4th Class Review : MENULIS, BER-OTAK INTELEKTUAL


4th Class Review
MENULIS, BER-OTAK INTELEKTUAL
(by. Endah Jubaedah)
Harmoni bangsa yang plural menjadikan bangsa Indonesia berada di barisan pertama untuk “meneriakkan” kemakmuran dalam perbedaan (harusnya), negeri ini menjunjung  kebersatuan bangsa yang kokoh dan keberagaman tanpa membedakan (katanya).  Namun ketegasan itu seolah menjadi ilusi ketika krisis multi-dimensi muncul merusak moral dan budaya bangsa, mengobrak-abrik pancasila sebagai sasaran utama; sumpah pemuda, kemajemukan, rasa, karsa, dan karya pun mulai dilucuti oleh “oknum-oknum” yang sengaja ingin menggelapkan bangsa.  Muncullah para otak intelektual,  bukan yang ber-otak intelektual.
Otak intelektual adalah seseorang yang berpengetahuan intelek dan ter-update, namun daya pikirnya tidak diaplikasikan dengan baik dan benar; pandai korupsi misalnya.  Beda halnya dengan ber-otak intelektual yang memang memiliki ilmu pengetahuan dan kemampuan dengan aplikasinya yang sesuai, menulis pun harus demikian: ber-otak intelektual.  Tahukah? Menulis adalah salah satu kegiatan ber-intelek yang mustahil “ga ada gunanya”, mengembangkan ilmu, mentransfer ilmu, menambah ilmu yang menjadi suntikan menyehatkan bagi otak yang terlalu banyak menyimpan informasi kurang penting dan tidak berguna.  Selain itu pengetahuan yang pas dan melimpah membuat kita tidak akan tersesat ketika menulis, kehilangan tujuan dan makna yang krusial dalam menulis.
Jalan yang kurang tepat atau bahkan tidak tepat pun aku alami sendiri ketika menulis critical review, selain tak memenuhi ekspektasi sebagai sebuah tulisan critical review juga beberapa ketidaktepatan aku tulis disana.  Berikut beberapa diantaranya, pertama tidak terfokusnya pembahasan tentang “classroom discourse” yang dihubungkan dengan “religious humany”.  Pembahasan (religious humany) toleransi dirasa cukup dan mewakili, namun terlalu mengerucut dalam pembahasan kerukunan beragama yang terlalu banyak diutarakan dan dilansirkan.  Nah tentang classroom discourse justru nampak tak hidup dan membayang, kurang materi pembahasan.  Sehingga untuk menghubungkan keduanya agak sulit dikarenakan ketidakseimbangan komposisis satu sama lain.
Kedua, mengawali tulisan dengan pembahasan yang kurang mewakili isi tulisan.  Bapak Lala mengaku “cape” membaca tulisan kami karena terlalu bertele-tele di awal, menempatkan topik utama dengan inti tulisan yang itu-itu saja dan mungkin penulis yang tersesat itu salah satunya aku.  Mungkin tulisanku terlalu meninggi tentang urusan keagamaan jadi terlalu mendominasi inti tulisan, atau salah memasuki gerbang sehingga tak sampai tujuan.
Ketiga, penambahan referensi yang tak matang dan setengah-setengah menyebabkan kepincangan yang kurang; berkaitan dengan kualitas tulisan.  Mungkin karena nutrisi membacaku belum cukup dan pengolahan informasi yang kurang bagus menyebabkan tulisan “agak ga nyambung” dan sedikit rancu ketika dibaca.  Bahkan ada beberapa informasi yang mungkin saja tidak perlu tecantum malah alu jadikan bahan bacaan, penumbangan kata tanpa menimbulkan makna yang berbeda memang terkadang agak sulit.
Ada segudang ketidaktepan lagi mungkin yang aku lakukan di critical review yang pertama beberapa hari yang lalu, namun tentu kesalahan adalah jalan yang akan memnuat jalan besar untuk senuah kesuksesan. Aamiin Ya Allah.  Tentu bukan tanpa usaha 2500 kata pertama itu, berbagai langkah ditempuh untuk dapat memenuhi tuntutan mata kuliah dan tanggung jawab mental terhadap diri sendiri yang sesungguhnya begitu penting.  Namun bukanlah orang sukses jika ia tak merasakan kegagalan yang akan membuatnya menjadi lebih dewasa lebih sukses, kesalahan-kesalahanku ini akan aku jadikan buku referensi agar lebih baik lagi dalam menulis yang berkualitas.
Namun seperti yang telah disampaikan dalam artikel yang pernah ku tulis yakni menulis tak bisa asal-asalan nulis atau asal bisa baca tulisan, kita harus segera menyudahi kebiasaan yang seyogyanya tidak benar.  Isi dari tulisan adalah bahan bacaan yang akan dibaca oleh oleh para pembaca sebagai informasi, maka dari itu mengapa sebuah tulisan harus bermakna dan jelas komposisinya.  Apalagi menjadi seorang kritikus yang menuliskan tanggapan lewat tulisan sebagai pembaca, haruslah mengandung pernyataan yang kuat dan meyakinkan (logis) sehingga mampu dipahami oleh pembaca; sekalipun dengan pemahaman yang berbeda dan akan ditanggapi dengan beragam.

Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment