class review 4


Classroom Discourse : Bagai Aur Dengan Tebing
  (By: Ade Puadah)

Aku menepi pada deburan sunyi, bersama mimpi bertahta di hati
Menggebu jiwa bertatap mimpi, pernah dan selalu terarungi.
Dalam arahku pergi, pena selalu menemani tuk mengubah mimpi dengan pasti.

Satu bulan bukan waktu yang lama untuk berlatih menjadi seorang penulis dan membuktikannya  dengan menulis yang benar. Banyak kisah yang harus aku lewati, banyak pengorbanan yang harus aku persembahkan. Tanganku, otakku, dan hatiku benar-benar diasah untuk berfikir dan mengatur alur sebuah tulisan. Namun, tidak bisa dipungkiri pisau akan lebih tajam jika terus diasah. Begitu juga dengan otak yang selalu menjadi tempat untuk berfikir dan mencari inspirasi.
Mungkin itu salah satu tujuan Mr. Lala untuk menciptakan otak mahasiswa  yang berkualitas dan dapat berfikir dengan baik. Lewat gencatan senjata kata, beliau selalu membuat saya berfikir dan selalu berusaha memberikan yang terbaik di dalm kelas. Meskipun banyak kesalahpahaman yang terjadi diantara kami.
Memang tidak mudah untuk dapat menaklukan sebuah teks. Mengkritik dan menjatuhkan sebuah tulisan yang sudah ada oleh pemikiran sendiri. Perlu banyak referensi untuk menguatkan pemikiran yang di maktubkan dalam sebuah tulisan. Banyak waktu yang harus dihabiskan untuk membaca dan mengembangkan sebuah bacaan. Diperlukan persiapan yang sempurna dan matang agar tulisan dapat terealisasikan dengan baik dan sempurna. Namun sayang, ketika tak bisa mengefektifkan waktu dan fikiran, hasil tulisanpun tidak bisa sempurna. Dan lebih fatal lagi salah masuk dalam mengkritik sebuah tulisan.
Minggu lalu, aku menerima banyak kekecewaan dari tulisanku sendiri. Banyak kesalahan teknis yang aku tulis. Berangkat dari sebuah artikel yang ditulis oleh A. Chaedar Alwasilah yang berjudul Classroom Discourse to Foster Religious Harmony. Aku mengangkat beberapa bahasan yang lebih condong ke religious harmony, sedangkan Classroom Discourse seakan dilupakan dalam tulisanku. Oleh karena itu, saya menerima kekecewaan atas tulisan saya sendiri, karena Mr. Lala sangat detail membaca dan mengoreksi tulisan kami.
Classroom Discourse merupakan situs suci yang hanya orang-orang sekelas yang dapat masuk dan bercampur dengannya, dan tidak sembarang orang yang bisa masuk kedalamnya. Classroom Discourse merupakan hal yang sulit untuk  menciptakannya. Selain banyak perbedaan, juga membutuhkan saling pengertian antar satu sama lainnya. Di dalam Classroom Discourse terdiri dari teks dan conteks. Disana, akan tercipta makna kebersamaan jika sama-sama dapat saling mengerti dan saling memahami. Namun, lagi-lagi soal perbedaan menjadi penghalang untuk menciptakan Classroom Discourse. Karena di dalam Classroom Discourse terdapat beberapa aspek yang menjadi kendala untuk berinteraksi dengan baik dan dapat saling memahami. Diantaranya:
Pertama, background merupakan latar belakang dari beberapa siswa yang ada dalam ruang lingkup interaksi. Background merupakan hal yang sulit untuk disatukan dalam satu wadah, karena memiliki banyak  perbedaan yang sangat signifikan di dalam latar belakang anak-anak. Seperti, bahasa, pendidikan, lingkungan, budaya, agama dan lainnya. Jadi, jika didalam kelas terdapat beberapa banyak perbedaan dirasa akan lebih sulit untuk menciptakan sebuah Classroom Discourse.
Kedua, Communicative Strategies merupakan strategi-strategi yang digunakan dalam pembelajaran untuk mengatasi masalah yang terjadi dengan maksud agar dapat menyampaikan maksud tertentu dalam sebuah pembicaraan agar dapat dipahami oleh siswa yang ada dalam ruang lingkup itu sendiri. Hal ini harus dibuat agar siswa dan guru dapat saling memahami dalam berkomunikasi.
Ketiga goals-driven yang merupakan beberapa konsep yang ada dalam kelas. Konsep ini dapat berupa kognitif, afektif dan psikomotorik. Kognitif dapat berupa pengetahuan, pemahaman, analisis, penerapan dan sebagainya. Guru dapat memahami siswa dari pengetahuan yang siswa dapatkan dan dapat menganalisis secara lebih detail kebiasaan dan karakter siswa.
Keempat, value merupakan sebuah nilai dari kebiasaan siswa dan kecerdasannya ketika berinteraksi bersama guru dan temannya di dalam kelas. Guru dapat menilai semua kegiatan dan kebiasaan siswa dalam kelas dan memberi apresiasi kepada siswa yang berprestasi.
Ada empat tujuan kenapa Betsy Rymes menulis buku tenteng Classroom Discourse Analysis, diantarany:
Ø  Wawasan yang diperoleh dari analisis wacana kelas telah meningkatkan saling mengerti antara guru dan siswanya.
Ø  Dengan menganalisis wacana kelas sendiri, guru telah mampu memahami perbedaan lokal di dalam kelas berbicara melampaui stereotip atau generalisasi budaya lainnya.
Ø  Ketika para guru menganalisis wacana di kelas mereka sendiri, prestasi akademik akan meningkat
Ø   Proses melakukan analisis wacana kelas dapat dengan sendirinya menumbuhkan intrinsik dan cinta seumur hidup untuk praktek mengajar dan umum meneguhkan potensial hidupnya.
Dapat disimpulkan bahwa untuk menciptakan Classroom Discourse, sebaiknya guru dapat merangsang siswa agar siswa dapat mengeluarkan pendapat dengan kritis dan yang lain menanggapi dengan baik. Sehingga mereka dapat saling mengerti dan saling memahami satu sama lainnya. Siswa disarankan agar sering melakukan diskusi di dalam kelasnya. Agar mereka terbiasa untuk memecahkan masalah bersama-bersam lewat diskusi.  Guru juga dapat menanamkan budaya literasi dengan menyarankan siswa agar terus membaca dan menuliskan setiap kejadian yang meraka alami. Selain itu, menanamkan rasa toleransi terhadap semua siswa baik toleransi dalam agama maupun budaya. Dengan itu siswa akan saling menghargai dan menciptakan kerukunan di lingkungannya. Bagai Aur dengan tebing ,saling menolong satu sama lainnya.

Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment