“Kebiasaan yang Mendarah Daging”
(By: Diana)
Wacana merupakan sebuah media penting yang dijadikan
wadah untuk mengeksplori serangkaian kejadian atau hal yang kerap terjadi di
kanca kehidupan bangsa kita maupun bangsa lain. Dengan wacana segala hal baik
itu masalah pendidikan, politik, ekonomi maupun aspek lainnya bias tereksplor
dan tersaji dalam bentuk wacana yang
mempunyai perspektif, tujuan dan prinsip yang baik dalam membedah dibalik
masalah bangsa ataupun masalah lain yang terjadi.
Kebiasaan merupakan hal yang sering
dilakukan oleh kita baik itu yang tercipta dari dulu yakni menguikuti kebiasaan
yang sudah ada seperti kebiasaan yang dicetuskan oleh nenek moyang, pelopor
maupun orang lain sebelum kita. Akan tetapi sangat disayangkan sekali apabila
kita memelihara dan meniru kebiasaan buruk yang justru akan menjadi pisau yang
tajam untuk kita dan membuat gelapnya dunia yang terbalut oleh kebiasaan
buruk.Seperti halnya dengan kebiasaan
yang mendarah daging.
Kebiasaan yang mendarah daging
seperti apakah yang terjadi di bangsa kita? Jawaban dari pertanyaan itu bias
terbulti dari serangkaian hal yang tertulis dari 3 wacana yang saya baca. Dari
ketiga wacana yang saya baca sejauh ini saya merasa kecewa terhadap sikap dan
tindakan yang mencuat dalam wacana tersebut antara lain:
Hal yang pertama yaitu mengenai sikap
dari asosiasi perguruan tinggi swasta(Aptisi) terhadap pemboikotan mengenai
surat direktur jenderal pendidikan tinggi nomor 152/E/T/2012., tanggal 27 januari 2012 yang ditujukan kepada
para rector, ketua, direktur perguruan tinggi negeri dan swasta diseluruh
Indonesia tentang karya ilmiah di boikot secara terang- terangan dan gambling
oleh pihak Aptisi. Menurut saya pihak aptisi itu sangat tidak realistis dan
tidak bertanggung jawab. Mengapa saya katakana demikian karena pada hakikatanya
mereka adalah orang yang berpendidikan dan sudah menjadi kewajiban mereka untuk
membuat karya ilmiah.
Karya ilmiah merupakan hal yang tidak
terlepas dari kita sebagai seorang yang berpendidikan . Dengan membuata karya
ilmiah kita mampu membuktikan pada dunia bahwa kita mempunyai kemampuan menulis
sebagai bukti dari kualitas pribadi diri kita sebagai mahasiswa yang berasakan
ilmu pengetahuan. Pemboikotan yang dilakukan oleh pihak apatis menjadi bukti
yang secara tidak langsung dan tidak sadar bahwa mereka justru membuka
kelemahan mereka terhadap khalayak umum bahwa mereka tidak mampu membuat karya
ilmiah.
Seharusnya dengan pemberlakuan surat
direktur pendidikan tinggi tersebut justru mereka sadar bahwa itu adalah tugas
dan tanggung jawab sebagai seorang berpendidikan untuk menghasilkan karya
ilmiah yang pada hakikatnya sangat dibutuhkan oleh generasi penerus bangsa.
Apalah daya, kini keterpurukan bangsa Indonesia
yang rendah tidak mampu menstabilkan dan menyeimbangkan sesuai dengan
kebutuhan bangsa. Pihak aptisi seharusnya menhajak instansi lain untuk bersatu
merancang dan membauat karya ilmiah bukan malah memboikot.
Sebagai oranhg penting dalam rana
pempublikasian ilmiah yaitu dirijen pendidikan tinggi sangat wajar jika beliau
merasa jengkel terhadap lulusan PT. Mengapa demikian? Karena pada kenyataannya
mayoritas lulusan PT bangsa Indonesia tidak bias menulis. Hal itu berawal dari
para dosen yang seharusnya menghasilkan
tulisan ilmiah namun pada kenyataannya nol. Bahkan kebiasaan mahasiswa suka
mengandalkan teknologi sebagai bahan dalam proses pembuatan tugas maupun
lainnya. Faktor ketergantungan mahasiswa terhadap teknologi yaitu dengan
melakukan copy paste(plagiasi), alasannya karena mereka lebih memilih
kepraktisan dan kecepatan tanpa harus mencari dan membaca buku terlebih dahulu.
Sehingga kemampuan daya pikir dan nalar mereka tidak terasah tidak mau melatih
otak kita yang sudah diberikan oleh sang maha suci yaitu Allah swt. Kita tidak
memanfaatkan fungsi dari anugerah yaitu otak yang pada hakikatnya kecerdasan
otak itu sangat luar biasa melebihi computer. Kita hanya bergantung pada
teknologi dan ma;ah membiarkan anugerah istimewa ini menjadi tumpul. Di
ibaratkan seperti pisau yang tajam jika tidak terasah maka pisau tersebut menjadi
tumpul yang tidak mampu memotong buah sekalipun. Hal itu adalah bukti kita
membodohi diri sendiri damn tidak ada kesadaran untuk maju.
Kondisi intelektual bangsa Indonesia
yang tertinggal jauh dan terpuruk dibandingkan dengan negara lain karena Negara kita belum memiliki dan
membiasakan diri untuk berliterasi. Sebenarnya dengan berliterasi baca- tulis
kita mampu mengeksplor kemampuan kita dalam menulis. Hanya saja belum
terbangunnya kesadaran diri untuk menulis sehingga kondisi intelektual
khususnya dalam menulis belum mencapai target yang maksimal seperti di negara
lain. Hal itu seperti tertulis dalam wacana6.3 yaitu bahwa ketidakmampuan untuk
menulis sendiri. Sehingga mereka merekomendasikan buku teks impor sebagai
gantinya. Mengapa demikian?. Bagaimanapun juga alhasil jika kita lihat hal itu
juga adalah salah satu kebiasaan yang mendarah daging di bangsa kita yakni
malasnya menulis. Sebut saja negara kita yaitu negara Indonesia yang mayoritas lulusan PT tidak bisa menulis.
Khususnya para dosen kita yang bergelar
S-2 atau S-3, yang seharusnya dalam setiap tahunnya menerbitkan artikel jurnal
atau buku teks. Bisa kita bayangkan jika lulusan PT dalam setiap tahunnya
menerbitkan buku, maka berapa juta buku yang terbit dalam setiap tahunnya yang
bias di konsumsi oleh para mahasiswa tanpa harus merekomendasi buku impor.
Namun pada kenyataannya nol yakni belum terbangunnya kesadran untuk menulis dan
menulis.Hal itu sama seperti yang tertulis dalam wacana 6.2 (A. Chaedar
Alwasilah, pikiran rakyat, 28 Februari 2012) bahwa agar kita bias menyamai Malaysia maka dosen
kita yang bergelar S-2 atau S-3 ini setiap tahunnya harus menerbitkan artikel
jurnal atau buku teks.
Hal itu bisa kita kecamkan dan rubah
sesuai dengan jumlah lulusan PT dalam setiap tahunnya. Seperti yang tertulis
dalam wacana 6.2(A. chaedar Alwasial,pikiran Rakyat,28 Februari 2012) bahwa
dari hasil laporan Direktorat Akademik, Dikti, pada tahun 2006-2007 ada sekitar
231.786 orang dosen di perguruan tinggi negeri dan swasta, dengan rincian
sebagai berikut: yang bergelar S-2 ada 74.845 orang(32,29%) dan yang bergelar
S-3 ada 12.231 orang (5,27%). Dari catatan jumlah lulusan PT di atas kita bisa
lakukan perubahan untuk menulis yaitu dengan menargetkan setiap lulusan PT
untuk menulis. Jika hal itu terealisasi dengan baik maka kemungkinan besar kita bisa menerbitkan buku sebanyak
87.076 dari lulusan PT S-2 dan S-3 yang bisa dijadikan bahan dan pegangan untuk
para mahasiswa diseluruh bangsa kita yaitu bangsa Indonesia tanpa harus merekomendasi
dari buku impor.
Antisipasi untuk menerbitkan buku
juga bisa terlihat jelas sesuai dengan
apa yang tertulis dalam wacana 6.2 yang diperkirakan setiap tahun ada 800 ribu
mahasiswa yang diwisuda jadi sarjana di 3,150 kampus swasta di bawah bendera
Asosiasi Perguruan Tinggi
Swasta(Aptisi). Sementara itu rata-rata satu jurnal memuat 7-10 artikel. Hal itu bisa kita hitung dari 800 ribu
mahasiswa dikali jumlah jurnal. Kita bisa hitung berapa jumlah jurnal yaitu 800.000 x7=
5.600.000 artikel atau 800.000
x10=8.000.000 artikel.
Pemaksaan yang seharusnya diterapkan
pada para mahasiswa untuk menulis karena sebenarnya menulis merupakan tanggung
jawab mereka untuk menerbitkan buku atas kategori lulusan PT yang mereka
sandang yaitu gelar sarjana, magister, maupun profesor. Apalah arti gelar
asrjana, magister maupun professor jika pada kenyataannya tidak mampu menjadi
penulis yang produktif dalam ranah intelektual ilmu pengetahuan.
Hal itu bisa kita contoh dari upaya
yang dilakukan oleh negara AS seperti yang tertulis dalam wacana 6.2 bahwa
sebagai bahan bandingan, semua perkuliahan di perguruan tinggi AS memeksa
mahasiswa untuk menulis esai seperti laporan observasi, ringkasan bab, review
buku, dan sebagainya. Tugas- tugas itu selalu dikembalikan dengan komentar
kritis dari dosen sehingga nalar dan argument tulisan mahasiswa betul-betul
terasah. Namun berbeda dengan Negara kita yang enggan untuk menulis. Bahkan
pernah kita temui tugas yang kita serahkan kepada dosen tidak komentar secara
kritis.Dan yang paling parah sistem penilaian tugas bisa dinegosiasi hanya
dengan segenggam dan sebutir benda atau makanan. Sehingga alhasil nilai yang
seharusnya kecil dan bahkan tidak lulus menjadi lulus dan bahkan nilai tersebut
menjadi bagus jauh dari nilai sebenarnya.
Adapun dalam perkuliahan di Indonesia
sejauh yang saya lihat ada mahasiswa yang tidak berjiwa aktif yakni ketika
mahasiwa diberikan tugas kelompok hanya beberapa mahasiswa saja yang benar-
benar ikut serta dalam mengerjakan tugas tersebut. Ada segelitir mahasiswa yang
hanya mengandalkan kemampuan temannya untuk mengerjakan tugas tersebut. Bisa
dikatakan mahasiswa tersebut hanya sekedar menumpang nama dalam makalah
tersebut karena pada kenyataanya hasil makalah itu tidak benar- benar di uji
secara keseluiruhan pada masing- masimg anggota kelompok jadi terkesan sportif.
Hal itu mencerminkan mahasiswa yang tidak memiliki rasa tanggung jawab.