class review 5

 Mata Rantai: Literasi-Sejarah-Intertekstualitas
Written by Ida Fauziyah

Kembali bersua dengan hari senin yang berarti kami harus kembali bersua dengan Writing 4. Pertemuan kala itu merupakan pertemuan kelima yang bertemakan “Exploring More About Critical Review”. Dalam pertemuan kala itu Mr. Lala banyak mengungkap berbagai kelemahan, kemudian kesalahan sampai pada tingkat pengabaian kami dalam critical review.
Terlepas dari itu segala bentuk hal negatif dalam critical review, Mr. Lala kemudian menugaskan kami untuk mencari serta memahami tentang berbagai hal. Tanpa kami sadari, segala macam bentuk tugas yang diberikan oleh Mr. Lala keada kami selalu berlandaskan atau memiliki keterkaitan dengan literasi seperti critical review yang pertama tentang classroom discourse, critical review kedua tentang sejarah dan lain-lain.
Telah kita ketahui bahwa literasi sangat penting dalam kehidupan manusia. Kita tahu juga literasi mencakup banyak hal, salahs atunya adalah baca-tulis. Nystrand mendefinisikan menulis sebagai interaksi sosial. Proses menulis adalah soal menguraikan teks sesuai dengan apa yang penulis cukup bisa berasumsi bahwa pembaca tahu dan mengharapkan, dan proses membaca adalah masalah memprediksi teks sesuai dengan apa pembaca mengasumsikan tentang tujuan penulis. (M. Nystrand, 1989: 75)

Dalam model interaktif sosial, makna diciptakan melalui konfigurasi unik dan interaksi apa yang baik antara pembaca dan penulis kepada ke teks (Nystrand et al, 1993: 299). Sebuah wacana dibentuk oleh penulis mencoba untuk menyeimbangkan tujuan mereka dengan harapan pembaca melalui proses negosiasi. Untuk Nystrand, teks memiliki 'semantik potensial, atau berbagai kemungkinan arti, semua tetapi beberapa di antaranya adalah ditutup oleh kombinasi dari maksud penulis, pembaca kognisi dan sifat obyektif dari teks itu sendiri. Artinya, dengan kata lain, tidak ditularkan dari pikiran ke pikiran seperti dalam model teks otonom, juga tidak berada dalam kognisi penulis seperti dalam model proses. Sebaliknya, itu dibuat antara pembaca itu sendiri.
Pada dasarnya proses penulisan melibatkan menciptakan teks yang kita mengasumsikan pembaca akan mengenali dan harapkan dan proses membaca melibatkan menggambar pada asumsi tentang apa yang penulis mencoba untuk lakukan. Hoey (2001) mengibaratkan ini untuk penari mengikuti langkah-langkah masing-masing, setiap gedung arti dari teks dengan mengantisipasi apa yang lain mungkin yang dapat dilakukan.
(Barton, 2007: 34) menjelaskan konsep pandangan sosial tentang literasi, yakni:
1.      Literacy is a social activity and it best described in terms of people’s literacy practices.
2.      People have different literacies which are associated different domains of life.
3.      People’s literacy practices are situated in broad social relations, making it necessary to describe the settings of lteracy events.
4.      Literacy practies are patterned by social institution and power relationship and some literacies are more dominant, visible, and influental than others.
5.      Literacy is based on a system of symbols as a way of representing the world to others and to ourselves.
6.      Our attitudes and values with respect to literacy guide our actions to communication.
7.      Our life histories contain many literacy events from which we learn and which contribute to the present.
8.      A literacy event also has a social history which help create current practies.
Perlu kita ketahui bahwa kita hidup berarti kita menciptakan sejarah. Dan sejarah yang kita ciptakan mengandung banyak peristiwa literasi. Sebuah peristiwa juga mengandung sejarah sosial yang membantu kita untuk menciptakan sesuatu yang baru. Dengan kata lain, literasi memiliki kontribusi yang begitu besar dalam menciptakan sejarah.
Bagi warga barat pada pergantian milenium, membaca dan menulis merupakan kegiatan yang paling alami dalm hidup. Seperti pada tahun 1985, hampir 30% dari semua orang di bumi tidak bisa memahami sebuah teks tertulis. Pada tahun yang sama, hampir 900 juta orang dari keseluruhan polpulasi orang dewasa di dunia yang lebih dari 15 tahun buta huruf. Keterampilan membaca dan menulis yang dianggap benar-benar tergantung pada pelatihan yang disengaja dan dengan pembelajaran sadar. (Lehtonen, 2000: 53)
Literasi adalah kegiatan sosial dengan karakter. Hal ini dapat digambarkan ketika orang membaca dengan situasi dan cara mereka yang berbeda dalam membaca. Berliterasi berarti mentransfer sesuatu dari satu dunia ke dunia lain dengan cara yang berbagai macam. Semua itu bergantung pada pribadi serta lingkungan yang mempengaruhinya.
Dari sudut pandang sejarah, penyebaran literasi juga dapat diperkirakan telah banyak berdampak pada konsepsi perubahan diri manusia. Dalam budaya lisan, diri seseorang belum tentu dapat dipahami suatu entitas seperti dalam budaya sastra. (Lehtonen, 2000:54)
(Hyland, 2009: 44) a number of key issues which dominate current understanding of writing:
1.      Context
(Hyland, 2009: 44) Cara kita memahami suatu teks dapat dikembangkan melalui konteks pemahaman yang canggih. Makna bukanlah sesuatu yang berada pada kata-kata yang kita tulis dan kita kirim ke orang lain, melainkan diciptakan dalam interaksi antara penulis dan pembaca karena mereka memahami kata-kata dengan cara yang berbeda. Masing-masing dari mereka saling mengira-ngira apa yang dimaksudkan atau yg didapatkan oleh mereka sendiri selaku penulis maupun pembaca.
(Cutting, 2002:3) mengungkapkan tentang tiga aspek penafsiran konteks, yakni:
1)      Situational Context
What people know about what they can see around them.
2)      Background Konowledge Context
What people know about teh world, aspect of life and each other.
3)      Co-Textual Context
What people know aboout what they have been saying.
Begitu banyak perspektif tentang kekompleksitas konteks secara tertulis. Untuk itu, pelu adanya pendekatan serta penelitian yang lebih komprehensif untuk memahami konteks secara tertulis.
2.      Literacy
Baca-tulis merupakan salah satu tidakan literasi. Konsepsi modern tentang literasi mendorong kita untuk melihat tulisan sebagai praktek sosial, bukan sebagai keterampilan abstrak dipisahkan dari orang-orag dan tempat-tempat di mana mereka menggunakan teks. (Hyland, 2009:48)
(Scribner dan Cole, 1981: 236) mengatakan bahwa “literasi tidak hanya mengetahui cara membaca dan menulis suatu naskah tertentu, tetapi menerpkan pengetahuan in untuk tujuan tertentu dan menggunakan konteks tertentu dalam penggunaannya.” Hal ini perlu dipertimbangkan mengingat peran literasi untuk membantu kita untuk memhami bagaimana orang-orang memaknai hidup mereka melalui praktek rutin membaca dan menulis. (Hyand, 2009: 48)
3.      Culture
Pendapat yang mengatakan bahwa pengalaman para penulis dari praktek literasi dari komunitas yang berbeda akan mempengaruhi pilihan linguistik mereka menunjukkan bahwa guru hatus mempertimbangkan bagian yang dimainkan budaya dalam tulisan mereka. Budaya secara umum dipahami sebagai jaingan sejarah yang ditransmisikan dan sistematis makna yang memungkinkan kita untuk memahami, mengembangkan dan mengkomunikasikan pengetahuan serta memperkenalkan kita kepada dunia. (Lantolf, 1994)
4.      Technology
Dewasa ini, untuk menjadi literet kita juga harus melek teknologi. Alasannya, karena banyak manfaat yang mungkin kita dapatkan darinya. Hyland (2009: 58) effects of electronic technology on writing:
·         Change creating, editing, proofreading, and formating processes.
·         Combine written text with visual and audio media more easily.
·         Encourage non-liniear writing and reading process through hypertex-link.
·         Challenge traditional notion of authorship, authority and intellecyual prpperty.
·         Allow writer access to more informasion and to connect that information in new ways.
·         Change the relationship between writers and readers as readers can often white back.
·         Expand the range of genres and opportunities to reach wider audiences.
·         Blur tradisional oral and witten chanel distinction.
·         Introduce possibilities for constructing and rojecting new social identity.
·         Facilitate entryto new on-line discourse communities.
·         Increase the marginalisation of writers who are isolated from new witing techno.
·         Offer writing teacers new challenges and opportunities for classroom practice.
5.      Genre
(Hyland, 2009: 15) genre adalah istilah untuk mengumpulkan teks bersama-sama mewakili bagaimana penulis menggunakan bahasa untuk menanggapi situasi berulang. Setiap genre memiliki sejumlah fitur yang membuatnya berbeda dengan genre lainnya. Masing-masing memiliki tujuan tertentu, struktur keseluruhan, fitur tertentu dan bersama oleh anggota budaya. Bagi banyak orang itu adalah intuitif konsep yang menarik yang membantu untuk mengatur label akal sehat yang kita gunakan untuk emngkategorikan teks dan situasi di mana mereka terjadi.
6.      Identify
Identitas dipandang sebagai sesuatu yang dibangun oleh teks yang kita tulis serta pilihan bahasa yang kita gunakan, sehingga kita seolah mengenalkan diri kita ke khalayak umum.
Beranjak kepada issue yang berikutnya yakni tentang intertextuality. Hyland (2009) on Bakhtin menyerukan tentang intertekstualitas menunjukkan bahwa sebuah wacana selalu  terkait dengan wacana lain, baik saat mereka berubah dari waktu ke waktu dan mereka memiliki kesamaan pada setiap titik waktu. Ini menghubungkan teks-pengguna ke jaringan teks sebelumnya dan sebagiannya menyediakan sistem pilihan untuk membuat makna yang dapat dikenali oleh teks-pengguna lain. Karena mereka membantu menciptakan makna yang tersedia dalam suatu budaya, konvensi dikembangkan dalam cara menutup interpretasi tertentu dan membuat orang lain lebih mungkin, dan ini membantu menjelaskan bagaimana penulis membuat pilihan retoris tertentu saat menulis.
Fairclough (1992: 117) membedakan dua jenis intertekstualitas: 1) Intertekstualitas Manifest mengacu pada berbagai cara untuk menggabungkan atau menanggapi teks-teks lain melalui kutipan, parafrase, ironi, dan sebagainya. 2) Interdiscursivity menyangkut penggunaan penulis set konvensi ditarik dari jenis teks dikenali atau genre. Teks di sini kemudian berhubungan dengan beberapa makna kelembagaan dan sosial.
Tujuan kegiatan intertekstualitas adalah untuk memberikan makna secara keseluruhan terhadap suatu karya. Penulisan atau pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahan, sehingga pemebrian makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan tersebut. (Teuw, 1983: 62)
Seperti itulah yang dapat saya gambarkan mengenai literasi-history dan intertextuality. Lalu, berikut ini adalah hasil free writing saya tentang Howard Zinn yang tentu saja sebagai salah satu contoh tentang keterkaitan antara literasi-sejarah dan intertekstualitas.
Howard Zinn in his article under the title “Speaking Truth to Power with Books” tells facts. Howard Zinn identify Christoper Colombus is a killer, a person who give pains, a kidnap, and mutilator. He ever sent his book to Amerika’s society but they refused the book. They have known that Christhoper Colombus was a hero, someone who found the America Island. Even he got a message from a teacher of California that a student brang his book to her house. The mother of the student read the book. Then she said to the student that she has to went to school for telling that the teacher was a Communis.
Dari beberapa pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa adanya keterkaitan antara literasi, sejarah dan intertextualitas. Literasi sangat berperan penting dalam proses menciptakan sejarah. Literasi tinggi akan menciptakan sejarah yang luar biasa. Dan sejarah (tulisan) seseorang bisa dilihat atau dicirikan melalui proses intertekstualitas karena kita bisa mengira-ngira buku apa saja yang melatar belakangi teks tersebut.
Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment