4th Class review: Sulitnya Menaklukan Engkau!



4th Class review
Sulitnya Menaklukan Engkau!
(By: Fitria Dewi)
Menulis bukanlah sesuatu yang mudah, sepertinnya pernyataan itu sangat benar sekali adanya.  Menulis bukanlah sesuatu yang mudah, jika kita tidak berusaha melatih dirikta agar pandai untuk menulis.   Selain itu, dalam menulis kita juga hurus pandai-pandai menuangkan ide-ide yang kita miliki dan tidak lupa pula, kita harus pandai-pandai melihat akan kearah manakah tulisan kta itu dilabuhkan.

Jangan sampai ketika kita menulis, kita merasa kebingungan dengan arah yang akan kita tuju dengan tulisan kita tersebut, bisa-bisa kita akan salah melabuhkannya.  Apalagi ketika kita sedang mengkritik sebuah teks, kita harus benar-benar mengerti maksud dan tujuan dari teks tersebut.  Seperti yang terjadi pada saya dan teman-teman saat mengkritik sebuah teks karya Prof. A. Alwasilah minggu lalu.
Pada minggu lalu, ketika saya di suruh untuk sebuah teks mengkritik sebuah teks karya bapak Prof. A. Chaedar Alwasilah yang berjudul “Wacana Kelas Untuk Memupuk Kerukunan Beragama”, seharusnya penjelasan yang saya paparkan itu mengenai Classroom Discourse, tapi saya malah lebih banyak membahas mengenai sistem pendidikan di Indonesia.  Sebenarnya materi yang saya paparkan dari tugas critical review itu, tidak melenceng jauh sekali karena dalam pemaparan tersebut saya membahas mengenai bagaimana cara mengajarkan toleransi beragama dilingkungan sekolah.
Meskipun begitu, saya masih salah untuk memaparkannya karena saya terlalu banyak dalam membahas pendidikan di Indonesia, saya sampai lupa sebenarnya ada hal yang harus saya utamakan dalam pembahasan tersebut yaitu mengenai Classroom Discourse.  Kemudian sebenarnya, dalam kritikan saya tersebut juga saya massih kurang memasukan pendapat asli saya mengenai teks tersebut, yang saya tuliskan itu masih banyak yang bersifat retelling dari teks aslinya dan tentunya saya masih sangat kurang sekali membahas mengenai classrom discoursenya.
Dalam pertemuan di minggu kemarin, Mr. Lala menjelaskan kembali hal-hal apa sajakah yang sebenarnya harus kta bahas dalam tulisan kita tersebut.  Beliau meenjelaskan bahwa hal pertama yang harus kita bahas itu mengenai classrom discourse, kemudian kita sambungkan dengan religious harmony dan setelah itu kita bisa membahas mengenai bagaimana cara mengajarkan toleransi dalam beragama pada semua siswa.
Pembahasan pertama mengenai classroom discourse.  Classroom discourse itu bersifat formal dan sangat complicated,  dan itu bisa dilaksanakan melalui interaksi (tetapi bersifat complex).  Dalam interaksi pada setiap masing-masing individunya, ada beberapa hal yang bisa dilakukan seperti contohnya:
1.    Background
·      Language
·      Education
·      Econmic
·      Social culture
·      Habit
2.    Communicative strategi
3.    Goal-driven
·      Afektif
·      Psikomotor
·      Kognitif
4.    Values
·      Dicipline
·      Ideologies
Dalam values juga kita bisa menemukan meaning, kemudian dari meaning itu kita bisa making practice.
Dari classsrom discourse, kita mencoba cara untuk menghubungkan dengan religious harmony, yang sebenarnya pada dasarnya sikap toleransi dalam beragama itu dimulai dengan religious harmony.
Setiap toleransi dalam beragama itu terbentuk dari religious harmony, dan religious harmony itu tercipta dari pembentukan karakter dari masing-masing siswa tersebut.  Ketiganya itu tidak bisa dipisahkan karena saling berhubungan satu sama lain, karena dari classroom discourse yang kita laksanakan melalui berbicara, akan tercipta toleranssi dalam religious harmony.
Sebenarnya sebelum membahas mengenai classroom discourse, Mr. Lala terlebih dahulu membahas materi yang ada di power pointnya yang berjudul “The First Critical review Evaluated”.
Dalam salah satu slidenya ada yang membuat kami tertarik sekali, yaitu ungkapan dari bapak Budi Hermawan yang terakhir itu beliau mengungkapkan “Berkariblah dalam sepi karena dalam sepi berlalu lalang inspirasi yang tidak kita mengerti, atau tak dapat kita tangkapi ketika kita sibuk berjalan dalam hingar bingar yang pekak.  Barkariblah dalam sepi sebab dalam sepi suara hati lebih nyaring terdengar jernih”.
Berkariblah dengan sepi, sepertinya kata-kata itulah yang paling cocok dalam setiap kali kita menulis, karena ada dasarnya kebanyakan ide-ide itu muncul pada malam hari dan di waktu yang sangat sepi itu.  pada suasana sepi, ide-ide baru itu biasanya lebih cepat didapatkan dalam suasana yang sepi, dibandingkan dengan suasana ramai. 
Balik lagi dengan topik pembahasan yaitu mengenai classroom discourse dan religious harmony.  Toleransi dalam beragama itu sangat penting sekali karena di Indonesia itu sendiri, memiliki berbagai macam agama seperti agama Islam, kristen, budha, hindu, dan katolik.  Kemarin juga Mr. Lala menceritakan bahwa ada seorang mantan Biarawati yang akhirnya biarawati itu memutuskan untuk menjadi muallaf setelah mempelajari Islam, yaitu Irene Handono.
Menurut informasi yang saya dapatkan dari internet, bahwa Irene Handono itu menjadi seorang Biarawati itu hanya dalam kurun waktu satu tahun (tahun 1974-1975).  Setelah memutuskan untuk keluar dari Biarawati tersebut, Irene Handono menikah dan beberapa tahun kemudian Ia memeutuskan untuk menjadi seorang muallaf (tahun 1983).  Setelah memutuskan untuk menjadi muallaf, tidak lama kemudian menjadi seorang da’i atau penceramah.  Tetapi sepertinya ada banyak pro dan kontra pada kasus ini, seperti yang saya dapatkan dari sumber. (Komunikatolik. Wordpress. Com/2013/06/28/menanggapi-kisah-inspiratif-hj-Irene-Handono/).
Sebenarnya terlepas dari pro dan kontra yang terjadi, semoga Irene Handono bisa menemukan kenyamanan dengan agama yang sekarang dan bisa mematuhi perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.  Semoga kisah inspiratif dari Irene Handono itu, bisa menjadi inspirasi dan menyadari bahwa agama Islam agama yang indah, dan kita tidak boleh merusaknya.
Jadi pada inti pembahasan kali ini mengenai classsroom discourse dan religious harmony, yang kita kritisi dari teks milik Prof. A. Chaedar Alwasilah mengenai “Wacana Kelass Untuk Memupuk Toleransi Beragama”.  Meskpun dalam hal itu kta massih salah masuk gerbong, dan tidak sesuai dengan yang seharusnya, tetapi kita bisa belajar dari pengalaman jangan sampai kita salah masuk gerbong lagi.  Maka dari itu, sebelum kita mengkritisi sebuah teks, kita harus benar-benar paham terlebih dahulu apa maksud dan tujuan dari teks tersebut.
Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment