Class Review 5

Ketika Literasi dan Teman-teman Barunya Menyapaku
(by: Friska Maulani Dewi)


Mentari pagi kembali menyapaku di hari Senin, 3 Maret 2014.  Itu artinya aku harus bercanda-ria kembali dengan writing 4.  Itu artinya aku harus bergegas bangun dari mimpi indahku tentang hari-hari tenang dimana aku bisa bebas melakukan apapun yang aku suka tanpa perlu mengkhawatirkan lagi tugas-tugas kuliahku.  Ya, karena tidak ada lagi hari-hari tenang untuk bersantai semenjak aku memasuki gerbang semester 4 ini.  Dan bisa dibilang itu semua karena teman-teman baruku yang bernama writing 4 dan literasi.
Masih tentang dunia literasi.  Ya, literasilah alasan dibalik berkurangnya waktu bersantaiku, literasilah alasan aku kini dapat berkarib dengan buku-buku tugas dan penaku, dan literasi jugalah alasan dibalik kesalahan-kesalahanku pada dua critical reviewku yang kemarin.  Jika Anda telah membaca critical reviewku, Anda pasti akan menyadari bahwa banyak yang kurang dari critical reviewku itu.  Salah satu dari kesalahan-kesalahanku adalah aku tidak membahas secara mendetail (atau setidaknya hanya menyinggung sedikit) tentang literasi.  Ya, literasi adalah ‘kunci yang hilang’ dari dua critical reviewku itu.  Karena literasi merupakan ‘kunci emas’ dalam dua bahasan tersebut (baik yang berkaitan tentang Classroom Discourse ataupun tentang Howard Zinn).
Mr.Lala bahkan mengatakan “Praktek literasi itu berkaitan erat dengan sejarah.”  Bisa kita lihat dalam bahasan critical reviewku tadi.  Jika kita lebih teliti lagi tentang critical review yang kedua yang membahas tentang Howard Zinn dan Christopher Columbus, kita pasti bisa mengerti apa yang dimaksud kalimat yang diucapkan oleh Mr.Lala tersebut.  Dari membaca tentang Howard Zinn kita dapat mengetahui tentang sejarah yang berkaitan dengan Christopher Columbus dan benua Amerika (yang katanya telah dia temukan).  Sejarah, bagaimanapun benarnya fakta-fakta yang diberikan oleh suatu bahasan sejarah, akan percuma jika tidak diimbangi dengan praktek literasi (membaca dan menulis).  Dengan membaca kita dapat mengetahui segala sesuatu tentang sejarah (bahkan sampai ke fakta-fakta dan informasi terselubung yang dapat terungkap melalui buku yang telah kita baca).  Dan dengan menulis, kita dapat mengungkapkan kembali fakta-fakta tentang sejarah tersebut atau bahkan sebenarnya ketika kita menulis kita sedang mengukir sejarah, mengabadikan suatu peristiwa agar dapat ditelusuri kembali dan ditemukan jejaknya oleh para generasi selanjutnya.
Jika telah sering mendengar bahwa praktek literasi berkaitan erat dengan sejarah, maka Anda tidak akan terkejut jika mendengar kalimat “Teks sebagai artefak”.  Apa yang ada dipikiran Anda ketika mendengar kata ‘artefak’?  pasti tidak akan jauh-jauh dari ruang lingkup sejarah kan?  Ya, artefak bisa juga diartikan sebagai peninggalan sejarah.  Seperti kata Lehtonen dalam bukunya yang berjudul The Cultural Analysis o Texts yang mengatakan “... teks merupakan artefak yang komunikatif, dengan kata lain, instrumen manusia yang dihasilkan melali proses komunikasi.” (Lehtonen 2000: 73).  Maksudnya disini, teks adalah artefak (peninggalan sejarah) dari suatu peristiwa yang dihasilkan dari proses komunikasi yang dilakukan oleh manusia.  Karena melalui komunikasi tersebut terukirlah suatu sejarah.
Jika kita tengok lagi ke critical reviewku yang kedua, sangatlah berhubungan erat dengan sejarah.  Karena dalam critical review itu membahas tentang Howard Zinn, Christopher Columbus dan tentunya benua Amerika.  Namun, sangatlah disayangkan mengapa dalam critical reviewku itu aku tidak kepikiran untuk mengkritik Howard Zinn perihal tidak tercantumnya sejarah penemuan benua Amerika yang ternyata lebih dahulu ditemukan oleh umat Muslim.  Di bukunya yang berjudul A People’s History of The United States, Howard Zinn tidak menyinggung perihal siapa yang menemukan benua Amerika  terlebih dahulu karena pasalnya ternyata Christopher Columbus itu bukanlah orang pertama yang menjejakkan kakinya di ‘dunia baru’ tersebut.  Dia hanya membeberkan fakta-akta mengejutkan tentang siapa Christopher Columbu4s yanng sebenarnya.  Lalu, mengapa ia tidak membahas ataupun menyinggung tentang umat Muslim yang telah terlebih dahulu menginjakkan kakinya di ‘dunia baru’ tersebut? Apakah dia ‘lupa’ mencantumkannya ataukah dia senngaja melupakan fakta penting tersebut?
Tidak seperti biasanya, di pertemuan kali ini tasku terasa lebih berat daripada biasanya.  Ya, aku dan teman-temanku ditugaskan untuk membawa netbook masing-masing dan ‘meracik kata-kata’ langsung di dalam kelas.  Tema free writing kali ini adalah Howard Zinn.  Dan “kabar baiknya” kali ini kita dituntut untuk menulis dalam bahasa Inggris.
Aku kebingungan, karena biasanya aku selalu melakukan “corat-coret” terlebih dahulu jika diberi tugas untuk menulis atau bahasa kerennya yaitu Prewriting.  Jadi, ketika aku dituntut untuk langsung menulis (tanpa prewriting) dan harus pakai bahasa Inggris, aku sedikit kelabakan, dan inilah hasil ketikanku sewaktu meracik kata-kata langsung di kelas.

            The first time I heard about Howard Zinn is when I read his article entitled Speaking Truth to Power with Books. In that article tell that he got some “complain” from many people in this world just because his book entitled A People’s History of the United States. I was curious about that books, so I try to read it. And that book with succesfully make me surprised.
            “Oh my God, he so brave!” that was the first thing that came to my brain.  If you had read that book, you will know what I mean.  He tells all about the facts of Christopher Columbus that really 180 degrees totally different with the history that everyone has know. When someone asking you “Who is Christopher Columbus?” you may say “He is the discovered of United States”  Right, that was the thing that everyone in this world know about Christopher Columbus, but how if someone tells you that Christopher Columbus is the murderer, multilator, racism, kidnapper and so on? You will said “You are crazy. I don’t believe in you!”  that was happened with Howard Zinn. He got many “complain” from everyone who sent him e-mail
However, strangely that many people who sent him e-mail is “complain” about
             
Belum ada judul dan masih sangat berantakan.  Ya, memang karena aku hanya menuliskan apapun yang terlintas dipikiranku saat free writing langsung di kelas itu.  “Grammar masih agak berantakan dan perlu diperhatikan lagi perihal kesinambungan antara paragraf satu dan yang lainnya”, itulah komentar Mr.Lala ketika memeriksa tulisanku itu.  Ya, setidaknya aku sudah berusaha semampuku untuk free writing ini.
Lanjut ke materi selanjutnya, sekarang kita akan membahas tentang “key issues which dominate current understandings of writing”. Dalam writing ternyata terdapat beberapa kunci utama yang harus diperhatikan oleh writer ketika menghasilkan suatu karya tulis, diantaranya:
a.       Context
            Dalam pemahaman tradisional mengenai teks dan konteks, konteks dilihat sebagai “backgrounds” dari teks yang juga bisa dibilang sebagai “informasi tambahan” yang bisa menjadi bantuan untuk memahami teks tersebut.
            Menurut Cook, konteks cukup praktis yaitu: “faktor eksternal untuk teks” (situasi pembaca dan fungsi yang ditujukan untuk teks) yang sangat ditampilkan.
            “Context does not exist before the author or the text, neither it exist outside of them” (Lehtonen 2000: 111).
            Cutting (2002:3) mensugestikan bahwa terdapat 3 aspek utama dari interpretive context, yaitu :
● The situational context : what people ‘know about what they can see around them’.
● The background knowledge context : what people ‘know about the world, what they know about  aspects of life, and what they know about each other’.
● The co-textual context : what people ‘know about what they have been saying’.
(Hyland 2002: 45)
Halliday telah mengembangkan sebuah ‘analysis of context’ berdasarkan ide bahwa teks merupakan hasil dari pilihan bahasa penulis dalam bagian context of situation (Malinowski, 1949).  Seperti juga Halliday yang telah membagi dimensi konteks menjadi:
♦ Field     : refers to what is happening, the type of social action, or what the  text is about (the topic together with the socially expected forms and patterns typically used to express it)
♦ Tenor   : refers to who is taking part, the roles and relationships participants (their status and power, for instance, which influences involvement, formality and politeness).
♦ Mode    : refers to what the language is playing, what the participants expecting it to do for them (whether it is spoken or written, how information is structured, and so on).
Halliday (1985)

b.      Literacy
Membaca dan menulis merupakan perwwujudan dari sikap literasi; bagaimana cara kita menggunakan beragam bahasa dalam kehidupan sehari-hari.  Seperti juga yang dikatakan oleh Scribner dan Cole (1981:236), “Literacy is not simply knowing how to read and write a particular script but applying this knowledge for specific purposes in specific context of use”.  Ini mengacu pada peran dari literasi itu sendirir yang (kita sadari maupun tidak) telah membantu kita untuk mengerti bagaimana perasaan seseorang dalam menghadapi rutinitas mereka dalam praktek membaca dan menulis.
Menurut Barton (2007: 34-5), terdapat beberapa cara untuk melihat literasi dalam sudul pandang sosial, yaitu :
1.      Literasi merupakan sebuah aktifitas sosial dan paling baik digambarkan dalam hal praktik literasi seseorang.
2.      Setiap orang memiliki literasi yang berbeda-beda yang berkaitan dengan perbedaan daerah atau bidang kehidupannya.
3.      Praktek literasi seseorang diposisikan dalam hubungan sosial yang lebih luas, yang membuatnya perlu untuk dijelaskan pengaturan dari suatu peristiwa literasi.
4.      Praktek literasi dicontohkan dengan institusi sosial dan kekuatan suatu hubungan, dan beberapa literasi juga bahkan lebih dominan, nampak jelas dan berpengaruh dari pada yang lainnya.
5.      Literasi berdasarkan dari sebuah sistem dari simbol-simbol sebagai cara untuk menunjukkan dunia kepada yang lainnya dan juga kepada diri kita sendiri.
6.      Sikap dan nilai-nilai yang kita anut mengenai literasi akan memandu aksi kita dalam berkomunikasi.
7.      Sejarah kehidupan kita sendiri juga mengandung banyak peristiwa literasi darimana kita belajar  untuk berkontribusi terhadap hari ini.
8.      Sebuah peristiwa literasi juga memiliki sejarah sosial yang akan membantu menghasilkan praktik sekarang.

c.       Culture
Maksud culture disini lebih kepada pengalaman si penulis tentang praktik literasi dari komunikasi yang berbeda-beda akan berpengaruh kepada pilihan linguistik mereka.  Karena itulah culture mempunyai pengaruh besar terhadap writing seseorang. Contohnya dalam sebuah kelas pati akan terdiri dari siswa dengan latarbelakang yang berbeda-beda, kan?  Ada yang berbeda latar belakang keluarga, ekonomi, budaya (culture) ataupun bahasa.  Nah, latar belakang inilah yang akan berpengaruh pada tulisan yang mereka hasilkan.
For skilled writers then, what they write, how they write it, the examples they use, and the forms of argument they employ are options which may be influenced by their prior writing experiences, and possibly their culture”. (Hyland 2009:57)

d.      Technology
Di zaman serba canggih ini, seseorang dapat dikatakan orang yang literat bukan hanya dari kemampuannya membaca dan menulis, tetapi juga berdasarkan kemampuannya dalam menggunakan teknologi.  Teknologi menjadi tantangan untuk para pembaca dan penulis khususnya untuk menggunakan teknologi-teknologi canggih yang ada sekarang ini sehingga terciptalah bacaan yang secanggih teknologinya.

e.       Genre
Genres are recognized types of communication actions, which means that to participate in any social event, individuals must be familiar with the genres they encounter there.  Because of this, genre is now one of the most important concepts in language education today” (Hyland 2009: 63)

f.       Identity
Identity disini lebih mengacu voice dari seorang penulis.  Karena hamper segala sesuatu yang kita katakana atau kita tulis pada dasarnya akan menyatakan atau menggambarkan tentang diri kita sendiri dan jenis hubungan atau ‘relationship’ yang terjalin antara diri kita dengan orang-orang di sekitar kita.  Intinya, apa yang kita tulis akan menunjukkan identitas kita sendiri sebagai penulis.

Setelah kita mengetahui tentang key issues yang ada dalam dunia writing, kini kita melanjutkan bahasan selanjutnya yaitu tentang intertextuality.
Intertextuality           
Dugaan Bakhtin tentang intertextuality yang mensugestikan bahwa suatu wacana ‘discourse’ selalu berhubungan dengan wacana lainnya.  Hubungan antara text-users terhadap network tentang texts dan menetapkan terlebih dahulu suatu sistem untuk membentuk suatu arti ‘meaning’ yang dapat dikenali oleh text-users yang lainnya.  Hal ini seperti yang dijelaskan dalam buku Hyland “Because they help create the meanings available in a culture, the conventions developed in this way close out certain interpretations and make others more likely and this helps explain how writers make particular rhetorical choices when composing” (Hyland 2009: 33).
Fairclough (1992: 117) membedakan 2 jenis intertextuality, yaitu:
Ø Manifest Intertextuality, refers to various ways of incorporating or responding to other texts through quotation, paraphrase, irony and so on.
Ø Interdiscursivity, concerns the writer’s use of sets of conventions drawn from a recognizable text type or genre.  Texts here then are associated with some institutional and social meanings.
Selain Hyland, Lehtonen juga membahas tentang intertectuality dalam bukunya yang berjudul The Cultural Analysis of Texts. Ia menjelaskan bahwa yang dimaksud intertextuality adalah mengacu kepada hubunganyang lebih luas antara ‘texts in actual readings’.  Maksudnya terjadi interaksi langsung antara text dan seorang reader. (Lehtonen 2000: 120)
Sependapat dengan Hyland, dalam bukunya tersebut Lehtonen juga mengatakan bahwa selain terjadi hubungan antara text dan contect, text dan reader, terjadi pula hubungan antara suatu text dengan text yang lainnya. (Lehtonen 2000: 126)
Pada dasarnya teori intertextuality/intertekstualitas ini diperkenalkan oleh Julia Kristeva, seorang peneliti asal Prancis yang mengungkapkan dalam (Culler 1981: 104) bahwa sejumlah pengetahuan yang dapat membuat suatu teks sehingga memiliki arti, atau intertextualitas merupakan hal yang tidak dapat dihindari, sebab setiap teks itu bergantung, menyerap, ataupun merubah rupa dari teks sebelumnya.
Teks merupakan satu permutasian dari teks-teks yang lainnya.  Intertekstual memandang teks berada di dalam ruang suatu teks yang ditentukan, teks merupakan bermacam-macam tindak ujarn, teks diambil dari teks-teks lain, serta teks bersifat tumpang-tindih dan saling menetralkan satu sama lainnya (Kristeva 1980: 36-37).
Dari beberapa penjelasan diatas, kita dapat mengetahui lebih dalam lagi tentang writing.  Ternyata dalam writing terdapat ‘key issues’ yang bisa dibilang sebagai latar belakang kesuksesan seorang writer ketika ia memproduksi suatu teks.  Selain itu, terdapat juga intertextuality yang menjelaskan hubungan antara text-context, text-reader, dan juga hubungan antara text dengan text lainnya.  Well, inilah teman-teman baruku yang dikenalkan oleh si literasi.  Teman-teman baruku ini tentunya akan banyak membantu para writer dalam menghasilkan suatu bacaan yang berkualitas.


Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment