Class Review 4 : Salah Resep, Bahan atau Bumbu?



Salah Resep, Bahan atau Bumbu?
Senin, 24 Februari 2014…
Perjumpaaan kali ke-empat di mata kuliah “Academic Writing”.  Sampai di Minggu ke empat ini kondisi saya sudah hampir “tepar”.  Yang biasanya jam Sembilan atau jam sepuluh malam saya bisa memejamkan mata dan merajut mimpi tapi empat minggu terakhir ini malam – malam bahagia saya sirna sudah.  Pasalnya baru jam satu atau jam dua saya bisa mempertemukan kelopak mata atas dan mata bawah saya.  Ajaib! Sebelumnya saya tidak pernah seperti itu tapi karena ini Academic Writing maka saya HARUS seperti itu.  Namun

Ditambah sekarang sudah mulai menulis critical review dan standarnya 2500 kata.  Ekspresi atau raut wajah saya sudah tidak jelas rasanya.  Bagaikan pelari yang merindukan garis finish.  Penuh keringat,  keringat yang saya rasa bukan keringat biasa tapi keringat yang dihasilkan oleh otak yang berlali kesana kemari mencari sebuah ide.  Melelahkan, namun harus diingat bahwa ini baru pertengahan musim.  Perjalanan ke depan masih sangatlah panjang.  Ini BARU PE – MA – NA – SAN!!  Pemanasan yang membuat saya mendidih.
Ya, pemanasan yang dilakukan Mr. Lala pada kami (saya dan PBI – A) di Academic Writing ini benar – benar membuat saya mendidih. PANAS! Lelah.  Frustasi.  Stuck.  Galau, serta letih.  Rasa – rasa yang sangat menyiksa dan cukup membuat saya (hampir) gila.  Saya sudah merasakan perasaan yang menyakitkan pada awal musim, oh God! I do not know what happen in the main season.  Yang pasti rintangan yang akan saya hadapi akan lebih “GILA” dan “MENYAKITKAN” tapi (sedikit) “MENGASYIKAN”.  Yang jelas saya harus berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan pemanasan agar di babak – babak selanjutnya saya sudah siap dan tidak mengalami “cidera”.
Sayangnya saya sudah melakukan gerakan yang salah.  Sehingga saya “terkilir” dalam membuat critical review pertama.  Masakan yang saya buat sepertinya masih kurang dan masih jauh dari ekspektasi sang Chef Master a.k.a Mr. Lala Bumela.  Masakan saya sepertinya masih kurang bumbu dan bahan.  Bahan utama yang seharusnya saya masak, malah tertinggal. 
Tulisan saya itu tidak lebih hanya kumpulan kata saja, dan rasanya pun masih hambar.  Critical review pertama ini berbicara tentang classroom discourse dan religion harmony dan artikel yang dikritik adalah artikel Classroom Discourse to Foster Religious Harmony karya Chaedar Alwasilah.  Bahan utama yang harusnya diolah adalah
Classroom Discourse + Religious Harmony
Sedangkan saya malah bahan utama tidak “berasa” karena tertutup oleh bahan tambahan.
Jadi langkah awal yang seharusnya saya ambil adalah classroom discourse.  Dalam classroom discourse ternyata ada banyak sekali yang harus dibahas.  Seperti kata Mr. Lala bahwa classroom discourse adalah “situs suci” karena tidak sembarangan orang yang bisa menjamah wilayah tersebut.
Classroom discourse atau wacana kelas adalah suatu hal yang melibatkan teks dan konteks, di dalamnya mengandung pola interaksi yang kompleks dengan melibatkan latar belakang siswa yang berbeda satu sama lain dan komunikasi yang variatif namun memiliki tujuan yang sama yaitu, mencapai tiga aspek yang harus dikembangkan di sekolah (kognitif, afektif dan psikomotorik).  Classroom discourse sangatlah penting, itulah mengapa Betsy Rymes membuat sebuah buku tentang analisis wacana kelas.  Bukunya berjudul Classroom Discourse Analysis : A tool for Critical Reflection. 
Dalam bukunya Rymes memaparkan tujuannya menulis buku tersebut.  Tujuannya adalh untuk memberikan atau menyediakan kepada guru – guru alat untuk menganalisis pembuicaraan mereka di kelas.  Mengapa harus buang – buang waktu menganalisis wacana kelas? Inilah alas an Rymes ( 2008 : 5) :
1.      Wawasan yang diperoleh dari analisis wacana kelas telah meningkatkan saling mengerti antara guru dan siswa.
2.      Dengan menganalisis wacana kelas sendiri, guru telah mampu memahami perbedaan local dalam kelasatau generalisasi budaya lainnya.
3.      Ketika para guru mengannalisis wacana kelas merekka sendiri, prestasi akademik akan meningkat, dan
4.      Proses melakukan analisis wacana kelas dapat dengan sendirinya menumbuhkan intrinsik dan cinta seumur hidup untuk praktek mengajar dan umum meneguhkan potensial hidupnya.
Manfaat pertama mempelajari analisis wacana kelas adalah untuk memahami secara umum perbedaan komunikasi antara kelompok – kelompok social.  Manfaat kedua adalah setelah dilengkapi dengan metode analisis wacana, situasi terbalik guru adalah untuk mempelajari wacana local dan selalu merubah pola khusus untuk kelas mereka sendiri (Rymes : 2008 : 8).
Seperti yang sudah saya paparkan di atas bahwa classroom discourse terdiri dari teks dan conteks, Rymes juga berpendapat bahwa How a word is being used depends on the context.  However, the “context” for classroom discourse analysis also extends
beyond the classroom, and within different components of classroom talk, to include any
context that affects what is said and how it is interpreted in the classroom.  Yang dimaksud Betsy adalah bahwa sebuah kata bisa berfungsi itu tergantung pada konteks nya.  Bagaimanapun conteks dalam analisis wacana kelas harus lebih luas dari kelas dan dalam komponen yang berbeda dari pembicaraan kelas.  Termasuk konteks yang mempengaruhi apa yang dibicarakan dan bagaimana ditafsirkan di dalam kelas.
Classroom discourse memang sesuatu hal yang kompleks karena melibatkan latar belakang siswa yang berbeda dan komunikasi yang variatif.  Ya latar belakang,  sangan tidak mungkin jika dalam satu kelas ada siswa yang memiliki latar belakang yang sama.  Pasti semuanya berbeda.  Baik itu perbedaan budaya, bahasa, lingkungan keluarga dan bahkan pendidikan.  Karakter mereka tentu berbeda juga.  Ini lah yang membuat wavana kelas menjadi rumit.  Dengan latar belakang yang berbeda siswa dituntut untuk bisa menghargai latar belakang setiap siswa, dengan tidak menyinggung perasaan siswa yang lainnya.
Wacana kelas adalah pembahasan bahasa yang digunakan di dalam kelas.  Kegiatan pembelajaran di dalam kelas adalah membelajarkan siswa.  Membelajarkan berarti meningkatkan kemampuan siswa untuk memproses, menemukan, dan menggunakan informasi bagi pengembangan diri siswa dalam konteks lingkungannya.  Berdasarkan pemahaman tersebut pelibat (guru dan siswa) dalam kegiatan belajar di kelas memerlukan kemampuan saling bertukar pengalaman.
Untuk bertukar pengalaman tentu saja siswa dan guru ataupun siswa dengan siswa harus berdiskusi atau berkomunikasi.  Namun di dalam kelas pasti terdapat perbedaan – perbedaan dalam berkomunikasi (komunikasi variatif).  Inilah hal lain yang membuat classroom discourse menjadi suatu hal yang kompleks.  Classroom discourse memiliki peranan penting dalam hal ini  karena dengan adanya classroom discourse siswa akan mengerti dan memahami cara bertutur yang sopan dan tidak menyakiti perasaan siswa ataupun orang lalin.
Selain itu ada perbedaan lain yang membuat classroom discourse menjadi suatu hal yang kompleks, yaitu goals. Ya benar setiap siswa pasti memiliki goal atau tujuan masing – masing.  Misalkan saja anak SD jika ditanya kemana akan melanjutkan sekolah ke jenjang selanjutnya pasti aka nada jawaban yang bermacam – macam.  Ada yang melanjutkan ke SMP, MTs atau bahkan tidak melanjutkan sama sekali. 
Banyak sekali perbedaan – perbedaan yang dimilikisiswa dan guru.  Di sinilah kecakapan guru diuji.  Guru harus mampu menjadikan perbedaan – perbedaan tersebut menyatu dan saling melengkapi sehingga terhindar dari perdebatan atau permusuhan antar siswa. Karena By targeting specific differences in discourse patterns, this research into cross-cultural
communication in classroom contexts has been able to enhance teachers and students’
mutual understanding—reconceptualizing deficits as differences, and differences as
resources for learning (Rymes : 2008 :7).  Maksudnya seorang guru harus mampu menjadikan perbedaan sebagai sumber daya untuk belajar sehingga akan muncul nilai – nilai atau values yang bisa dijadikan bahan ajar untuk peserta didik.  Ketika seorang guru mampu menghidupkan wacana kelas maka akan tumbuhlah benih – benih toleransi dan rasa saling menghargai satu sama lain sehingga terhindar dari pertengkaran.
Ternyata classroom discourse benar benar suatu hal yang kompleks.  Saya salah mengira tentang classroom discourse sehingga saya tidak bisa membuat critical review pertama saya dengan baik.  Classroom discourse mampu menumbuhkan kerukunan beragama, jika sejak dini pada usia SD anak – anak sudah diberini wacana kelas yang apik.  Namun tentu saja wacana kelas akan berjalan dengan apik jika didukung oleh karakter siswa yang sudah terbangun rapih didalamnya seperti yang sudah saya jelaskan pada tulisan saya yang lalu (Classroom Discourse Mampukah?).
Ya dengan hidupnya wacana kelas dan karakter yang sudah terbangung rapih pada setiap siswa maka akan terupuklah rasa kerukunan beragama sejak dini.  Sehingga ke depannya sudah tidak ada lagi pertikaian antar agama.  Mari kita hiidupkan wacana kelas seapik mungkin sehingga akan tercipta Indonesia yang damai dan makmur.
Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment