Class Review 4

Menjadi Sebenar-benarnya Mahasiswa
Author: Aulia Priangan


Hidup selalu menyuguhkan perubahan. Banyak sekali perubahan yang terjadi pada semester 4 sekarang ini. Tugas-tugas laksana jamur yang bermekaran tatkala musim hujan datang menyapa. Bahkan, dalam hal perkembangbiakan amoeba pun kalah cepat dengan perkembangbiakan tugas. Pepatah lawas yang berbunyi “mati satu tumbuh seribu” seakan mampu menggambarkan alur kehidupan tugas pada semester 4 ini.
            Kehidupan mahasiswa selalu dipenuhi oleh tugas, tugas, tugas dan tugas. Tugas-tugas tersebut selalu bergentayangan dalam pikiran, bersimpang siur dalam ingatan dan menjadi penghias mimpi-mimpi. Pokoknya, semester 4 ini merasa menjadi mahasiswa seutuhnya. Bergadang tiap malam demi mengejar deadline (maklum SKS masih mendoktrinisasi) dan semakin berkarib dengan sepi.
             Dari sekian banyak tugas yang harus dikerjakan mahasiswa, tugas writing-lah yang memerlukan perhatian lebih ketika mengerjakannya. Segala kemampuan kami tercurahkan dalam mata kuliah ini. Bukan hanya kemampuan meracik kata-kata sehingga menghidangkan teks yang enak. Akan tetapi, kemampuan pendukung seperti membaca dan berpikir kritis sangat diperlukan.
            Mata kuliah writing menciptakan ‘ritual’ baru dalam siklus kehidupan saya. Ritual tersebut bernama begadang. Setiap kali mengerjakan tugas writing, ritual begadang tak pernah absen. Ketika menjalani ritual tersebut, netbook-lah yang setia menemani dalam mengarungi kesunyian malam. Dalam kesunyian, banyak ide-ide cemerlang bertebaran di semeseta. Ide-ide cemerlang tersebut perlu ‘dipenjaran’ agar tidak pergi dan berterbangan kembali di semesta. Penjara tersebut bernama tulisan.
            Minggu lalu (19/02/2014), tugas writing adalah membuat critical review terhadap artikel Prof. A. Chaedar Alwasilah yang bertajuk “Classroom Discourse to Force Religion Harmony”. Critical review yang saya buat ternyata condong kepada sistem pendidikan Indonesia yang salah sehingga menyebabkan kurangnya keharmonisan antara umat beragama. Tulisan yang saya buat tidak menyinggung tentang classroom discourse sama sekali.
            Pertemuan ke empat, 24 Februari 2014 mengevaluasi critical review yang telah kita buat. Awalnya, Mr. Lala menjelaskan mengenai classroom discourse terlebih dahulu. Beliau mengatakan bahwa classroom discourse merupkan situs yang suci. Hal ini karena tidak sembarang orang dapat mengaksesnya atau masuk kedalam situs tersebut.
            Konteks dari artikel yang ditulis Prof. Chaedar adalah classroom discourse atau wacana kelas. Konteks dari classroom discourse adalah formal. Dikatakan formal karena pengajarannya di kelas yang hanya diselenggrakan di lembaga pendidikan formal.
            Dalam wacana kelas terdapat interkasi. Interaksi yang terjadi di dalam classroom discourse tentu akan rumit atau complicated. Interaksi yang complicated tersebut disebabkan oleh beberapa hal, yakni:
1.      Perbedaan Background
Perbedaan yang tercipta di dalam kelas membuat interaksi terasa rumit. Bukan hal yang mudah untuk memulai interaksi dengan hal-hal yang berbeda dari kita. Perbedaan dalam background meliputi bidang agama, bahasa, pendidikan, ekonomi dan sosial budaya.
2.      Communicative
Wacana kelas atau classroom discourse merupakan ‘situs’ yang formal. Oleh karenan itu, dalam berinteraksi di dalamnya harus tidak boleh sembarangan (karena konteksnya formal).
3.      Goals – Driven
Tujuan dari wacana kelas menghasilkan peserta didik yang bagus di ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.
a.       Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Segala upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif.
b.      Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai.
c.       Ranah psikomotorik adalah ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) tau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu
Selain di dalam kelas, rumah yang merupakan lingkungan paling dekat dengan peserta didik merupakan tempat yang paling penting dalam membangun ketiga ranah tersebut. Hal ini karena pembelajaran di kelas dibatasi oleh waktu yang singkat sedangkan di rumah tidak.
Ketiga ranah yang telah baik akan membangun
4.      Values
a.       Ideologi: penerapan tiga ranah yang benar menghasilkan ideologi pada setiap peserta didik.
b.      Meaning- making practice: setelah mempunyai ideologi, mempraktikkan merupakan hal yang paling penting dalam membuat arti.
 
Classroom Discourse



Setelah tuntas membahasa classroom discourse, hal yang perlu kami soroti lagi adalah religioun harmony. Urutan dalam pembuatan critical review pun pertama membahas mengenai wacana kelas lalu membahas keharmonisan umat beragama.
Keharmonisan antara umat beragama tercipta dari adanya rasa toleransi yang besar di tiap-tiap penganut agama. Selain memerlukan toleransi, pembangun karakter seseroang juga ikut berperan penting dalam menciptakan keharmonisan antara umat beragama. Pembangunan karakter terjadi di dalam kelas dan lingkungan keluarga manusia. Oleh karenanya, antara wacana kelas dan keharmonisan umat bergama berkolerasi.
            Konflik antara umat beragama banyak bermunculan di media sekarang-sekarang ini. Padahal, konflik antara umat beragama sebenarnya seperti gunung es. Terlihat kecil di atas permukaan air padahal di bawahnya permasalahan antara umat beragama banyak sekali. Konflik yang diangkat kepermukaan dan disebar luakskan di media masa tidak seberapa dengan konflik yang tidak terangkat ke media massa.
            Negara tercinta kita, Indonesia tidak menganggap pemurtadan seseorang merupakan tidak pidana. Padahal di negara lain, pemurtadan dikategorikan tindak pidana. Modus pemurtadan dapat berkedok apapun. Misalnya saja 3D yang terkenal dari agama Kristen, yakni Dipacari, Dihamili, dan Dikristenkan. Kasusnya adalah orang beragama Kristen menikahi seorang perempuan muslim. Awalnya pria tersebut mau memeluk Islam. Akan tetapi, setelah pernikahan mereka dikarunia anak, pria yang awalnya beragama Kristen akan mengenalkan Kristen terhadap anaknya. Akhirnya, pria tersebut mengancam istrinya untuk memilih tetap melanjutkan pernikahan tetapi pindah agama menjadi Kristen atau bercerai dan perempuan tersebut berhak memeluk agama Islam tanpa membawa anak. Perempuan yang kurang pendiriannya pasti akan memutuskan memilih anaknya, yaitu melangsungkan pernikahan walau kemudian berpindah agama. Oleh karenanya, Islam tidak membolehkan para muslimah menikahi orang non-Muslim.
            Betsy Rymes dalam bukunya yang berjudul “Classroom Discourse Analysis: A Tool For Critical Reflection” mengatakan bahwa mencermati pembicaraan dapat mengungkap pola umum perbedaan komunikasi antara kelompok orang yang berbeda. (Betsy : 2008). Bestsy Rymes juga menuliskan “By recording, viewing, transcribing, and analyzing instate of talking in classroom, classroom discourse have shown how differences in communication style that lead to such lapses are often interpreted by teachers and testing mechanism as deficits− emblems of lack of intellegency, drive or ability. However, a closer at communication difference rather than deficit” (Betsy : 2008). Makna dari penggalan di atas adalah dengan merekan, melihat, menyalin dan menganalisis contoh interkasi (talk) di kelas, peneliti wacana kelas telah menunjukkan bagaimana perbedaan dalam gaya berkomunikasi yang mengarah pada penyimpangan seperti itu sering ditafsirkan oleh guru dan mekanisme penguji sebagai defisit− lambang kurangnya kecerdasan, drive atau kemampuan. Namun, melihat lebih dekat pola wacana biasanya mengungkap perbedaan komunikasi daripada defisit. Hal ini menunjukkan bahwa interkasi di dalam kelas mempengaruhi sikap individu. Dengan mencermati orang yang sedang berbicara kita dapat mengetahui bahwa setiap orang berbeda. Oleh karenanya, perlu ditanamkan sejak sedini mungkin akan pemahaman bahwa setiap individu intu berbeda-beda, uniq.
            Berdasarkan uraian-uraian yang telah disampaikan mengenai kekurangan saya ketika membuat critical review dapat disimpulka bahwa kesalahan itu merupakan tanda bahwa kita belajar. Tanpa belajar kita tidak akan mampu mencicipi rasanya salah dan benar. Belajar sendiri merupakan proses perubahan tingkah laku atau pengetahuan dari tidak tahu menjadi tahu atau dari salah menjadi benar.

            Layaknya belajar, kehidupan pun merupakan sebuah proses. Jika saat ini kita menikmati susahnya belajar, lelahnya mengerjakan tugas-tugas atau kurang tidur akibat mengejar deadline, maka kelak di kemudian hari kita akan menuai hasilnya. Sebab hidup itu hubungan ebab akibat. Sama halnya seperti interkasi yang terjadi di dalam kelas. Ada banyak faktor yang menyebabkannya menjadi rumit atau complicated dengan hubungannya dengan keharmonisan antar umat beragama. 
Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment