Class Review 4: Perjuangan itu Belum Berakhir



PERJUANGAN INI BELUM BERAKHIR
By: Daroni

Sudah satu minggu yang lalu saya tidak meluapkan isi hati melaui secarik kertas putih, menuangkan segala resah yang ku rasakan.  Saya sadar bahwa tulisan terkadang lebih jujur dari perkataan dan jika itu bisa lebih mewakilkan, izinkan lewat tulisan ini saya berkata jujur.  Berbicara namun tak bersuara, hanya menggambarkan lewat kata.  Mencoba masuk dalam dunia imajinasi setiap pembaca.  Aku berbicara lewat tulisan, dunia yang hening namun hidup.
Sepi, ya. . . aku membutuhkan tempat yang sepi untuk bercengkrama dengan inspirasi-isnpirasi yang akan ku temui.  Seperti kata Budi Herrmawan “Berkariblah dengan sepi, sebab dalam sepi ada (momen) penemuan dari apa yang dalam riuh gelisah dicari. Dalam sepi ada berhenti dari menerima ramainya stimulus yang memborbardir indera kita. Stimulus yang harus dipilah dan dipilih satu satu untuk ditafakuri, lalu dimaknai, dan dijadikan berguna bagi kita. Bila tidak mereka hanya dengungan yang bising di kepala saja tak mengendap menjadi sesuatu yang mengizinkan kita memahami dunia di sekitar kita (sedikit) lebih baik.  Berkariblah dengan sepi, sejak dalam sepi kita menemukan diri yang luput dari penglihatan dan kesadaran ketika beredar dalam ramai; dalam sepi kita dapat melihat pendaran diri yang diserakkan gaduh, mendekat, lalu merapat, membentuk bayang jelas untuk dilihat tanpa harus memuaskan keinginan yang lain.  Berkariblah dengan sepi karena dalam sepi berlalu lalang inspirasi yang tak kita mengerti, atau tak dapat kita tangkapi ketika kita sibuk berjalan dalam hingar yang pekak.  Berkariblah dalam sepi sebab dalam sepi suara hati lebih nyaring terdengar jernih.”

Aku duduk bersama alunan musik jarum jam yang dengan rela menemaniku sampai sebuah kertas terisi penuh.  Cerita apa lagi yang harusnya ku ungkapkan dengan ujung pena yang tipis ini.  Kesalahan yang terlebih banyak akankah ku tulis dalam kata atau sedikit keberuntungan yang akan ku beberkan dalam kalimat? Lagi-lagi aku menggigit jari, termenung melihat tinta menetes begitu saja tanpa mewakili abjad.  Bagian mana lagi yang harus ku bagikan dalam tumpukan kertas ini, rahasia yang begitu indah atau kenyataan yang pilu? aku hanya manusia layaknya manusia yang menyadari perjalanan kehidupan yang terlampaui dan hanya ingin mengabadikannya di dalam tulisan.  Namun segalanya menjadi samar dan redup mengikuti kelipan lampu tua yang menerjang gelap malam. mataku terjaga memperhatikan getaran pena yang menggores barisan kertas itu.
Akhirnya segalanya menjadi samar karena sesungguhnya aku tidak dapat bercerita lebih lagi tentang keindahan.  Lagi dan lagi karena itu sebuah sejarah.  Sejarah itu selalu disembunyikan.  Kemarin begitu kelabu, aku tersesat dalam hutan belantara “Critical review”.  Semua gerbang terlihat sama, mataku saja yang kurang jeli melihat peluang.  Saya hanya bisa memasuki gerbang pendidikan liberal, gerbang agama pun hanya sebatas ku lewati, tuk singgah sejenak akan lelahnya pikiran ini keluar dari kesesatan.  
Saat ini ku hanya ingin mengulas materi kemarin, tak ingin menceritakan ketersesatanku sewaktu mengelilingi dunia dengan “Critical Review”.  All right!!! Sekarang kita menuju pintu perkuliahan mata kuliah writing 4 kemarin, tepatnya Senin, 24 Februari 2014 di ruang 44.  Kala itu Mr. Elbi membahas tentang “The First critical Review Evaluated”.  Dalam ebook “Classroom Discourse Analysis a Tool Critical Reflection” karya Betsy Rymes, mengatakan bahwa berfikir sebagai guru.  pikirkan kembali apa yang dilakukan di kelas baik sebagai seorang mahasiswa maupun seorang dosen dan mengingat kejadian yang membuat anda merasa tidak nyaman dan tegang.  Apa yang menyebabkan Anda merasa tidak nyaman dan tegang?
Itulah masalah yang harus ditanyakan pada diri sendiri dan mencoba menyelasaikannya sendiri.  Bagaimanapun Anda sendiri yang merasakan hal itu.  Jangan menganggap remeh sesuatu yang kecil, karena lama-lama akan menjadi masalah besar.  Jika Anda tak kunjung menyelesaikan masalah anda sendiri.  Ingat, yang bisa merubah Anda adalah diri Anda sendiri.
Sungguh heran, kala ku mengikuti mata kuliah kemarin.  Di situ Mr. Elbi mengulas kembali materi tugas minggu kemarin critical review tentang “Classroom Discourse”.  Dalam critical review minggu kemarin, saya tidak menyinggung tentang itu.  Di situ aku merasa sangat tersesat jauh dari kerumunan banyak orang.  Walau keadaan begitu ramai, namun ku merasa kehilangan arah dan merasa berbeda.
Classroom discourse adalah sesuatu yang sangat besar dan kompleks kaitannya.  Dinamakan sesuatu yang besar, karena kelas adalah situs yang sangat suci, yang tidak sembarang orang bisa memasuki situs itu tanpa suatu syarat apapun.  Bisa dikatakan kompleks, karena di dalam suatu kelas akan terjadi suatu interaksi antar penghuninya.  Penyampaian interaksi itu yang akan terlihat berbeda dari yang lainnya.  Namun perbedaan itulah yang membuat kita belajar bertoleransi.  Dan saya sendiri pun tak tahu toleransi yang sebenarnya itu seperti apa.  Toleransi akhirnya akan menumbuhkan sifat lapang dada.
Tujuan dari buku ini adalah untuk menyediakan guru dengan menganalisis pembicaran mereka di ruang kelas sendiri.  Mengapa mengambil waktu dari yang sudah terbebani, bergaji rendah, dan kronis.  Untuk menganalisis pembicaraan itu, ada empat alasan, yaitu:
1.      Saya diperoleh dari analisis wacana ruang kelas telah meningkatkan saling pemahaman antara guru dan siswa;
2.      Dengan menganalisis ruang kelas wacana diri mereka, para guru telah mampu
memahami perbedaan lokal dalam ruang kelas pembicaraan yang sedang berlangsung akan di sebelah sana jenis stereo atau
generalisasi budaya lainnya;
3.      Ketika para guru menganalisis wacana di ruang kelas mereka sendiri, meningkatkan akademik prestasi, dan
4.      Proses melakukan analisis wacana ruang kelas itu sendiri dapat menumbuhkan intrinsik dan kehidupan cinta panjang untuk praktek mengajar dan umum meneguhkan hidupnya potensial.
            Jadi kesimpulannya adalah malu bertanya, sesat di jalan.  Hanya peribahasa itulah yang menggambarkan critical review minggu kemarin.  Minggu kemarin aku benar-benar jauh tersesat.  Dan kini aku tidak mau lagi mengulang peristiwa minggu kemarin.  Minggu ini aku menyelasaikan tugasnya lebih awal, tepatnya Sabtu, 01 Maret 2014.
            Alasan aku menyelesaikan tugas lebih awal, karena di hari sabtu sampai hari senin aku ada acara pertemuan keluarga.  Kemungkinan hari senin di minggu pertama bulan Maret, saya tidak bisa mengikuti perkuliahan mata kuliah “writing 4”.  Tapi akan aku usahakan untuk bisa hadir dalam perkuliahan itu.  Aku takut jika tersesat kembali.  Walau sebenarnya ku sudah tersesat di dunia tulisan akademik.
Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment