Class Review-4

Jembatan, Bukan Perintang
(by Desi Diana)

Classroom discourse to foster religious harmony, adalah judul perdana kami untuk tugas critical review.  Hari senin, dengan semangat saya berangkat ke kampus.  Setiap perjalanan menuju ke kampus, pikiran saya melayang entah kemana.  Tetapi tetap saja, saya berpikir apakah tugas critical review yang saya kerjakan ini benar atau sangat melenceng jauh dari apa yang harus di critic.  Entahlah, saya berharap semoga tugas ini menjadi jembatan bagi saya untuk terus berlatih dan belajar lagi.  Jangan jadikan ini sebagai perintang.  Akan tetapi, jadikan ini semua sebagai jalan untuk menuju Roma.  Keep spirit for me.
Mr.Lala mengatakan bahwa tantangan kita untuk semester-4 ini lebih berkelok-kelok, banyak sekali tantangan yang harus kita taklukan.  Kita warga PBI harus bangkit, mari kita tunjukkan pada dunia bhwa kita bisa kita mampu untuk berkarya dan berprestasi.  Mr.Lala telah membumingkan karya kami yang ada di blogger kepada semuanya.  Perubahan-perubahan warga PBI ini sangat progresiv.  Kami sngat bersyukur dan dengan semangat yang membara kami akan terus belajar dengan sungguh-sungguh.
Critical review perdana kami akan dievaluasi dan apakah sudah benar dalam mengkritik masalah yang seharusnya kita bahas.  Sebelum kami mengevaluasi, Mr.Lala menunjukkan kepda kami kata-kata yang bisa dikatakan sebgai pencerahan untuk kami semua.  Ini adalah kata-kata dosen dari Mr.Lala.  dosen Budi Hermawan.  Seperti ini kata-katanya,
Berkariblah dengan sepi, sebab dalam sepi ada [momen] penemuan dari apa yang dalam riuh gelisah dicari. Dalam sepi ada berhenti dari menerima ramainya stimulus yang memborbardir indera kita. Stimulus yang harus dipilah dan dipilih satu satu untuk ditafakuri, lalu dimaknai, dan dijadikan berguna bagi kita”.
Setelah itu kami mengevaluasi tugas critical review kami masing-masing.  Kami baca ulang dan kita mnevaluasi apa yang sudah kami critic.  Ternyata masih banyak kesalahan pada kami, gerbong yang kami masukin salah pemirsahhh… oh No! seharusnya kami membahas lebih dalam tentang classroom discourse.  Sedangkan saya lebih banyak membahas masalah sistem pendidikan dan cara menjalin kerukunan dan menghormati kepada yang berbeda agama atau budaya di dalam kelas.  Kekurangan dari tulisan kritikan saya masih banyak paragraph yang seharusnya tidak terlalu penting untuk di tulis, masih belum memahami apa yang dimaksud dengan classroom discourse to foster religious harmony, dan masih banyak kutipan-kutipan dari orang lain, penjabaran dan kritikan sendirinya masih biasa saja.
Ternyata classroom ini sangatlah complicated, hal ini adalah sesuatu yang besar dan situs yang suci.  Di dalamnya ada text dan context.  Context ini sangatlah formal, bukan hanya guru dan murid saja.  Karena ada sebuah interaksi, baik budayanya, bahasa, education, dan ekonomi.  Ini terjadi karena adanya, (1) Backround (2) Communicative (3) Goals-driven dan, (4) Valius?  Di dalam kelas, context dapat bergerak dari pembicaraan dalam pelajaran.  Untuk para siswa bersosialisasi seumur hidupnya.
Di dalam bukunya Betsy (2000) lebih menekankan analisis classroom discourse.  Tujuan Betsy menulis buku ini adalah untuk memberikan atau menyediakan guru-guru alat untuk menganalisis pembicaraan mereka di dalam kelas.  Mengapa harus membuang-buang waktu untuk menganalisis hal tersebut? Betsy mempunyai alasannya:
1.      Wawasan yang diperoleh dari analisis wacana kelas telah meningkatkan saling mengerti antara guru dan siswa.
2.      Dengan menganalisis wacana kelas sendiri, guru telah mampu memahami perbedaan local dalam kelas berbicara melampaui stereotip atau generalisasi budaya lainnya.
3.      Ketika para guru menganalisis wacana di kelas pada mereka sendiri, prestasi akademik akan meningkat, dan
4.      Proses melakukan analisis wacana kelas dapat dengan sendirinya menumbuhkan intrinsic dan cinta seumur hidup untuk praktek mengajar dan umum meneguhkan potensial hidupnya.
Definisi paling sederhana dari “discourse” adalah bahasa yang digunakan.  Bahasa selalu kita gunakan, jadi mengapa tidak hanya menyebutnya “bahasa”.  Kaeena fitur dari “discourse” mendefinisikan (that it is “in-use”).  Kemampuannya untuk de-dikontektualisasikan.  Dalam hal ini bahasa adalah de-contextualizable dan hal ini dapat membuat unik bahasa.  Bagaimana sebuah kata digunakan tergantung pada context.  Pembicaraan di dalam kelas contexnya akan mempengaruhi context yang ada di luar kelas, sedangkan pembicaraan di luar context kelas memiliki lebih luas dan berbagai kemungkinan yang dapat diterima dan produktif.  Di dalam kelas siswa dapat berintertaksi dengsn teman-temannya dan dapat bercerita apa saja untuk membangun keharmonisan di dalam kelas.

Dimensi dasar dari classroom discourse adalah pengaruh luas dari context social di luar kelas untuk apa yang akan dikatakan di dalam kelas.  Bahasa yang digunakan (discoures) dan context social saling mempengaruhi satu sama lain dalam sebuah dialectic relationship.  Tidak hanya apa yang kita katakana yang fungsinya berbeda tergantung pada konteks sosialnya, lihat diagram dibawah ini,
Language-in-use          affects                   Social Context
Bahasa yang kita gunakan itu sangat mempengaruhi context social.  Begitupun dengan social context dapat mempengaruhi bahasa yang kita gunakan.  Semuanya saling mempengaruhi.
            Dari uraian diatas dapat saya simpulkan, bahwa kita hidup di lingkungan yang mengharuskan kita untuk bersosialisasi dan berinteraksi, baik didalam lingkungan rumah,sekolah dan sekitarnya.  Interaksi social yang kita lakukan sangatlah penting untuk kita selalu bersosialisasi, menghormati, menghargai sesame manusia.  Dalam hal ini pastinya yang kita gunakan adalah bahasa.  Jadi, bahasa yang harus kita ucapkan sesuai dengan context yang sedang terjadi dalam situasi yang dialami.  Kita harus mengetahui konteks yang sedang terjadi.  Supaya suatu keharmonisan didalamnya dapat tercipta dengan baik.        



Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment