“Literasi dalam Spion Kehidupan”
{Diana}
Puji syukur
alhamdulillah atas segala rahmat dan karunia-Nya yang tak terhingga yaitu detak jantung, aliran darah, hembusan nafas dan segala nikmat lainnya. Atas ridhonya saya
dapat menggoreskan tinta pena kedalam puing kertas menjadi sebuah rangkaian
kata yang bermakna dan satu sama lainnya saling berhubungan membentuk satu
kesatuan wacana. Dalam class review ini berisi tentang hubungan antara sejarah
dan literasi serta
di dalamnya terkait teks,
konteks dan intertekstual. Tanpa kita sadari bahwa
sejarah itu terkadang
mempunyai unsur
literasi baik itu dalam menulis maupun hal lainnya. Berikut penjelasannya:
Literasi ; makna literasi muncul sejak dahulu dimana dalam sejarah umat
manusia, menulis adalah
kegiatan yang lambat dibandingkan dengan berbicara karena dimana manusia cenderung lebih suka untuk
berkomunikasi dari pada menulis. Namun bahwa kegiatan menulis berbeda dengan orang
barat yaitu pada pergantian milenium bahwa kegiatan menulis merupakan kegiatan
yang alami bagi mereka karena dalam setiap waktunya seiring dengan kesibukan
mereka yang padat tetap meluangkan waktu untuk membaca dan menulis. Akan tetapi
jika dilihat dari fakta yang ada terkait kedudukan literasi dikatan rendah
terbukti dari data sejarah yaitu pada tahun 1985, hampir 30 persen dari semua
orang di bumi tidak memahami sebuah teks tertuliis, dan hampir 900 juta dari seluruh populasi orang dewasa
di dunia lebih dari 15 tahun mengalami buta huruf.(Lehtonen;literasi dan
history:53). Hal itu dapat terjadi karena keadaan yang lemah tidak memiliki
kesadaran terhadap pentingnya literasi dalam kehidupan.
Disamping itu literasi juga dikatakan sebagai kegiatan sosial yang mempunyai karakter. Hal
itu dapat digambarkan dari segi membaca karena dimana orang-orang mempunyai
praktik dan cara yang berbeda- beda dan
biasanya diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan. Namun segala bentuk
keaksaraan mencakup
kemampuan untuk mengontrol sistem
yang berbeda dari simbol- simbol realitas yang di wakili untuk pembaca. Sebagai
individu, kita semua telah mengembangkan keaksaraan melalui berbagai tahapan
dan pengalaman. Kemampuan untuk membaca teks ilmiah dan sastra jelas berbeda
karena dimana dalam membaca teks ilmiah itu lebih bersifat formal yaitu membutuhkan pelatihan khusus serta dalam proses pembelajarannya harus terpisah tidak dilakukan dalam
waktu yang bersamaan.(Lehtonen;literasi dan history:54).
Adapun
bukti dari literasi itu telah ada dalam sejarah manusia seperti dalam sejarah
Minangkabau yang memiliki budaya literasi
yaitu dari sejarah minangkabau bahwa mereka menganut literasi yang berupa
aksara.
Masyarakat Minangkabau telah memiliki budaya literasi
sejak abad ke-12. Hal ini ditandai dengan ditemukannya aksara Minangkabau. Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah merupakan salah satu literatur
masyarakat Minangkabau yang pertama. Tambo
Minangkabau yang ditulis dalam Bahasa
Melayu
merupakan literatur Minangkabau yang berupa historiografi tradisional. Pada
abad pertengahan, sastra Minangkabau banyak ditulis menggunakan Huruf
Jawi.
Di masa ini, sastra Minangkabau banyak yang berupa dongeng-dongeng jenaka dan
nasehat. Selain itu ada pula kitab-kitab keagamaan yang ditulis oleh
ulama-ulama tarekat. Di akhir abad ke-19, cerita-cerita tradisional yang
bersumber dari mulut ke mulut, seperti Cindua
Mato, Anggun Nan Tongga, dan Malin
Kundang mulai dibukukan.
Pada abad ke-20, sastrawan Minangkabau merupakan
tokoh-tokoh utama dalam pembentukan bahasa dan sastra Indonesia. Lewat
karya-karya mereka berupa novel, roman, dan puisi, sastra
Indonesia mulai tumbuh dan berkembang. Sehingga novel yang beredar luas
dan menjadi bahan pengajaran penting bagi pelajar di seluruh Indonesia dan Malaysia, adalah novel berlatar belakang
budaya Minangkabau. Seperti Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Merantau ke Deli dan Di Bawah Lindungan Ka'bah karya Hamka, Salah
Asuhan karya Abdul
Muis, Sitti
Nurbaya karya Marah
Rusli,
dan Robohnya Surau Kami karya Ali
Akbar Navis.
Budaya literasi Minangkabau juga melahirkan tokoh penyair seperti Chairil
Anwar, Taufiq
Ismail dan tokoh sastra lainnya Sutan Takdir Alisjahbana.
Adapun
teks itu bersifat terbuka yaitu jika dilihat dari sudut pandang budaya kita,
kedudukan produsen teks atau penulis
memiliki kekuatan lebih besar dari pada pembaca karena seorang penulis tidak
menghasilkan teks secara umum, melainkan seorang penulis justru mengarahkan
pada fungsi tetentu, baik itu memberikan sudut pandang, menghasilkan
keuntungan, bahkan menciptakan kesenangan. Apabila
teks memiliki kekuatan, maka pembaca akan tanpa sadar harus
menyerah pada segala sesuatu yang ada pada teks. Sedangkan jika kekuasaan dari
pembaca itu kuat maka kedudukan teks itu tidak ada yaitu hanya sebagai ruang
kosong belaka karena pembaca dengan bebas untuk membaca apa saja sesuai dengan
apa yang mereka sukai.
Dimensi pembaca tidak tetap hanya pada tingkat
tekstual.Seperti halnya bacaan dalam buku masak adalah contoh gambar yang nyata
bahwa seorang pembaca tidak hanya berpatokan pada segi tekstual saja, melainkan
seorang pembaca harus mempunyai dasar pengetahuan sendiri. Sebagai seorang
pembaca dimana dalam membaca bacaan teks memasak harus dibarengi dengan
pengetahuan tentang segala macam terkait memasak seperti halnya sangat tidak
rasional apabila seorang pembaca buku masakan yang akan memasak hanya
bergantung pada tekstual saja tanpa adanya pengetahuan dan pengalaman tentang
hal-hal memasak.
Dalam hal itu bisa dikaitkan dengan salah seorang teman
saya yang ingin mencoba memasak namun dia tidak tahu akan nama-nama bahan
masakan. Dia berniat untuk membuat “sayur asam” dan dia menyiapkan bahan-bahan
berdasarkan teks bacaan memasak. Namun dari hasil masakannya tidak menghasilkan
“sayur asam’ yang semestinya karena rasanya aneh. Dalam
bacaan teks itu tidak disertai dengan gambar akan bahan-bahan masakan tersebut.
Sedangkan dia tidak tahu akan bahan-bahan itu. Dia telah keliru dalam pemaknaan nama bumbu masakan yaitu seharusnya bahan yang dia gunakan itu
lengkuas malah yang dia gunakan itu kunyit sehingga rasa “sayur asam” itu aneh
dan bukan “sayur asam” yang sebenernya.
Sedangkan menurut Jannet Wollacoot dan Bennett bahwa teks
adalah sebuah objek yang tidak merujuk pada pengetahuan melainkan sebagai
makhluk semiotik. Penggunaan teks itu disertai dengan sistem tanda sebagai
bagian dari sosial dan hubungan budaya. Adapun penggunaan bahasa dengan konteks
akademik dapat menimbulkan kesadaran bagi siswa yang bisa dipandang sebagai
formalitas tingkat tinggi dalam teks akademik. Pada dasarnya,formalitas ini
dicapai melalui penggunaan kosakata dan lainnya.
Adapun pengertian Intertekstualitas
merupakan salah satu teori yang digunakan oleh pembaca untuk memperoleh makna
dalam proses membaca suatu karya sastra, Karena setiap pembaca yang berhadapan dengan teks
pasti bertemu dengan proses pemaknaan. Pada hakekatnya seseorang membaca untuk
memperoleh sesuatu, entah itu berupa
informasi atau makna dari teks yang dibaca tersebut.
Teori intertekstualitas pada awalnya
diperkenalkan oleh Julia Kristeva seorang peneliti dari Prancis mengungkapkan
dalam (Culler, 1981: 104) bahwa jumlah pengetahuan yang dapat membuat suatu
teks sehingga memiliki arti, atau intertekstualitas merupakan
hal yang tak bisa dihindari, sebab setiap teks bergantung,
menyerap, atau merubah rupa dari teks sebelumnya.
Teks merupakan satu permutasian
teks-teks lain. Intertekstual memandang teks berada di dalam ruang satu teks
yang ditentukan, teks merupakan bermacam-macam tindak ujaran, teks diambil dari
teks-teks lain, serta teks bersifat tumpang-tindih dan saling menetralkan satu
sama lain (Kristeva, 1980:36—37).
Kajian intertekstual berangkat dari
asumsi bahwa kapan pun karya tulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi
kekosongan budaya. Penulisan suatu karya sastra tak mungkin dilepaskan dari
unsur kesejarahannya, dan pemahaman terhadapnya pun haruslah mempertimbangkan
unsur kesejarahan itu. Makna keseluruhan sebuah karya, biasanya, secara penuh
baru dapat digali dan diungkap secara tuntas dalam kaitannya dengan unsur
kesejarahan tersebut. Oleh arena itu,
teks sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lain; tidak
ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaan
dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai
contoh, teladan, kerangka (Teeuw, 1988:145). Teks yang menjadi latar penciptaan
karya baru disebut hipogram, dan teks baru yang menyerap dan
mentransformasikan hipogram disebut teks transformasi
(Riffaterre, 1978:11, 23). Pemikiran Kristeva mengenai intertekstualitas dapat
dijabarkan sebagai berikut (adapatasi dari Junus, 1985: 87-88):
- Kehadiran suatu teks di dalam teks yang lain,
- Selalu adanya petunjuk yang menunjukkan hubungan antara suatu teks dengan teks-teks pendahulu,
- Adanya fakta bahwa penulis suatu teks telah pernah membaca teks-teks pemengaruh sehingga nampak jejak,
- Pembaca suatu teks tidak akan pernah bisa membaca teks secara pisah dengan teks-teks lainnya. Ketika ia membaca (dalam rangka memahami) suatu teks, ia membacanya berdampingan dengan teks-teks lain.
Tokoh lain juga memiliki pendapat
mengenai intertekstualitas adalah Gray. Di dalam bukunya, Gray
menekankan arti penting intertekstualitas dengan genre. Ia melihat bahwa The
Simpsons yang berbentuk genre parodi merujukkan kepada dua hal yang
terkait dengan intertekstualitas;
- Hal yang pertama adalah penciptaan situasi yang absurd karena ditampilkan secara komikal sehingga cerminan terhadap dunia menjadi aneh.
- Hal yang kedua adalah dalam kontekscritical intertextuality; suatu keadaan di mana referen-referen intertekstualitas digunakan justru untuk mengkritik keadaan masyarakat.
Riffaterre mengemukakan paradigma pembacaan sajak yang
melibatkan dua tahap pembacaan (Riffaterre, 1978: 4-6);
- Tahap pertama Heuristic reading adalah tahap pembacaan yang menekankan kebutuhan seorang pembaca akan kompetensi linguistik, sebab sajak tidak mengikuti tata bahasa baku, dan kompetensi kesusastraan (tidak dalam khazanah buku-buku sastra saja, pen.), sebab sajak melibatkan teks-teks lain, semesta tanda, sehingga akan dapat dimunculkannya model hypogramamatis.
- Sedangkan tahap kedua pembacaan adalah tahap hermeneutic reading atau dia juga memakai istilah retroactive reading. Pada tahapan ini seorang pembaca merangkai semesta tanda di dalam satu konteks keutuhan sajak. Tanda yang tidak relevan bakal untuk sementara tidak dipakai karena pada proses baca ulang kesekian kalinya bisa jadi referen yang dikesampingkan bakal dipakai dalam mewujudkan signifikansi sajak.
Riffaterre juga yang menggunakan istilah hypogram,
sistem tanda-tanda yang ada pada teks-teks sebelumnya, untuk mengaitkan
produksi tanda yang terjadi pada sebuah sajak (Riffaterre, 1978: 23).
(Web.unair.ac.id).
Jadi
dari hasil penjabaran diatas terkait literasi bahwa dari sudut pandang data sejarah yaitu pada tahun 1985, hampir 30 persen dari
semua orang di bumi tidak memahami sebuah teks tertuliis, dan hampir 900 juta dari seluruh populasi orang dewasa
di dunia lebih dari 15 tahun mengalami buta huruf. Selain itu juga bahwa keduanya mempunyai ikatan yang erat karena literasi muncul didalam sejarah seperti halnya dalam sejarah minangkabau yang sudah mengenal budaya literasi dari abad ke-12. Adapun teks itu bersifat terbuka yaitu jika dilihat dari
sudut pandang budaya kita, kedudukan produsen
teks atau penulis memiliki kekuatan lebih besar dari pada pembaca.
Dimensi pembaca tidak tetap hanya pada tingkat tekstual melainkan didasrkan pada pengetahuan dan pengalamannya supaya pembaca tidak mengalami kesalahan dalam penafsiran isi teks bacaan buku.