Pemaknaan
“Literasi” yang Keliru
(By.
Aneu Fuji Lestarie)
Indonesia termasuk negara yang
tingkat literasinya rendah. Penyebabnya
adalah bangsa Indonesia kurang memahami arti dari literasi itu sendiri. Sedangkan dalam perbincangan metodologi
pengajaran di kalangan guru bahasa saat ini, yang menjadi buah bibir adalah
genre, wacana, literasi, teks dan konteks.
Mr. Chaedar Al Wasilah dalam bukunya (pokoknya rekayasa literasi)
menyatakan bahwa definisi (lama) literasi diartikan hanya sekedar kemampuan
membaca dan menulis (
edition Oxford Advanced Learner Dictionary,
2005 : 899). Dari pengertian tersebut,
dapat dipahami bahwa jika seseoarng mempunyai kemampuan menulis dan membaca
maka ia sudah berliterat, sehingga dalam konteks persekolahan di Indonesia kata
literasi tidak dianggap, yang digunakan hanya pengajaran bahasa atau pembelajaran
bahasa, dan pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) termasuk edisi ke-4 (2008)
pun tidak tercantum kata literasi yang ada hanya kata literatur dan literer.

Pendidikan Indonesia hanya
menerapkan pendidikan literasi pada siswa pendidikan dasar saja, yang bertujuan
agar mereka memiliki kemampuan membaca dan menulis yang dalam istilah sekolahnya
adalah “calistung” dimana para siswa diwajibkan untuk mampu membaca, menulis
dan menghitung. Pembekalan kemampuan
calistung itu mempersiapkan generasi-generasi muda yang baru untuk menghadapi
tantangan Zaman di era modern ini. Namun
seharusnya, pembekalan keterampilan literasi tidak cukup di pendidikan dasar
saja, karena pada hakikatnya literasi bukan hanya educated tetapi literasi
adalah praktek kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial dan
politik. Maka dari itu, para pakar
pendidikan dunia meluncurkan definisi baru dari literasi yaitu pemaknaan. Sehingga muncul berbagai macam literasi,
seperti literasi komputer, literasi visual, literasi teknologi dan
sebagainya. Maka, muncul peran penting
dalam literasi, yaitu memahami, melibati, menggunakan, menganalisis dan
mentrasformasi teks. Literasi itulah
yang berperan penting di zaman ini yaitu literasi yang kritis dan demokratis.
Dalam buku Mr. Chaedar Al Wasilah
(Pokoknya Rekayasa Literasi) ada lima definisi literasi yang didalamnya
terdapat perubahan makna literasi.
Ketika makna literasi berubah, maka akan ada pula perubahan
pengajarannya. Dari lima definisi yang
kian berevolusi, terlihat bahwa makna literasi kian meluas dan kompleks. Sementara rujukan linguistik dan sastra
relatif konstan. Literasi tidak akan
putus dengan penggunaan bahasa karena literasi merupakan keterampilan berbahasa
dan merupakan kajian lintas disiplin yang memiliki tujuh dimensi yang saling
terkait, antara lain:
1.
Dimensi
geografis (lokal, nasional, regional dan internasional)
Seseorang dikatakan memiliki kemampuan literasi yang berdimensi
lokal, nasional, regional dan internasional itu berdasarkan pada tingkat
pendidikan, lingkup sosial dan juga vocasionalnya. Seseorang yang tingkat pendidikan dan tingkat
sosialnya luas maka ia lebih sering menghadapi tantangan hidup untuk melawan
dirinya dan dituntut untuk memiliki kemampuan literasi yang internasional.
2.
Dimensi bidang
(pendidikan, komunikasi, administrasi, hiburan, militer, dan sebagainya)
Untuk menghasilkan masyarakat yang berliterasi dengan koalitas
internasional maka diperlukan pendidikan yang berkualitas tinggi. Sehingga dari hasil peluncuran masyarakat
yang berliterasi tinggi maka akan muncul kecanggihan teknologi, persenjataan
dan hiburan karena untuk menuju transformais masyarakat berbasis pengetahuan
membutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) dengan tingkat literasi yang tinggi.
3.
Dimensi
keterampilan (membaca, menulis, menghitung, berbicara)
Seseorang yang berliterasi maka lingkup hidupnya berada pada
zona membaca, menulis, menghitung dan berbicara. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat
illaterat yang mana mereka mampu untuk menulis dan membaca, akan tetapi mereka
tidak mau untuk melakukannya. Jika
membaca saja tidak mau bagaimana ia bisa menulis. Orang yang mau dan mampu membaca saja belum
tentu bisa menulis apalagi yang tidak mau membaca. Kualitas menulis dilihat dari seberapa banyak
buku yang dibaca dan juga dari sumber bacaannya, apakah berkualitas ataukah
tidak dan kualitas itu akan terlihat ketika ia berbicara. Selain kita mampu dan termapil dalam membaca,
menulis dan berbicara kita juga harus mampu dan terampil dalam menghitung
(numerasi). Kebanyakan orang menganggap
bahwa numerasi itu tidak penting, padahal tanpa numerasi ke ampuan membaca dan
menulis tidak cukup untuk menghadapi masyarkat yang semakin mengglobal. Tradisi Barat menyebutnya dengan 3R, yaitu
reading, writing dan arithmatic.
4.
Dimensi fungsi
(memecahkan persoalan, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan
pengetahuan, mengembangkan potensi diri)
Jika kita berliterat, kita akan mampu memecahkan berbagai
persoalan karena kita telah memiliki berbagai pengalaman. Literasi membuat wawasan kita lebih luas
sehingga kita lebih mudah mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan yang kita dapat. Semakin tinggi literasi seseorang, semakin
tinggi pula harapan hidupnya.
5.
Dimensi media
(teks, cetak, visual, digital)
Untuk menjadi literat pada zaman ini kita bukan hanya harus
mampu dalam keterampilan membaca dan menulis, kita juga harus menguasai ilmu
teknologi dan informasi (TIK). Peradaban
masa depan adalah masyarakat informasi yang sudah menjadi komoditas utama dan
interaksi antar manusia.
6.
Dimensi jumlah
(satu, dua, beberapa)
Orang yang berliterat biasanya mampu berinteraksi dalam
berbagai situasi, karena ia telah memiliki pengatahuan, pengalaman, kemampuan
mengeksplorasi konten dan juga dengan pendidikannya yang berkualitas
tinggi. Sehingga ia pun akan mampu
meluncurkan hal-hal baru.
7.
Dimensi bahasa
(etnis, lokal, nasional, regional, internasional)
Jika kita menguasai berbagai macam bahasa, kita termasuk orang
yang multilingual. Akan tetapi, banyak
orang yang terampil dalam bahasa Indonesia dan berbagai macam bahasa asing
namun ia tidak menuguasai bahasa ibunya sendiri. Maka orang tersebut belum dikatakan orang
yang berliterasi dan multilingual.
Karena keterampilan bahasa ibu merupakan alat mengekspresikan diri dan
mempunyai nilai lebih dalam lingkungan sosial.
Suatu
lembaga pendidikan seharusnya mampu meluncurkan orang-orang yang berlitar
tinggi dan calon sarjana juga harus
mampu menguasai academic literasi, karena literasi bukan hanya membaca dan
menulis tetapi literasi akan menambah wawasan ilmu pengetahuan dan dapat
menciptakan hal-hal baru dari hasil pengeksplorasian ilmu pengetahuan
tersebut. Orang yang berliterasi akan
mampu memahami makna hegemoni yang dipaparkan melalui media massa. Sehingga para mahasiswa memiliki sifat
demokratis yang bertujuan untuk menjunjung nilai-nilai demokrasi dan membangun
negara yang maju dengan terciptanya demokratisasi bangsa.
Dalam
proses menjunjung nilai-nilai demokrasi dan membangun bangsa yang maju, harus
menggunakan literasi teks, visual dan digital agar mereka mampu mengembangkan
ilmu teknologi dan informasi serta menciptakan media massa yang mendunia. Media massa adalah salah satu pilar demokrasi
yang dapat menjadikan warga negara bersifat demokratis. Oleh sebab itu Macedo menyatakan bahwa “As
real intellectuals, teachers need to approproate a language of critique so as
denounce the hypocricy, the social irjustices, and the human misery
(2000:12). Masyarakat yang berliterasi
harus mampu dalam keterampilan berbahasa dan keterampilan berpikir kritis,
karena negara yang demokrasi adalah dimana warga negaranya memiliki
keterampilan berpikir kritis.
Indonesia
masih sangat terbilang rendah dalam tingkat literasi, jadi tidak heran jika
negara Indonesia tertinggal jauh oleh negara-negara lain yang tingkat
literasinya tinggi. Sangat-sangat
disayangkan sekali Indonesia mendapat rapor merah literasi karena seharusnya
dengan berbagai budaya, bahasa dan banyaknya Sumber Daya Alam (SDA) kita mampu
menyaingi tingkat literasi negara-negara lain.
Namun, di Indonesia hanya tercatat 2% siswa yang prestasi membacanya
masuk ke dalam kategori sangat tinggi, 19% masuk ke dalam kategori menengah dan
55% masuk ke dalam kategori rendah.
Artinya, 45% siswa Indonesia tidak dapat mencapai skor 400. Indonesia masih tertinggal jauh oleh
negara-negara yang prestasi membacanya tinggi, yaitu Singapura dan Federasi
Rusia yang 19% siswanya berada dalam kategori advanced international benchmark,
58-61% dalam kategori high international benchmark, 86-91% dalam
kategori intermediate international benchmark dan 97-99 % memenuhi
kriteria low international benchmark.
Pendidikan
nasional di Indonesia belum berhasil menciptakan masyarakat yang literat dan
siap bersaing dengan negara lain.
Contohnya saja masih banyak orang-orang yang berkorupsi. Sebenarnya orang-orang yang berkorupsi adalah
orang-orang yang tidak berliterasi dan tidak bernumerasi, karena jika mereka
mempunyai keterampilan literasi dan numerasi maka mereka akan dapat memahami
arti politik dan demokrasi yang sebenarnya.
Mereka tidak akan mengotori negara mereka sendiri dengan perlakuan yang
tidak pantas dan tidak patut dimiliki oleh orang yang berpendidikan dan
berintelektual tinggi. Masyarakat yang
berliterasi mempunyai potensi untuk membangun negaranya. Pendidikan literasi juga merupakan investasi
jangka panjang yang dapat meningkatkan HID (Human Development Index) dan
dapat menjamin kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik, sehingga orang yang
berliterasi tidak akan mungkin memakakan dan merampas hak orang lain. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan
rendahnya tingkat literasi di Indonesia yaitu:
v Tercatatnya
40% orang tua Indonesia (bandingkan dengan Skotlandia 85%) terlibat dalam early
home literacy activities yaitu membaca buku, bercerita, menyanyi, bermain
huruf, bermain kata dan membaca nyaring.
v Rendahnya
pendidikan orang tua siswa, karena dalam lingkup PIRLS (Progress in
International Reading Literacy Study) diketahui bahwa rerata skor capaian
prestasi membaca 544 didapatkan oleh kelompok siswa yang orang tuanya lulusan
universitas, dan rerata skor 425 didapatkan oleh kelompok siswa yang orang
yuanya tidak tamat SD (Hayat dan Yusuf, 2010:73-81). Sedangkan Indonesia sendiri mencapai 46% yang
pendidikan orang tuanya tidak lulus SD.
v Rendahnya
HER (Index of home educational resource), yaitu jumlah buku, jumlah buku
anak-anak, sumber belajar lainnya seperti komputer, meja belajar sendiri, buku
milik sendiri dan akses ke surat kabar.
Indonesia masuk ke dalam kategori posissi paling bawah, yaitu hanya
sekitar 1% dalam kategori high, 62% dalam kategori medium dan 37% dalam
kategori low.
Dalam
konteks pembelajaran di sekolah, guru berperan penting dalam menciptakan siswa
yang mampu berliterasi dan bernumerasi.
Penguasaan tentang literasi dan pedagogi pengajaran literasi harus
benar-benar dikuasai oleh para guru, karena guru merupakan contoh yang dapat
membangkitkan semangat siswanya untuk mau berliterasi. Namun, bukan hanya guru saja, keluarga,
teman-teman juga harus ikut berperan dalam meningkatkan literasi siswa karena
lingkungan sosial mempunyai pengaruh besar dalam membentuk kepribadian siswa.
Dari
uraian-uraian di atas terlihat bahwa orang yang berliterasi adalah orang-orang
yang berpendidikan dan berbudaya. Maka
dari itu, penciptaan rekayasa literasi bertujuan untuk meluncurkan orang-orang
yang berpendidiakn juga berbudaya.
Sekolah adalah lembaga pendidikan formal yang dapat membentuk
kepribadian siswa menjadi siwa yang berliterasi dan berbudaya. Ada empat dimensi dalam perbaikan rekayasa
literasi, antara lain:
Ø Dimensi
pengetahuan kebahasaan (linguistik atau fokus pada teks)
Mahasiswa harus memiliki kemampuan literasi untuk menunjang
harapan hidupnya. Dalam mengajarkan
literasi yang baik, mahasiswa harus dikenalkan dengan pengetahuan tentang
kebahasaan karena membaca dan menulis memerlukan pengetahuan yang mencakup:
§ Sistem
bahasa untuk membangun makna seperti jenis dan struktur teks, morfologi,
sintaksis, semantik dan ortografi
§ Persamaan
dan perbedaan bahasa lisan dan tulis
§ Ragam
bahasa yang mencerminkan kelompok daerah, lembaga, etnis, agama, dan pekerjaan.
Ø Dimensi
pengetahuan kognitif (fokus pada minda)
Ketika kita membangun literasi berarti kita juga membangun
pengetahuan dan keterampilan aktif, selektif dan konstruktif dalam berliterasi,
dan kita mampu memanfaatkan pengetahuan yang ada untuk membangun suatu makna.
Ø Pengetahuan
perkembangan (fokus pada pertumbuhan)
Proses literasi adalah proses dimana seseorang dapat hidup
dalam situasi apapun karena ia memiliki pengalaman dalam sepanjang hayatnya selama
ia berliterasi dan juga dapat mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan.
Ø Pengetahuan
sosiokultural (fokus pada kelompok)
Mengajarkan dan menanamkan literasi berarti mengajarkan dan
menanamkan sejumlah kepekaan tekstual dan kultural dalam lintas kelompok dan
lembaga.
Dalam
pembelajaran bahasa asing, para guru mengenal literasi sebagai empat
keterampilan berbahasa dan tidak pernah menyebutnya dengan sastra. Hal itu disebabkan karena para siswa dan ahli
bahasa menganggap bahwa sastra itu asing dan terlalu sulit bagi siswa sehingga
di sekolah tidak perlu mengenalkan sastra.
Selain itu, pembelajaran bahaa asing pada tingkat dasar cenderung
bersifat text-centric, bukan reader centric dan writer centric.
Rekayasa
literasi seharusnya diawali dengan pemahaman atas berbagi paradigma pengajaran
literasi. Ada tiga paradigma
pembelajaran literasi, yaitu decoding, skills, dan whole
language (Kucer:2000).
1. Paradigma
decoding
Dalam paradigma decoding, siswa
diajarkan literasi melalui penguasaan bagian-bagian bahasa, hubungan
huruf-bunyi dan penguasaan pemaknaan kode bahsa. Rumus dalam paradigma decoding yatu:
perkembangan literasi= belajar ihwal literasi- belajar literasi~ belajar
melalui literasi.
2. Paradigma
keterampilan
Siswa dilatih untuk menguasai morfem
dan kosakata karena morfem dan kosakata merupakan dasar untuk membaca. Jadi, dalam paradigma keterampilan ini siswa
diharapkan mampu berliterasi secara mandiri.
Rumus paradigma keterampilan yaitu: perkembangan literasi= belajar ihwal
literasi belajar literasi~ belajar melalui literasi.
3. Paradigma
bahasa secar utuh
Paradigma ini tidak memfokuskan pada
pembelajaran serpihan bangsa saja, tetapi juga mesti fokus pada pembelajaran
makna. Rumusnya yaitu: perkembangan
literasi adalah belajar melalui literasi~ belajar literasi- belajar ihwal
literasi.
Jadi,
manfaat adanya pembelajaran dan rekayasa literasi di pendidikan ialah untuk
menjadikan manusia mampu berbaca-tulis, terdidik, cerdas dan menunjukkan
apresiasi terhadap sastra, sehingga dapat membangun dan menjunjung tinggi
negaranya.