The
Burning Morning Writing Spirit!
Apif
Rahman Hakim
Masih di dunia writing, kepala saya
semakin pusing setiap hari senin karena ada mata kuliah writing. Terasa pening
dan agak sedikit mooring, meskipun sudah morning tapi hati ini terasa semakin
burning menghadapi tantangan di mata kuliah writing. Kali ini saya akan
membahas mengenai intertextuality dan key issues, cap cus cing!
Menurut Bakhtin yang dikutip dari Ken Hyland
(2002: 33) intertextuality menunjukkan bahwa wacana
selalu terkait dengan wacana lain, baik saat mereka berubah dari waktu ke waktu
dan mereka kesamaan pada setiap titik waktu. Ini menghubungkan teks-pengguna ke
jaringan teks sebelum dan sebagainya menyediakan sistem pilihan untuk membuat makna
yang dapat dikenali oleh lain teks-pengguna. Karena mereka membantu menciptakan
makna yang tersedia dalam suatu budaya, konvensi dikembangkan dalam cara menutup
interpretasi tertentu dan membuat orang lain lebih mungkin, dan ini membantu menjelaskan
bagaimana penulis membuat pilihan retoris tertentu saat menulis.
Fairclough (1992: 117) membedakan dua
jenis intertextuality:
1) Intertextuality Manifest
mengacu pada berbagai cara untuk menggabungkan atau menanggapi teks-teks lain
melalui kutipan, parafrase, ironi, dan sebagainya.
2) Interdiscursivity menyangkut penggunaan
penulis set konvensi ditarik dari jenis teks dikenali atau genre. Teks di sini
kemudian berhubungan dengan beberapa makna kelembagaan dan sosial.
Intertextual merupakan hal yang tidak bisa dihindari, sebab
setiap teks bergantung, menyerap atau merubah rupa dari teks sebelumnya. Proses
pembacaan dan pemaknaan kemudian dapatlah dianggap sebagai hal yang sangat
kompleks. Teks sendiri merupakan sekumpulan kode-kode yang nilai signifikannya
ditentukan oleh teks pendahulunya, dan pembaca pun tidak bergulat dengan teks
dalam keadaan bersih.
Menurut Bennet dan Wollacot (Lehtonen 2000: 120)
wacana dan intertextual mempengaruhi teks tidak hanya dari luar, tetapi juga
dari dalam bentuk-bentuk historis konkret dimana mereka yang bersedia sebagai
teks yang dapat dibaca. Hubungan intertextual dibagi menjadi dua John Fisker
yaitu:
1)
Horizontal
Teks premier dengan teks premier (genre, konteks, isi)
2) Vertical
Teks premier dengan lainnya (sekunder) (teks berbeda yang
merujuk ke premier)
Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah untuk
memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya (Karya Sastra). Penulisan
atau pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahannya,
sehingga pemberian makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur
kesejarahan itu (Teeuw, 1983: 62-5).
Menurut Kristeva yang dikutip dari (Junus, 1985:
87-88) intertextual dijabarkan sebagai berikut:
- Kehadiran suatu teks di dalam teks yang lain,
- Selalu adanya petunjuk yang menunjukkan hubungan antara suatu teks dengan teks-teks pendahulu,
- Adanya fakta bahwa penulis suatu teks telah pernah membaca teks-teks pemengaruh sehingga nampak jejak,
- Pembaca suatu teks tidak akan pernah bisa membaca teks secara pisah dengan teks-teks lainnya. Ketika ia membaca (dalam rangka memahami) suatu teks, ia membacanya berdampingan dengan teks-teks lain.
Sedangkan menurut Laurent Jenny dalam (Culler, 1981:
104) “outside of intertextuality, the literary work would be quite
simply impertceptible, in the same way as an utterance in an as yet unknown
language”. Yang artinya bahwa ketika suatu teks benar-benar tidak
bergantung kepada teks lain, maka teks tersebut menjadi tidak
bersignifikansi.
Culler menekankan intertekstualitas memiliki dua fokus
kajian (Culler, 1981: 103);
- Penyadaran posisi penting prior texts (teks-teks pendahulu).
- Intelligibility (tingkat terpahaminya suatu teks) dan meaning (makna) yang ditentukan oleh kontribusi teks-teks pendahulu.
Beranajak
kepada key issues in writing, Hyland (2002: 2009) Together they tell us
something of the current state of play in writing research and teaching and, I
hope, provide a basis for thinking, reflecting and reading further on the
subject. Hyland (2002; 44) a number of key issues which dominate current
understanding of writing:
1. Writing and context
Cara
kita memahami teks telah dikembangkan melalui pemahaman secara canggih tentang
context. Makna bukanlah sesuatu yang berada dalam kata-kata yang kita tulis dan
kita kirim keorang lain, tetpai diciptakan dari interaksi antar penulis dan
pembaca karena mereka memahami kata-kata dengan cara yang berbeda. Akibatnya,
analisis dan guru sekarang mencoba untuk memperhitungkan faktor-faktor
personal, instutisional, dan sosial yang memepengaruhi tidakan penulis.
2. Literacy
and expertice
Scribner dan cole (1981: 236) mengatakan “literasi tidak hanya
mengetahui cara membaca dan menulis naskah tertentu, tetapi menerapkan
pengetahuan ini untuk tujuan tertentu dalam konteks tertentu dalam
penggunaanya. Ini mengingat peran literasi untuk membantu kita memahami
bagaimana orang-orang memahami hidup mereka melalui praktik rutin yaitu membaca
dan menulis. (Hyland 2009: 48)
3. Writing
and Culture
Gagasan bahwa pengalaman penulis
dari praktik literasi dan komunitas yang berbeda akan memepengaruhi pilihan
linguistic mereka menunjukkan bahwa guru harus memepertimbangkan bagian yang
dimainkan budaya dalam menulis. Budaya secara umum dipahami sebagai jaringan
historis yang ditransmisikan dan sistematik makna yang memungkinkan kita untuk
memahami, keyakinan kita tentang dunia (Lantolf, 1999). Dan dalam
menulis ini disebut sebagai Contrastive Rhetoric.
4. Writing
and Technology
Dizaman sekarang, untuk menjadi
seorang penulis dan orang yang berliterasi harus bersahabat dengan teknologi,
karena teknologi bisa membantu seorang penulis.
5. Genre
Hyland (2006: 15) “genre” adalah istilah untuk
mengumpulkan teks bersama-sama, mewakili bagaimana penulis menggunakan bahasa
untuk menanggapi situasi berulang. Setiap genre memiliki fitur yang berbeda
engan genre lainnya. Masing-masing fitur memiliki tujuan tertentu, struktur
keseluruhan. Hyland (2009: 63) memaparkan juga bahwa genre diakui
sebagai tindakan komunikasi.
6. Identity
Hyland (2009: 70) penelitian terbaru menekankan
hubungan dekat antara menulis dan identitas seorang penulis. Dalam arti luas, identitas
mengacu pada cara-cara orang menampilkan siapa mereka satu sama lain (Benwell
dan Stokoe 2006: 6).
Dari semua pemaparan di atas dapat
kita simpulkan bahwa dalam writing terdapat banyak hal yang harus diperhatikan
seperti halnya intertekstualitas dan key issues yang saling berhubungan satu
sama lain. Dengan menguasai semuanya maka Insya Allah kita dapat menguasai
kemampuan writing tanpa ada gejala pusing dan kepala pening.