Class Review 4: Terbanglah Bersama Menuju Mimpi

Terbanglah Bersama Menuju Mimpi
Dengan praktek, sedikit demi sedikit kemampuan untuk menulis kita naik seiring dengan jalannya waktu yang tak bisa dihentikan walau hanya 1 detik saja.
-- Hadi Wibowo
Mengukir sebuah cerita di atas batu merupakan hal yang sulit. Dibutuhkan kesungguhan dan keinginan yang kuat untuk melakukannya. Begitu pula untuk mengerjakan tugas yang berat harus menggunakan tekad dan dorongan yang tiada henti untuk dapat menyelesaikannya dengan tuntas.

Tugas di mata kuliah Writing and Composition 4 menjadi tugas yang berat di antara tugas-tugas yang lainnya. Namun berkat tugas inilah tekad dan kemampuan kita dimasak hingga matang. Dengan praktek, sedikit demi sedikit kemampuan untuk menulis kita naik seiring dengan jalannya waktu yang tak bisa dihentikan walau hanya 1 detik saja. Critical Review 1 yang menjadi awal pertarungan pena pun menjadi ajang unjuk kebolehan menulis kita. Pertumpahan tinta dan tumpukan draft gagal pun berserakan di mana-mana, menunjukkan betapa mengerikannya medan perang Writing and Composition 4.
Pertemuan ke empat ini membahasa tentang isi Critical Review 1. Ternyata yang harus dibeberkan di Critical Review 1 ini tentang Classroom Discourse dan Religious Harmony. Sontak saya pun kaget karena pembahasan di Critical Review saya hanya tentang sistem pendidikan di Indonesia.
Critical Review 1 ini menggunakan tulisan Prof. A. Chaedar Al Wasilah tentang Clasroom Discourse dan Religious Harmony. Sangat banyak teman-teman saya yang tersesat dan membahas tema yang lain, termasuk saya sendiri. Ini memang kesalahan, seharusnya sebagai Qualified Reader kita bisa menangkap apa yang diungkapkan oleh Prof. A. Chaedar Al Wasilah dengan cermat, tepat dan tanggap. Lalu sebenarnya apa yang dimaksud dengan Classroom Discourse dan apa hubungannya dengan Religious Harmony?
Classroom Discourse adalah wadah di mana hanya orang-orang tertentu saja yang bisa memasukinya. Pada Classroom Discourse anak SD, kita sebagai mahasiswa mustahil untuk ikut berkelut di dalamnya karena sudah terlalu kaplak-kaplak (berbeda level), baik dalam tigkat pengetahuan dan kemampuan. Namun jika skedar promosi saja tidak apa-apa. Hanya anak SD yang merupakan bagian dari Classroom Discourse itu yang boleh masuk, karena merak telah mengikuti proses-proses yang ada sebelumnya, seperti kenaikan kelas, renang, piknik kelas dan sebagainya. Begitu juga anak SD kelas 5 tidak boleh masuk ke kelas 1, karena selain kedawuken (ketuaan) tapi juga sudah melewati jenang tersebut sebelumnya.
Classroom discourse menurut Besty Rymes (2000:13) didefinisikan sebagai study bagaiamana bahasa digunakan dan dipengaruhi oleh konteksnya. Di dalam klas konteks itu meliputi pembicaraan dalam pembelajaran. Definisi yang paling sederhana adalah “bahasa” (kemampuan untuk di kontekstualisasikan yang akan dapat menjadi fitur).Konteks dapat dibatasi oleh batas-batas yang sesuai fisik bahasa di rumah mungkin berbeda dari bahasa yang sesuai di sekolah , tetapi konteks juga dapat dibatasi oleh batas-batas fisik tidak, tetapi oleh batas-batas yang sesuai wacana bahasa dalam pelajaran mungkin berbeda dari bahasa yang sesuai setelah pelajaran berakhir.
Sedangkan arti dari Classroomnya itu sendiri adalah konteks yang paling utama dan paling jelas dalam sebuah wacana. Arti konteks disini diartikan menulis luas dari pembicaraan kelas, untuk mencakup konteks yang mempebgaruhi apa yang dikatakan dan bagaimana hal itu di tafsirkan dalam kelas. Meskipun kita tahu banyak diskusi-diskusi di kelas, akan tetapi maksud dari diskusi ini berbeda dengan diskusi discourse. Meliputi berbagai kemungkinan yang dapat diterima denag produktif, melalui pengaturan keluarga atau kelompok (group). Misalnya siswa disuruh untuk speaking yang panjang, menceritakan kisah-kisah imajenasi dan lain sebagainya.
Dalam bukunya Betsy Rymes (2008) lebih mengutamakan pada tekananan alisis dalam classroom discourse. Tujuan dia menulis buku tersebut hanya untuk memberikan guru-guru alat untuk menganalisa pembicaraan mereka di dalam kelas. Betsy juga mempuyai alas an untuk menganalisa hal tersebut. Antara lain adalah wawasan yang di peroleh oleh wacana didalam kelas itu telah menigkatkan kualitas pemahaman antara guru dan siswanya. Dengan menganalisa wacana kelas, guru harus mampu memahami perbedaan local di dalam kelas berbicara melampaui stereotip atau generalisasi budaya lainnya.
Muriel Savill-Troike menunjukan penelitian sosial linguistik, terutama untuk guru kelas, yaitu “Metide analisis itu lebih berlaku daripada yang memproduksinya” (1996. 372). Hal ini dikaitkan dengan ketelitian dalam mengajar. Menurut Besty Rymes (2008 : 10) bahwa hati-hatilah dalam interaksi kelas serta dalam penataan ulang pembicaraan kita yang sesuai, karena agar lebih produktif dan inklusif serta akan memberikan konstribusi untuk keberhasilan siswa. Nasional sertifikasi dewan guru (guru profesional) juga mengaitkan pola wacana pemahaman di kelas dari hasil prestasi siswa yang yang sangat tinggi.
Analisis discourse memeriksa tiga dimensi yang selalu ada dari bahasa yang digunakan, yaitu : 1) kelembagaan dan konteks sosial. Norma yang tampaknya mendikte jenis, hal yang kita dapat lakukan dengan mengatakn dan menerapkannya di kelas, termausuk menanggapi orang lain; 2) interaksi itu sendiri; 3) perorangan, lembaga yang mempengaruhi bagaimana struktur dikemas, digunakan dan diambil dengan cara-cara yang baru yang berpotensi kreatif dalam setiap interaksi konteks.
Melihat ketiga dimensi tersbut, ternyata memberikan set pengantar pedoman bagi guru untuk segera mulai merekam dan melihat classroom discourse mereka. Menganalisis tiga dimensi tersebut dapat memperkenalkan konvensi transkripsi dan menyediakan contoh bagaimana alat analisis interaksi kelas dapat diterapkan untuk memahami konteks sosial, konteks interaksional, dan peran setiap instansi. Rymes (2008: 19).
Dapat kita tarik kesimpulan di sini bahwa dengan adanya Classroom discourse maka pola pemikiran siswa dan guru dapat berkembang dengan pesat. Sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dan keharmonisan antar siswa dapat terjalin. Dengan adanya Classroom discourse diharapkan bangsa ini dapat terbebas dari konflik religious harmony.
Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment