Everything about What We Do:
INTERTEXTUALITY AND KEY ISSUES IN
WRITING
(By:
Enok Siti Jaenah)
Berlatar
belakang buku yang ditulis oleh Ken Hyland dan Mikko Lehtonen, class review
kali ini bukan hanya jejak-jejak previous meeting yang saya guratkan kembali di
sini, namun juga menyajikan lingkup-lingkup writing yang tentunya kawasan yang
dijangkau pun lebih luas dan lebih dalam. Mereka adalah intertextuality, Key
Issues in Writing, History-Literacy, dan sedikit bumbu tentang previous
meeting.
INTERTEXTUALITY
Saya
akan memulai dari titik ini. Intertextual adalah teks-teks yang ada itu berada
di dalam sebuah ruangan tertentu, sebuah teks adalah hasil dari pengambilan
teks-teks yang lain. Dapat dikatakan bahwa teks sifatnya tumpang tindih dan
saling menetralkan satu sama lain.
Menurut
Bakhtin
yang dikutip dari Ken Hyland (2002: 33) intertextuality menunjukkan bahwa wacana selalu terkait dengan wacana lain,
baik saat mereka berubah dari
waktu ke waktu dan mereka kesamaan pada setiap titik
waktu. Ini menghubungkan teks-pengguna ke jaringan teks
sebelum dan sebagainya menyediakan sistem pilihan untuk membuat makna yang
dapat dikenali oleh lain teks-pengguna. Karena
mereka membantu menciptakan makna
yang tersedia dalam suatu budaya,
konvensi dikembangkan dalam cara menutup
interpretasi tertentu dan membuat orang lain lebih mungkin, dan ini membantu menjelaskan bagaimana penulis membuat pilihan retoris tertentu saat
menulis.
Fairclough (1992: 117) membedakan dua
jenis intertextuality:
1)
Intertextuality Manifest mengacu pada berbagai cara
untuk menggabungkan atau menanggapi teks-teks lain melalui kutipan, parafrase, ironi,
dan sebagainya.
2)
Interdiscursivity
menyangkut penggunaan penulis set konvensi ditarik dari jenis teks dikenali atau
genre. Teks di sini kemudian berhubungan dengan beberapa makna kelembagaan dan sosial.
Intertextual
merupakan hal yang tidak bisa dihindari, sebab setiap teks bergantung, menyerap
atau merubah rupa dari teks sebelumnya. Proses pembacaan dan pemaknaan kemudian
dapatlah dianggap sebagai hal yang sangat kompleks. Teks sendiri merupakan
sekumpulan kode-kode yang nilai signifikannya ditentukan oleh teks
pendahulunya, dan pembaca pun tidak bergulat dengan teks dalam keadaan bersih.
Menurut Bennet dan Wollacot (Lehtonen
2000: 120) wacana dan intertextual mempengaruhi teks tidak hanya dari luar,
tetapi juga dari dalam bentuk-bentuk historis konkret dimana mereka yang
bersedia sebagai teks yang dapat dibaca. Hubungan intertextual dibagi menjadi
dua John Fisker yaitu:
1) Horizontal
Teks premier dengan teks premier (genre, konteks, isi)
2)
Vertical
Teks premier dengan lainnya (sekunder) (teks berbeda yang
merujuk ke premier)
Tujuan kajian interteks itu sendiri
adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya (Karya Sastra).
Penulisan atau pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur
kesejarahannya, sehingga pemberian makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan
dengan unsur kesejarahan itu (Teeuw, 1983: 62-5).
Prinsip intertekstualitas yang utama
adalah prinsip memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan secara
hipogram berdasarkan persepsi, pemahaman, pengetahuan, dan pengalamannya
membaca teks-teks lain sebelumnya.
Sebagai
contoh, The Simpsons yang
berbentuk genre parodi merujukkan kepada dua hal yang terkait dengan
intertekstualitas; Pertama, hal yang pertama adalah penciptaan situasi yang
absurd karena ditampilkan secara komikal sehingga cerminan terhadap dunia
menjadi aneh. Kedua, hal yang kedua adalah dalam kontekscritical
intertextuality; suatu keadaan di mana referen-referen intertekstualitas
digunakan justru untuk mengkritik keadaan masyarakat.
Beralih dari contoh diatas, mari
kita tengok contoh-contoh lain yang terkait intertextual di Indonesia. Zulfahnur
dan Sayuti Kurnia (1996: 9-12) di dalam buku Sastra Bandingan.
Mereka membandingkan keterkaitan dan pengaruh sajak Amir Hamzah, Berdiri
Aku, terhadap sajak Chairil Anwar, Senja di Pelabuhan Kecil.
Kedua sajak menurut mereka memiliki keterkaitan di dalam aspek “tema +
setting”: elang, udara, dan suasana pantai. Di dalam simpul analisis, mereka
menyatakan bahwa keterkaitan di antara kedua sajak justru terletak pada kontras
atau kontradiksi di antara kedua sajak. Zulfahnur dan Sayuti Kurnia menemukan
bahwa sajak Amir Hamzah memberikan nuansa kesempurnaan dunia menurut si “aku”
sedangkan sajak Chairil Anwar menyajikan nuansa kemuraman, kebekuan, dan
sepinya dunia bagi si “aku”.
Menurut Kristeva yang dikutip dari (Junus,
1985: 87-88) intertextual dijabarkan sebagai berikut:
- Kehadiran suatu teks di dalam teks yang lain,
- Selalu adanya petunjuk yang menunjukkan hubungan antara suatu teks dengan teks-teks pendahulu,
- Adanya fakta bahwa penulis suatu teks telah pernah membaca teks-teks pemengaruh sehingga nampak jejak,
- Pembaca suatu teks tidak akan pernah bisa membaca teks secara pisah dengan teks-teks lainnya. Ketika ia membaca (dalam rangka memahami) suatu teks, ia membacanya berdampingan dengan teks-teks lain.
Sedangkan menurut Laurent Jenny dalam
(Culler, 1981: 104) “outside of intertextuality, the literary work
would be quite simply impertceptible, in the same way as an utterance in an as
yet unknown language”. Yang artinya bahwa ketika suatu teks
benar-benar tidak bergantung kepada teks lain, maka teks tersebut menjadi tidak
bersignifikansi.
Culler menekankan intertekstualitas
memiliki dua fokus kajian (Culler, 1981: 103);
- Penyadaran posisi penting prior texts (teks-teks pendahulu).
- Intelligibility (tingkat terpahaminya suatu teks) dan meaning (makna) yang ditentukan oleh kontribusi teks-teks pendahulu.
Jadi, kajian
intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya tulis, ia tidak
mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Penulisan suatu karya sastra tak
mungkin dilepaskan dari unsur kesejarahannya, dan pemahaman terhadapnya pun
haruslah mempertimbangkan unsur kesejarahan itu. Makna keseluruhan sebuah
karya, biasanya, secara penuh baru dapat digali dan diungkap secara tuntas
dalam kaitannya dengan unsur kesejarahan tersebut. Karena itu, teks sastra dibaca
dan harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lain; tidak ada sebuah teks
pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaannya
tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh.
KEY ISSUES
IN WRITING
1.
Context
Menulis tidak bisa terpisahkan dari
konteks. Hal ini karena dalam pemikiran tradisional tentang teks dan konteks,
konteks dilihat sebagai “latar belakang yang terpisah dari teks, yang dalam
peran jenis tertentu merupakan informasi tambahan yang bisa jadi bantuan dalam
memahami teks tersebut. (Lehtonen: 2000). Makna dari sebuah teks tidak terletak di dalam kata yang
dituliskan oleh sang penulis dan dikirimkan kepada pembaca atau seseorang. Akan
tetapi makna tercipta dari interaksi antara seorang penulis dengan pembaca
selama mereka merasakan teks dalam cara-cara yang berbeda, masing-masing
menduga maksud/ tujuan dari yang lain. (Hyland : 2009). Dengan demikian
terlihat jelas hubungan konteks dalam menulis.
Selain itu, Cutting (2002:3)
mengusulkan ada tiga aspek utama dalam penafsiran konteks ini, yakni:
·
The situational context (Konteks Situasi):
what people ‘know about what they can see around them’.
·
The background knowledge context (Latar
belakang konteks pengetahuan) : what people ‘know about the world, what they
know about aspects of life, and what they know about each other’.
·
The co-textual context (Co-Tekstual konteks)
: what people ‘know about what they have been saying’.
Tiga aspek utama dalam penafsiran konteks di atas dapat
diringkas dalam ide dari community
atau komunitas. (Hyland : 2009)
Halliday
juga mengembangkan analisis konteks berdasarkan gagasan bahwa teks adalah hasil
dari pilihan kata yang digunakan oleh penulis dalam sebuah konteks situasi
tertentu (Malinowski, 1949). Berikut adalah dimensi konteks Halliday:
·
Fild: Refers to what is happening, the
type of social action, or what the
text is about (the topic together with the socially expected forms and patterns typically used to
express it).
·
Tenor: Refers to who is taking part, the
roles and relationships of participants
(their status and power, for instance,
which influences involvement,
formality and politeness).
·
Mode: Refers to what part the language is
playing, what the participants are
expecting it to do for them (whether it is spoken or written, how information is structured, and
so on).
Dengan kata
lain, bahasa yang kita gunakan untuk kebutuhan sesuai dengan situasi di mana
kita menggunakannya, dan register merupakan upaya untuk mengkarakterisasi konfigurasi
menulis (atau pidato) yang membatasi pilihan penulis akan membuat dalam suatu
situasi. Jadi, beberapa register berisi fitur cukup dapat diprediksi yang memungkinkan
kita untuk mengidentifikasi korespondensi yang erat antara teks dan konteks.
2.
Literacy
Writing,
together with reading, is a act of literacy: how we actually use language in
our everyday lives. Modern conceptions of literacy encourage us to see writing
as a practice rather than as an abstract skill separated from people and the
place where they use texts (Hyland:2009). Dengan kata lain, konsep modern dari
literasi adalah mendorong kita untuk melihat menulis sebagai praktek bukan
sebagai keterampilan abstrak yang terpisah dari orang-orang dan tempat di mana
mereka menggunakan teks.
3.
Culture
Budaya memiliki
keterikatan dalam menulis karea nilai-nilai budaya kita tercermin dan dilakukan
melalui bahasa, tetapi karena budaya juga membuat kita tersedia untuk pasti
menggunakan cara mengorganisir persepsi dan harapan kami, termasuk yang kita
gunakan untuk belajar dan berkomunikasi secara tertulis (Hyland : 2009).
4.
Tehnology
Dewasa ini teknologi telah berkembang sangat pesat.
Perkembangan tersebut pula-lah yang menyebabkan seorang literate harus menguasi
teknologi zaman sekarang. Berikut ini adalah pengaruh yang disebabkan oleh
teknologi kepada bidang menulis:
· Mengubah
creating, editing, proofreading dan format proses.
· Mengkombinasikan
teks tertulis dengan media visual dan audio lebih mudah
· Mengizinkan penulis
mengakses informasi lebih lanjut dan untuk menghubungkan informasi itu dalam cara-cara
baru
· Memperluas berbagai
genre dan peluang untuk mencapai pemirsa yang lebih luas
· Memfasilitasi masuk
ke komunitas wacana baru on-line (Hyland: 2009)
Perhaps
the most immediately obvious, and by now very familiar, feature of computer-based writing is
the way that electronic text facilitates
composing, dramatically changing our writing habits. Commonplace word-processing features which allow
us to cut and paste, delete
and copy, check spelling and grammar, import images and change every aspect of formatting
mean that our texts are now longer, prettier
and more heavily revised. (Hyland:2009)
5.
Genre
Genre adalah istilah untuk mengelompokkan teks bersama-sama,
mewakili bagaimana penulis biasanya menggunakan bahasa untuk menanggapi situasi
berulang. Setiap genre memiliki sejumlah fitur yang membuatnya berbeda dengan genre
lain: masing-masing memiliki tujuan tertentu, struktur keseluruhan, fitur linguistik
tertentu, dan dibagi oleh anggota budaya. Bagi banyak orang itu adalah konsep intuitif
menarik yang membantu untuk mengatur label akal sehat kita gunakan untuk mengkategorikan
teks dan situasi dimana mereka terjadi. (Hyland : 2009)
6.
Identity
Dalam arti luas, identitas mengacu pada 'cara-cara orang menampilkan
siapa mereka pada satu sama lainnya' (Benwell dan Stokoe, 2006: 6). Oleh karena
itu identitas dipandang dikonstruksi oleh teks kita terlibat dalam dan pilihan bahasa
yang kita buat, sehingga bergerak identitas dari pribadi ke ranah publik. Identitas
itu adalah sesuatu yang kita lakukan, bukan sesuatu yang kita miliki. Hampir segala
sesuatu yang kita katakan atau tulis, pada kenyataannya, mengatakan sesuatu tentang
kita dan jenis hubungan kita ingin membangun dengan orang lain. (Hyland : 2009)
Finally, setelah saya menulis dari A sampai Z di class
review ini, ternyata intertextuality dan key issues in writing adalah
seperangkat teori yang sebenarnya sedang kita lakukan di sini. Semua yang
Mr.Lala instruksikan nyatanya berada dalam dua sub tersebut. Dengan
intertextual kita bisa menebak buku apa saja yang sudah dibaca seseorang
melalui tulisan yang dihasilkannya, dan lewat key issues in writing kita
belajar tentang writing research dan teorinya pada era sekarang.