orang tua yang harus mengajarkan anaknya membaca dab
menulis sejak dini agar minat membaca sudah terpupuk. Ketika minat baca sudah tumbuh sejak kecil
maka sistem pendidikan akan membaik, terciptanya pengajar yang memiliki
keahlian menulis sehingga mahasiswanya pun akan memiliki keahlian menulis juga.
Mari kita sama-sama budayakan membaca dan menulis. Jadikan membaca dalah suatu kebutuhan dan
menulis suatu keharusan.