Wajah
Literasi Bangsa Indonesia Kini
(By: Astri Rahayu)
Ironis, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi
tersebut. Budaya baca di Indonesia masih kalah ngetop dari budaya
menonton. Keseharian anak- anak lebih banyak dihiasi oleh tayangan TV, game online dan permainan modern lainnya.
Tidak heran jika akhirnya mereka lebih hafal nama-nama tayangan TV dan
jenis-jenis game daripada judul-judul buku. Menurut Chaedar
Al-Walsilah dalam Rekayasa Literasi (2012) mengatakan banyaknya mahasiswa yang
disini sebagai pembaca ternyata banyak yang tidak memahami bacaan yang mereka
baca. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak memiliki latar belakang membaca yang
tepat, keahlian penulis yang sangat tinggi, angka tersebut masih di luar
kapasitas mereka sebagai siswa baru, retorika itu terlalu rumit atau mereka
tidak bisa berkonsentrasi ketika mereka membaca.
Respon tersebut menunjukkan banyak hal, dengan garis bawah menjadi sikap
fatalistic terhadap teks yang diciptakan oleh seorang penulis yang kuat.
Pembaca adalah makhluk tak berdaya dan sendok makan oleh penulis perkasa.
Ketika pembaca mengatakan, “saya tidak memiliki latar belakang pengetahuan yang
sama,” Dia sebenarnya kontadiktif diri. Pembaca, khususnya mahasiswa
pacsasarjana, secara sukarela membaca apa yang mereka anggap menarik atau
relevan dengan latar belakang mereka. Jelas, self-kontradiktif menunjukkan
kurangnya kepercayaan.
Ketika pembaca mengatakan, “keahlian penulis sangat tinggi” atau “itu
hanya di luar kapasitas saya sebagai siswa baru,” mereka menjauhkan diri dari
penulis relegating diri menjadi keputusasaan. Posisi tersebut menunjukkan
superioritas penulis atas pembaca. Ketika pembaca mengatakan, “saya belum
mencapai tingkat itu” atau “retorikanya terlalu tinggi bagi saya,” mereka
mengevaluasi diri mereka seolah-olah mereka tidak memiliki pengetahuan yang
masuk atau kapasitas untuk berinteraksi dengan penulis.
Demikian pula, ketika siswa
menjawab, ”Aku tidak bisa berkonsentrasi saat membaca,” mereka menyalahkan diri
seolah-olah semua masalah membaca adalah akibat dari kurangnya konsentrasi.
Semua tanggapan sampel survey tersebut adalah indikasi dari profil keaksaraan
lulusan universitas dan mencerminkan bagaimana pendidikan bahasa terjadi di
negara ini.
Pendekatan koneksi membaca-menulis percaya bahwa tingkat membaca kita
menentukan kekuatan tulisan kita. Pengetahuan terakumulasi melalui membaca,
sementara menulis adalah menempatkan pengetahuan ke dalam kertas. Siswa harus
dilatih untuk berbagi pengalaman mereka dengan segera melalui tulisan. Praktek
umum di sekolah-sekolah adalah untuk menunda menulis panjang setelah membaca.
akibatnya, keterampilan menulis kurang berkembang dari keterampilan membaca.
penundaan tersebut telah mengembangkan sikap bahwa menulis lebih unggul
membaca, dan menulis dengan implikasi lebih unggul pembaca.
Mengapa literasi
itu menjadi sangat penting?
Menurut Martha C. Pennington (1996:186) mengatakan bahwa, secara fakta
dokumen tertulis dapat survive lebih lama dibandingkan manusia itu
sendiri, karena bahasa tulisan mudah dipelihara dari generasi sesuatu ke
generasi berikutnya. Menggunakan bahasa
tertulis dirasa lebih leluasa daripada bahasa lisan karena si penulis bebas
dari kendala waktu dan kehadiran lawan komunikasinya, sehingga karya tulis merupakan
cerminan dari taraf pengetahuan dan kemampuan bahasa penulisnya, karena karya
tulis dihasilkan telah melewati proses pemikiran, perencanaan, dan pemantauan
yang memadai (Tri Wahyu R.N:2008).
Sederet
nama seperti Pramoedya, Hamka, Rendra, Ayip Rosidi, dan Goenawan Mohammad
adalah kaum intelektual yang membumikan gagasannya dengan pena. Dengan kata
lain, mereka adalah tokoh intelektual yang menjadi budayawan yang dapat
menggerakkan masyarakat melalui budaya literasi.
Perbandingannya dengan saat ini
barangkali tidak berbeda jauh jika melihat indikator yang ada. Suatu tingkat
literasi yang sangat ironis bila kita bercermin pada negara-negara tetangga di
ASEAN yang sudah terlebih dulu bangkit dari keterpurukan peradaban karena itu
penguasaan literasi dalam segala aspek kehidupan memang menjadi tulung punggung
kemajuan peradaban suatu bangsa. Tidak mungkin menjadi bangsa yang besar,
apabila hanya mengandalkan budaya oral yang mewarnai pembelajaran di lembaga
sekolah maupun perguruan tinggi.
Salah satu negara yang menjadikan budaya membaca sebagai kebutuhan
sehari-hari adalah Jepang. Bahkan untuk Human Development Indeks (HDI), Jepang
menempati urutan tertinggi. Salah satu indikatornya adalah dari persentase
melek huruf masyarakatnya yang mencapai 99%. Tinggi rendahnya HDI inilah yang
menjadi indikator kemajuan sebuah bangsa. Bangsa Jepang sangat senang sekali
membaca. Mereka tidak menganggap bahwa membaca itu adalah suatu kewajiban di
sekolah, tapi suatu kebutuhan. Karena itu adalah suatu kebutuhan, maka mereka
rela mengeluarkan uang untuk membeli buku-buku yang mereka butuhkan. Berbeda
dengan kita yang cenderung berfikir ulang untuk membeli buku ataupun koran.
Pada umumnya, masyarakat Indonesia lebih suka belanja ketimbang membeli
buku atau koran. Mereka lebih suka menghabiskan uangnya untuk membeli
barang-barang mewah, seperti handphone, gadget, pakaian terbaru. Kurangnya
minat baca menjadi salah satu faktor bangsa ini tertinggal dari negara-negara
lain. Jangankan mau menyaingi Jepang yang sudah menjadikan tradisi membaca
sebagai sesuatu hal yang mutlak, dengan negara tetangga saja kita masih
tertinggal.
Menurut Suroso (Suroso, 2007:11), di Indonesia salah satu tantangan
terbesar untuk mewujudkan bangsa yang berminat terhadap literasi adalah
meninggalkan tradisi lisan (orality) untuk memasuki tradisi baca tulis (literacy).
Data dari Association For the Educational Achievement (IAEA),
mencatat bahwa pada 1992 Finlandia dan Jepang sudah termasuk negara dengan
tingkat membaca tertinggi di dunia. Sementara itu, dari 30 negara, Indonesia
masuk pada peringkat dua terbawah.
Upaya gerakan pendidikan secara
besar-besaran sebenarnya telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia,
misalnya Gerakan Wajib Belajar 9 Tahun. Gerakan tersebut terbukti telah
menjadikan masyarakat Indonesia melek huruf (dapat menulis, membaca dan
berhitung). Namun, pencapaian tersebut membutuhkan penelitian ulang untuk
mengetahui sejauh mana kualitas melek huruf yang ada di Indonesia.
Pasalnya, pada tahun 2009,
berdasarkan hasil kajian dari Program for International Student
Assessment (PISA) menunjukkan bahwa dalam kemampuan membaca, bangsa
Indonesia menempati urutan ke 57 dari 65 negara di dunia yang terdiri dari
34 negara OECD (Organization for Economic Cooperation and Development)
dan 31 negara mitra lainnya, termasuk Indonesia, Shanghai- China, dan satu
wilayah khusus (Hongkong). Sebuah hasil yang perlu menjadi renungan
bersama demi membangun kemajuan bangsa.
Pada dasarnya, menurut saya kemampuan membaca tidak hanya dipahami
sebagai kemampuan dalam mengeja dan merangkai huruf mulai A hingga Z
menjadi sebuah kata, melainkan sebuah kemampuan dalam memperoleh
informasi yang dibutuhkan untuk memperbaiki kualitas hidup dengan cara
membaca. Demikian halnya kemampuan menulis juga tidak dipahami
sebagai kemampuan dalam menuliskan bentuk-bentuk huruf mulai A hingga Z,
melainkan sebuah kemampuan dalam menyampaikan ide dan gagasan melalui
sebuah media tulisan kemudian menjadi sebuah bacaan bagi para orang yang
membacanya. Ironinya, pemahaman seperti ini masih sangat dangkal di kalangan
masyarakat Indonesia.
Salah satu upaya menurut saya yang bisa dilakukan untuk membentuk budaya
baca di Indonesia adalah dengan memaksimalkan peran perpustakaan. Apa
pasal? Perpustakaan merupakan pusat
informasi, juga dokumentasi yang berperan dalam mendorong tumbuhnya minat baca
masyarakat. Undang-undang nomor 43 tahun 2007 pasal 4 menyebutkan bahwa keberadaaan
perpustakaan bertujuan untuk meningkatkan kegemaran membaca, serta
memperluas wawasan dan pengetahuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dalam hal ini, perpustakaan berfungsi sebagai saran pembelajaran
sepanjang hidup (long life education) yang tidak terbatas pada
waktu dan biaya. Ada sebuah anggapan bahwa kemajuan suatu bangsa
berbanding lurus dengan keadaan perpustakaannya. perpustakaan yang maju
menggambarkan kearifan pemerintahnya. Masyarakat yang maju adalah sebagai
wujud dari masyarakat yang semangat untuk mendapatkan pengetahuan baru
guna meraih kualitas hidup yang lebih baik.
Misalnya kita bisa melihat di negara-negara besar seperti Amerika
dan negera besar lainnya. Perpustakaan selalu mendapatkan perhatian yang
lebih dari pemerintahan yang berkuasa di sana. Menurut saya, pemerintah,
masyarakat dan lembaga-lembaga yang ada saling bersatu untuk bekerjasama
membuat program-program khusus terkait dengan pengembangan perpustakaan
(Rumah Pintar dan Gubug Baca).
Selain upaya pemerintah, ada juga yang membuat saya semakin sedih adalah kenyataan
yang lebih ironis yang berkaitan dengan budaya literasi yaitu berdasarkan fakta
yang terjadi di lapangan menunjukkan hanya sedikit para akademisi yang mampu
menulis. Bukan hanya siswa/mahasiswa namun juga untuk dosen-dosen dan tenaga
pendidik yang seharusnya memiliki keterampilan menulis dan menghasilkan
tulisan/karya bermanfaat yang tidak hanya dibaca oleh peserta didiknya, namun
bisa dibaca oleh semua orang.
Tapi, kenyataanya dosen atau tenaga pendidik hanya sedikit yang memiliki
keterampilan menulis atau hanya sedikit sekali yang mau menulis dan
mengabadikan ilmu yang ada dipikirannya dalam sebuah tulisan. Kebanyakan dari
mereka beralasan bahwa mereka terlalu sibuk sehingga tidak sempat menulis,
namun kita juga dapat membandingkan bahwa ada beberapa akademisi yang bahkan
jauh lebih sibuk namun tetap menulis dan menghasilkan karya.
Jadi, menurut saya di sini permasalahan bukan masalah sibuk atau tidak,
tetapi mau menulis atau tidak. Jika seorang dosen sudah tidak memiliki semangat
untuk menulis, terus bagaimana dengan mahasiswanya? Belum lagi kurangnya wadah
bagi siswa atau mahasiswa dalam menyalurkan keterampilan menulisnya, semakin
memperparah persoalan ini.
Perpustakaan di sekolah atau kampus yang ada jarang dimanfaatkan secara
optimal oleh siswa/mahasiswa. Karenanya, tidak salah jika ada beberapa
penelitian yang menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia belum mempunyai budaya
membaca, apalagi menulis. Coba kita lihat hasil Survei UNDP 2013 yang
menyatakan, Indek Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2012 menduduki
peringkat 121 dari 187 negara dengan skor 0,629. Sementara untuk ASEAN IPM
Indonesia masih di bawah Malaysia, yang menempati peringkat 64 dengan skor
0,769, Singapura 18 (0,895), Thailand 103 (0,690) dan Brunei Darussalam di
posisi 30 (0,855) (Sindonews.com, 18/9/2013).
Dengan demikian, menurut saya sebagai kaum intelektual, dosen dan
mahasiswanya harus mulai sadar akan pentingnya membaca dan menulis. Dengan
menulis mahasiswa bisa menyampaikan aspirasinya dan akan termotivasi untuk
mengembangkan budaya membaca dan menulis.
Lets Write and Read, NOW!!!