6th Class Review
RUNNING AWAY WITH LITERATE
(by.
Endah Jubaedah)
Selama ini literasi banyak menggembor-gemborkan
kekukuhannya dihidupkan dalam diri setiap orang, kekuatannya dianggap sebagai
pembangunan yang “bermakna” dalam pembangunan menuju generasi yang lebih baik;
inti pemahaman yang ku dapat dari beberapa bacaan menurut para ahli atau
informasi yang di dapat secara lisan.
Literasi menjadi sebuah keharusan, tak terkecuali begitu dibutuhkan
untuk pengetahuan menulis atau berbicara.
Literasi menjadi cahaya penerang kedua setelah matahari, memberi penerangan
untuk pemikiran-pemikiran baru yang lebih matang. Lalu sejauh mana kematangan kita terhadap
literasi? Tentu saja masih belum matang karena ternyata buah literasi belum
didapatkan, yaitu menghasilkan sesuatu dan kebermaknaan dari sebuah potensi.
Mungkin benar adanya bahwa kita hanya seorang
peniru, bak orang asing yang tengah melihat sebuah maha karya dengan rasa kagum
dari kaca-kaca transparan, hanya mata yang mampu melihat tanpa tangan untuk
menjamah, apalah daya karena ia tertarik lalu menirulah. Namun meniru bukanlah suatu hal yang
memalukan dan patut dicibir, justru meniru adalah proses dari pergerakan awal untuk
sebuah penciptaan. Berliterasi pun
demikian, menjadi seorang peniru dan
pemungut ilmu adalah proses untuk menjadi seorang peliterasi yang mampu
memroduksi bagian yang belum terjamah.
Membuat inovasi dan pemikiran yang tak sama dari yang lain, sehingga
kita layak berdiri dalam naungan yang “ter-cerahkan” literasi. Kesabaran dan kepercayadirian menjadi salah
satu pegangan penting dalam melalui proses ini.
Proses berliterasi yang paling sulit adalah menulis
bagiku, ketika kita meniru penyampaian pun harus dengan bahasa dan rangkaian
kata yang mudah dimahami pembaca, juga tak diperkenankan meniru seutuhnya. Namun tak dapat dipungkiri bahwa menulis
adalah kegiatan berliterasi yang sangat “manjur” membawa perubahan, memberi
pengaruh yang sangat kuat kepada para pembacanya kebanyakan meski semuanya
selalu berubah, ya tak ada satu hal pun yang tak berubah kecuali kuasa Yang
Maha Esa.
Nilai
kehidupan pun tenggelam dalam perubahan, menurut Fowler (1996 : 10) “Sama
halnya dengan sejarah, para ahli bahasa literasi atau para pengkrtik literat
mempunyai tujuan yang sama yakni untuk memahami nilai yang berkaitan dengan
sosial, ekonomi, pembangunan politik, dan sejarah (literasi). Nilai yang berubah dlam pertumbuhan atau
perkembangan.” Seyogyanya tak ada yang hakiki mampu berdiri di dunia ini, namun
kita harus mampu memiliki pegangan dan intrik yang cantik untuk menghadapi
segala perubahan yang melanda. Tak ada
alasan untuk berhenti berliterasi sekalipun proses kematangan masih menjadi
status, tak ada yang salah jika kita megumpulkan perbekalan untuk bersiap-siap
membuat dunia berubah sebabkita butuh waktu seperti synchronic-dischronic.
Ada salah satu cara untuk memahami “nilai” yaitu
dengan ideologi, “Ideologi selalu hadir dan ada pada setiap teks (berbicara,
menulis, mendengar, melihat atau keseluruhan dari keempatnya).” (Fowler :1966). Jadi, betapa pentingnya menanamkan sebuah
kata “ideologi” sekalipun penerapannya tak sesederhana katanya. Kesulitan tentu selalu ada dalam sebuah
proses, setia menemani agar kita termotivasi untuk menunjukkan loyalitas dan
kerja keras yang nyata agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan terutama
menghasilkan sebuah tulisan sebagai penciptaan dari literasi.
Disamping itu, “Pembuatan atau penulisan sebuah
tulisan tidak pernah netral.” (Fairclough
1989; 1992; 1995; 2000; Lehtonen 2000). Juga literasi
pun rermasuk salah satu yang tidak pernah netral. (Alwasilah
2001; 2012).
Perubahan dan berubah merupakan satu kewajaran di dunia ini, tergantung
kita akan mengikuti alurnya, atau akan tersesat menjalaninya. Pilihan selalu ada bukan karena orang tak
mampu berpikir tepat, pilihan ada untuk orang-orang yang mempunyai banyak
pemikiran untuk menentukan hidup.
Latihan berliterasi pun seolah tak henti kami
lakukan, berbagai jenis penulisan teks merupakan santapan lezat yang sayang
jika ditinggalkan. Kali ini critical review minimal seribu kata
dalam bahasa inggris membayang-bayangi kami, menuntaskan misi yang begitu
menantang, memusingkan, membingungkan namun menyenangkan. Hal ini dikarenakan
koneksi sebuah pemikiran tak begitu saja mudah terhubung dengan gerakan tangan
ketika menulis, ketidaksinkronan ini sering kali menghambat proses pembuatan
tulisan.
Critical Review kali
ini memang berbeda dengan critical review sebelumnya, gigitan pertamanya harus
berisi tapi tak bertele-tele namun terasa enak dan lezat. Bagaimana pembaca tak harus lagi
mengungkapkan atau bertanya “so what?” setelah membaca paragraf pertama,
kemudian menentukan berangkat dari jembatan mana dan harus tepat. Ini demi tercapainya generasi peliterasi yang
dunia inginkan, berusaha meraih ipian bumi yang lebih baik. Kita tak bisa terus berdiam diri, bahkan kita
perlu berlari sejauh yang kita mampu bersama literasi nan beriringan dengan
sempurna.