MENCIPTAKAN KERUKUNAN DENGAN TOLERANSI
(By: Ade Puadah)
Indonesia
merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Banyaknya ragam
budaya, ras, suku, agama dan letak geografis yang luas menunjukkan bahwa negara Indonesia adalah negara multikultural. Namun diakui atau
tidak, masyarakat multikultural
adalah
salah satu pemicu adanya pertengkaran dan perilaku kekerasan antar bangsa, karena banyaknya perbedaan
pendapat antar satu sama lainnya.
Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat
yang terdiri dari beberapa macam komunitas budaya dengan segala kelebihannya,
dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, system arti, nilai, bentuk organisasi sosial,
dan sejarah adat serta kebiasaan. Petentangan hebat dari radikalisme hingga
terorisme, kerusuhan antar
warga, kekerasan antar umat beragama saat ini sedang marak dibicarakan di berbagai
media di Indonesia.
Adanya kasus-kasus tersebut
adalah pemicu utama akan hilangya rasa kebersamaan antar bangsa Indonesia, baik
dalam lingkungan formal maupun non-formal. Akhir-akhir ini, banyak kasus yang terjadi di
Indonesia disebabkan karena perbedaan
pendapat
antar banyak pihak, kurangnya
rasa saling menghormati dan toleransi, baik mengenai agama,
ras, suku, budaya maupun ideologi. Kekerasan yang mengatasnamakan agama, perbedaan pemahaman, tidak adanya tujuan yang
sama, tidak adanya rasa hormat antar sesama, menurunnya wibawa tokoh-tokoh
pemimpin dan lain-lain. Sejak
dahulu sampai sekarang masalah kerusuhan dan kekarasan masih merajai bangsa
Indonesia. Kerusuhan tersebut selalu dikaitkan dengan agama dengan adanya ikat
kepala partai Islam tertentu dan teriakan-teriakan slogan-slogan Islam. Hal ini
dapat memicu runtuhnya kerukunan antar sesama bangsa, lebih-lebih karena cukup
banyaknya gereja yang menjadi sasaran amuk massa (Azyumardi Azra : 2004).
Dengan adanya kejadian
tersebut, tidak bisa dipungkiri bahwa akan sering terjadi kecenderungan
sebagian pemeluk agama tidak cocok dengan agama lain di berbagai tempat. Oleh
karena itu, karena seringnya terusik keharmonisan antar umat beragama, maka
akan muncul harapan hadirnya agama yang harmonis, penuh toleransi dan terbuka.
Sehingga, keraguan dan rasa pesimis terhadap kemampuan agama sebagai sumber dan
acuan praktis bagi masyarakat yang damai untuk masa yang akan datang dapat
ditepis dengan adanya kerukunan beragama yang penuh toleransi.
Kerukunan merupakan penopang
yang memberi kedamaian dan kesejahteraaan untuk umat dan kebersamaan antar
sesama umat walaupun berbeda suku,
agama, ras, budaya dan golongan. Sedangkan kerukunan umat beragama yaitu
hubungan sesama umat beragama yang dilandasi dengan toleransi, saling pengertian,
saling menghormati, saling menghargai dan saling menyayangi dalam kesetaraan
pengalaman ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan masyarakat dan
bernegara. Kerukunan merupakan salah satu kepentingan semua kalangan dan tidak
dapat dihindarkan di tengah perbedaan. Banyaknya perbedaan antar sesama umat
bukanlah pemicu untuk hidup rukun dan berdampingan dalam bingkai persaudaraan.
Agar kerukunan dapat
diciptakan dengan baik dan seluruh masyarakat Indonesia bisa menciptakan
kerukunan, maka diperlukan pendidikan sejak usia dini. Pendidikan usia dini
merupakan salah satu terpenting yang harus dilakukan oleh semua pendidik, baik
anggota keluarga, maupun guru sekolah. Anak-anak harus dilatih untuk memahami
berbagai budaya dan agama, agar bisa mengerti dan saling menghargai antar satu
sama lain. Untuk memupuk rasa kebersamaan antar umat beragama dibutuhkan
berbagai pemahaman yang perlu ditanamkan sejak usia dini.
Sejak kecil, anak seharusnya
dikenalkan dengan berbagai kegiatan, baik mengenai agama, budaya, suku, ras dan
lain-lain. Sehingga mereka dapat mengerti akan pebedaan di lingkungannya
masing-masing. Tidak hanya itu, anak-anak juga harus di didik secara demokratis
(M.Arief Hakim:2002). Demokratis artinya orang tua tidak memaksa keinginannya
untuk dilakukan oleh anaknya, karena proses merupakan hal yang urgen dalam
kehidupan manusia.
Dari wacana yang ditulis
oleh pak Chaedar yakni jika kita ingin mengetahui kualitas bangsa, maka kita harus
membentuk sistem pendidikan yang baik. Salah satunya adalah memberikan
pangetahuan dan keterampilan pada siswa untuk mengembangkan kehidupan mereka
sebagai anggota warga Negara dan membangun rasa social di lingkungannya. Dengan
adanya masalah sosial seperti tawuran para pelajar, bentrokan para pemuda dan
radikalisme lainnya adalah sebuah penyakit social yang harus segera disembuhkan
dengan kerukunan antar sesama umat.
Untuk mewujudkannya,
diperlukan pendidikan sejak usia dini dengan menanamkan rasa toleransi dan
solidaritas yang tinggi terhadap sesama pelajar. Sehingga bisa menciptakan
kerukunan dalam kehidupan mereka. Selain itu, interaksi antar sesama pelajar
tanpa membeda-bedakan satu sama lain adalah komponen penting dalam teori
pembangunan social.
Sebagai Negara
multicultural, tentu siswa berasal dari berbagai macam etnis dan agama serta
latar belakang social yang berbeda. Pola pikir mereka bisa dibentuk oleh latar belakang mereka yang
menjadikan mereka mempunyai kebiasaan, kemampuan dan karakter yang
berbeda-beda. Oleh karena itu, sekolah harus memfasilitasi siswa untuk
menciptakan wacana sipil. Indikator wacana sipil termasuk mendengarkan dengan
baik, menuangkan berbagai inspirasi siswa seperti bertanya, musyawarah,
memecahkan masalah, persentasi di depan, memberikan ide-ide yang cemerlang
untuk sesamanya dan lain-lain.
Chaedar menyarankan bahwa
guru sekolah dasar harus mengawasi siswa dengan baik dan memberikan arahan
untuk berinteraksi dengan teman sebayanya yang berbeda agama dan kelompok sosial.
Sehingga mereka bisa membangun kebersamaan dan rasa toleransi antar sesama
temannya. Kemampuan untuk menjaga hubungan baik antar sesama merupakan hal yang
penting bagi individu setiap anak, karena merupakan salah satu modal utama
untuk menciptakan rasa hormat terhadap sesama temannya. Namun Indonesia masih
belum mampu untuk menciptakan wacana sipil di lingkungan sekolah.
Tercipta atau tidaknya
wacana sipil disekolah sebenarnya merujuk kepada bagaimana pemerintah menciptakan program
tersebut. Namun, Indonesia masih belum mampu menerapkan wacana sipil di
berbagai sekolah tingkat dasar. Dapat dilihat dari kejadian memalukan ketika
anggota parlemen memuntahkan kata-kata kasar di depan publik. Itu sudah cukup
membuktikan bahwa Indonesia tidak memiliki rasa saling menghormati terhadap
satu sama lainnya.
Menanggapi artikel yang di
tulis A. Chaedar Alwasilah di The Jakarta Post, October 22, 2011) dalam “Kelas
Wacana untuk memupuk kerukunan beragama”. Saya telah membaca dan menganalisa
artikel tersebut. Indonesia merupakan salah satu Negara yang kurang menjunjung
tinggi rasa saling toleransi. Banyaknya kasus seperti tawuran antar sesama
warga dan sesama mahasiswa di kalangan civitas akademik menunjukkan Indonesia kurang
memiliki rasa hormat dan rasa saling menghargai satu sama lainnya. Banyaknya
perbedaan pendapat oleh beberapa kelompok yang berbeda menyebabkan Indonesia
sering mengalami konflik social.
Ada beberapa pernyataan yang
mendukung saya untuk menyetujui pernyataan yang tertulis dalam artikel
tersebut. Saya setuju dengan saran pak Chaedar dalam memberikan arahan agar
siswa atau anak harus diajari berbagai kebudayaan dan etnis sejak usia dini
agar dapat menciptakan lingkungan yang rukun sejak usia dini. Selain itu, guru di
sekolah harus menciptakan wacana sipil agar anak didik dapat serta merta
menuangkan berbagai pemikiran atau pertanyaan yang ada dalam benaknya. Hal ini
dapat mendukung siswa untuk menjadi pribadi yang lebih percaya diri. Disini,
guru benar-benar mempunyai peran penting dalam mengajari anak agar mau
melakukan apa yang sudah di sarankan oleh gurunya.
Sebagai Negara
multikultural, tentu tidak mudah mendidik anak agar menjadi pribadi yang sopan
dan membanggakan, karena mereka yang datang dari berbagai etnis merupakan
tantangan besar untuk para pendidik agar bisa menuntaskan tugasnya dalam
mendidik dengan benar dan menciptakan peserta didik yang berkualitas tinggi dan
mencintai kerukunan. Suasana emosional di sekolah akan dipengaruhi oleh sikap
guru dan jenis disiplin yang digunakan di dalam sekolah. Para pendidik yang
mempunyai hubungan baik dengan murid akan mendorong sikap yang lebih positif
terhadap seorang murid. Guru dianjurkan untuk mengajak siswa agar lebih
memahami perbedaan di sekitarnya dengan
berbagai pendekatan.
Berbagai pendekatan itu bisa dilakukan oleh
seorang guru agar siswa dapat memupuk rasa kerukunan terutama dalam kerukunan
beragama dan saling meghargai antara satu sama lainnya. Seperti menyuruh mereka
untuk berdiskusi dengan teman sekelasnya, untuk menanggapi kebudayaan dan agama
yang ada di Indonesia baik dalam mata pelajaran dan dengan merekrut anggota
untuk mencintai budaya di Indonesia, itu dapat memicu siswa Kewarganegaraan
maupun Agama. Sehingga mereka akan saling mengetahui masing-masing Agama yang
dianutnya. Tidak hanya itu, dengan menyelenggarakan kesenian budaya di
sekolahnya, untuk menumbuhkan rasa suka terhadap kebudayaan yang ada dan saling
menghormati kebudayaan lainnya. Hal ini dapat dilakukan pula dengan meng-agendakan
kegiatan–kegiatan yang akan dikenalkan kepada siswa agar mereka tahu berbagai
kebudayaan di Indonesia. Dengan mengadakan teater bernuansa agama juga dapat
memicu anak-anak memahami Agama yang ada.
Disamping peran guru di
sekolah, peran orang tua dalam menuntun anak untuk menjadi seorang yang selalu
mencintai lingkungan dan kerukunan beragama merupakan hal yang sangat penting
bagi mereka. Agar anak bisa dikontrol dalam melakukan kegiatan apapun yang
dilakukannya. Karena justru Orang tua lebih memahami dan lebih tahu akan
kebiasaan dan keinginan anak dalam memupuk rasa kebersamaan dan saling
toleransi satu sama lain. Mereka bisa lebih disiplin dalam mengajarkan
anak-anak untuk saling menghargai dengan memberi pesan khusus terhadapnya,
sehingga mereka akan cenderung akan turut pada orang tuanya.
Orang tua disarankan agar
lebih sering untuk mengawasi dan mengajari siswa untuk belajar bagaimana agar
mereka dapat mengerti budaya lain, kebiasaan orang dalam suku dan agama yang
berbeda. Saya rasa dengan membimbing mereka agar rajin membaca sejarah, atau
buku ilmu pengetahuan tentang berbagai pengetahuan. Sehingga anak-anak dapat
memahami berbagai pengetahuan dari buku yang dibacanya. Pendidikan usia dini
dapat melatih anak menjadi pribadi yang senang belajar dan senang membaca.
Pendapat penulis akan pernyataan
harus menciptakan tempat beribadah setiap agama di sekolah. Menurut saya, dengan
di bangunnya tempat-tempat beribadah di setiap sekilah, tidak bisa menjamin
anak akan faham dengan agama lain, apalagi jika tidak di tuntun oleh orang
dewasa. Selain akan
menghabiskan biaya cukup besar, juga dapat mempengaruhi siswa dalam beribadah.
Faktanya, di lingkungan yang saya tempati, banyak anak-anak yang beragama islam
bermain dengan seorang anak yang agamanya selain islam. Mereka mengatakan bahwa
lebih enak agama lain, tidak usah salat atau segala macam yang sudah dianjurkan
dalam kegiatan agama islam. Mereka merasa agama islam adalah agama yang susah
dan ribet ketika melihat anak yang menganut agama selain islam. Maka, jika
harus membangun tempat beribadah untuk beberapa agama, anak-anak harus
mendapatkan perhatian khusus, baik oleh orang tua maupun oleh guru. Sedangkan
orang tua tidak bisa hanya mengawasi anaknya setiap waktu di sekolah, dan anak-anak
juga tidak didampingi setiap waktu oleh gurunya.
Anak-anak saat ini, adalah orang dewasa dimasa yang akan datang yang
harus mempunyai alasan kuat untuk mengurus anak cucu mereka. Ketegasan dan
pengetahuan harus ditanamkan sejak sekarang, karena
akan lucu jika mereka
sudah dewasa atau menjadi orang tua tidak tahu berbagai ilmu pengetahuan. Oleh
karena itu, diperlukan pengajaran yang mampu membekali mereka untuk masa
depannya. Mengenal berbagai
budaya dan mencintai budaya tersebut.
Pada penyelesaian pendidikan
formal, siswa diharapkan dapat menjaga hubungan baik dengan orang lain. Karena,
jika dilihat mereka tidak mampu membangun hubungan baik dan menjunjung tinggi
rasa hormat terhadap orang lain, maka ditakutkan mereka akan saling menghujat
antar sesamanya sehingga kejadian mengerikan di masa lalu akan terulang
kembali. Seperti kejadian yang ada di Ambon.
Mengenai kekerasan yang ada
di Indonesia. Ambon merupakan contoh paling parah dari kerusakan dan kekerasan
yang ada di indonesia. Banyaknya korban yang tewas, dahsyatnya hancur bangunan,
dan massa yang berebutan membela diri dengan bergelantungan di tali jangkar
untuk menaiki kapal. Membuat Indonesia menangis dan berduka. Itulah yang
membuat Ambon sulit terwujud untuk menciptakan kedamaian. Tidak adanya saling
percaya antar satu sama lain, perubahan sosial, ekonomi, dan politik di kawasan
ini, membuat nafsu dan emosi memporak-porandakan mereka yang ada di kawasan
tersebut.
Perubahan sosial yang
terjadi dari dahulu sampai sekarang sering kali diikuti oleh adanya konflik
yang mengatasnamakan agama di belakangnya. Sehingga sulit dihindari munculnya
kejadian yang di laterbelakangi oleh ras, agama, suku dan kelompok sosial yang
berbeda. Adanya ketidak harmonisan antar
sesama bangsa, baik antar tetangga maupun antar agama meununjukkan bahwa Negara
Indonesia telah mencoreng nama baik Negara sendiri. Untuk
dapat terpecahkan, sesama agama harus saling memahami satu sama lain. Agar dapat
saling memahami mungkin debutuhkan dialog antar agama. Tapi bukan untuk saling
menyalahkan dan merasa paling benar, melainkan agar antar agama saling memahami
dan saling membenarkan. Sehingga dapat terciptanya kerukunan beragama.
Pentingnya
pendidikan liberal untuk pelajar adalah salah satu upaya untuk meningkatkan
wawasan yang luas pada setiap individu. Agar mahasiswa lebih tahu bagaimana
cara bersikap dan menghargai. Pendidikan
liberal adalah pendidikan yang diniati untuk memperluas wawasan
mahasiswa yang tidak
sekedar pelatihan teknis dan professional. Munculnya pendidikan liberal sebagai
paradigma masa kini telah menimbulkan suatu kesadaran bagi bangsa Indonesia. Keadaan
yang di kategorikan sebagai kesadaran ini adalah lebih melihat aspek manusia
menjadi akar penyebab masalah manusia menjadi akar penyebab masalah mayarakat
yaitu masalah etika, dan kreativitas, dianggap sebagai penentu perubahan
social.
Prinsip dasar pendidikan
liberal adalah mencakup berbagai landasan diantaranya, seluruh kegiatan belajar
bersifat relative terhadap sifat dan isi pengalaman personal, memiliki pribadi
yang subjektivitas, empirisme, biologis, pragmatis, instrumentalis dan
sebagainya. Cara yang paling mudah untuk mengajarkan pendidikan liberal adalah
dengan menjadikan buku-buku klasik sebagai bacaan wajib bagi mahasiswa, seperti
kitab kuning dan teks books.
Siap menghadapi perubahan
dunia dengan menanamkan prinsip-prinsip pada pendidik adalah salah satu
tantangan terbesar bagi mereka (A. Chaedar alwasilah : 200). Oleh karena itu,
siswa harus diberi bekal yang bisa membuat mereka tahu bagaiman cara menghadapi
perubahan dunia yang sangat dikhawatirkan oleh seluruh bangsa. Mereka yang
lulusan pendidikan S-1 dapat mengembangkan kompetensinya melalui berbagai
kegiatan yang ia mampu.
Kurikulum yang harus
diterapkan agar mahasiswa mempunyai kompetensi setelah lulus dari perguruan
tinggi adalah dengan membekali mahasiswa tida hal diantaranya:
Pertama,Akademik seperti Menulis, menguasai matematika, dan
sains. Menulis merupakan bekal agar mahasiswa dapat berliterasi seperti di
Negara-negara lain pada umumnya. Mampu berhitung dan mampu mengetahui ilmu
pengetahuan alam adalah salah satu bekal untuk pendidikan liberal.
Kedua,
Aplikasi meliputi berfikir kritis, belajar terintegritas dan teraplikasi,
artinya bahwa pendidikan liberal mengasah otak manusia agar berfikir kritis
atas semua keadaan yang ada sehingga mereka mampu menciptakan inovasi baru di
lingkungannya. Ketiga, Keterampilan lunak meliputi etika, kerja sama,
kebinekaan, dan belajar sepanjang hayat.
Pendidikan liberal melatih
mahasiswa agar mempunyai etika yang baik, saling bekerja sama dan bergotong
royong, tidak membedakan ras dan suku, dan mempunyai minat untuk belajar
sepanjang hayat. Sehingga mereka di beri gelar insan kamil, yakni orang yang sempurna
dapat memenuhi kriteria untuk mengasumsikan pekerjaannya untuk warga Negara
dengan baik dan bebas.
Jika semua warga Negara
menkonsumsi pendidikan liberal, maka diyakini bahwa Negara Indonesia menjadi
Negara yang berliterasi dengan kemampuan menulis dan memahami semua ilmu
pengetahuan yang tinggi. Selain itu, pendidikan liberal dapat menyajikan
mahasiswa kaya akan tata karma yang baik dan memahami bhineka tunggal ika.
Sehingga mereka akan tahu bagaimana caranya agar menjadi warga Negara yang bisa
menghargai bangsa lain dengan menjunjung tinggi kerukunan, baik dalam beragama
maupun berbudaya.
Saya merasa, bahwa kejadian
ironis yang memalukan itu mereka yang tidak mempunyai tata karma yang baik dan
tidak menjunjung tinggi peradaban negeri. Bagaimana rakyat dapat menjunjung
tinggi peradaban dan kerukunan, sedangkan anggota parlemen yang dipercaya
sebagai wakil rakyat di negeri ini tidak mampu memberikan contoh yang sekiranya
baik untuk dipamerkan. Apakah mereka tidak mempunyai pendidikan yang cukup
baik, ataukah mereka tidak tahu sopan santun karena telah disibukkan dengan
kepentingan politiknya. Bukankah kejadian itu menjadi salah satu faktor penyebab
runtuhnya kerukunan di negeri ini. Bukankah kejadian tersebut dapat memicu
Indonesia yang tidak maju, karena mitu merupakan perbuatan
yang tidak
berliterasi.
Kini
saatnya negara Indonesia dipupuk dengan rasa saling menghormati dan saling
menghargai antar sesama. Banyaknya kerusuhan dan minimumnya kerukunan dalam
berbagai agama merupakan damfak dari rendahnya rasa sosial masyarakat. Oleh karena
itu, pendidikan usia dini harus melibatkan orang tua dan guru mengenalkan
berbagai keragaman budaya dan agama yang ada di Indonesia. Salah satunya dengan
mengadakan wacana sipil di kelas yang melibatkan guru dan murid saling
mengemukakan pendapat. Selain itu, untuk membangun toleransi antar siswa di
kelas, diperlukan pemahaman suku, ras, agama dan budaya dengan lagi-lagi guru
menjadi pemandu dalam sebuah diskusi.
Perlunya
pendidikan dari orang tua juga dapat memicu keinginan anak untuk belajar memahami
budaya yang berbeda. Orang tua merupakan salah satu peran penting yang harus
mendukung anak agar menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan dapat bertoleransi
anatara satu sama lain. Keragaman budaya di Indonesia memang harus
diperkenalkan sejak dini agar mereka tahu mana budaya yang baik yang harus ia
ikuti. Kemudian mereka harus di ajarkan untuk memahami sesama dalam agama yang
berbeda. Pendidikan liberal merupakan salah satu komponen penting yang harus
dimiliki oleh setiap anak, karena dengan pendidikan liberal mereka akan
memiliki wawasan yang luas, mengetahui dan memahami antar sesama bangsa dan agama sehingga mampu menciptakan kerukunan dalam
beragama dan bersatu dalam Bhineka tunggal ika.
REFERENSI
Azra,
Azyumardi. 2004. Menuju Masyarakat Madani. Bandung: Remaja Rosdakarya.Hakim,
M.Arief, 2002. Mendidik Anak Secara Bijak. Jakarta: Studio Integral. Chaedar Alwasilah, The Jakarta Post, October 22, 2011 Alwasilah, A.C. Pokoknya Rekayasa Literasi, Bandung: Kiblat Buku Utama dan Sekolah Pascasarjanah UPI Bandung : 2012.
http://id.wikipedia.org/wiki/Multikulturalisme
http://elsietelibertador76.wordpress.com/2013/01/22/kerukunan-umat-beragama/