Susahnya
Menjadi Multilingual Writer
By
Atin
Hartini
Pada tanggal 10 Februari 2014 tepatnya pukul 07.30
adalah pertemuan kedua dengan Mr.Lala di mata kuliah writing 4. Seperti biasa
beliau masuk kelas tepat waktu, kemudian langsung menjelaskan materi. Materi
yang disampaikan minggu lalu kembali dijelaskan ulang oleh beliau. Setelah
membahas ulang materi minggu lalu, baru beliau mulai menjelaskan materi yang
selanjutnya.
Dalam lembaran apitizer Hany Setiawan, disitu
diberitahukan bahwa masyarakat Indonesia lebih statistic tidak kritis. Menurut Setiawan
masyarakat sudah mulai berpikir kritis karena mereka sudah bisa update dalam
internet secara langsung. Menulis bukan juga secara formal, dengan adanya media
jejaring social sedikit demi sedikit mereka sudah bisa menulis. Setiawan merevisi buku
terakhir buku pokoknya rekayasa literasi. Jadi Hawe bertolak belakang dengan
Haedar. Menurut Haedar bahwa
menulis itu berbentuk artikel, tetapi menurut Hawe menulis itu bisa diam saja,
seperti di jejaring sosial update status lama-lama akan bisa mengasah
keterampilan dan menariknya tulisan kita.
Dalam power point yang telah dijelaskan oleh Mr.Lala
bahwa ia telah menanyakan Siapa kau di kelas saya? apakah hanya seorang siswa yang mendaftar di kelas menulis tanpa tujuan? Apakah hanya
seorang siswa mencoba untuk menyelesaikan setiap tugas tunggal tanpa tulus hati? Apakah hanya seorang mahasiswa yang
menulis hanya untuk mendapatkan
nilai yang tepat? Apakah hanya
seorang mahasiswa yang menulis tanpa
jiwa ataukah hanya seorang mahasiswa yang mencoba untuk menyelesaikan seluruh kontrak belajar? Tentunya tidak. Ketika kita belajar writing, kita
bukan hanya menulis tanpa tujuan dan tidak hanya menulis class review saja,
tetapi kata beliau kita juga harus mengakses buku yang telah beliau baca. Kita
harus bisa mengakses dan memahaminya dengan ketelitian.
Dalam writing ada beberapa yang akan dijelaskan,
yaitu : Teaching Orientation .Dalam teaching orientation ada 2, yaitu :
1) Academic Writing
Academic writing mempunyai sikap-sikap tertentu.
Sifatnya itu harus resmi (formal), tidak mengenai orang tertentu (impersonal),
evidence atau mempunyai fakta-fakta dan bukti-bukti tertentu, harus mempunyai
tujuan ataupun sasaran (objective) dan yang terakhir harus teratur (systematic). Kemudian academic
writing juga sifatnya harus “Tigid” atau “Kaku”. Kemudian karena sifatnya yang
analytical, priesice analytical, untuk menulis essay juga kita harus
menunjukkan apa? Tentunya kita harus menunjukkan :
2) Critical Thinking atau berpikiran
kritis.
Didalam
critical thinking ada beberapa yang harus diperhatikan, yaitu:
-
You
will not take a text for graduate
-
Relating
to after text
-
Use
rich POV
3) Writing is :
-
Away
of knowing something. Ketika menulis, kita harus mengetahui literasi tertentu.
-
Away
of representing something
-
Away
of reproducing something
Mengapa harus
ada kata something??? Tentunya jawabannya itu karena itu sebuah informasi
(information), pengetahuan (knowledge) kemudian experience atau pengalaman.
Kata Mr.Lala, orang yang mampu mencapai writing di level 4 dengan nilai A, dia
adalah orang yang yang mampu menemukan sesuatu. Selain kita mampu menemukan sesuatu, kita juga harus
bisa menjadi multilingual writer.
Menurut Mr.Lala, dalam perspektif
beliau sendiri kita semua adalah
multilingual writer yang bisa kritis terhadap keduanya. Multilingual
writer adalah orang yang bisa menulis secara efektif dalam bahasa ke 1( L1)
dan bahasa ke 2 (L2) efektif, yang
berfungsi sebagai pembaca kritis baik di L1 dan L2, yang mengubah diri dari
seorang mahasiswa bahasa menjadi mahasiswa menulis, yang dapat membuat
informasi pilihan dalam hidup. Menulislah sebagai bagian dari hidupmu yang bisa
mengubah dunia. Jadi, kita bukan hanya harus menjadi pembaca yang kritis,
tetapi kita juga harus menjadi penulis. Dengan membaca dan menulis, kita bisa
mendapatkan pengetahuan dan informasi, kita juga bisa membuat informasi pilihan
dalam hidup. Perspektif Pak Lala, siapa yang ingin membaca tulisan kita, jadi
sebelum kita menulis kita harus menyajikan sesuai dengan hasrat atau
pengetahuan pembaca.
Menurut Hyland, tulisannya begitu
rumit , "menulis adalah praktek yang didasarkan pada harapan:
peluang pembaca menafsirkan
maksud penulis meningkat
jika penulis mengambil kesulitan
untuk mengantisipasi apa yang
dibaca. Pembaca mungkin mengharapkan didasarkan pada teks-teks sebelumnya ia telah membaca
dari jenis yang sama". Menurut Hoey
(2001), seperti yang dikutip dalam Hyland (2004), ia mengibaratkan Penulis dan
pembaca = penari. Ia mengibaratkan para pembaca dan penulis untuk penari
mengikuti langkah-langkah masing-masing, setiap rasa perakitan dari teks dengan
mengantisipasi apa yang lain kemungkinan akan dilakukan dengan membuat koneksi
ke teks sebelumnya.
Write-readers=dancer, yang melengkapi satu sama lain, saling membantu harus
seirama. Jadi, jika kita menulis kalau sasarannya sama, kita harus menulis
sesuai dengan pengetahuan yang sama pula dan menulis juga harus ada keindahan
bahasa dan lain sebagainya. Dengan kata lain, bagi saya penulis-pembaca membuat sambungan disebut seni.
Apa yang dibaca kemudian ditulis dengan gaya yang kreatif itu merupakan suatu
seni tersendiri yang ada dalam diri kita.
Kutipan Lehtonen, ketika bahasa mempunyai system
sendiri yang mendefinisikan dan yang mengartikan dirinya sendiri. Jadi, meaning
itu terjadi ketika ada penulis dan pembaca. Jika kehilangan salah satunya maka
nanti akan kehilangan meaning juga, karena tidak ada yang membaca, jadi tulisan
kita pun tidak berarti apa-apa. Meaning juga bisa dibangun karena kolaborasi
antara penulis dan pembaca. Dimana kita menemukan pengertian? Tentu jawabannya
di Lehtonen, teks, konteks dan pembaca, jika tidak ada salah satunya, maka
tidak akan menghasilkan meaning juga.Coba koneksikan antara teks, konteks dan
pembaca bagaimana agar saling terhubung. Kita bisa lihat di
bab 5-7 bahwa konteks ada di kita sebagai pembaca. reader ada di kita sebagai
pembaca, dan teks menempel di writer.
Kemudian apa perbedaan antara konteks dan meaning?
Konteks dan meaning berbeda, dan apa bedanya? Ketika writer dan reader
ditengahnya ada meaning. Meaning seharusnya searah, tetapi terkadang tidak sama
karena sesuai dengan experience masing-masing. Kalau kita harus mengkritisi
kita harus tahu background dari keduanya, writer-reader. Dan yang menyesuaikan
itu adalah pembaca.
Pada halaman 111 Lehtonen, kata Gay yuk ahli bahasa
mengkarakteristikkan situasi bahasa dalam konteks, kita sebagai pembaca tidak
melihat dia sebagai penulis, apa yang dia lakukan ketika menulis, kita hanya
sebagai pembaca yang bisa menikmati hasil dari informasi-informasi yang dia
tulis. Kita sebagai pembaca hanya tahu apa yang di informasikan dan
dikoneksikan, sebagai individu yang mempresentasikan sendiri hasil tulisan si
penulis. Apa yang dilakukan penulis, pembaca itu tidak akan tahu.
Jadi, kesimpulannya write-readers=dancer,
yang melengkapi satu sama lain, saling membantu harus seirama. Jadi, jika kita
menulis kalu sasarannya sama, kita harus menulis sesuai dengan pengetahuan yang
sama pula dan menulis juga harus menggunakan bahasa yang indah dan lain
sebagainya. Semua negoisasi makna ada pada reader. Jadi terserah kita
mau mengambil atau mengamati maknanya. Secara tidak langsung, jika kita sedang
membaca secara otomatis kita sedang bernegoisasi dengan mencari makna yang
terkandung dalam tulisan yang kita baca. Kemudian yang bisa mengartikan buku bagus itu
tergantung dari pembaca. Jadi, Lehtonen itu tidak cukup dalam mempelajari
pembaca untuk memaksa menulis saja, namun mereka juga harus jadi partisipan
aktif dalam formasi meaning. Apa yang dilakukan oleh
penulis, pembaca itu tidak akan tahu. Konteksnya itu sebagai benda mati. Jika
hasil tulisan sudah jadi , maka secara otomatis itu sudah menjadi hak si
pembaca dalam mengartikannya.