Classroom Discourse : Bagai Aur Dengan Tebing
(By: Ade Puadah)
Aku
menepi pada deburan sunyi, bersama mimpi bertahta di hati
Menggebu
jiwa bertatap mimpi, pernah dan selalu terarungi.
Dalam
arahku pergi, pena selalu menemani tuk mengubah mimpi dengan pasti.
Satu bulan bukan waktu yang lama untuk berlatih
menjadi seorang penulis dan membuktikannya
dengan menulis yang benar. Banyak kisah yang harus aku lewati, banyak
pengorbanan yang harus aku persembahkan. Tanganku, otakku, dan hatiku
benar-benar diasah untuk berfikir dan mengatur alur sebuah tulisan. Namun,
tidak bisa dipungkiri pisau akan lebih tajam jika terus diasah. Begitu juga
dengan otak yang selalu menjadi tempat untuk berfikir dan mencari inspirasi.
Mungkin
itu salah satu tujuan Mr. Lala untuk menciptakan otak mahasiswa yang berkualitas dan dapat berfikir dengan
baik. Lewat gencatan senjata kata, beliau selalu membuat saya berfikir dan
selalu berusaha memberikan yang terbaik di dalm kelas. Meskipun banyak
kesalahpahaman yang terjadi diantara kami.
Memang tidak mudah untuk dapat menaklukan sebuah
teks. Mengkritik dan menjatuhkan sebuah tulisan yang sudah ada oleh pemikiran
sendiri. Perlu banyak referensi untuk menguatkan pemikiran yang di maktubkan
dalam sebuah tulisan. Banyak waktu yang harus dihabiskan untuk membaca dan
mengembangkan sebuah bacaan. Diperlukan persiapan yang sempurna dan matang agar
tulisan dapat terealisasikan dengan baik dan sempurna. Namun sayang, ketika tak
bisa mengefektifkan waktu dan fikiran, hasil tulisanpun tidak bisa sempurna.
Dan lebih fatal lagi salah masuk dalam mengkritik sebuah tulisan.
Minggu lalu, aku menerima banyak kekecewaan dari
tulisanku sendiri. Banyak kesalahan teknis yang aku tulis. Berangkat dari
sebuah artikel yang ditulis oleh A. Chaedar Alwasilah yang berjudul
Classroom Discourse to Foster Religious Harmony. Aku mengangkat beberapa
bahasan yang lebih condong ke religious harmony, sedangkan Classroom Discourse
seakan dilupakan dalam tulisanku. Oleh karena itu, saya menerima kekecewaan
atas tulisan saya sendiri, karena Mr. Lala sangat detail membaca dan mengoreksi
tulisan kami.
Classroom Discourse merupakan situs suci yang hanya
orang-orang sekelas yang dapat masuk dan bercampur dengannya, dan tidak
sembarang orang yang bisa masuk kedalamnya. Classroom Discourse merupakan hal
yang sulit untuk menciptakannya. Selain banyak
perbedaan, juga membutuhkan saling pengertian antar satu sama lainnya. Di dalam
Classroom Discourse terdiri dari teks dan conteks. Disana, akan tercipta makna
kebersamaan jika sama-sama dapat saling mengerti dan saling memahami. Namun,
lagi-lagi soal perbedaan menjadi penghalang untuk menciptakan Classroom
Discourse. Karena di dalam Classroom Discourse terdapat beberapa aspek yang
menjadi kendala untuk berinteraksi dengan baik dan dapat saling memahami. Diantaranya:
Pertama,
background merupakan latar belakang dari beberapa siswa yang ada dalam ruang
lingkup interaksi. Background merupakan hal yang sulit untuk disatukan dalam satu
wadah, karena memiliki banyak perbedaan
yang sangat signifikan di dalam latar belakang anak-anak. Seperti, bahasa,
pendidikan, lingkungan, budaya, agama dan lainnya. Jadi, jika didalam kelas
terdapat beberapa banyak perbedaan dirasa akan lebih sulit untuk menciptakan
sebuah Classroom Discourse.
Kedua, Communicative
Strategies merupakan strategi-strategi yang digunakan dalam pembelajaran untuk
mengatasi masalah yang terjadi dengan maksud agar dapat menyampaikan maksud tertentu dalam sebuah pembicaraan agar dapat dipahami oleh siswa yang ada
dalam ruang lingkup itu sendiri. Hal ini harus dibuat agar siswa dan guru dapat
saling memahami dalam berkomunikasi.
Ketiga goals-driven yang merupakan beberapa konsep yang ada
dalam kelas. Konsep ini dapat berupa kognitif, afektif dan psikomotorik. Kognitif
dapat berupa pengetahuan, pemahaman, analisis, penerapan dan sebagainya. Guru dapat
memahami siswa dari pengetahuan yang siswa dapatkan dan dapat menganalisis
secara lebih detail kebiasaan dan karakter siswa.
Keempat, value merupakan sebuah
nilai dari kebiasaan siswa dan kecerdasannya ketika berinteraksi bersama guru
dan temannya di dalam kelas. Guru dapat menilai semua kegiatan dan kebiasaan
siswa dalam kelas dan memberi apresiasi kepada siswa yang berprestasi.
Ada empat tujuan kenapa Betsy Rymes menulis buku tenteng
Classroom Discourse Analysis, diantarany:
Ø Wawasan yang diperoleh dari analisis wacana kelas telah meningkatkan saling
mengerti antara guru dan siswanya.
Ø Dengan menganalisis wacana kelas sendiri, guru telah mampu memahami
perbedaan lokal di dalam kelas berbicara melampaui stereotip atau generalisasi
budaya lainnya.
Ø Ketika para guru menganalisis wacana di kelas mereka sendiri, prestasi
akademik akan meningkat
Ø Proses
melakukan analisis wacana kelas dapat dengan sendirinya menumbuhkan intrinsik
dan cinta seumur hidup untuk praktek mengajar dan umum meneguhkan potensial
hidupnya.
Dapat disimpulkan bahwa untuk menciptakan Classroom Discourse, sebaiknya
guru dapat merangsang siswa agar siswa dapat mengeluarkan pendapat dengan
kritis dan yang lain menanggapi dengan baik. Sehingga mereka dapat saling
mengerti dan saling memahami satu sama lainnya. Siswa disarankan agar sering
melakukan diskusi di dalam kelasnya. Agar mereka terbiasa untuk memecahkan
masalah bersama-bersam lewat diskusi. Guru
juga dapat menanamkan budaya literasi dengan menyarankan siswa agar terus membaca
dan menuliskan setiap kejadian yang meraka alami. Selain itu, menanamkan rasa
toleransi terhadap semua siswa baik toleransi dalam agama maupun budaya. Dengan
itu siswa akan saling menghargai dan menciptakan kerukunan di lingkungannya. Bagai Aur dengan tebing ,saling menolong satu sama lainnya.