Menciptakan Kerukunan Lewat Kelas
Author: Ida Fauziyah
Berkariblah dengan sepi, sebab
dalam sepi ada (momen) penemuan dari apa yang dalam riuh gelisah dicari. Dalam
sepi, ada berhenti menerima ramainya stimulus yang memborbardir indera kita. Stimulus
yang harus dipilah dan dipilih satu satu untuk ditafakuri, lalu dimaknai, dan
dijadikan berguna bagi kita. Bila tidak, mereka hanya dengungan yang bising di
kepala saja tak mengendap menjadi sesuatu yang
kita memahamai dunia (sedikit) lebih baik.
Berkariblah dengan sepi, sejak
dalam sepi kita menemukan diri yang luput dari penglihatan dan kesadaran ketika
beredar dalam ramai; dalam sepi kita dapat melihat pendaran diri yang
diserakkan gaduh, mendekat, lalu merapat, membentuk bayang yang jelas untuk
dilihat tanpa harus memuaskan keinginan yang lain. Berkariblah dengan sepi,
karena dalam sepi berlalu lalang inspirasi yang tak mengerti, atau tak dapat
kita tangkap ketika kita sibuk berjalan dalam hingar binger yang pekak.
Berkariblah dengan sepi, sebab dalam sepi suara hati lebih nyaring terdengar
jernih.
-Budi
Hermawan-
Quote
itulah yang mengawali pertemuan keempat Writing 4 pagi itu. Quote itu
menginspirasi kami. Quote itu seperti cahaya yang menerangi jalan kami untuk
kembali menjalani perjalanan “menulis”. Menulis dalam sepi.
Mr.
Lala mengungkapkan bahwasanya menulis itu
seperti meditasi. Untuk menulis perlu adanya ketenangan. Ketenangan biasa
didapatkan dalam keadaan sepi. Dalam sepi kami akan mendapati ide-ide yang
berlalu lalang. Jadi, kami akan lebih banyak dipaksa untuk meditasi dengan
menulis.
Terlepas
dari meditasi, menulis dalam sepi, kemudian Mr. Lala kembali membahas tentang tugas
critical review pertama kami yang bertemakan “Classroom Discourse Religious Harmony”. Mr. Lala memaparkan bahwa classroom discourse
adalah sesuatu yang luas. Di dalamnya ada teks dan konteks. Biasanya berada
pada area yang sifatnya formal.
Menurut
Mr. Lala keals merupakan “tempat suci” di
mana di dalamnya terdapat kegiatan yang mulia, yakni belajar. Tidak hanya belajar
tentang ilmu dan pengetahuan, melainkan juga belajar tentang kebiasaan,
nilai-nilai/norma/aturan dan masih banyak lagi. Kelas merupakan di mana
segalanya diharapkan menjadi berkembang dan lebih baik lagi.
Selain
itu, kelas juga nerupakan tempat yang “complicated”, di mana di dalamnya
terdapat interaksi baik anatara siswa dengan guru maupun antara siswa dengan
siswa lainnya. Interaksi tersebut berdasarkan pada banyak aspek, yakni:
1. Background
Seperti kita ketahui bahwa setiap siswa di kelas
memiliki latar belakang bahasa, pendidikan, ekonomi dan social budaya yang
berbeda satu sama lain. Untuk agama, mungkin tidak terlalu bermasalah apabila
dilingkungan sekolah yang berbasis Islam. Oleh karena itu, tidaklah mudah untuk
menyatukan atau pendapat dan sejenisnya beberapa siswa. Sudah pasti mereka
memiliki pandangan masing-masing mengenai suatu hal. Tugas guru yaitu bagaimana
mengelola dan mengontrol perbedaan tersebut. Dan juga bagaimana mengantisipasi
jika timbul masalah.
2. Strategi
komunikasi
Point ini menjelaskan bagaimana siswa berkomunikasi
dengan guru mapun dengan teman sebayanya di kelas. Tentu berbeda cara dan bahsa
yang digunakannya. Jika siswa ingin berkomunikasi dengan gurunya tentu harus
mengguanakan cara dan tata bahasa yang sopan. Lain halnya bila denga rekan
sebayanya, mereka dapat berbicara santai, namun tetap dalam context sopan,
apalagi jika berada dil lingkungan sekolah khususnya di kelas.
3. Goals-driven
Setiap siswa dikelas memiliki kemampuan yang
berbeda-beda. Ada yang mampu di ranah kognitif, afektif fan psikomotor. Jadi,
guru tidak dapat memaksakan siswanya untuk mampu di ranah kognitif jika
siswanya mampu di ranah afektif ataupun psikomotor dan begitu pun sebaliknya.
Tugas guru yaitu bagaimana membuat siswanya mengembangkan minat dan bakat serta
potensi yang mereka miliki.
4. Values
Di kelas, siswa tidak hanya diajarkan mengenai ilmu
dan pengetahuan, tetapi juga tentang nilai-nilai seperti disiplin, kesopanan,
toleransi, bagaimana menghormati, menghargai, memperlakukan orang lain dan
sebagainya. Di kelas juga siswa dilatih bagaimana membuat atau menciptakan
makna. Hal itu bisa dilakukan melalui banyak hal seperti membaca teks,
berdiskusi, menulis, mendengarkan dan masih banyak lagi. Tugas guru yaitu
bagaimana merealisasikan hal tersebut di dalam kelas.
Penjelasan
tentang classroom discourse belum kami bahas dalam critical review kami yang
pertama. Untuk penjelasan lebih dalam mengenai classroom discourse, Mr. Lala
merekomendasikan ebook “Classroom
Discourse Analysis” yang ditulis oleh Betsy. Ebook tersebut dapat kita gunakan
untuk mempelajari lebih dalam lagi tentang classroom discourse.
Untuk
pembahasan religious harmony di dalam
critical review pertama kami seharusnya kami bisa mengaplikasikannya dengan
beberapa cara seperti membangun toleransi, membangun karakter dan lain-lain.
Kami juga seharusnya mampu memaparkan bagaimana posisi strategis dari KEMENAG,
IAIN/UIN/STAIN sebagai salah satu yang terkait dan mempunyai peran penting
dalam menciptakan kerukunan beragama, terlebih khusus di kelas. Namun, kami
belum sampai pada point-point tersebut dalam mengkritik tulisan Dr. Chaedar yang berjudul “Classroom Discourse Religious Harmony” tersebut.
Percaya
atau tidak, bahwasanya konflik keagamaan itu lebih banyak terjadi daripada yang
ditulis ataupun ditayangkan oleh public. Mungkin karena kita “kurang peduli”
dan seakan tutup mata dan tutup telinga jika melihat atau mendengar konflil.
Kita seperti acuh tak acuh akan hal itu. Bisa jadi kita hanya menjadi penonton
pasif yang tidak ada tindakan lanjutan.
Dari
pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk membangun kerukuna beragama
salah satunya dapat dilakukan di kelas. Sadar atau tidak, kita sebgai siswa/mahasiswa
adalah “Agen
of Change”.
Baik buruknya bangsa kita ke depan bergantung pada kita sebgai penerus bangsa.
So, lets
change and be better!