Class Review 4

Menjaga Atmosfir Kerukunan Lingkup Kelas
(Author : Hanifatus Sholihah)

Pagi berjalan merayap menggantikan kegelapan. Tanda suatu perubahan akan dimulai. Manusia berpacu dengan waktu untuk merebut keberhasilan darinya. Pagi ini, tepatnya tanggal 24 Februari 2014, kita berjumpa kembali dengan “Master of Piece” kita yaitu Mr.Lala yang selalu siap memahat pemikiran dan kelincahan jari jemari kita supaya mampu menciptakan maha karya yang belum pernah ada di dunia sebelumnya.
Seseorang yang mampu menciptakan hal baru pada permulaan hari hingga akhir hari, dialah yang mampu merenggut keberhasilan yang istiqomah dari waktu ke waktu “keep moving” dan “from today your chance to be success is beginning”.
Hari ini kita mengulas tentang tugas Critical Review mengenai ketersesatan kita mengkaji buku Pak Chaedar Al wasilah “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” yang menjelaskan bagaimana wacana kelas dapat membangun adanya toleransi. Classroom Discourse ada yang berbentuk text ada pula yang context (formal).
Mr. Lala said, classroom discourse sangatlah complicated, itu karena dalam wacana kelas diperlukan interaksi agar terjalin suatu komunikasi antara guru-murid, atau juga murid dengan murid lainnya. Seperti yang dikatakan oleh Betsy Rymes (2008), bahwa beberapa dari kita yang mengira bahwa “teach” harus membayangkan apa yang kita tahu lewat cara bagaimana setiap siswa mulai belajar. Itu membuktikan bahwa ruang lingkup kelas membuat pengajar harus memahami para peserta didiknya seperti apa yang dibutuhkan mereka, bagaimana menyelami dunia imaginasi anak-anak dan kapan anak tersebut mau mulai belajar.

Dalam point Interaction, disitulah anak-anak dilatih sebagai seorang Agent of Change yang akan membuat bangga bangsanya atas perubahan luar biasa yang dilakukan generasi muda. Interaction dapat terbentuk apabila ada tiga hal penting berikut ini, yaitu:
1.      Background, adalah latar belakang dari orang yang melakukan interaksi. Background sendiri terdiri dari language (bahasa), education (pendidikan), environtment (lingkungan) dan social culture (budaya sosial).
2.      Communicative Strategies
Communicative Strategies adalah strategi-strategi yang digunakan pembelajar untuk mengatasi masalah yang terjadi dengan maksud agar dapat menyampaikan maksud pemaknaan mereka.
Ada pula ranah yang harus dikembangkan dikelas, yaitu:
1)      Kognitif
Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Segala upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif. Ranah kognitif memiliki enam aspek, yaitu:
a)      Pengetahuan / hafalan / ingatan (knowledge)
b)      Pemahaman (Comprehension)
c)      Penerapan (application)
d)     Analisis (Analysis)
e)      Sintesis (Syntesis)
f)       Penilaian / penghargaan / evaluasi (evaluation)
Tujuan aspek kognitif berorientasi pada kemampuan berfikir yang mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana, yaitu mengingat sampai pada kemampuan memecahkan masalah yang menuntut siswa menggabungkan beberapa ide, metode atau prosedur yang dipelajari untuk memecahkan masalah tersebut. Dengan demikian, ranah kognitif adalah sub-taksonomi yang mengungkapkan tentang kegiatan mental yang sering berawal dari tingkat pengetahuan sampai ke tingkat paling tinggi yaitu evaluasi.
2)      Afektif
Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi dan nilai. Ranah efektif lebih rinci dibahas ke dalam lima jenjang, yaitu:
a)      Receiving atau attending (menerima atau memperhatikan)
b)      Responding (menanggapi) mengandung arti “adanya partisipasi aktif”
c)      Valuing (menilai atau menghargai)
d)     Organization (mengatur atau mengorganisasikan)
e)      Characterization by evalue or calue complex (karakterisasi dengan suatu nilai atau kompleks nilai)
3)      Psikomotorik
Ranah psikomotor merupakan ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Hasil belajar psikomotor ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif (memahami sesuatu) dan hasil belajar afektif (yang baru tampak dalam bentuk kecenderungan-kecenderungan berperilaku). Ranah psikomotor adalah berhubungan dengan aktivitas fisik, misalnya lari, melompat, melukis, menari dan sebagainya.
Hasil belajar keterampilan (psikomotor) dapat diukur melalui:
(1)   Pengamatan langsung dan penilaian tingkah laku peserta didik selama proses pembelajaran praktik berlangsung,
(2)   Sesudah mengikuti pembelajaran, yaitu dengan jalan memberikan tes kepada peserta didik untuk mengukur pengetahuan, keterampilan dan sikap,
(3)   Beberapa waktu sesudah pembelajaran selesai dan kelak dalam lingkungan kerjanya.
Jika tiga hal tadi kita terapkan (kembangkan) dalam diri siswanya, maka sikap (perilaku) di rumah juga pasti bagus.

3.      Goals – driven
Sasaran atau serangan ini ditujukan untuk siapa, apakah hanya guru atau untuk murid ataukah mungkin untuk keduanya (guru dan murid). Selain keaktifan yang terjadi di kelas, kita juga harus menanamkan sikap toleransi dari sejak usia dini.
Cara menjaga toleransi itu terjadi, seperti : menghargai pendapat orang lain (menerima pendapat dalam versi yang berbeda), memang pada usia muda, anak-anak belum dapat mengungkapkan pendapat secara jelas (gamblang), tetapi dia dapat mengungkapkannya dengan menunjukkan sikap setuju melalui perkataan “ya” atau “tidak” jika tidak setuju. Mungkin juga dapat mengacungkan jempol untuk mengungkapkan setuju atau menganggukkan kepala serta menggelengkan kepala tanda tidak setuju. Inilah cara-cara untuk membangung karakter (Character Building).
Bentuk toleransipun dapat dibuktikan dalam bentuk tidak membeda-bedakan suku, ras, etnis dan kepercayaan (agama). Kita harus menghargai pendapat orang yang berbeda kepercayaan dengan kita asalkan pendapatnya tidak merupakan hal yang negatif (membawa madharat). Kita juga tidak boleh membeda-bedakan seseorang dari warna kulit, dimana apabila orang berkulit hitam didiskriminasi sedangkan orang kulit putih selalu di elu-elukan (dihargai pendapatnya).
Kerukunan atau sikap toleransi di kelas terdapat banyak proses yaitu dimana ada sebuah value yang menciptalan meaning – making practices. Nilai-nilai yang terbentuk pada religious harmony adalah :
-          Discipline (disiplin)
-          Honestly ( jujur/terus terang)
-          Ideologies (ideologi)
Ideologi yaitu kumpulan ide dan gagasan. Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memangdang segala sesuatu, secara umum (lihat ideologi kehidupan sehari-hari) dan beberapa arah filosofis atau sekelompok ide yang diajukan oleh kelas yang dominan pada seluruh anggota masyarakat.
Kembali lagi kepada pembahasan clasroom discourse, Betsy Rymes menjelaskan mengenai wacana kelas. Ketika hasil belajar siswa terdapat di garis bawah pada pendidikan umum, guru membutuhkan mencapai wilayah dalam negeri untuk melanjutkan kepada kepentingan kerja keras untuk mempertahankan urutan atau pada tingkatan tinggi dalam hasil belajar siswa.
Guru bijak akan selalu mendapatkan tempat tertentu untuk profesinya itu. Cara anak tidak akan mengikis penyebarluasan perasaan dari tujuan interaksi keduanya, yaitu guru dan siswa. Untuk itu, jawaban untuk mempelajari teknik-teknik dari clasroom discourse adalah bahwa mempraktekkan classroom discourse di kelas dapat menambah keseluruhan pengalaman mengajar, dan menjaga kamu mampu mengikat profesi kamu, karena pada dasarnya kamu akan mengajar karena kamu adalah seorang guru.
Ketika kita tidak harus tidak mengenal fakta-fakta yang membangun sesering mungkin hasil belajar siswa dari analisis yang dilakukan hati-hati serta terlihat pencerminan dalam discourse analysis, di banyak kasus penelitian guru dan analisis wacana kelas, proses itu sendiri adalah pengharapan sebuah hasil yang berharga. Cerita-cerita dan penelitian dari guru yang melakukan analisis wacana di ruang kelas mereka sendiri mengusulkan bahwa analyzing classroom discourse can  foster a lifelong love of teaching.
Kumpulan wacana kelas dilihat dari cara Paley dan Gallas lakukan juga melengkapi guru-guru dengan media collaborative, hand-on, dan juga professional problem solving. Berdasarkan pemeriksaan guru collaboratives sebagai pusat dari data yang berkumpulan di ruang-ruang kelas, pemikiran dari komunitas professional dan dukungannya dapat membuat pembelajaran kurang  atau sedikit asing dan perhatian kebiasaan mengajar begitu menjelma menjadi sebuah ganjaran. Pemeriksaan kolektif seperti the Brookline Teacher Research Seminar (Phillips & Gallas, 2004) mengilustrasikan bagaimana cara memikirkan untuk sharing analisis wacana kelas dengan guru-guru lain di komunitas pengajaran serta dapat membantu guru-guru yang terlihat sedang menghadapi teka teki ruang kelas yang tidak dapat terpecahkan.
Context (the classroom and beyond)
                       
      Ruang Kelas       Di luar
Bagaimana sebuah kata dapat digunakan jika kita melihat konteks. Menurut Betsy Rymes dalam bukunya mengatakan “the classroom” adalah mula-mula atau permulaan dan konteks paling nyata untuk the discourse dimana kita akan terlatih. Bagaimanapun konteks pada analisis wacana kelas juga diperluas diluar ruang kelas dan dalam komponen-komponen berbeda dari berbicara ruang kelas meliputi banyak konteks yang cenderung mengenai apa yang dikatakan dan bagaimana menafsirkan dalam ruang kelas. Konteks dapat terbentuk dengan physical borders – appropriate language dirumah mungkin akan berbeda dengan appropriate language di sekolah; tetapi konteks juga dapat terbentuk tidak dengan garis tepi fisik, tetapi dengan garis tepi wacana (discourse) – menyediakan atau menyajikan bahasa dengan pelajaran mungkin akan berbeda dari penyediaan bahasa setelah pelajaran selesai (seperti ketika menempati meja yang sama).
Fikiran kita akan terlihat berbicara jika menempati ruang kelas, apapun mengatakan di ruang kelas. Banyak sekali bentuk-bentuk yang di miliki wacana sangat berbeda makna jika mereka mengalaminya diruang kelas daripada jika mereka ingin mempunyai dan mengalami di luar ruang kelas. Penelitian lewat ruang kelas rata-rata situasinya menunjukkan bahwa dramatisnya interaksi di ruang kelas memaksa apa jenis-jenis bahasa dan kejadian literasi memberi semangat dan diizinkan. Menurut Mc Groarty, 1996 , wacana kelas diluar konteksnya memiliki lingkup luas dalam menerima sesuatu dan kemungkinan menghasilkan sesuatu. Di sebuah keluarga atau pengaturan kelompok belajar, sebagai contohnya, murid-murid mungkin berani untuk berbicara lantang, menceritakan cerita-cerita khayalan atau membatasi pengenalan topik inti, di sisi untuk menghibur. Di terimanya percakapan di ruang kelas, ketika masih duduk mengelilingi meja dengan murid-murid tetapi setelah pembelajaran seperti biasa lantang mendekat (di mulai), guru bertanya kepada seorang anak tentang hari ulang tahunnya, memberitahukan bahwa itu adalah suatu hal dimana anak “trying to tell us” sebelum pelajaran usai atau berakhir (Rymes, 2003).
Classroom Discourse Analysis from a Critical Perspective
Seperti diambil dari bagian ini, analisis wacana kelas dapat di parafrasekan “looking at language in-use in a classroom context (with the understanding that this context is influenced also by multiple social contexts beyond and within the classroom) to understand how context and talk are influencing each other”. Perlu ditambahkan, untuk tujuan meningkatkan interaksi ruang kelas di masa depan dan sangat positif mempengaruhi dalam bersosialisasi merupakan hasil konteks belajar di luar ruang kelas. Ini tambahan yang tinggi untuk mengenalkan komponen “critical” di analisis ruang kelas: sekali saja kita lebih sadar bagaimana konteks mempengaruhi discourse, kita dapat bekerja untuk merubah perencanaan ini dengan berbicara mungkin beradaptasi penuh dalam partisipasi semua siswa.
Remember the classroom gears? Ketika siswa-siswa dan kelompok berpindah pada agen rantai individu dengan kita, setiap orang mempunyai perubahan lebih baik untuk melawan interaksi dengan orangtua yang tidak diinginkan dan identitas sosial – dan merubah cara pembelajaran lebih baru akan lebih baik jika terjadi di dalam dan diluar dan ruang kelas.
Text Box: Social ContextText Box: DISCOURSEText Box: International ContextText Box: Individual Agency

Dari rantai-rantai diatas, kita dapat melakukan menjalin interaksi tidak hanya sebagai alat untuk agen individu, tetapi dalam konteks sosial atau mungkin sampai konteks internasional. Kelas, sudah kita kenal mulai dari TK sampai sekarang (mahasiswa). Kita apabila keluar dari lingkup kelas sebagai citizen dan pembelajaran yang telah didapat dikelas dapat membentuk kita menjadi peworful leader.
Jadi kesimpulannya, pembelajaran dapat terjalin jika adanya interaksi antara guru dengan siswa, ataupun siswa dengan siswa. Classroom discourse ini harus terjalin tidak monoton, sehingga harus diterapkan di dalam dan di luar kelas. Cara anak-anak mengemukakan opininya dapat dilakukan dengan beberapa cara jika menunjukkan sikap setuju melalui perkataan “ya” atau “tidak” jika tidak setuju. Mungkin juga dapat mengacungkan jempol untuk mengungkapkan setuju atau menganggukkan kepala serta menggelengkan kepala tanda tidak setuju. Inilah cara-cara untuk membangung karakter (Character Building). Toleransi dalam hal keyakinanpun harus diterapkan sedini mungkin agar tidak ada perlakuan diskriminasi serta akan terjalin kerukunan beragama atau kerukunan yang hakiki.
Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment