5th Class Review: Masih dalam dunia “Literasi”



5th Class Review
Masih dalam dunia “Literasi”
(Author: Fitria Dewi)

Literasi memang sepertinya tidak dapat dipisahkan dari kegiatan kita ini, dua minggu berturut-turut kita di tuntut untuk bisa membuat critical review yang juga masih berkaitan dengan materi mengenai literasi, selama dua minggu itu pula aktifitas ‘begadang’ pun tak pernah absen dari kita setiap malamnya.  Dalam membuat critical review kemarin kita masih banyak mengalami kesulitan, itu mungkin di karenakan pemahaman dan pengetahuan yang kita miliki itu masih sangat kurang sekali.  Tetapi untuk satu minggu kedepan, Mr. Lala tidak memberikan tugas critical review pada kami.  Satu minggu bukanlah waktu yang lama tetapi setidaknya kami bisa merasa sedikit lega dan bisa mempersiapkan persiapan yang cukup matang untuk tugas-tugas kami selanjutnya.

Pada pertemuan kelima tanggal 3 februari 2014 minggu kemarin kita membahas mengenai hal-hal apa saja yang seharusnya ada dalam critical review kamarin, karena tidak dapat dipungkiri bahwa tugas critical review kemarin kita masih banyak melakukan kesalahan. Banyak sekali kesalahan yang kami buat pada tugas critical review minggu kemarin, salah satunya adalah generic structurenya yang masih acak-acakan dan masih belum terlihat apa yang sebenarnya yang akan kita bahas itu.   Sebenarnya pembahasan kita sekarang itu masih mengenai literasi, literasi sangat berpengaruh pada proses pembelajaran kita saat ini.
Tidak dapat dipugkiri bahwa menulis bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan apalagi untuk seseorang yang tidak terbiasa untuk menulis, itu akan membuatnya sangat merasa kesulitan.  Seperti memasak, dalam menulis juga kita membutuhkan bahan-bahan yang kualitasnya baik, tidak asal-asalan dalam memasak dan harus memasukan bumbu yang pas agar masakan kita itu rasanya enak tidak kurang garam atau bahkan kelebihan garam.  Itulah kata-kata yang paling sering diucapkan oleh Mr. Lala.
Key issues in writing in a social interactive model, meaning is created via a unique configuration and interaction of what both reader and writer bring to the text (Nystrand et al. , 1993: 299).  A number of key issues which dominate curent understanding writing (Hyland 2002;2009) yaitu:
1.    Context
2.    Literacy
3.    Culture
4.    Technology
5.    Genre
6.    Identity

1)   Context
Context tidak bisa di pisahkan begitu saja dengan teks dan juga menulis, karena “makna dari sebuah teks tidak terletak di dalam kata yang dituliskan oleh sang penulis dan dikirimkan kepada pembaca atau seseorang. Akan tetapi makna tercipta dari interaksi antara seorang penulis dengan pembaca selama mereka merasakan teks dalam cara-cara yang berbeda, masing-masing menduga maksud/ tujuan dari yang lain”. (Hyland : 2009). Dengan demikian kita bisa melihat bagaimana hubungan antara teks dan konteks yang sebenarnya.
Konteks adalah peserta konstruksi (Van Dijk, 2008: viii).  Kita bukan melihat konteks itu sebgai sekelompok variabel statis yang mengelilingi penggunaan bahasa, kita harus bisa melihatnya di lantik sebagai sosial, interaktif berkelanjutan dan terkait waktu (Duranti dan Goodwin, 1992).  Memiliki harus diakui, bagaimanapun konteks yang jarang dianalisis dalam dirinya sendiri dan biasanya diambil untuk diberikan atau didefinisikan impresionistis.  Setelah semuanya, mengingat semua situasi dimana kita bisa membaca atau menulis, konteks mungkin intuitif dalam meliputi segala sesuatu.
Kemudian selain itu, Cutting (2002: 3) menyatakan bahwa ada tiga aspek utama konteks dalam penafsiran ini:
·      The situational context (Konteks Situasi): what people ‘know about what they can see around them’.
·     The background knowledge context (Latar belakang konteks pengetahuan) : what people ‘know about the world, what they know about aspects of life, and what they know about each other’.
·     The co-textual context (Co-Tekstual konteks) : what people ‘know about what they have been saying’.
Halliday mengembangkan analisis konteks berdasarkan gagasan bahwa teks adalah hasil dari pilihan bahasa penulis dalam tertentukonteks situasi (Malinowski, 1949).  Maksudnya bahasa itu bervariasi sesuai dengan variasi dimana ia digunakan, sehingga jika kita meneliti sebuah teks, kita dapat membuat dugaan tentang bagaimana situasinya. 
Konteks situasi atau mendaftar adalah situasi langsung dimana penggunaan bahasa terjadi dan bahasa bervariasi dalam konteks tersebut bervariasi dengan field, tenor dan mode.  Berikut ini adalah pendapat dari Halliday mengenai konteks:
·      Field: mengacu pada apa yang terjadi, jenis aksi sosial, atau tentang apa yang ada dalam teks (topik bersama dengan bentuk-bentuk yang diharapkan secara sosial dan pola yang biasanya digunakan dalam mengekspresikan itu).
·      Tenor: mengacu pada siapa yang mengambil bagian, peran dan hubungan peserta (status dan kekuasaan mereka, misalnya: yang mempengaruhi keterlibatan, formalitas dan kesopanan).
·      Mode: mengacu pada bahasa apa yang diputar, apa yang peserta harapkan yang bisa dilakukan untuk mereka ( apakah lisan atau tertulis, bagaimana informasi terstruktur dan sebagainya).
Dengan kata lain, bahasa yang digunakan itu harus sesuai dengan situasi dimana kami itu menggunakannya, dan mendaftarkan merupakan upaya untuk mengkarakterisasi konfigurasi menulis (atau pidato) yang membatasi pilihan penulis yang akan membuat dalam suatu situasi (Halliday 1985).  Jadi dari beberapa register mengandung cukup untuk prediksi bagaimana hubungan yang erat antara teks dan konteks itu sendiri.
2)   Literacy
Membaca dan menulis keterampilan sebagai pertimbangan alam, benar-benar tergantung pada pelatihan yang disengaja dan belajar sadar.  Mereka tidak hanya hadir diantara kemampuan alami manusia, tetapi keterampilan khusus yang diperoleh hanya dalam tenaga serius.
Sebagai fakta, keaksaraan dapat terdiri dari berbagi macam kegiatan.  Pada teks cetak, objek membaca dapat mencakupbarometer atau ekspresi wajah.  Dalam hubungan ini ada juga beberapa jenis keterampilan membaca, seseorang dengan kemampuan membaca fasih dapat memiliki keterampilan memadai dalam film membaca, atau menjadi musik buta huruf.
Literasi adalah kegiatan sosial dengan karakter.  Hal ini dapat digambarkan sebagai praktik dimana menarik orang-orang dalam situasi membaca yang berbeda.  Orang-orang memiliki berbagai keterampilan jenis membaca, yang mereka manfaatkan dengan cara yang berbeda dalam berbagai bidang kehidupan.  Namun, segala bentuk keaksaraan mencakup kemampuan untuk mengontrol sistem yang berbeda-beda dari simbol dimana realitas diwakili untuk para pembaca.
Dalam keterampilan membaca dan menulis, lebih dara metodis dan formal interaksi muncul dibandingkan dengan spontan dan interaksi linguistik informal.  Aturan bahasa memperoleh yang lebih penting dari sebelumnya, dan sekaligus transfer dari pribadi ke wilayah yang lebih publik.
Selain itu terdapat pula pandangan sosial keaksaraan dalam proses literasi (:
·      Literasi adalah kegiatan sosial yang jauh lebih baik dijelaskan dalam hal orang praktik keaksaran.
·      Orang-orang memiliki kemahiran yang berbeda yang berhubungan dengan berbagai domain kehidupan.
·      Praktik keaksaraan masyarakat terletak dalam hubungan sosial yang lebih sosial, sehingga perlu untuk menggambarkan pengaturan peristiwa keaksaraan.
·      Praktik keaksaraan berpola oleh lembaga-lembaga sosial dan kekuasaan hubungan dan beberapa kemahiran yang lebih dominan, yang lebih terlihat dan berpengaruh dari pda yang lain.
·      Literasi didasarkan pada sistem simbol sebagai cara untuk mewakili dunia kepada orang lain dan diri kita sendiri.
·      Sikap dan nilai-nilai yang berkaitan dengan panduan keaksaraan tindakan kita untuk komunikasi.
·      Sejarah kehidupan kita mengandung banyak peristiwa keaksaraan, dari mana kita belajar dan siapa yang memberikan kontribusi hingga saat ini.
·      Sebuah peristiwa keaksaraan juga memiliki sejarah sosial yang membantu menciptakan arus praktek.
Kemudian praktek-praktek ini adalah ‘apa yang orang lakukan dengan literasi’ mereka agak abstrak karena mereka hanya mengacu pada ranah membaca dan menulis, tetapi juga nilai-nilai, perasaan dan konsepsi budaya yang memberikan makna pada penggunaan ini (Atreet 1995: 2).  Selain itu, ada juga pendapat dari Hyland (2009: 49) yang juga mengutip dari Barton dan Hamilton (1998: 6) mendefinisikan bahwa praktek literasi sebagai cara umum budaya memanfaatkan bahasa menulis dimana orang menggambar kehidupan mereka.
3)   Culture
Budaya secara umum dipahami sebagai historis ditransmisikan dan jaringan sistematis makna yang memungkinkan kita untuk memahami, mengembangkan, dan mengkomunikasikan pengetahuan dan keyaknan kta tentang dunia (Lantolf 1999). Menurut Hyland (2009: 56) “culture is fluid” atau dengan kata lain budaya adalah cairan.  Beragam dan tidak-determining serta orang-orang yang mungkin menolak atau mangabaikan budaya..  dengan kata lain, pengalaman yang sebelumnya membantuk skema bentukdan akan berdampak pada bagaimana siswa menulis tanggapan mereka terhadap konteks yang di kelas.
Kemudian menurut Halliday juga jika melihat budaya seperti yang diungkapkan dalam konteks yang lebih spesifik dari situasi, sehingga kita menggambarkan situasi sosial sebagai bagian dari budaya yang lebih luas.
4)   Technology
Di zaman yang serba canggih dan modern ini, kita itu harus bisa menggunakan dan memanfaatkan teknology yang ada sekarang untuk menulis, masyarakat yang pintar dan berliterat tidak hanya harus mampu dalam membaca dan menulis saja tetapi juga harus mampu menggunakan teknologi yang sudah serba canggih ini.
Seperti yang dipaparkan oleh Hyland (2009 : 58) tentang pengaruh teknologi elektronik terhadap penulisan yaitu:
·      Mengubah, menciptakan, mengedit, proofreading dan format proses.
·      Mengkombinasikan teks tertulis dengan media visual dan audio lebih mudah.
·      Mendorong menulis non linear dan proses membaca melalui hypertext link.
·      Tantangan pemikran tradisional tentang penulisan, wewenang dan intelektual.
·      Mengizinkan penulis mengakses ke informasi lebih lanjut dan untuk menghubungkan informasi dengan cara yang baru.
·      Mengubah hubungan antara penulis dan pembaca sebagai pembaca bisa menulis kembali.
·      Memperluas berbagai genre dan peluang untuk mencapai penonton yang lebih luas.
·      Blur perbedaan saluran tradisional lisan dan tertulis.
·      Memperkenalkan kemungkinan untuk membangun dan memproyeksikan sosial identitas baru.
5)   Genre
Genre diakui jenis tindakan komunikatif, yang berarti bahwa untuk berpartisifasi sosial, individu harus terbiasa dengan genre yang akan mereka hadapi disana.  Genre sekarang menjadi salah satu konsep yang pailng penting dalam bahasa pendidikan sat ini.
Genre adalah proses sosial karena anggota suatu budaya berinteraksi untuk mencapai mereka, berorientasi tujuan karena mereka telah berevolusi untuk mencapai hal-hal, dan dipentaskan karena makna yang dibuat langkah-langkah dan biasanya membutuhkan penulis lebih dari satu langkah untuk mencapai tujuan mereka.
6)   Identity
Ada berbagai macam cara yang menghubungkan antara tulisan dengan identity, karena pada dasarnya apa yang kita tulis atau yang kita katakan itu sudah sedikit banyak mencerminkan bagaimana diri kita sendiri.
Identitas kita sebagai penulis itu bisa tercerminkan lewat tulisan, maka dari itu kta harus pintar-pintar untuk mengolah kata atau penggunaan bahasa yang akan kita gunakan dalam tulisan tersebut karena tulisan kita adalah cerminan dari diri kta sendiri.
Selain membahas mengenai A number of key issues which dominate curent understanding writing, juga membahas mengenai Intertextuallity.  Menurut Hyland (2002) “writing reflect traces social  of its social uses because it is linked and aligned with other texts upon which it builds and which anticipates”.
Teori intertekstualitas pada awalnya diperkenalkan oleh Julia Kristeva seorang peneliti dari Prancis mengungkapkan dalam (Culler, 1981: 104) bahwa jumlah pengetahuan yang dapat membuat suatu teks sehingga memiliki arti, atau intertekstualitas merupakan hal yang tak bisa dihindari, sebab setiap teks bergantung, menyerap, atau merubah rupa dari teks sebelumnya.
Culler menekankan intertekstualitas memiliki dua fokus kajian (Culler, 1981: 103) yaitu:
·      Penyadaran posisi penting prior texts (teks-teks terdahulu).
·      Intelligiballity (tingkat terpahaminya suatu teks) dan meaning (makna) yang di tentukan oleh kontribusi teks-teks terdahulu terhadap berbagai macam efek signifikasinya. 
Pemikiran Kristeva mengenai intertekstualitas dapat dijabarkan sebagai berikut (adaptasi dari Junus, 1985: 87-88).
·      Kehadiran suatu teks dalam teks yang lain.
·      Selalu adanya petunjuk yang menunjukan hubungan antara suatu teks dengan teks-teks pendahulu
·      Adanya fakta bahwa penulis suatu teks penah membaca teks-teks pemengaruh sehingga nampak jejak.
·      Pembaca suatu teks tidak akan pernah bisa membaca teks secara pisah dengan teks-teks lainnya.  Ketika ia membaca (dalam rangka memahami) suatu teks, ia membacanya berdampingan dengan teks-teks lain.
Tujuan dari kajian interteks itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya (Karya Sastra). Penulisan atau pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahannya, sehingga pemberian makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan itu (Teeuw, 1983: 62-5).
Prinsip intertekstualitas yang utama adalah prinsip memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan secara hipogram berdasarkan persepsi, pemahaman, pengetahuan, dan pengalamannya membaca teks-teks lain sebelumnya.
Hutomo (1993b: 13-14) menyatakan bahwa untuk studi pengaruh perlu memahami teori intertekstualitas. Karya sastra menyimpan berbagai teks di dalamnya, atau merupakan serapan/hasil transformasi dari teks lain.
Pendekatan atau kajian ilmu sastra mutakhir yang paling menonjol adalah hubungan intertekstual antara teks sastra dengan berbagai macam teks lainnya, yang kesemuanya itu dilihat sebagai suatu produk budaya pada kurun waktu tertentu (Junus, 1996: 121; Budianta, 2002: 43).
Dari pemaparan yang telah saya sampaikan tadi, jelas bahwa menulis bukanlah sesuatu yang mudah.  Seperti memasak, menulis juga memerlukan bahan-bahan yang sehat, segar dan memerlukan racikan bumbu yang baik agar rasanya itu terjamin keenakannya.  Kemudian juga terdapat a number of key issues which dominate curent understanding writing (Hyland 2002;2009) yaitu: context, literacy, culture, technology, genre and identity.
Semua itu sangat berkaitan satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan, dan key issues itu salah satu hal yang penting yang bisa menjadikan tulisan kta itu baik dan mudah untuk dipahami orang lain.  Jadi karena menulis itu tidak mudah, mulai dari sekarang kita harus membiasakan diri untuk berlatih menulis dan agar menjadi individu yang literate.

Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment