Ada yang Hilang (Class Review-4)



Ada yang Hilang
(By: Enok Siti Jaenah)
Ada yang hilang. Itulah kiranya kata yang tepat untuk menggambarkan dua kasus yang terbeber di pertemuan ke-4 kemarin, tepatnya pada tanggal 24 Februari 2014. Kasus pertama yaitu perihal kehilangan waktu santai saya yang dicuri oleh ‘critical review’. 2500 kata yang harus kita tulis di critical review seperti 2500 pil pahit . Hampir setiap pagi sepanjang seminggu menjelang mata kuliah writing, yang saya temukan pertama kali saat membuka mata adalah buku-buku dan helaian kertas yang berserakan di sekitarku, ditambah dengan laptop yang masih setia turn on. Situasi ini memang merenggut waktu saya untuk hidup tak normal.

Kasus kedua yaitu ‘classroom discourse’ yang hilang dari critical review kita. Hampir semua warga kelas tidak mencantumkan classroom discourse di papernya. Saya sendiri sudah mencantumkannya, tetapi tidak jelas dan detail penyajiannya. Sehingga sang chef kita, Mr. Lala Bumela mengintruksikan kepada kita untuk mengolah kembali bahan classroom discourse di class review kali ini menjadi sebuah masakan yang baru. Dan inilah hasil olahan saya, selamat menikmati..
Classroom Discourse. Maksudnya adalah apa yang terjadi di dalam kelas, terutama dalam hal komunikasi di dalamnya. Komunikasi dalam kelas tersebut bisa terjadi antara sesama siswa ataupun antara siswa dengan gurunya.  Dalam sebuah kelas terdapat dua komponen yang harus ada dalam berkomunikasi, yaitu: text dan context.  Text ini merujuk pada proses pembelajaran yang terjadi dalam kelas, misalnya dialog.  Siswa diajarkan bagaimana berbicara yang baik dan benar dengan sesamanya ataupun guru.  Ini bertujuan untuk mempermudah siswa dalam berinteraksi dengan orang lain.
Lain ceritanya dengan context, Betsy Rymes dalam bukunya yang berjudul Classroom Discourse Analysis: A Tool for Critical Reflection mengatakan, “How a word is being used depend on the context.  However, the ‘context’ for Classroom Discourse Analysis also beyond the classroom, and within different components of classroom talk. To include any context that affects what is said and how it is interpreted in the classroom.”  Jelaslah di sini bahwa Betsy Rymes berpendapat bahwa context haruslah lebih lebih luas daripada classroom sendiri.  Context disini sebenarnya sebagai penunjang siswa dalam memproduksi text. Seperti yang juga dikatakan oleh Lehtonen (2000:111), konteks dilihat sebagai ‘backgrounds’ dari teks yang bisa juga dibilang sebagai ‘informasi tambahan’ yang bisa menjadi bantuan untuk memahami teks tersebut.
Dalam prosesnya, classroom discourse akan melahirkan banyak perbedaan, entah itu dari background para pelaku classroom discourse ataupun strategi berkomunikasi. Perihal perbedaan-perbedaan ini, Betsy Rymes juga mengatakan, “By targeting specific differences in discourse patterns, this research into cross-cultural communication in classroom contexts has been able to enhance teachers and students’ mutual understanding – reconceptualizing deficits as differences, and differences as resources of learning”  Jadi, perbedaan-perbedaan yang ada selama pembelajaran dalam Classroom Discourse jangan dijadikan sebagai sumber masalah yang justru bisa menimbulkan perpecahan, namun justru perbedaan-perbedaan inilah yang akan menjadi sumber pembelajaran.  Karena dari perbedaan-perbedaan yang ada inilah kita bisa belajar bagaimana cara menghormati orang lain sehingga terciptalah suatu kerukunan yang kita damba-dambakan.
Dan diskusi inilah yang datang sebagai  salah satu jalan untuk mencapai indikator-indikator penting dalam Classroom Discourse tersebut.  “By recording, viewing, transcribing, and analyzing instances of talk in classroom, Classroom Discourse researches have shown how differences in communication styles that lead to such lapses are often interpreted by teachers and testing mechanism as deficits – emblems of lack of intelligence, drive or ability.” (Betsy Rymes : 2008).
Manfaat mempelajari classroom discourse adalah untuk memahami secara umum perbedaan komunikasi antara kelompok-kelompok sosial. Selain itu, setelah dilengkapi dengan metode analisis wacana, situasi terbaik guru adalah untuk mempelajari wacana lokal dan selalu merubah pola khusus untuk kelas mereka sendiri. (Betsy: 2008)
Wacana kelas memang bukan hal yang kecil. Pandangan awal saya tentang classroom discourse runtuh seketika. Istilah classroom discourse sering dikaitkan dengan bahasa dalam kelas. Hal ini karena istilah tersebut juga menunjukkan jenis register, tidak pada jenis wacana, sehingga bahasa di kelas identik dengan classroom register. (Halliday: 1917)
Jadi dapat disimpulkan bahwa classroom discourse membuat siswa-siswi bisa menghafal satu sama lain dan menumbuhkan rasa toleransi yang tinggi. Inilah benih-benih yang akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang menghargai keberagaman dan perbedaan. Andai saja setiap sekolah mengaplikasikan classroom discourse secara apik, maka tentu kerukunan beragama akan tetap terjalin.


Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment