Class Review 4

Another Mistakes, Another Regrets
(by: Friska Maulani Dewi)


Another mistake!  Ya, aku kembali membuat kesalahan.  Yang parahnya lagi kesalahanku kali ini terbilang sangat fatal.  Bayangkan saja, aku salah masuk gerbong!  Bukan, aku bukan ingin pergi ke luar kota ataupun ke luar negeri dengan naik kereta.  Aku hanya pergi keluar dari zona dimana seharusnya aku berada.
Ini semua tenyang tugas critical review yang telah kubuat minggu lalu.  Seharusnya dalam critical review tersebut aku membahas tuntas tentang Classroom Discourse terlebih dahulu.  Namun, yang aku lakukan adalah justru membahas tentang kerukunan agama dari awal.  Ya, aku mengaku bahwa akau telah terkecoh jauh.  Another mistakes, another regrets.

Ketika melakukan suatu kesalahan, pasti ada saja orang yang mengatakan, “Ah namanya juga proses belajar, salah itu kan wajar kok!”  mungkin itu memang benar.  Namun, hey, kapan kita bisa majunya jika selalu ada alasan seperti itu setiap kita melakukan suatu kesalahan?  Daripada membuang waktu kita dengan mencari-cari alasan yang terkesan sok “innocent” seperti itu, akan lebih baik jika kita bercermin dan melihat apa yang salah dengan diri kita sehingga bisa melakukan kesalahan bodoh seperti itu.
Berbeda dari sebelum-sebelumnya, pelatih kami Mr.Lala tidak ‘menodong’ kami satu per satu pada pertemuan kali ini, 24 Februari 2014.  Beliau ‘hanya’ menugaskan kami untuk menilai critical review kami sendiri.  Ya, kami dituntut untuk mengetahui secara pasti bagaimana hasil karya kami itu, apakah sudah benar ataukah masih ada yang kurang?  Pada awalnya akku merasa kebingungan.  Bagaimana mungkin kita bisa menilai diri sendiri dengan tepat?  Namun, disitulah letak pembelajarannya, kami dituntut untuk lebih mengerti diri kami sendiri.  Dan ketika aku mencoba untuk menilai karyaku sendiri, aku pun tersadar.  Ternyata aku telah salah naik gerbong! Dengan membuang jauh-jauh rasa maluku, aku pun mengaku kepada Mr.Lala, “Saya salah naik gerbong, Pak.  Seharusnya saya naik ke gerbong Classroom Discourse dulu, tapi saya malah langsung naik ke gerbong Kerukunan Beragama.”  Dan disinilah aku, mencoba mengurai satu persatu kesalahan yang telah aku buat pada critical review ku minggu lalu.
Sekarang kita mulai dari gerbong Classroom Discourse. Maksud dari Classroom Discourse atau wacana kelas disini lebih kepada apa yang terjadi di dalam kelas, terutama dalam hal komunikasi dalam kelas. Komunikasi dalam kelas tersebut bisa saja terjadi antara sesama siswa ataupun antara siswa dengan gurunya.  Dalam kelas formal terdapat dua pilar utama dalam berkomunikasi, yaitu: text dan context.  Text disini lebih kepada proses pembelajaran yang terjadi dalam kelas.  Seperti yang harus ada dalam Classroom Discourse yaitu talk.  Siswa diajarkan bagaimana berbicara yang baik dan benar termasuk bagaimana text yang akan dihasilkan.  Diharapkan proses ini akan mempermudah siswa dalam berinteraksi dengan orang lain.
Sedangkan untuk context, Betsy Rymes dalam bukunya yang berjudul Classroom Discourse Analysis: A Tool for Critical Reflection mengatakan, “How a word is being used depend on the context.  However, the ‘context’ for Classroom Discourse Analysis also beyond the classroom, and within different components of classroom talk. To include any context that affects what is said and how it is interpreted in the classroom.”  Dapat kita lihat Betsy Rymes berpendapat bahwa context haruslah lebih lebih luas daripada classroom itu sendiri.  Context disini sebenarnya sebagai penunjang siswa dalam memproduksi text. Seperti yang juga dikatakan oleh Lehtonen (2000:111), konteks dilihat sebagai ‘backgrounds’ dari teks yang bisa juga dibilang sebagai ‘informasi tambahan’ yang bisa menjadi bantuan untuk memahami teks tersebut.
Pada dasarnya Classroom Discourse ini mempunyai sifat yang complicated dan juga complexity.  Hal ini dikarenakan perbedaan banyak faktor-faktor yang menunjang Classroom Discourse itu sendiri.  Setiap orang pasti memiliki perbedaan masing-masing begitu pula yang terjadi pada para siswa.  Perbedaan yang pertama dan yang paling sering memicu konflik adalah latar belakang (background).  Suatu kelas pasti akan terdiri dari siswa-siswa yang berasal dari latar belakang yang berbeda.  Ada yang berbeda dalam hal bahasa, budaya bahkan latar belakang pendidikannya.  Contohnya bisa kita lihat pada siswa-siswa SMP, ada siswa yang berasal dari SD, MI atau bahkan home schooling.  Sedangkan jika kita lihat pada siswa SD, akan terlihat juga perbedaan latar belakang pendidikan.  Ada siswa yang telah mengenyam bangku TK, atau bahkan PAUD, namun ada juga diantaranya siswa yang tidak merasakan pendidikan sebelum SD (hanya pendidikan dasar dari orang tuanya saja).  hal inilah contoh perbedaan yang terkadang bisa saja menimbulkan masalah.
Dalam proses berinteraksi yang terjadi dalam Classroom Discourse, guru akan berperan penting untuk mengajarkan siswa-siswanya cara berkomunikasi dengan baik dan benar.  Sehingga nantinya siswa diharapkan dapat mengetahui pasti bagaimana cara berkomunikasi dengan teman sebayanya dan juga bagaimana cara berkomunikasi dengan orang yang lebih tua darinya.
Selain perbedaan latar belakang dan juga cara berkomunikasi (dalam berkomunikasi ini bisa juga tentang perbedaan bahasa yang dapat menimbulkan masalah), perbedaan selanjutnya yang juga dapat menyebabkan Classroom Discourse bersifat complicated dan juga complexity adalah Goals.  Maksud goals disini bukan seberapa banyak tendangan yang masuk ke dalam gawang seperti dalam pertandingan sepak bola, akan tetapi yang dimaksud dengan goals disini adalah tujuan yang dimiliki oleh masing-masing siswa.  Didunia ini, tiap-tiap orang pasti akan memiliki tujuannya masing-masing, begitu pula dengan para siswa.  Mereka pun memiliki tujuan masing-masing yang seringkali akan berbeda antara satu sama lainnya.  Kita ambil saja contoh para (maha)siswa.  Ketika ditanya apa tujuan mereka untuk kedepannya? Mereka pasti akan menjawab dengan jawaban yang beraneka ragam.  Ada yang menjawab ingin melanjutkan studinya ke jenjang berikutnya (S2), ada yang menjawab tujuan mereka kuliah ini sebagai modal untuk mereka mencari pekerjaan atau bahkan ada juga yang menjawab tujuan mereka adalah untuk mencari jodoh.  Tujuan-tujuan yang berbeda-beda inilah yang pada akhirnya membuat pola pikir mereka akan berbeda satu sama lainnya.
Perihal perbedaan-perbedaan yang ada ini, Betsy Rymes juga mengatakan, “By targeting specific differences in discourse patterns, this research into cross-cultural communication in classroom contexts has been able to enhance teachers and students’ mutual understanding – reconceptualizing deficits as differences, and differences as resources of learning”  Maksud dari kalimat ini adalah perbedaan-perbedaan yang ada selama pembelajaran dalam Classroom Discourse ini jangan dijadikan sebagai sumber masalah yang justru bisa menimbulkan perpecahan, namun justru perbedaan-perbedaan inilah yang akan menjadi sumber pembelajaran.  Karena dari perbedaan-perbedaan yang ada inilah kita bisa belajar bagaimana cara menghormati orang lain sehingga terciptalah suatu kerukunan yang kita damba-dambakan.
Classroom Discourse ini juga menjadi ajang bagi para pendidik (guru) untuk menanamkan nilai-nilai (values) terhadap siswa-siswanya.  Nilai-nilai yang dimaksud disini diantaranya adalah nilai-nilai kedisiplinan, nilai kejujuran, nilai kesopanan dan juga nilai-nilai Pancasila.  Nilai-nilai inilah yang nantinya akan menjadi bekal untuk mempersiapkan mereka semua untuk hidup sebagai anggota fungsional dalam suatu masyarakat yang demokratis.
Salah satu cara ampuh untuk menanamkan nilai-nilai yang disebut diatas adalah dengan cara diskusi dalam kelas.  Ya, ini adalah salah satu strategi paling ampuh dalam Classroom Discourse. Guru sering menugaskan siswa-siswanya dalam tugas kelompok. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan indikator-indikator penting dalam Classroom Discourse.  Indikator-indikator penting tersebut diantaranya seperti siswa dapat mendengarkan dengan penuh perhatian, menyumbangkan ide-ide atau pendapat, mengajukan pertanyaan-pertanyaan, menyatakan pendapat (baik setuju maupun tidak setuju) dengan cara yang baik dan benar, berdebat dengan hormat dan pada akhirnya dapat berkompromi dalam memutuskan suatu permasalahan.  Diskusi adalah salah satu jalan untuk mencapai indikator-indikator penting dalam Classroom Discourse tersebut.  “By recording, viewing, transcribing, and analyzing instances of talk in classroom, Classroom Discourse researches have shown how differences in communication styles that lead to such lapses are often interpreted by teachers and testing mechanism as deficits – emblems of lack of intelligence, drive or ability.” (Betsy Rymes : 2008).
Classroom Discourse ini adalah cara untuk mewujudkan suatu kerukunan yang merupakan cita-cita dari setiap orang, masyarakat, bangsa dan negara ini.  Salah satunya adalah Kerukunan Beragama (Religious Harmony).  Ya, pada akhirnya memang kita akan membahas tentang kerukunan beragama.  Hanya saja kesalahanku di critical review ku yang kemarin adalah aku langsung membahas ke zona kerukunan beragama dan hanya sekilas saja membahas tentang Classroom Discoursenya.  Jika diibaratkan seperti yang telah aku katakan di awal class review ini, aku salah naik gerbong.  Seharusnya aku naik dari gerbong Classroom Discourse sebelum pada akhirnya sedikit demi sedikit aku beranjak ke gerbong kerukunan beragama. Namun, aku justru langsung naik ke gerbong kerukunan beragama.
Kerukunan beragama ini dapat dibangun dengan dua pilar utama, yakni: Tolerance dan Character Building.  Tolerance disini maksudnya kita menghormati dan menghargai penganut agama lain.  Terlepas dari apakah agama yang mereka anut dicap salah oleh agama kita dan 100% berbeda, namun kita tetap harus bertoleransi dan menghormati mereka.  Seperti yang juga telah diatur oleh UUD 1945 khususnya pada pasal 29 ayat 2 yang berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.”  Bisa kita lihat bahwa Negara telah menjamin sebuah perlindungan terhadap semua umat beragama di Indonesia.  Jadi, sudah sepantasnyalah jika kita sebagai warga negara Indonesia yang baik dan taat terhadap peraturan akan menerapkan toleransi antar umat beragama demi terciptanya kerukunan antar umat beragama yang kita dambakan tersebut.
Sedangkan Character Building (pembangunan karakter) inilah yang mempunyai sangkut paut yang erat dengan Classroom Discourse yang telah kita bahas tadi.  Pasalnya pembangunan karakter ini perlu dilakukan dalam usia sedini mungkin.  Sekolah yang notabene sebagai lembaga pendidikan formal pertama bagi seorang siswa, memiliki peran yang penting mengenai hal ini. Classroom Discourse yang dilakukan oleh pihak sekolah inilah yang pada akhirnya mempunyai andil yang amat besar membangun karakter para generasi muda penerus bangsa.

Sekarang kita telah mengetahui hubungan erat yang terjadi antara Classroom Discourse dan juga Religious Harmony.  Saya merasa setuju dengan Pak Chaedar yang menyatakan bahwa Classroom Discourse akan membantu perkembangan Religious Harmony (kerukunan beragama).  Jadi, kita sebagai calon guru harus mulai mempersiapkan Classroom Discourse yang akan kita gunakan.  Kita harus bergotong-royong sekuat tenaga agar kerukunan beragama yang kita dambakan itu bukan lagi sebagai wacana belaka.
Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment