Another Mistakes, Another Regrets
(by: Friska Maulani Dewi)
Another mistake!
Ya, aku kembali membuat kesalahan.
Yang parahnya lagi kesalahanku kali ini terbilang sangat fatal. Bayangkan saja, aku salah masuk gerbong! Bukan, aku bukan ingin pergi ke luar kota
ataupun ke luar negeri dengan naik kereta.
Aku hanya pergi keluar dari zona dimana seharusnya aku berada.
Ini semua tenyang tugas critical review yang telah
kubuat minggu lalu. Seharusnya dalam
critical review tersebut aku membahas tuntas tentang Classroom Discourse
terlebih dahulu. Namun, yang aku lakukan
adalah justru membahas tentang kerukunan agama dari awal. Ya, aku mengaku bahwa akau telah terkecoh
jauh. Another mistakes, another regrets.
Ketika melakukan suatu kesalahan, pasti ada saja
orang yang mengatakan, “Ah namanya juga proses belajar, salah itu kan wajar
kok!” mungkin itu memang benar. Namun, hey, kapan kita bisa majunya jika
selalu ada alasan seperti itu setiap kita melakukan suatu kesalahan? Daripada membuang waktu kita dengan
mencari-cari alasan yang terkesan sok “innocent” seperti itu, akan lebih baik
jika kita bercermin dan melihat apa yang salah dengan diri kita sehingga bisa
melakukan kesalahan bodoh seperti itu.
Berbeda dari sebelum-sebelumnya, pelatih kami
Mr.Lala tidak ‘menodong’ kami satu per satu pada pertemuan kali ini, 24
Februari 2014. Beliau ‘hanya’ menugaskan
kami untuk menilai critical review kami sendiri. Ya, kami dituntut untuk mengetahui secara
pasti bagaimana hasil karya kami itu, apakah sudah benar ataukah masih ada yang
kurang? Pada awalnya akku merasa
kebingungan. Bagaimana mungkin kita bisa
menilai diri sendiri dengan tepat? Namun,
disitulah letak pembelajarannya, kami dituntut untuk lebih mengerti diri kami
sendiri. Dan ketika aku mencoba untuk
menilai karyaku sendiri, aku pun tersadar.
Ternyata aku telah salah naik gerbong! Dengan membuang jauh-jauh rasa maluku,
aku pun mengaku kepada Mr.Lala, “Saya salah naik gerbong, Pak. Seharusnya saya naik ke gerbong Classroom
Discourse dulu, tapi saya malah langsung naik ke gerbong Kerukunan
Beragama.” Dan disinilah aku, mencoba
mengurai satu persatu kesalahan yang telah aku buat pada critical review ku
minggu lalu.
Sekarang kita mulai dari gerbong Classroom
Discourse. Maksud dari Classroom Discourse atau wacana kelas disini lebih
kepada apa yang terjadi di dalam kelas, terutama dalam hal komunikasi dalam
kelas. Komunikasi dalam kelas tersebut bisa saja terjadi antara sesama siswa
ataupun antara siswa dengan gurunya.
Dalam kelas formal terdapat dua pilar utama dalam berkomunikasi, yaitu:
text dan context. Text disini lebih
kepada proses pembelajaran yang terjadi dalam kelas. Seperti yang harus ada dalam Classroom
Discourse yaitu talk. Siswa diajarkan
bagaimana berbicara yang baik dan benar termasuk bagaimana text yang akan
dihasilkan. Diharapkan proses ini akan
mempermudah siswa dalam berinteraksi dengan orang lain.
Sedangkan untuk context, Betsy Rymes dalam bukunya
yang berjudul Classroom Discourse
Analysis: A Tool for Critical Reflection mengatakan, “How a word is being
used depend on the context. However, the
‘context’ for Classroom Discourse Analysis also beyond the classroom, and
within different components of classroom talk. To include any context that
affects what is said and how it is interpreted in the classroom.” Dapat kita lihat Betsy Rymes berpendapat
bahwa context haruslah lebih lebih luas daripada classroom itu sendiri. Context disini sebenarnya sebagai penunjang
siswa dalam memproduksi text. Seperti yang juga dikatakan oleh Lehtonen
(2000:111), konteks dilihat sebagai ‘backgrounds’ dari teks yang bisa juga
dibilang sebagai ‘informasi tambahan’ yang bisa menjadi bantuan untuk memahami
teks tersebut.
Pada dasarnya Classroom Discourse ini mempunyai
sifat yang complicated dan juga complexity.
Hal ini dikarenakan perbedaan banyak faktor-faktor yang menunjang
Classroom Discourse itu sendiri. Setiap
orang pasti memiliki perbedaan masing-masing begitu pula yang terjadi pada para
siswa. Perbedaan yang pertama dan yang
paling sering memicu konflik adalah latar belakang (background). Suatu kelas pasti akan terdiri dari
siswa-siswa yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Ada yang berbeda dalam hal bahasa, budaya
bahkan latar belakang pendidikannya.
Contohnya bisa kita lihat pada siswa-siswa SMP, ada siswa yang berasal
dari SD, MI atau bahkan home schooling.
Sedangkan jika kita lihat pada siswa SD, akan terlihat juga perbedaan
latar belakang pendidikan. Ada siswa
yang telah mengenyam bangku TK, atau bahkan PAUD, namun ada juga diantaranya
siswa yang tidak merasakan pendidikan sebelum SD (hanya pendidikan dasar dari
orang tuanya saja). hal inilah contoh
perbedaan yang terkadang bisa saja menimbulkan masalah.
Dalam proses berinteraksi yang terjadi dalam
Classroom Discourse, guru akan berperan penting untuk mengajarkan
siswa-siswanya cara berkomunikasi dengan baik dan benar. Sehingga nantinya siswa diharapkan dapat
mengetahui pasti bagaimana cara berkomunikasi dengan teman sebayanya dan juga
bagaimana cara berkomunikasi dengan orang yang lebih tua darinya.
Selain perbedaan latar belakang dan juga cara
berkomunikasi (dalam berkomunikasi ini bisa juga tentang perbedaan bahasa yang
dapat menimbulkan masalah), perbedaan selanjutnya yang juga dapat menyebabkan
Classroom Discourse bersifat complicated dan juga complexity adalah Goals. Maksud goals disini bukan seberapa banyak tendangan
yang masuk ke dalam gawang seperti dalam pertandingan sepak bola, akan tetapi
yang dimaksud dengan goals disini adalah tujuan yang dimiliki oleh
masing-masing siswa. Didunia ini, tiap-tiap
orang pasti akan memiliki tujuannya masing-masing, begitu pula dengan para
siswa. Mereka pun memiliki tujuan
masing-masing yang seringkali akan berbeda antara satu sama lainnya. Kita ambil saja contoh para (maha)siswa. Ketika ditanya apa tujuan mereka untuk
kedepannya? Mereka pasti akan menjawab dengan jawaban yang beraneka ragam. Ada yang menjawab ingin melanjutkan studinya
ke jenjang berikutnya (S2), ada yang menjawab tujuan mereka kuliah ini sebagai modal
untuk mereka mencari pekerjaan atau bahkan ada juga yang menjawab tujuan mereka
adalah untuk mencari jodoh.
Tujuan-tujuan yang berbeda-beda inilah yang pada akhirnya membuat pola
pikir mereka akan berbeda satu sama lainnya.
Perihal perbedaan-perbedaan yang ada ini, Betsy
Rymes juga mengatakan, “By targeting specific differences in discourse
patterns, this research into cross-cultural communication in classroom contexts
has been able to enhance teachers and students’ mutual understanding –
reconceptualizing deficits as differences, and differences as resources of
learning” Maksud dari kalimat ini adalah
perbedaan-perbedaan yang ada selama pembelajaran dalam Classroom Discourse ini
jangan dijadikan sebagai sumber masalah yang justru bisa menimbulkan perpecahan,
namun justru perbedaan-perbedaan inilah yang akan menjadi sumber
pembelajaran. Karena dari
perbedaan-perbedaan yang ada inilah kita bisa belajar bagaimana cara
menghormati orang lain sehingga terciptalah suatu kerukunan yang kita
damba-dambakan.
Classroom Discourse ini juga menjadi ajang bagi para
pendidik (guru) untuk menanamkan nilai-nilai (values) terhadap
siswa-siswanya. Nilai-nilai yang
dimaksud disini diantaranya adalah nilai-nilai kedisiplinan, nilai kejujuran,
nilai kesopanan dan juga nilai-nilai Pancasila.
Nilai-nilai inilah yang nantinya akan menjadi bekal untuk mempersiapkan
mereka semua untuk hidup sebagai anggota fungsional dalam suatu masyarakat yang
demokratis.
Salah satu cara ampuh untuk menanamkan nilai-nilai
yang disebut diatas adalah dengan cara diskusi dalam kelas. Ya, ini adalah salah satu strategi paling
ampuh dalam Classroom Discourse. Guru sering menugaskan siswa-siswanya dalam
tugas kelompok. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan indikator-indikator
penting dalam Classroom Discourse. Indikator-indikator
penting tersebut diantaranya seperti siswa dapat mendengarkan dengan penuh
perhatian, menyumbangkan ide-ide atau pendapat, mengajukan
pertanyaan-pertanyaan, menyatakan pendapat (baik setuju maupun tidak setuju) dengan
cara yang baik dan benar, berdebat dengan hormat dan pada akhirnya dapat
berkompromi dalam memutuskan suatu permasalahan. Diskusi adalah salah satu jalan untuk
mencapai indikator-indikator penting dalam Classroom Discourse tersebut. “By recording, viewing, transcribing, and
analyzing instances of talk in classroom, Classroom Discourse researches have
shown how differences in communication styles that lead to such lapses are
often interpreted by teachers and testing mechanism as deficits – emblems of
lack of intelligence, drive or ability.” (Betsy Rymes : 2008).
Classroom Discourse ini adalah cara untuk mewujudkan
suatu kerukunan yang merupakan cita-cita dari setiap orang, masyarakat, bangsa
dan negara ini. Salah satunya adalah Kerukunan
Beragama (Religious Harmony). Ya, pada
akhirnya memang kita akan membahas tentang kerukunan beragama. Hanya saja kesalahanku di critical review ku
yang kemarin adalah aku langsung membahas ke zona kerukunan beragama dan hanya
sekilas saja membahas tentang Classroom Discoursenya. Jika diibaratkan seperti yang telah aku
katakan di awal class review ini, aku salah naik gerbong. Seharusnya aku naik dari gerbong Classroom
Discourse sebelum pada akhirnya sedikit demi sedikit aku beranjak ke gerbong
kerukunan beragama. Namun, aku justru langsung naik ke gerbong kerukunan
beragama.
Kerukunan beragama ini dapat dibangun dengan dua
pilar utama, yakni: Tolerance dan Character Building. Tolerance disini maksudnya kita menghormati
dan menghargai penganut agama lain.
Terlepas dari apakah agama yang mereka anut dicap salah oleh agama kita dan
100% berbeda, namun kita tetap harus bertoleransi dan menghormati mereka. Seperti yang juga telah diatur oleh UUD 1945
khususnya pada pasal 29 ayat 2 yang berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.” Bisa kita lihat bahwa Negara telah menjamin
sebuah perlindungan terhadap semua umat beragama di Indonesia. Jadi, sudah sepantasnyalah jika kita sebagai
warga negara Indonesia yang baik dan taat terhadap peraturan akan menerapkan
toleransi antar umat beragama demi terciptanya kerukunan antar umat beragama
yang kita dambakan tersebut.
Sedangkan Character Building (pembangunan karakter)
inilah yang mempunyai sangkut paut yang erat dengan Classroom Discourse yang
telah kita bahas tadi. Pasalnya
pembangunan karakter ini perlu dilakukan dalam usia sedini mungkin. Sekolah yang notabene sebagai lembaga pendidikan
formal pertama bagi seorang siswa, memiliki peran yang penting mengenai hal
ini. Classroom Discourse yang dilakukan oleh pihak sekolah inilah yang pada
akhirnya mempunyai andil yang amat besar membangun karakter para generasi muda
penerus bangsa.
Sekarang kita telah mengetahui hubungan erat yang
terjadi antara Classroom Discourse dan juga Religious Harmony. Saya merasa setuju dengan Pak Chaedar yang
menyatakan bahwa Classroom Discourse akan membantu perkembangan Religious
Harmony (kerukunan beragama). Jadi, kita
sebagai calon guru harus mulai mempersiapkan Classroom Discourse yang akan kita
gunakan. Kita harus bergotong-royong
sekuat tenaga agar kerukunan beragama yang kita dambakan itu bukan lagi sebagai
wacana belaka.