Berikan Aku
Hidayah-Mu
“Memberikan
hidayah-Nya agar dapat menjalankan praktik literasi dengan baik.”
-- Hadi Wibowo
Pembahasan mengenai literasi mengungkit
beberapa hal yang masih terselubung. Salah satunya adalah sejarah. Hal inilah
yang belum saya ketahui hingga akhirnya di pertemuan ke 5 Writing and
Composition 4 ini membahasnya. Termasuk di pertemuan inilah Critical Review
yang kedua dibahas dengan gamblang oleh Mr. Lala Bumela.
Howard Zinn merupakan tema hangat di
pertemuan ini. Beliau merupakan orang yang berani menerangkan kepada masyarakat
AS (Amerika Serikat) bahwasanya Columbus adalah penjahat besar. Sehingga pada
pertemuan ini Mr. Lala menyuruh kita untuk membuat karangan bebas mengenai
Howard Zinn. Namun hal yang tidak terduga terjadi.
Dalam pertemuan ini dijelaskan mengenai
hubungan penting antara Literacy dan History. Literasi telah mengubah
sejarah, sejak zaman Nabi Idris A.S. yang pertama kali menemukan cara untuk
menulis, manusia telah membuat sejarah yang besar dengan membaca dan menulis.
Tidak hanya berhenti sampai di situ saja, literasi juga mengubah bidang-bidang
lain. Seperti halnya bidang ekonomi, di mana penggunaan literasi telah mengubah
dunia ekonomi sejak turunnya wahyu dari Al Qur’an surat Al Baqoroh ayat 282.
Begitu pentingnya literasi ini malah
membuat sebagaian orang terlena. Literasi dianggap hanya sebuah praktik baca
dan tulis saja tanpa ada tindak lanjut. Hal inilah yang membuat masyarakat di
beberapa negara, susah untuk maju, termasuk di Indonesia. Praktik literasi
hanya sebagai program sekolahan saja tanpa ada praktik nyata dalam kehidupan
sehari-hari.
Ken Hylan (2006) menyatakan bahwa
“Literacy is something we do.” Literasi menyangkut pada semua hal yang kita
lakukan. Mulai dari urusan dapur hingga hiburan, tak luput dari literasi. Oleh
karena itu, menurut Hamilton (1998) literasi adalah aktifitas yang terdapat
pada interaksi antar manusia. Begitu canggihnya zaman, semua aktifitas interaksi
kita tidak luput dari literasi. Mengirim pesan pendek, berkumpul di jejaring social
dan proses pengajaran merupakan praktik nyata literasi dalam kehidupan
sehari-hari. Bayangkan apabila kita tidak menguasai literasi ini, julukan gaptek mungkin akan hinggap di diri
kita.
Lalu kenapa manusia di zaman sekarang
seolah-olah tidak peduli dengan literasi? Kembali lagi kepada praktik literasi
yang terjadi di masyarakat sekarang. Literasi dianggap hal yang aneh karena
mereka jarang mengenyam karya-karya ilmiah. Entah mereka malas membaca
karya-karya ilmiah tersebut atau karya-karya ilmiah tersebut yang membuat
mereka malas membaca.
Proses menulis adalah soal menguraikan teks sesuai
dengan apa yang penulis cukup bisa berasumsi bahwa pembaca tahu dan mengharapkan, dan proses membaca adalah
masalah memprediksi teks sesuai dengan apa pembaca
mengasumsikan tentang tujuan penulis. (M. Nystrand,
1989: 75) Apabila
pembaca malah malas membaca karya ilmiah itu berarti ada yang salah dengan si
pembaca. Dalam membaca ada yang dinamakan proses pemaknaan atau
Intertekstualitas.
Teori
intertekstualitas pada awalnya diperkenalkan oleh Julia Kristeva seorang
peneliti dari Prancis mengungkapkan dalam (Culler, 1981: 104) bahwa jumlah
pengetahuan yang dapat membuat suatu teks sehingga memiliki arti, atau
intertekstualitas merupakan hal yang tak bisa dihindari, sebab setiap teks
bergantung, menyerap, atau merubah rupa dari teks sebelumnya.
Intertekstualitas adalah pembentukan makna teks oleh teks
lain yang lain. Menurut Bakhtin yang dikutip dari Key Hyland (2002:33),
intertextuality adalah wacana selalu terkait dengan wacana lain, baik saat
wacana tersebut berubah dari waktu ke waktu atau kesamaan wacana tersebut pada
setiap titik. Ini menghubungkan teks pengguna pada teks sebelumnya dan
menyediakan sistem pilihan untuk membuat makna yang telah dihubungkan tersebut.
Menurut Kristeva, intertekstualitas dapat
digambarkan sebagai:
1. Kehadiran suatu teks di dalam teks yang
lain.
2. Adanya
petunjuk yang menunjukkan hubungan antar teks dengan teks yang sebelumnya.
3. Adanya fakta bahwa penulis suatu teks
pernah membaca teks-teks yang berpengaruh sehingga nampak jejak-jejaknya.
4. Pembaca suatu
teks tidak akan pernah bisa membaca teks secara terpisah dengan teks yang lain.
Menurut Bennet dan Wollacot (Lehtonen 2000: 120)
wacana dan intertextual mempengaruhi teks tidak hanya dari luar,
tetapi juga dari dalam bentuk-bentuk historis konkret dimana mereka yang
bersedia sebagai teks yang dapat dibaca. Hubungan intertextual dibagi menjadi dua John Fisker yaitu:
1.
Horizontal
Teks premier dengan teks premier (genre,
konteks, isi)
2.
Vertical
Teks premier dengan lainnya (sekunder) (teks
berbeda yang merujuk ke premier)
Menurut Bakhtin (1986) dalam buku Ken Hyland (2002: 33) Intertekstualitas
menunjukkan bahwa wacana selalu terkait dengan wacana lain, baik saat mereka
berubah dari waktu ke waktu dan mereka kesamaan pada setiap titik waktu. Ini
menghubungkan teks-pengguna ke jaringan teks sebelum dan sebagainya menyediakan
sistem pilihan untuk membuat makna yang dapat dikenali oleh lain teks-pengguna.
Karena mereka membantu menciptakan makna yang tersedia dalam suatu budaya,
konvensi dikembangkan dalam cara menutup interpretasi tertentu dan membuat
orang lain lebih mungkin, dan ini membantu menjelaskan bagaimana penulis
membuat pilihan retoris tertentu saat menulis.
Tujuan kajian
intertextualitas itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara penuh
terhadap sebuah karya. Penulisan atau pemunculan sebuah karya sering ada
kaitannya dengan unsur kesejarahan sehingga pemberian makna itu akan lebih
lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan tersebut. (Teeuw, 1983: 62)
Kembali pada masalah yang terjadi di
masyarakat sekarang, kebanyakan mereka hanya menangkap apa yang mereka dengar
tanpa mengolahnya terlebih dahulu. Berbeda dengan proses literasi yang berasal
dari sebuah bacaan yang kemudian dimaknai oleh si pembaca untuk diolah dan
diproduksi kembali menjadi teks baru.
Hal yang sama juga terjadi pada saya di
pertemuan ke 5 ini. Kesalahan dalam menangkap dan mengolah informasi membuat
saya jatuh terpuruk ke lembah “kesesatan”. Di mana ketika Mr. Lala menyuruh
kita untuk menulis bebas, bukannya malah menullis tentang Howard Zinn tetapi
saya malah menulis tentang teknik menulis yang baik dan benar. Akibatnya saya
harus menulis ulang. Berikut hasil karya saya:
“Howard Zinn,
the creator of fenomenal book that changed United States people’s mind about
Christopher Columbus. His book made entire United States people mad and claimed
that his teacher was a communist. Howard Zinn’s struggle wasn’t over at that
time, he revealed the craziest things that Columbus did in the past.”
Terbatasnya
waktu membuat tulisan saya hanya berhenti sampai di situ, sehingga dapat
disimpulkan di sini bahwa dengan memahami lebih dalam literasi dan
mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari akan membuat pemikiran kita jauh
lebih maju. Sehingga saya berdoa kepada Allah SWT supaya memberikan hidayah-Nya
agar dapat menjalankan praktik literasi dengan baik.