Pembenahan
Pendidikan Melalui Classroom Discourse
(Author:
Aneu Fuji Lestarie)
Berkariblah
dalam sepi, itulah kunci utama yang disuguhkan Mr. Lala pada pertemuan keempat,
24 Februari 2014 melalui karya Budi Hermawan.
Memang, sungguh indah ketika kita berkarib dalam sepi, karena dalam sepi
aku merasakan ketenangan dan dapat mendengar jernihnya suara hatiku. Dalam sepi aku dapat bercengkrama dengan
helaian kertas dan pena. Dalam sepi juga
aku dapat merenungi kesalahan-kesalahanku.
Ya,
kesalahanku ketika memulai critical review pertamaku dengan melintasi arah yang
berbeda. Pemahamanku keliru, aku
tersesat dan aku salah arah. Dalam
critical review, aku lebih membahas tentang sistem pendidikan yang harus
terstrukutur dan menjunjung tinggi nilai-nilai pancasila serta religious
harmony. Sedangkan seharusnya titik
utama pada critical review ialah classroom discourse. Rasanya sia-sia aku menulis 2500 kata tapi
tidak tertuju pada arah yang dimaksud.
Seperti halnya aku ingin pergi ke Bandung tapi aku malah membeli tiket
tujuan Sumedang, itu hanya menghabiskan tenaga dan pikiranku saja.
Aku
tak ingin mengulangi itu lagi, karena sungguh itu merugikan dan menyakitkan
bagiku. Biarlah hal itu aku jadikan
guruku dan akupun akan berusaha untuk tidak memasuki arah yang salah lagi. Well, untuk memperbaiki kesalahku, aku akan
membahas kembali tentang classroom discourse dan religious harmony.
Sebuah
sistem pendidikan liberal harus mempunyai program-program seperti pendidikan
berbasis karekter, pendidikan berbasis gender, pendidikan berbasis hak asasi
manusia, pendidikan berbasis kearifan local, pendidikan berbasis perdamaian dan
pendidikan berbasis multikultural. Untuk
mencapai itu semua maka perlu adanya classroom discourse dalam proses
pembelajaran.
Classroom
discourse merupakan gabungan dari notion penting yaitu teks dan konteks. Dalam segi konteks, classroom discourse
disebut sebagai tempat suci yang mana tidak bisa sembarang orang yang masuk,
perlu adanya proses terlebih dahulu.
Menurut Betsy Rymes ada 4 alasan perlu
adanya classroom discourse, antara lain:
1.
Insights gained
from classroom discourse analysis have enhanced mutual understanding between
teachers and students.
Dengan adanya classroom discourse maka
akan meningkatkan hubungan antara guru dan siswa yaitu akan menjadi lebih
saling mengerti dan memahami. Karena
pada dasarnya setiap masing-masing individu memiliki latar belakang yang
berbeda, seperti dari segi pendidikan, bahasa (cara penyampaian/berbicara) dan
ekonomi, sehingga memungkinkan menimbulkan sebuah permasalahan yang disebabkan
oleh perbedaan tersebut. Maka dari itu,
classroom discourse bersifat complicated.
2.
By analyzing
classroom discourse themselves, teachers have been able to understand local
differences in classroom talk—going beyond stereotypes or other cultural generalizations.
Guru sebagai tenaga profesional di bidang
pendidikan, disamping memahami hal-hal yang bersifat filosofis dan konseptual, juga
harus mengetahui dan melaksanakan hal-hal yang bersifat teknis, terutama
kegiatan mengelola dan melaksanakan interaksi belajar mengajar untu menghindari
adanya sikap stereotip. Dalam proses
pendidikan sering kita jumpai kegagalan-kegagalan, hal ini biasanya dikarenakan
lemahnya sistem komunikasi.
Menurut
Nana Sudjana ada tiga pola komunikasi yang dapat digunakan untuk mengembangkan
interaksi dinamis antara guru dengan siswa yaitu:
1)
Komunikasi
sebagai aksi atau komunikasi satu arah. Dalam
komunikasi ini guru berperan sebagai pemberi aksi dan siswa sebagai penerima
aksi.Guru aktif dan siswa pasif. Ceramah
pada dasarnya adalah komunikasi satu arah, atau komunikasi sebagai aksi. Komunikasi jenis ini kurang banyak
menghidupkan kegiatan siswa belajar.
2)
Komunikasi
sebagai interaksi atau komunikasi dua arah.
Pada komunikasi ini guru dan siswa dapat berperansama yaitu pemberi aksi
dan penerima aksi. Disini, sudah
terlihat hubungan dua arah, tetapi terbatas antara guru dan pelajar secara indivudual. Antara pelajar dan pelajar tidak ada hubungan. Pelajar tidak dapat berdiskusi dangan teman
atau bertanya sesama temannya. Keduanya
dapat saling memberi dan menerima. Komunikasi
ini lebih baik dari pada yang pertama, sebab kegiatan guru dan kegiatan siswa
relatif sama.
3)
Komunikasi
banyak arah atau komunikasi sebagai transaksi.
Komunikasi ini tidak hanya melibatkan interaksi yang dinamis antara
gurudenan siswa tetapi juga melibatkan interaksi yang dinamis antara siswa yang
satu dengan yang lainnya. Proses belajar
mengajar dengan pola komunikasi ini mengarah kepada proses pengajaran yang
mengembangkan kegiatan siswa yang optimal, sehingga menumbuhkan siswa belajar
aktif. Diskusi dan simulasi merupakan
strategi yang dapat mengembangkan komunikasi ini.
3.
When teachers
analyze discourse in their own classrooms, academic achievement improves.
Setelah proses komunikasi dalam classroom
discourse berhasil, maka akan meningkatkan prestasi akademik siswa dan mencapai
goals-driven dimana siswa memiliki keseimbangan antara kognitif, afektif
dan psikomotorik.
4.
The process of
doing classroom discourse analysis can itself foster an intrinsic and lifelong
love for the practice of teaching and its general life-affirming potential.
Dengan adanya classroom discourse juga
diharapkan dapat membangun karakter siswa yang memiliki nilai-nilai (values)
yang tinggi untuk kelangsungan hidupnya, sehingga dapat mempraktekan hal-hal
positif dalam kehidupan sehari-harinya.
Ketika kita sudah menerapkan classroom
discourse, maka akan meningkatkan kerukunan dalam beragama. Tidak dipungkiri jika di berbagai tempat dan
setiap waktu sering terjadi kecenderungan sebagian pemeluk agama merasa “tidak
cocok” dengan umat beragama lainnya, hal tersebut terbawa ke dalam arus
pendidikan yang mana sering kali terjadi konflik permasalahan agama antar
siswa.
Jikalau agama berperan dalam menjaga
kebersamaan dan keselamatan, maka umat bergama harus melakukan komunikasi yang
aktif dan produktif agar keberadaan mereka menjadi cagar bagi keharmonisan kehidupan. Disinilah peran penting adanya classroom
discourse yaitu menciptakan keharmonisan dalam kehidupan dan pembangunan
pendidikan. Dengan semangat dan proses
ini maka dasar-dasar pengertian kerukunan dan keharmonisan beragama dapat
tercapai.
Namun, ketiak “religious harmony”
terjalin, kita sebagai orang Islam harus waspada akan adanya pemurtadan dari
agama lain. Contohnya saja modus
pemurtadan melalui pernikahan kerap terjadi, seperti kasus kekerasan yang
dilakukan seorang murtadin yng bernama Ayung di Banten yang memaksa istrinya
masuk agama kristen dengan cara kekerasan.
Selain itu, ada juga pemurtadan pada
sistem Perguruan Tinggi Islam di Indonesia.
Mereka menanamkan racun-racun yang disuntikkan untuk meragukan Al-quran
lewat metode hermeunetik yang diadopsi dari kemusyrikan Yunani kuno kemudian
diambil oleh Yahdi yang kemudian diusung ke IAIN/UIN dimana-mana untuk emngkaji
Al-quran. Akibatnya, untuk meluluskan
mahasiswanya harus dengan menghujat kemurnian Al-quran.
Jadi, kita harus benar-benar waspada
akan hal tersebut, kita harus memahami arti sebuah kebenaran. Dengan adanya classroom discourse itu dapat
mencegah hal-hal seperti itu, karena tertanam dalam diri kita karakter yang
bersifat positif dan memiliki pemikiran yang kritis sehingga dapat menghindari
penyimpangan-penyimpangan pemahaman.