Jembatan, Bukan Perintang
(by Desi Diana)
Classroom discourse
to foster religious harmony, adalah judul perdana kami untuk tugas critical
review. Hari senin, dengan semangat saya
berangkat ke kampus. Setiap perjalanan
menuju ke kampus, pikiran saya melayang entah kemana. Tetapi tetap saja, saya berpikir apakah tugas
critical review yang saya kerjakan ini benar atau sangat melenceng jauh dari
apa yang harus di critic. Entahlah, saya
berharap semoga tugas ini menjadi jembatan bagi saya untuk terus berlatih dan
belajar lagi. Jangan jadikan ini sebagai
perintang. Akan tetapi, jadikan ini
semua sebagai jalan untuk menuju Roma. Keep
spirit for me.
Mr.Lala mengatakan
bahwa tantangan kita untuk semester-4 ini lebih berkelok-kelok, banyak sekali
tantangan yang harus kita taklukan. Kita
warga PBI harus bangkit, mari kita tunjukkan pada dunia bhwa kita bisa kita
mampu untuk berkarya dan berprestasi.
Mr.Lala telah membumingkan karya kami yang ada di blogger kepada
semuanya. Perubahan-perubahan warga PBI
ini sangat progresiv. Kami sngat
bersyukur dan dengan semangat yang membara kami akan terus belajar dengan
sungguh-sungguh.
Critical review
perdana kami akan dievaluasi dan apakah sudah benar dalam mengkritik masalah
yang seharusnya kita bahas. Sebelum kami
mengevaluasi, Mr.Lala menunjukkan kepda kami kata-kata yang bisa dikatakan
sebgai pencerahan untuk kami semua. Ini adalah
kata-kata dosen dari Mr.Lala. dosen Budi
Hermawan. Seperti ini kata-katanya,
“Berkariblah dengan sepi, sebab dalam sepi ada [momen] penemuan dari apa
yang dalam riuh gelisah dicari. Dalam sepi ada berhenti dari menerima ramainya
stimulus yang memborbardir indera kita. Stimulus yang harus dipilah dan dipilih
satu satu untuk ditafakuri, lalu dimaknai, dan dijadikan berguna bagi kita”.
Setelah itu kami
mengevaluasi tugas critical review kami masing-masing. Kami baca ulang dan kita mnevaluasi apa yang
sudah kami critic. Ternyata masih banyak
kesalahan pada kami, gerbong yang kami masukin salah pemirsahhh… oh No!
seharusnya kami membahas lebih dalam tentang classroom discourse. Sedangkan saya lebih banyak membahas masalah
sistem pendidikan dan cara menjalin kerukunan dan menghormati kepada yang
berbeda agama atau budaya di dalam kelas.
Kekurangan dari tulisan kritikan saya masih banyak paragraph yang
seharusnya tidak terlalu penting untuk di tulis, masih belum memahami apa yang
dimaksud dengan classroom discourse to foster religious harmony, dan masih
banyak kutipan-kutipan dari orang lain, penjabaran dan kritikan sendirinya
masih biasa saja.
Ternyata classroom
ini sangatlah complicated, hal ini adalah sesuatu yang besar dan situs yang
suci. Di dalamnya ada text dan
context. Context ini sangatlah formal,
bukan hanya guru dan murid saja. Karena ada
sebuah interaksi, baik budayanya, bahasa, education, dan ekonomi. Ini terjadi karena adanya, (1) Backround (2)
Communicative (3) Goals-driven dan, (4) Valius?
Di dalam kelas, context dapat bergerak dari pembicaraan dalam
pelajaran. Untuk para siswa bersosialisasi
seumur hidupnya.
Di dalam bukunya
Betsy (2000) lebih menekankan analisis classroom discourse. Tujuan Betsy menulis buku ini adalah untuk
memberikan atau menyediakan guru-guru alat untuk menganalisis pembicaraan
mereka di dalam kelas. Mengapa harus
membuang-buang waktu untuk menganalisis hal tersebut? Betsy mempunyai
alasannya:
1.
Wawasan yang diperoleh dari analisis wacana kelas telah
meningkatkan saling mengerti antara guru dan siswa.
2.
Dengan menganalisis wacana kelas sendiri, guru telah mampu
memahami perbedaan local dalam kelas berbicara melampaui stereotip atau
generalisasi budaya lainnya.
3.
Ketika para guru menganalisis wacana di kelas pada mereka
sendiri, prestasi akademik akan meningkat, dan
4.
Proses melakukan analisis wacana kelas dapat dengan
sendirinya menumbuhkan intrinsic dan cinta seumur hidup untuk praktek mengajar
dan umum meneguhkan potensial hidupnya.
Definisi paling
sederhana dari “discourse” adalah bahasa yang digunakan. Bahasa selalu kita gunakan, jadi mengapa
tidak hanya menyebutnya “bahasa”. Kaeena
fitur dari “discourse” mendefinisikan (that it is “in-use”). Kemampuannya untuk
de-dikontektualisasikan. Dalam hal ini
bahasa adalah de-contextualizable dan hal ini dapat membuat unik bahasa. Bagaimana sebuah kata digunakan tergantung
pada context. Pembicaraan di dalam kelas
contexnya akan mempengaruhi context yang ada di luar kelas, sedangkan
pembicaraan di luar context kelas memiliki lebih luas dan berbagai kemungkinan
yang dapat diterima dan produktif. Di dalam
kelas siswa dapat berintertaksi dengsn teman-temannya dan dapat bercerita apa
saja untuk membangun keharmonisan di dalam kelas.
Dimensi dasar dari
classroom discourse adalah pengaruh luas dari context social di luar kelas
untuk apa yang akan dikatakan di dalam kelas.
Bahasa yang digunakan (discoures) dan context social saling mempengaruhi
satu sama lain dalam sebuah dialectic relationship. Tidak hanya apa yang kita katakana yang
fungsinya berbeda tergantung pada konteks sosialnya, lihat diagram dibawah ini,
Language-in-use affects
Social Context
Bahasa yang kita
gunakan itu sangat mempengaruhi context social.
Begitupun dengan social context dapat mempengaruhi bahasa yang kita
gunakan. Semuanya saling mempengaruhi.
Dari uraian diatas dapat saya
simpulkan, bahwa kita hidup di lingkungan yang mengharuskan kita untuk
bersosialisasi dan berinteraksi, baik didalam lingkungan rumah,sekolah dan
sekitarnya. Interaksi social yang kita
lakukan sangatlah penting untuk kita selalu bersosialisasi, menghormati,
menghargai sesame manusia. Dalam hal ini
pastinya yang kita gunakan adalah bahasa.
Jadi, bahasa yang harus kita ucapkan sesuai dengan context yang sedang
terjadi dalam situasi yang dialami. Kita
harus mengetahui konteks yang sedang terjadi.
Supaya suatu keharmonisan didalamnya dapat tercipta dengan baik.