Keliru dalam Mengkritisi
(oleh Fatimah)
Aku dan pertemuan ini. petemuan ke
empat dengan matakuliah yang membuatku benar-benar merasakan nikmatnya kuliah.
Dengan berbagai tugas yang harus dikerjakan setiap minggunya sebagai tiket
untuk dapat memasuki gerbang masadepan yaitu gerbang kelas academic writing
(writing and composition 4th).
Mahasiswa dan kewajiban. Sadar
sebagai mahasiswa yang bertugas mengerjakan berbagai macam asignment dari lebih dari satu dosen. Terkadang kata-kata keluhan
mengalir natural dari manusia yang berpredikat sebagai mahasiswa ini. manusia
dan keluhan, sebuah kewajaran namun jika terlalu banyak mengeluh maka jauh dari
selesainya tugas.
Menulis adalah suatu kewajiban
bagiku dan teman-teman pada mata kuliah ini. uran tidur itu resiko, tangan
keriting itu wajar, pikiran ekstra itu sebuah keharusan jika igin melewati
matakuliah ini dengan baik maka kita harus mengikuti alur yang ada dan lakukan
dengan sepenuh hati agar hasil yang kita dapatkan lebih maksimal.
Akhirnya akupun tumbang setelah 3
malam berperang mencari dan mengumpulkan ide. Kemudian merangkainya kedalam
sebuah teks yang ingin aku sebut sebagai master piece. Master piece yang murni
keluar dari pemikiran dan goresan tinta atau ketikan notebook ku.
Waktu menuntutku untuk berdiri tegap
kembali meleburkan kewajibanku unuk mengerjakan tugas. 2500 kata dan 5 halaman
buku debur, kewajiban ku terhadap matakuliah academic writing disetiap
minggunya.
Mencoba berkarib dengan keheningan
malam yang tanpa ada suara. Sehingga ketenangan hati dapat menghasilkan ide
yang cemerlang. Saat tengah malam itu terbangun dari tidurku dan beranjak
membuka karib setiaku yang selalu ada di dalam kamarku. Ya, itu adalah notebook
biru kesayanganku.
Benar saja yang di katakan oleh Budi
Hermawan bahwa berkariblah dalam sepi sebab dalam sepi suara hati terdengar
lebih nyaring dan terdengar lebih jernih. Ketika itu dalam keheningan malam ide
seakan tumpah ruah di pikiran, rasanya ingin segera dituangkan pada media
kertas atau microsoft word dalam notebook ku.
Setelah master piece terselesaikan,
hari minggu tu langsung ku posting dalam blog kelas ku “Craft Master A”. Print
out nya ku bawa keika hendak berperang pada pagi senin, ku jadikan senjata
untuk berperang dengan academic writing course. Senjata ku berjudul “merenda
keharmonisan dalam pluralitas agama melalui pendidikan dan programing anak usia
dini”.
Senjataku bercerita tentang
pendidikan yang seharusnya dapat menjadi fasilitas menuju keharmonisan umat
beragama. Senjata itu di buat sebagai ritical review dari artikel A. Chaedar
alwasilah yang bercerita tentang classroom discourse untuk memupuk kerukunan
dalam pluralitas beragama.
Pagi senin itu senjata ku diperiksa
oleh ku sendiri berdasarkan arahan dari Mr. Lala Bumela sebagia dosen academic
writing di semeter 4 ini. ternyata aku salah memasukan peluru dalam senjataku.
Point utama pada artikel A Chaedar adalah tentang kehebatan wacana kelas untuk
memupuk rasa toleransi umat beragama namun saya terlalu terfokus pada
pendidikan dan kerukunan umat beragama. Masih kurang spesifik lagi. Akibat
salah peluru senjataku tidaka berfungsi.
Selain itu masih terdapat kalimat
dan paragraf yang tidak mendukung judul yang ki buat. Namun koherensi antara
paragraf satu dengan paragraf lainnya sudah cukup baik karena sesuai dengan
judul yang ku buat. Itu merupakan beberapa kekurangan dari senjata yang akan ku
gunakann dalam pertempuran pada senin pagi itu. Evaluasi itu semoga berdampak
positif pada masterpiece ku berikutnya.
Sebenarnya boleh-boleh saja kita
mengkritisi tentang religious harmony namun setelah classroom discoursenya
sudah kita kritisi. Jika ingin membahas atau mengkritisi tentang kerukunan
beragama kenapa tidak kita kritisi tentang msalah pemurtadan agama yang tidak
tersentuh oleh perhatian pemerintah seperti dalam buku irene handono yang
membahas tentang hal tersebut meskipun beliau adalh seorang mualaf. Kasus
pemurtadan agama sering terjadi seperti kasus penculikan para santri di solo
yang di kristenkan oleh para pastur.namun pemerintah hanya bisa diam akan hal
ini.
Kembali pada wacan kelas atau
classroom discourse seharusnya kita dapat melihat potensi apa yang ada di
dalam kelas untuk memupuk rasa tolransi
umat beragama. Kita dapat melihat bahwa kelas adalah tempat yang suci tidak
sembarang orang yang dapat memasuki kelas. Karena di dalam kelas mempunyai
aturan dan hanya orang-orang tertentu yang saja yang dapat memenuhi sarat atau aturan
tersebut. Contohnya orag yang dapat memasuki kelas dan belajar bersama dosen
jika ia tidak terlambat lebih dari 15 menit seperti kontrak belajar yang telah
di sepakati oleh dosen dan mahasiswa, terdaftar di sebagai ahasiswa di lembaga
tersebut,
Di dalam kelas terjadi interaksi
antara siswa, hal ini hal ini harus di fasilitasi oleh guru agar wacana kelas
dapat memupuk kerukunan antar umat beragama dapat terlaksana. Di dalam kelas di
setiap mata pelajaran interaksi antara siswa untuk saling maenghargai dapat di
wujudkan melalui diskusi sesama teman. Dalam hal ini siswa dapat belajar
menghargai pendapat orang lain, menbagi ide-idenya, mendengarkan siswa lain
yang sedang menyampaikan pendapat dan dapat menyampaikan perbedaan pendapat dan
dapat menyampaikan perbedaan pendapat dengan bahasa yang sopan. Hal tersebut
dapat memupuk rasa toleransi umat beragama.