Class Review 5 : Berkenalan Dengan Orang – Orang Super



Berkenalan Dengan Orang – Orang Super
Author : Asy Syifa Rahmah Ihsani

Senin, 3 Maret 2014..
Menginjak pertemuan ke lima mata kuliah Academic Writing yang dikomandani oleh Mr. Lala Bumela.  Sudah banyak sekali hal – hal yang dibahas selama lima minggu ini, dari literasi, classroom discourse dan kerukunan beragama, sampai sekarang masuk ke history.  Saya sudah diperkenalkan denganorang – orang yang super duper hebat, seperti Howard Zinn, Betsy Rymes, Chaedar Alwasilah (yang memang sudah saya kenal sejak semester 2) sampai pada sosok fenomenal Christoper Colombus.  Kali ini saya akan merujuk pada Lehtonen dan Hyland.
Seperti yang tela paparkan diatas bahwa di minggu ke lima ini sudah banyak sekali “kasus - kasus” yang dikupas (literasi, classroom discourse dan kerukunan beragama, serta history).  Ternyata semua hal tersebut perpondasikan literasi.  Classroom discourse tidak akan berjalan dengan lancer jika pendidik dan peserta didiknya tidak berliterasi.  Negara yang berliterasi tinggi tidak akan pernah mengalami percek – cokan apalagi sesame umat beragama.  Begitu juga dengan history, yang sangat berhubungan dengan literasi.
Ya history atau sejarah memang sangat berhubungan dan bahkan bergantung pada literasi.  Tidak mungkin sejarah bisa tersampaikan kepada generasi – generasi selanjutnya jika tidak ada sejarawan dan masyarakat yang berliterasi.  Saya yakin sejarawan adalah orang – orang yang berliterasi tinggi.  Jika tidak mana mungkin mereka bisa mengungkap sejarah dan menuliskannya tanpa “melek calis” (baca tulis).
Namun akan sangat sia – sia sekali jika buku yang ditulis sejarawan tidak dibaca sama sekali karena masyarakat yang tidak sadar akan literasi.  Sejarah akan tidak diketahui atau tidak terungkap.  Walaupun sejarah bisa diceritakan dari mulut ke mulut tapi tidak akan “se-otentik” sejarah yang kita ketahui dari membaca.  Efeknya pasti akan berbeda sekali. 
Tanpa bosan saya nyatakan bahwa literasi sangatlah penting untuk kehidupan umat manusia.  Dengan literasi suatu negara bisa maju, tingkat kemiskinan mengikis dan kualitas pendidikan akan semakin meningkat.  Hyland (2009 : 49) menjelaskan concept pandangan social tentang literasi (Borton 2007 : 34 – 35) :
1.      Literacy is a cosial activity and is best described in terms of people’s literacy practice;
2.      People have different literacies which are associated different domains of life;
3.      People’s literacy practices are situated in broader social relations, making it necessary to describe the settings of literacy events;
4.      Literacy practices are patterned by social institution and power relationship, and some literacies are dominant, visible and influental than others;
5.      Literacy is based on a system of symbols as a way of representing the world to others and ourselves;
6.      Our attitudes and values with respect to literacy guide our actions to communication;
7.      Our life histories contain many literacy events from which we learn and which contribute to the  present ;
8.      A literacy event also has a social history which help create current practices.
Menyoroti poin 7 dan 8 yang maksudnya adalah : (7) sejarah kehidupan kita mengandung banyak peristiwa literasi dari mana kita belajar dan yang memberikan konstribusi hingga saat ini.  (8) sebuah peristiwa literasi juga memiliki sejarah sosial yang membantu menciptakan praktek sekarang ini.  artinya literasi memang sangat berkaitan erat dengan sejarah.  Sejarah akan “terekspose” dengan apik jika literasi suatu komunitas atau masyarakatnya tinggi.  Dengan begitu akan tercipta sejarah baru yang lebih hebat lagi.
Lehtonen (2000 : 53) juga berpendapat bahwa dalam sejarah umat manusia, menulis nantinya akan menjadi kemampuan yang dominan dari pada berbicara.  Bagi warga barat pada pergantian milenium, membaca dan menulis tampaknya kegiatan paling alami dalam hidup, tapi berpikir global dan secara historical terms mereka apa saja tapi natural.  Seperti pada tahun 1985, hampir 30% dan semua orang di bumi tidak bisa memahami sebuah teks tertulis.  Pada tahun yang sama, hampir 900 juta dari seluruh populasi oran gdewasa dunia, orang yang usianya lebih dari 15v tahun buta ahuruf.
Membaca dan menulis merupakan keterampilan yang bergantung pada pelatihan yang disengaja dan belajar sadar.  Literasi (membaca dan menulis) bukanlah sebuah bakat yang dimiliki oleh manusia  melainkan suatu keterampilan khusus yang diperoleh dari haril pelatihan yang serius.
Dari sudut pandang sejarah penyebaran literasi juga dapat diperkirakan telah berdampak pada konsepsi perubahan manusia.  Dalam budaya lisan, diri belum tentu dipahami suatu entitas seperti dalam budaya sastra (Lehtonen, 2000 : 54).
Hyland (2009 : 44) a number of key issues which dominate current understanding of writing :
1.      Context
Context adalah situs untuk hubungan interaksi dan aturan – aturan yang memesannya. Keduanya dapat memfasilitasi, membatasi serta menyusun (Hyland 2009 : 15).  Cara kita memahami tulisan dikembangkan melalui context pemahaman yang canggih. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia konteks adalah bagian dari suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna.  Menurut Van Djik konteks bukan situasi sosial yang mempengaruhi (atau dipengaruhi) oleh discourse, tapi cara peserta mendefinisikan situasi seperti itu.  Konteks demikian bukan semacam kondii “objektif” atau penyebab langsung, melainkan (inter) konstruksi subjektif dirancang dan terus menerus diperbaharui dalam interaksi oleh peserta sebagai anggota masyarakat.  Jika mereka semua adalah orang – orang dalam sosial yang sama maka akan berbicara dengan cara yang sama.  Konteks adalah peserta konstribusi.
Jadi bukannya melihat konteks sebagai variable statis yang mengelilingi penggunaan bahasa, kita harus melihatnya sebagai pembentuk sosial dengan interaktif berkelanjutan dan terikat waktu (Duranti dan Goodwin , 1992).  Harus diakui bagaimanapun konteks yang jarang dianalisis dalam dirinya sendiri dan biasanya diambil untuk diberikan atau didefinisikan sedikit impresionistis.  Mengingat situasi dimana kita bisa membaca atau menulis, dengan tidak sengaja konteks meliputi segala sesuatu.
Cutting (2002 : 3) menyatakan bahwa ada tiga aspek utama penafsiran konteks :
1)      The situational konteks, what people ‘know about what they can see around them’ ;
2)      The background knowledge context : what people ‘know about the world, what they know about aspects of life, what they know about each other’ ;
3)      The co – textual context : what people ‘know about what they have been saying’.
2.      Literacy
Di awal saya sudah sedikit banyak menjelaskan tentang literasi, tetapi tidak ada ruginya jika saya membahasnya lagi di sini.  Ya menulis dan membaca merupakan tindakan literasi : bagaiman kita benar – benar menggunakan bahasa dalam kehidupan kita sehari – hari.  Konsepsi modern literasi mendorong kita untuk mellihat tulisan sebagai praktik sosial, bukan sebagai keterampilan abstrak dipisahkan dari orang –orang san tempat – tempat dimana mereka menggunakan teks (Hyland 2009 : 48).  Scribner dan Cole (1981 : 236) mnyatakan “melek tidak hanya mengetahui cara membaca dan menulis naskah tertentu, tetapi menerapkan pengetahuan ini untuk tujuan tertentu dan menggunakan konteks tertentu.  Ini sedikit dipertimbangkan peran literasi karena membantu kita untuk memahami bagaimana orang membuat sense dalam hidup mereka melalui praktek rutin menulis dan membaca (Hylans 2009 : 48).
Hyland (2009 : 49) juga mengutip Barton dan Hamilton (1998 : 6) nahwa mendefinisikan “praktek literasi sebagai cara umum budaya memanfaatkan bahasa menulis di man orang menggambar kehidupan mereka”.  Sementara praktek – praktek ini adalh “apa yang orang lakukan dengan literas” mereka agak abstrak karena mereka tidak hanya mengacu pada membaca dan menulis, tetapi juga nilai – nilai, perasaan dan konsepsi budaya yang memberikan makna pada penggunaan ini (Street 1995 : 2).  Praktek literasi ini disebut “literacy events” oleh Heath (1983) .
Hyland (2009 : 50) : Quote 2.2 :
Literacy Events
Literasi events adalah peristiwa tampak di mana literasi memiliki peran.  Biasanya ada teks tertulis atau teks , pusat aktifitas dan mungkin ada berbicara sekitar teks.  Events adalah peristiwa Nampak yang timbul dari praktek atau dibentuk oleh mereka.  Gagasan dari events menekankan tata letak sifat dari kemahiran literasi, selalu ada dalam konteks sosial. Barton dan Hamilton (1998 : 7).
3.      Culture : Hyland (2009 : 54)
Gagasan bahwa pengalaman penulis dari praktek literasi dari komunitas yang berbeda akan mempengaruhi pilihan linguistic mereka menunjukan bahwa guru harus mempertimbangkan bagian yang dimainkan budaya dalam tulisan siswa.  Budaya secara umum dipahami sebagai historis ditransmisikan dan jaringan sistematis makna  yang memungkinkan kita untuk memahami, mengembangkan dan mengkomunikasikan pengetahuan dan keyakinan kita tentang dunia (Lantolf, 1999).  Akibatnya bahasa dan pembelajaran tidak memungkinkan dikelilingi oleh budaya (Kramsch, 1993).
Hal ini sebagian karena milai – nilai budaya kita tercermin dan dilakukan melalui bahasa, tetapi juga karena budaya membuat tesedianya untuk kita dengan cara tertentu “taken – for – granted mengorganisir persepsi dan harapan kami.  Termasuk yang kita gunakan untuk belajar dan berkomunikasi secara tertulis.
Menurut Hyland (2009 : 56) “culture is fluid” budaya adalah cairan.  Beragam dan tidak – determining serta orang – orang mungkin menolak atau mengabaikan pola budaya.  Tapi dengan kata lain, pengalaman sebelumnya membantu pengetahuan skema bentuk, dan akan berdampak pada bagaiman siswa menulis dan tanggapan mereka terhadap konteks kelas.  Sebagaimana kita lihat hal ini terutama berlaku jika kita melihat di masyarakat sebagai “mini – budaya” yang memiliki metode sosialisasi, norma dan praktek – praktek sosial serta peran dan hirarki yang jelas.

4.      Technology
Ya technology, zaman sekarang penulis harus berkerabat dekat dengan yang namanya technology karena technology mampu membantu memudahkan penulis dalam berkarya.  seperti yang dipaparkan Hyland (2009 : 58) tentang effects of electronic technology on writing :
• Change creating, editing, proofreading and formatting processes
• Combine written texts with visual and audio media more easily
• Encourage non-linear writing and reading processes through hyper-text links
• Challenge traditional notions of authorship, authority and intellectual property
• Allow writers access to more information and to connect that information in new ways
• Change the relationships between writers and readers as readers can often ‘write back’
• Expand the range of genres and opportunities to reach wider audiences
• Blur traditional oral and written channel distinctions
• Introduce possibilities for constructing and projecting new social identities
• Facilitate entry to new on-line discourse communities
• Increase the marginalisation of writers who are isolated from new writing technologies
• Offer writing teachers new challenges and opportunities for classroom practice.


5.      Genre
Menurut Hyland (2009 : 15) genre adalah istilah untuk mengumpulkan teks bersama – sama, mewakili bagaiman penulis menggunakan bahasa untuk menanggapi situasi berulang.  Setiap genre memiliki sejumlah fitur yang membuatnya berbeda dengan dengan genre lainnya.  Masing – masing memiliki tujuan tertentu, struktur keseluruhan, fitur tertentu, dan bersama oleh anggota budaya.  Bagi banyak orang itu adalah intuitif konsep yang menarik yang membantu untuk mengatur label akal sehat yang kita gunakan untuk mengkatagorikan teks dan situasi dimana mereka terjadi.
Hyland (2009 : 63) memaparkan juga bahwa genre diakui jenis tindakan komunikasi.  Ini berarti bahwa untuk berinteraksi sosial seorang individ harus terbiasa dengan genre yang mereka dihadapi di sana, karena itu genre sekarang menjadi salah satu konsep yang paling penting dalam bahasa pendidikan saat ini.

6.      Identity
Hyland (2009 : 70) penelitian terbaru telah menekankan hubungan dekat antara menulis dan identitas seorang penulis.  Dalam arti luas identitas mengacu pada “cara – cara orang menampilkan siapa mereka satu sama lain” (Benwell dan Stokoe 2006 : 6).
Identitas dipandang  dibangun oleh teks yang kita pakai dan pilihan bahasa yang kita buat sehingga memindahkan identitas dari pribadi ke ranah public, dan proses tersembunyi dari kognisi konstruksi sosial dan dinamis dalam wacana.  Dengan kata lain, ini pertanyaan simple apakah mutlak, tidak merubah diri bersembunyi dibalik wacana dan menunjukan bahwa identitas adalah kinerja.  Menunjukan kerja identitas dengan membangun diri sendiri sebagai anggota yang dapat dipercaya, supaya identitas adalah sesuatu yang kita kerjakan bukan sesuatu yang kita meliki.

Selain tentang key issues of writing, di sini juga akan dipaparkan mengenai intertextuality atau intertekstualitas.
Dari sebuah situs online (web.unair.ac.id) Intertekstualitas merupakan salah satu teori yang digunakan oleh pembaca untuk memperoleh makna dalam proses menbaca suatu karya sastra. Karena setiap pembaca yang berhadapan dengan teks pasti bertemu dengan proses pemaknaan. Pada hakekatnya seseorang membaca untuk memberoleh sesuatu, entah itu berupa informasi atau makna dari teks yang dibaca tersebut. Hyland (2009 : 245) menyatakan bahwa intertekstualitas merupakan sebuah elemen dari satu teks yang mengambil maknanya dari referensi ke teks lain, misalnya dengan mengutip, bergema atau link.
Bakhtin beranggapan dalam buku Hyland (2009 : 33) intertextuality menunjukan bahwa wacana selalu terkait dengan wacana lain, baik saat mereka berubah dari waktu ke waktu dan dalam kesamaan mereka dalam beberapa titik waktu.  Ini menghubungkan teks – pengguna ke jaringan teks sebelumnya dan menyediakan system pilihan untuk membuat makna yang dapat dikenali oleh teks – pengguna lain.  Karena mereka membantu menciptakan makna yang tersedia dalam suatu budaya, konvensi dikembangkan dalam cara ini menutup interpretasi tertentu dan membuat orang lain lebih memungkinkan, dan ini membantu menjeelaskan bagaimana penulis membuat pilihan retotis tertentu saat menulis.
Masih di Hyland (2009 : 33) Fairclough (1992 : 117) membedakan dua jenis intertekstualitas :
1)      Manifest intertextuality mengacu pada berbagai cara untuk menggabungkan atau menanggapi teks – teks lain melalui kutipan, paraphrase, ironi, dan sebagainya
2)      Interdiscursitivity menyangkut penggunaan penulis dari set konvensi ditarik dari teks yang dikenali atau genre.  Teks di sini berhubungan dengan beberapa makna kelembagaan sosial.
Lehtonen pun ikut angkat bicara dalam hal ini dalam bukunya (2000 : 120) mengutip ucapan Bennet dan Wollcacott.  Dengan tanda hubung mereka berdua ingin membedakan intertekstualitas dari konsep yang lebih tradisional.  Menurut mereka latter means referensi teks – teks yang lain yang dapat ditemukan beberapa teks.  Sedangkan intertekstualitas mengacu pada organisasi yang lebih luas hubungan antara teks dan pembacaan yang sebenarnya.  Bacaan disini, mereka menjelaskan atau menggambarkan dengan istilah “reading formation” (pembentukan pembaca) meunjukan kondisi khusus antara teks, yaitu inter – tekstual dan kondisi diskursif yang membentuk dan membatasi interaksi teks dan pembaca.
Teori intertekstualitas menekankan bahwa teks tidak ada sebagai hermetis dan mandiri entitas.  Oleh karena itu mereka tidak bertindak mendekati system.  Pertama penulis selalu menjadi pembaca pertama dari teks sebelum mereka menjadi produsen teks.  Untuk alas an ini, teks yang pasti dipenuhi dengan referensi ke teks – teks lain serta kutipan dan pengaruh teks – teks lain.  Kedua, teks hanya tersedia melalui sarana membaca mereka.  Apa yang dihasilkan dalam membaca dipengaruhi oleh semua teks lain yang dibawa pembaca kedalam membaca.  Pengetahuan intertekstuality mengarahkan pembaca  untuk menggunakan teks dengan cara tertentu, untuk membaca beberapa makna dari pada yang lain ke dalamnya (Lehtonen, 2000 : 126).
Cakupan literasi memang sangatlah luas.  Literasi mampu mengembangkan dan memajukan dunia.  Untuk mencapai literasi atau menjadi individu yang berliterasi tinggi  maka kita harus menguasai hal – hal yang telah saya paparkan.
Terakhir dalam class review kali ini saya akn menuliskan kembali tulisan yang saya tulis pada free – writing season pertama, beserta komentar dar Mr. Lala :
“Howard Zinn is phenomenal historian from America.  He thinks that an historian is different with maps maker.  Maps makers always draw an important thing and leave the thing that can not see.  An historian has to write all of what happen in the past.  Howard Zinn did it, he wrote a book that contain about history of America, that book is A People’s History of The United State.  That book is the most phenomenal books that he makes.  In that book Zinn reveal the dark sides of Christopher Colombus that never touch by other historian before.  Zinn got many critics from citizen.”
Itulah yang berhasil saya tulis dalam kurun waktu sekitar 30 menit.  Saat Mr. Lala membaca tulisan saya beliau menanyakan kepada saya apa benar Zinn orang Amerika? Saya jawab iya karena memang benar Zinn orang Amerika.  Kemudian beliau menambahkan bahwa awalnya sudah lumayan tinggal langsung ke karya zinn saja.
Menulis bukan hal yang mudah, oleh karena itu sebagai mahasiswa kita harus menjadikan menulis sebagai hal yang mudah dan menjadi kegemaran kita.  Karena literasi adalah pondasi untuk membuat segala sesuatu menjadi kokoh.






Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment