PERJUANGAN INI BELUM BERAKHIR
By: Daroni
Sudah
satu minggu yang lalu saya tidak meluapkan isi hati melaui secarik kertas
putih, menuangkan segala resah yang ku rasakan.
Saya sadar bahwa tulisan terkadang lebih jujur dari perkataan dan jika
itu bisa lebih mewakilkan, izinkan lewat tulisan ini saya berkata jujur. Berbicara namun tak bersuara, hanya
menggambarkan lewat kata. Mencoba masuk
dalam dunia imajinasi setiap pembaca. Aku
berbicara lewat tulisan, dunia yang hening namun hidup.
Sepi,
ya. . . aku membutuhkan tempat yang sepi untuk bercengkrama dengan
inspirasi-isnpirasi yang akan ku temui.
Seperti kata Budi Herrmawan “Berkariblah dengan sepi, sebab dalam sepi
ada (momen) penemuan dari apa yang dalam riuh gelisah dicari. Dalam sepi ada
berhenti dari menerima ramainya stimulus yang memborbardir indera kita.
Stimulus yang harus dipilah dan dipilih satu satu untuk ditafakuri, lalu
dimaknai, dan dijadikan berguna bagi kita. Bila tidak mereka hanya dengungan
yang bising di kepala saja tak mengendap menjadi sesuatu yang mengizinkan kita
memahami dunia di sekitar kita (sedikit) lebih baik. Berkariblah dengan sepi, sejak dalam sepi
kita menemukan diri yang luput dari penglihatan dan kesadaran ketika beredar
dalam ramai; dalam sepi kita dapat melihat pendaran diri yang diserakkan gaduh,
mendekat, lalu merapat, membentuk bayang jelas untuk dilihat tanpa harus
memuaskan keinginan yang lain. Berkariblah
dengan sepi karena dalam sepi berlalu lalang inspirasi yang tak kita mengerti,
atau tak dapat kita tangkapi ketika kita sibuk berjalan dalam hingar yang
pekak. Berkariblah dalam sepi sebab
dalam sepi suara hati lebih nyaring terdengar jernih.”
Aku
duduk bersama alunan musik jarum jam yang dengan rela menemaniku sampai sebuah
kertas terisi penuh. Cerita apa lagi
yang harusnya ku ungkapkan dengan ujung pena yang tipis ini. Kesalahan yang terlebih banyak akankah ku
tulis dalam kata atau sedikit keberuntungan yang akan ku beberkan dalam kalimat?
Lagi-lagi aku menggigit jari, termenung melihat tinta menetes begitu saja tanpa
mewakili abjad. Bagian mana lagi yang
harus ku bagikan dalam tumpukan kertas ini, rahasia yang begitu indah atau
kenyataan yang pilu? aku hanya manusia layaknya manusia yang menyadari
perjalanan kehidupan yang terlampaui dan hanya ingin mengabadikannya di dalam
tulisan. Namun segalanya menjadi samar dan
redup mengikuti kelipan lampu tua yang menerjang gelap malam. mataku terjaga
memperhatikan getaran pena yang menggores barisan kertas itu.
Akhirnya
segalanya menjadi samar karena sesungguhnya aku tidak dapat bercerita lebih
lagi tentang keindahan. Lagi dan lagi
karena itu sebuah sejarah. Sejarah itu
selalu disembunyikan. Kemarin begitu
kelabu, aku tersesat dalam hutan belantara “Critical review”. Semua gerbang terlihat sama, mataku saja yang
kurang jeli melihat peluang. Saya hanya
bisa memasuki gerbang pendidikan liberal, gerbang agama pun hanya sebatas ku
lewati, tuk singgah sejenak akan lelahnya pikiran ini keluar dari
kesesatan.
Saat
ini ku hanya ingin mengulas materi kemarin, tak ingin menceritakan
ketersesatanku sewaktu mengelilingi dunia dengan “Critical Review”. All right!!! Sekarang kita menuju pintu
perkuliahan mata kuliah writing 4 kemarin, tepatnya Senin, 24 Februari 2014 di
ruang 44. Kala itu Mr. Elbi membahas
tentang “The First critical Review Evaluated”.
Dalam ebook “Classroom Discourse Analysis a Tool Critical Reflection”
karya Betsy Rymes, mengatakan bahwa berfikir sebagai guru. pikirkan kembali apa yang dilakukan di kelas
baik sebagai seorang mahasiswa maupun seorang dosen dan mengingat kejadian yang
membuat anda merasa tidak nyaman dan tegang.
Apa yang menyebabkan Anda merasa tidak nyaman dan tegang?
Itulah
masalah yang harus ditanyakan pada diri sendiri dan mencoba menyelasaikannya
sendiri. Bagaimanapun Anda sendiri yang
merasakan hal itu. Jangan menganggap
remeh sesuatu yang kecil, karena lama-lama akan menjadi masalah besar. Jika Anda tak kunjung menyelesaikan masalah
anda sendiri. Ingat, yang bisa merubah
Anda adalah diri Anda sendiri.
Sungguh
heran, kala ku mengikuti mata kuliah kemarin.
Di situ Mr. Elbi mengulas kembali materi tugas minggu kemarin critical
review tentang “Classroom Discourse”.
Dalam critical review minggu kemarin, saya tidak menyinggung tentang
itu. Di situ aku merasa sangat tersesat
jauh dari kerumunan banyak orang. Walau
keadaan begitu ramai, namun ku merasa kehilangan arah dan merasa berbeda.
Classroom
discourse adalah sesuatu yang sangat besar dan kompleks kaitannya. Dinamakan sesuatu yang besar, karena kelas
adalah situs yang sangat suci, yang tidak sembarang orang bisa memasuki situs
itu tanpa suatu syarat apapun. Bisa
dikatakan kompleks, karena di dalam suatu kelas akan terjadi suatu interaksi
antar penghuninya. Penyampaian interaksi
itu yang akan terlihat berbeda dari yang lainnya. Namun perbedaan itulah yang membuat kita
belajar bertoleransi. Dan saya sendiri
pun tak tahu toleransi yang sebenarnya itu seperti apa. Toleransi akhirnya akan menumbuhkan sifat
lapang dada.
Tujuan dari buku ini
adalah untuk menyediakan guru dengan menganalisis pembicaran mereka di ruang
kelas sendiri. Mengapa mengambil waktu
dari yang sudah terbebani, bergaji rendah, dan kronis. Untuk menganalisis pembicaraan itu, ada empat
alasan, yaitu:
1. Saya diperoleh dari analisis wacana ruang kelas telah meningkatkan saling
pemahaman antara guru dan siswa;
2. Dengan menganalisis ruang kelas wacana diri mereka, para guru telah mampu
memahami perbedaan lokal dalam ruang kelas pembicaraan yang sedang berlangsung akan di sebelah sana jenis stereo atau
generalisasi budaya lainnya;
memahami perbedaan lokal dalam ruang kelas pembicaraan yang sedang berlangsung akan di sebelah sana jenis stereo atau
generalisasi budaya lainnya;
3. Ketika para guru menganalisis wacana di ruang kelas mereka sendiri,
meningkatkan akademik prestasi, dan
4. Proses melakukan analisis wacana ruang kelas itu sendiri dapat menumbuhkan
intrinsik dan kehidupan cinta panjang untuk praktek mengajar dan umum
meneguhkan hidupnya potensial.
Jadi kesimpulannya adalah malu bertanya, sesat di
jalan. Hanya peribahasa itulah yang
menggambarkan critical review minggu kemarin.
Minggu kemarin aku benar-benar jauh tersesat. Dan kini aku tidak mau lagi mengulang
peristiwa minggu kemarin. Minggu ini aku
menyelasaikan tugasnya lebih awal, tepatnya Sabtu, 01 Maret 2014.
Alasan aku menyelesaikan tugas lebih awal, karena di hari
sabtu sampai hari senin aku ada acara pertemuan keluarga. Kemungkinan hari senin di minggu pertama
bulan Maret, saya tidak bisa mengikuti perkuliahan mata kuliah “writing
4”. Tapi akan aku usahakan untuk bisa
hadir dalam perkuliahan itu. Aku takut
jika tersesat kembali. Walau sebenarnya
ku sudah tersesat di dunia tulisan akademik.