Harmonisasi Classroom Discourse
Senin! Itulah hari yang menurut orang-orang adalah hari sibuk,
fullday, dan melelahkan. Hari senin telah menjadi icon hari yang tidak terlalu
disukai orang-orang karena biasanya hari senin adalah hari bangkitnya para
makhluk yang bernama manusia untuk kembali sekolah, bekerja, kuliah, dan
sebagainya setelah menikmati weekend. Hari senin pula menyimpan sebuah
ketegangan. Kegiatan yang berat dan
menyibukkan biasanya terjadi pada hari senin. Akan tetapi, berbeda dengan saya
yang kuliah di IAIN dan tidak merasakan libur weekend yang akhirnya senin
bagiku bukan hari bangkit dari libur akhir pekan. Namun, senin disini ialah
hari bangkit PBI A English Departement untuk membuka mata, pikiran, hati,
telinganya dalam belajar Academic
Writing,Writing 4. Hari yang seakan paling gengsi dan crucial ini, kami
merasakan aura-aura yang menarik pusat perhatian kami. Ya! seninku, writingku.
Di hari inilah kami menemukan the big inspiration and motivation for writing.
Tepatnya, pada hari
senin 24
februari 2014, kami bangkit untuk fighting dalam Mata Kuliah Writing and
Composition 4 (Academic writing). Memasuki meeting yang keempat ni memunculkan
rasa semangat lebih, khususnya saya karena tidak tahu mengapa saya semakin
penasaran akan kelanjutan Writing 4 ini. Memasuki part critical review pertama
membuat saya interest dan penasaran bagaimanakah critical review yang
sebenarnya itu. setelah membuat the first critical review ini, pikiran pun
terngiang-ngiang tak karuan memikirkan apakah saya telah benar dalam membuat
critical review? Apakah saya termasuk pembaca yang helpless or powerfull? So, semunya
telah dikupas habis oleh sang master Writing 4, Mr. Lala Bumela, M.Pd.
Hari itu menjadi hari pertama pengumpulan tugas “Critical Review”.
Ya, inilah salah satu jenis academic writing. Disini kita diberi ladang untuk
menkritik segala sesuatu yang ada di artikel tertentu. Critical review menjadi
sebuah wadah sang pembaca untuk mengekspresikan respon dan pendapatnya setelah
membaca sebuah artikel atau sejenisnya. Pembaca dapat mengarahkan kritik dan
sarannya dengan didukung oleh sumber yang terpercaya atau bukti-bukti yang
aktual.
Seorang pembaca yang
dikatakan powerfull ialah pembaca yang mampu merespon bacaannya, terlebih lewat
tulisan. Seperti itulah yang diajarkan pula Pak Lala kepada kami agar kami
menjadi pembaca yang berkualitas sehingga pak lala memberikan tugas critical
review sebuah artikel dari prof. A Chaedar Alwasilah, entittled : “Classroom
Discourse to Foster Religious Harmony” dari Pak Chaedar Alwasilah (2012 :217).
Kami di perintah merangkai minimal 2500 kata pada lembaran paper kami. kami pun
dituntut untuk mengkritisi sang penulis artikel seagresif mungkin.
Setelah dikumpulkannya
paper tersebut, fakta-fakta barupun terungkap. Hal yang seharusnya tak terjadi,
akhirnya terjadi. Disini, para calon penulis salah kaprah dalam menanggapi
artikel dari Pak Chaedar tersebut. Classroom Discourse yag menurut Pak Lala
harus dijadikan topik utama malah tersingkirkan begitu saja oleh pengkritik.
Para pengkritik malah condong membahas pendidikan dan kerukunan agama. Hal itu
sangat bertolak dengan Pak Lala yang memang menafsirkan cassroom discoure
sebagai topik utama yang harus diuraikan dan dikritik kemudian dikawinkan
dengan topik kedua yaitu religous Harmony.
Seutas pikiran terlintas
dalam benak saya. Saya yakin bahwa Pak Chaedar dalam artikel “Classroom Discourse
To Foster Religious Harmony” bercondong kearah pendidikan. Saya
tidak mencium aroma classroom discourse dalam artikel tersebut, yang ada malah
Pak Chaedar menjelaskan sistem pendidikan di indonesia dan permasalahan
mengenai toleransi di Indonesia. Bahkan, tak saya rasakan ada aroma classroom
discourse sedikitpun. Dalam pandangan saya, PakCchaedar memang menjelaskan overall
and almost about education. Hal yang memperkuat alasan ini salah satunya
ialah artikel ini terletak di halaman akhir bab 7 entittled: Pendidikan Umum
dan Liberal. Disinilah saya yakin bahwa Pak Chaedar overall talking about
education. Tak terlintas sedikitpun dalam pikiran saya unntuk menjadikan
variabel classroom discourse sebagai topik utama. Menurut saya, judulnya kurang
tepat dan kurang berhubungan dengan paragraf-paragrafnya.
Kekurangan &
kelebihan! Ya, akhirnya dengan rasa ada sesuatu yang janggal. saya menerima
kenyataan bahwa saya salah mengambil subjek, objek, dan sample dalam kritikan
review ini. Namun, saya juga sadar mungkin memang saya kurang tepat dalam
memanah makna dan tujuan bacaan yang telah saya analisa ini. Saya tidak balance
dalam menuangkan topik0topik yang harus diurai. Setiap paragraf yang saya
bangun masih berantakan antara paragraf utama dan pendukungnya. Kritikan saya
pula tidak menonjol sama sekali. Seakan saya hanya mendukung dan menguatkan
pendapat dari Pak Chaedar.
Berbicara mengenai
kekurangan memang tak ada habisnya. Saya menganggap tulisan saya masih jauh
dari kata sempurna. Dari segala segi, terlihat sekali tulisan ini masih crowded
dan tak karuan. Seperti yang diungkapkan sebelumnya, perspektif saya dalam
artikel Pak Chaedar ini adalah menitikberatkan ke point education, dan
itulah yang menjadi kekurangan paper ini karena salah mengambil topik utama
serta tidak menghubungkan antar Classroom Discourse dan Religious Harmony. Dilihat
dari judulnya pun sudah jelas bahwa saya condong kearah education. Judul
artikel tersebut adalah “Menengok Lalu Lantang Pendidikan Indonesia”.
Begitu minimnya variabel Classroom Discourse yang saya bahas.
Kekurangan-kekurangan tersebut menjadi sebuah tantangan besar agar lebih jernih
lagi dalam mengambil meaning dan context sebuah text.
Berlih kearah kelebihan,
saya rasa tidak ada sesuatu yang lebih dari tulisan ini. Saya hanya percaya
diri bahwa inilah hasil saya dan kerja keras saya. This is mine. Inilah handout
yang saya print dari otak saya yang menyimpan a thousand ideas. Yang saya sukai
dari paper ini adalah saya bisa berpendapat, mengkritik, menyerang, atau mendukung
sebuah artikel didukung dengan sumber terpercaya. Hal ini melatih mindset saya
menjadi seorang yang cekatan dan peka terhadap sesuatu.
Karena di dalam
critical review tadi tidak dijelaskan mengenai classroom discourse, disini akan
lebih dikupas lagi menganai apa itu classroom discourse? How and why classrom
discourse hal itu terdapat dalam buku “Clasroom Discourse Analysis “
(A tool for Critical Reflection) by Betsy Rymes, tahun 2008.
Analisa wacana adalah studi tentang bagaimana bahasa digunakan dan
dipengaruhi oleh konteks yang digunakannya. Di dalam kelas, konteks dapat
berkisar dari pembicaraan dalam pelajaran, untuk siswa selama bersosialisasi
dengan sejarah lembaga pendidikan. Ceremah analisis kelas menjadi analisis
wacana kritis ketika kelas-kelas peneliti mengambil efek dari konteks variabel
tersebut menjadi pertimbangan dalam analisis mereka.
Definisi yang
paling sederhana dari wacana adalah bahasa yang digunakan. Beberapa ahli bahasa
berpendapat bahwa fitur bahasa adalah kemampuannya untuk dikontekstualisasikan.
Sebagai contoh, kata ‘pohon’ tidak perlu pohon di sekitar untuk dipahami. Seorang
siswa akan memberitahu anda ia melihat ‘pohon’ hari ini, dan anda tidak tahu
apa yang dimaksud. Dia tidak perlu menunjuk pohon atau menggambarkannya kepada
anda. Hal ini bahasa dapat dikontekstualisasikan dan dapat menjadi fitur yang
membuat unik bahasa manusia.
Classroom
adalah konteks utama dan paling jelas dalam sebuah wacana. Namun, konteks untuk
analisis wacana kelas juga meluas di luar kelas dan dalam komponen yang berbeda
dari pembicaraan kelas, untuk mencakup konteks yang mempengaruhi apa yang
dikatakan dan bagaimana hal itu ditafsirkan dalam kelas . konteks dapat
dibatasi oleh batas-batas yang sesuai. Fisik bahasa di rumah mungkin berbeda
dari bahasa yang di sekolah .
Analisis wacana melibatkan dan menyelidiki bagaimana wacana (bahasa
yang digunakan) dan konteks yang mempengaruhi satu sama lain. Kadang-kadang
memahami mengapa seseorang mengatakan sesuatu dengan cara tertentu, melihat
konteks sebelumnya yang digunakan. Shirley Brice Heath (1983) mendokumentasikan
bagaimana sosialisasi berbagai rumah tangga dalam memecahkan masalah prestasi
belajar siswa.
Classroom discourse
analisis is one way to take the anthroplogi call perspective because it
provides the tools needed to step outside our own positio in interaktion in
classroom and see multriple slide of any discussions, cover,lesson, and so on.
Satu alasan penting untuk membangun atau
mempraktekan classroom discourse analisi adalah agar guru atau pengajar
mampu memahami segala masalah yang terjadi didalam kelas. One goal is
understending those multiple voices and the people behind them.
Pembahasan mengenai
wacana kelas sudah banyak dilakukan, pada penelitian ini yang dimaksud dengan
istilah wacana kelas dikaitkan dengan text linguistik. Hal ini karena istilah
juga menunjukan jenis register, tidak pada jenis wacana, sehingga bahasa
dikelas identik dengan classroom register (lih. Halliday, 1987:610).
Mackey (1967)
mengemukakan penelitiannya bahwa dalam situasi proses pembelajaran di kelas
terjadi interaksi antara guru dan siswa. Kesimpulan ini didukung oleh Arthur
(1983) yang mengemukakan bahwa dalam kelas terjadi pertukaran tindak atu interaksi selama proses belajar-mengajar.
Ada beberapa cara dalam mepraktekan classroom discourse, diantaranya recording,
viewing, transcribing, analyzing instances in classroom, and so on.
Berbicara mengenai
function dan context, kedua hal tersebut tentu jauh berbeda. Dari definisi
discourse sebagai bahasa membangun sebuah ide dan funtional linguist, M.AK Halliday
yang menekankan perbedaan tersebut.
Ada salah satu contoh
ketika seorang guru berinteraksi dengan bahasa sapaannya. Disini terlihat
signifikan perbedaanya.
Look at this table:
Language form
|
Context of
Use
|
Function
|
How are you?
|
a.
Teacher
addressing a studens entering the classroom.
b.
Conselor
addressing a students in her office.
|
a.
Greeting
b.
Question
|
Dengan demikian, ada suatu aspek yang penting ketika terjadinya
suatu proses belajar-mengajar (KBM). Hal tersebut ialah classroom
discourse. Hal Ini menjadi aspek yang sangat penting , terlebih untuk seorang guru agar bisa melakukan interaksi
dengan harmonisasi yang indah dan nyaman. Dengan terciptanya classroom
discourse yang baik, harmonisasi kelas pun terjaga baik dan membuat suasana
yang menentramkan.