5th Class Review
Tafsir
Teks
(By Erni Nuro)
Merajut
asa demi cita, kini perjalanan yang semakin curam dan tajam penuh liku serta
gelombang. Tetap berpegang teguh dengan pendirian untuk tetap bersemangat dan
terus bersemangat. Hanya bermodalkan semagat dan keyakinan kini mampu
membuktikan bahwa kami masih diberi kesuksesan.
Kini memasuki musim terakhir, dimana peserta masterpice telah siap siaga mengantisipasi kejadian-kejadian aneh serta mankutkan. Tapi inilah sebuah tantangan yang menguji keberanian jiwa para peserta masterpice. Walaupun tantangan semakin nampak dimata, tetapi bagi jiwa-jiwa masterpice dengan penuh keyakinan dan percaya diri mampu mengahadapi musuh-musuh masterpice dengan satu persatu.
Kini memasuki musim terakhir, dimana peserta masterpice telah siap siaga mengantisipasi kejadian-kejadian aneh serta mankutkan. Tapi inilah sebuah tantangan yang menguji keberanian jiwa para peserta masterpice. Walaupun tantangan semakin nampak dimata, tetapi bagi jiwa-jiwa masterpice dengan penuh keyakinan dan percaya diri mampu mengahadapi musuh-musuh masterpice dengan satu persatu.
Kini
bertemakan tentang intertekstualiti. Menurut Lehtonen (2000:120) Setiap ucapan
bereaksi dan merespon ucapan-ucapan lainnya dalam bidang tertentu. Maka ini
yang disebut intertekstualitas, dimana teks-teks tersebut mencantumkan atau
menjejakan dari teks-teks sebelumnya melalui kutipan, parafrase. Membaca sebuah
buku diibaratkan sebagai ilustrasi memasak. Memasak yang membutuhkan
bahan-bahan yang akan menyatukan suatu masakan yang sangat lezat. Begitupu
membaca, untuk menghasilkan makna atau arti sebuah teks harus lah membutuhkan
bahan-bahan atau sumber-sumber yang akan menghasilkan sebuah makna yang efektif.
Tanpa niat yang baik dalam membaca maka akan buruk pula hasil dari membacanya
pula. Dalam membaca diibaratkan sebagai masakan yang memerlukan beberapa
peralatan atau kebutuhan yang akan memadukan bahan-bahan serta alat-alat masak
menjadi sebuah makanan yang sangat lezat.
Selain
itu seorang koki haruslah memiliki pengetahuan matematika yang berguna untuk
menghitung jumlah bahan yang dibutuhkan. Begitu pula dengan pembaca, seorang
pembaca harus memilki ilmu perhitungan untuk menghitung jumlah bahan bacaan.
Pembaca juga harus mampu untuk men-decode jargon dimana resep atau kutipan
ditulis. Menurutnya jumlah keterampilan dan jumlah pengetahuan yang dibutuhkan
oleh buku-buku yang telah masak konteksnya relatif terbatas dibandingkan dengan
teks lainnya. Teks teks yang yang ditujukan kurang praktis itu dapat merumitkan
dalam menentukan konteks mereka. Ada hubungan hirarkis tertentu antara teks dan
pembacanya, maksudnya adalah pembaca mengharapkan dari buku itu untuk
mengetahui sesuatu yang lebih dan akibatnya.
Dalam
konteks mereka konteks itu menurutnya lebih kompleks dan terkadang pembaca
sering menganggap dirinya mampu menilai seberapa baik membangkitkan harapan
kesadaran mereka sebelumnya. Ini berkaitan dengan novel atau sinetron-sinetron
yang dapat mengklarifikasi konteks aktual mereka. Kemudian menurut Bennett dan
Woollacott dalam gagasannya yaitu bahwa pembentukan membaca itu merupakan salah
satu upaya untuk mendapatkan definisi tersebut yang mempengaruhi baik teks dan
pembaca, menyampaikan hubungan antara teks dan konteks yang dapat menghubungkan
mereka satu sama lain dan menyediakan mekanisme melalui dimana mereka
mendapatkan interaksi dalam produktif.
Konteks
tidak memperkenalkan dirinya kedalam extratextual, tetapi sebagai hubungan
intertekstuali dan diskursif yang menghasilkan pembaca untuk teks dan teks
untuk pembaca. Study teks akan membangun sebuah objek yang dapat dibaca dalam
formasi cara baca yang berbeda, yang mana akan membentuk keberadaan mereka
sebagai history aktif. Kemudian ada istilah teks kultural yaitu teks bacaan
yang pembacaannya dala terang. Menurut Bennett dan Woolacott dalam Lehtonen
(121....) definisi mengenai teks diskursif dan intertekstual itu tidak
mempengaruhi teks hanya dari luarnya saja, akan tetapi juga dari dalam, yaitu yang
membentu teks-teks ke dalam bentuk-bentuk history yang konkret, dimana mereka
bersedia membaca teks. Dalam contohnya, misalnya harapan pembaca tentang genre
yang memiliki efek bagaimana mereka memposisikan dirinya dengan teks, dan
bagaimana akibat dari teks yang membentuknya. Tidak ada pembatas antara
penentuan extratextual dan intertekstual dari teks yang akan mencegah
orang-orang dari eksternal berpengaruh ke internal.
Intertekstual
merupakan relationship. Intertekstual juga menurut Bennett memiliki hubungan
yang penting dengan pandangan tradisional yang menurut teks, pembaca dan
konteks merupakan elemen yang terpisah yang sudah ada sebelum terlibat satu
sama lain. Ada beberapa metode yang akan menunjukan hubungan antara teks dan
konteks dalam teoru tekstuality. Dalam teori intertekstuality, ditentukan bahwa
setiap teks yang dibaca harus sehubungan dengan teks lainnya. Menurut konsep
ini teks itu tidak mengacu pada realitas. Tetapi mengacu pada budaya realitas.
Hubungan
intertekstuality berpartisipasi secara signifikan dalam stabilisasi teks
sementara, dalam pembacaan tertentu yang dihasilkan oleh khalayak tertentu.
Teori intertekstuality menekankan bahwa teks tidak ada entitas sebagai hermetis
dan mandiri. Oleh karena itu, mereka tidak tertutup. Para penulis selalu membaca
naskah pertama sebelum mereka menjadi produsen teks. Alasannya menurutnya teks
yang benar dan sah itu adalah teks yang dipenuhi dengan refernsi atau kutipan
serta pengaruh dari teks-teks yang lain.
Kemudian
menurut teori ini bahwa teks itu hanya tersedia melalui sarana membacanya. Apa
yang dihasilakn pembaca atau yang dinaca maka akan dipengaruhi oleh teks-teks
yang lain juga. Dalam hal ini bahwa belum tentu teks-teks yang baik dan benar
itu adalah teks-teks yang tidak memiliki referensi yang benar dan tersambung.
Pengetahuan mengenai interekstuality
mengarahkan pembaca untuk mengguanakan teks-teks dengan cara tertentu, untuk
membaca atau menemukan makna dala berbagai teks. Disisni menyatakan bahwa teks
itu berpengaruh dalam menentukan beberapa sumber guna untuk melacak struktur
diskursif yang lebih umum. Pengaruhnya dalam hal ini adalah mencari kebenaran
dalam teks-teks penulus pada teks-teks lain. Seseorang yang melakukan study ini
akan merasa ragu, karena takut teks-teks yang mereka baca itu tidak sesuai
dengan kebenarannya perihal referensi yang dicantumkannya salaha atau tidka
jelas. Dengan kata lain, membaca tidak menerima makna dari teks, karena
teks-teks dalam arti tertentu tidak memiliki makna sebelum mereka membaca. Tetapi
hanya sekedar membaca dan memaknai dalam teks saja.
Kemuadian ada beberapa pendapat lain
yang berkenaan dengan intertekstualiti. Intertekstualiti merupakan salah satu
teori yang digunakan oleh pembaca untuk memperoleh makna dalam proses membaca
suatu karya satra. Karena setiap pembaca yang berhadapan dengan pasti bertemu
dengan proses pemaknaan. Pada hakikatnya seseorang membaca itu tujuannya untuk
memperoleh sesuatu, entah itu berupa informasi atau makna dari teks yang dibaca
tersebut. Teori intertekstualitas awalnya diperkenalkan oleh Julia Kristeva
seorang peneliti dari Prancis mengungkapkan dalam (Culler, 1981 : 104), bahwa
jumlah pengetahuan yang dapat membaca suatu teks sehingga memiliki arti atau
intertekstualitas merupakan hal yang tak bisa dihindari, sebab setiap teks
bergantung, menyerap, atau merubah rupa dari teks sebelumnya.
Teks merupakan satu permutasian dari
teks-teks lain. Intertekstualiti memandang teks berada didalam ruang satu teks
sehingga memilki satu teks berada didalam ruang satu teks sehingga memiliki
satu teks yang ditentukan. Teks itu bermacam-macam, teks diambil dari teks-teks
lain. Teks juga bersifat tumpang tindih dan saling menetralkan satu sama lain
(Kristeva, 1981 : 36-37). Kajian intertekstualiti berangkat atau berawal dari
asumsi bahwa kapanpun karya tulis itu tidak mungkin tercipta dari udaya kosong.
Penulisan salah satu karya sastra tak mungkin dilepaskan dari unsur
kesejarahannya. Maka sebuah karya sastra itu secara penuh dapat diagali dan di
ungkap secara tuntas dalam kaintannya dengan unsur kesejarahannya tersebut. Karena
itu teks sastra dibaca dengan latar belakang teks-teks lainnya.
Tidak ada teks yang berdiri sendiri
tanpa ada referensi atau gabungan teks-teks yang lain (Teeuw, 1988:145). Teks yang
menjadi penciptaan karya barudisebut hipogram, dan teks baru yang menyerap dan
mentransformasikan hipogram disebut teks transformasi (Riffaterre, 1978:11,23).
Ada juga beberapa pendapat para ahli mengenai intertekstualitas. Diantaranya mennurut
Laurent Jenny dalam Culler, 1981:104, yaitu “outside of intertekstualiti the
literacy work would be quite simply impertceptible, in the same way as an
utterance in an as yet unknown language, yang berarti bahwa ketika suatu teks
benar-benar tidak bergantung kepada teks lain, maka teks tersebut menjadi tidak
bersignifikansi.
Culler menekankan intertekstualiti
memiliki dua fokus kajian (Culler, 1981:103) :
1. Penyadaran
posisi penting prior teks (teks-teks pendahulu)
2. Intelliggibility
(tingkat terpahaminya suatu teks) dan menaing (makna) yang ditentukan oleh
kontribusi teks-teks pendahulu tehadap bebagai macam efek signifikasi. Seperti
karya sastra merupakan kreatifitas yang ditulis atau diciptakan berdasarkan
konfensi sastra yang ada. Karya sastra merupakan kreativitas, maka karya sastra
ditulis tidak semata-mata hanya mencontohnya saja, melainkan juga
memperkembangkan konvensi yang sudah ada.
Proses
pembacaan dan pemaknaan dapatlah dianggap sebagi hal yang sangat kompleks. Teks
sendiri merupakan sekumpulan kodekode yang nilai signifikansinya ditentukan
oleh teks-teks pendahulunya, sedangkan pembaca teks juga bergulat dengan teks
dalam keadaan bersih. Pemikiran Kristeva mengenai intertekstualitas dapat
dijabarkan sebagai berikut:
1. Kehadiran
suatu teks didalam teks yang lain
2. Selalu
adanya petunjuk yang menunjukan hubungan antara suatu teks dengan teks-teks
terdahulu
3. Adanya
fakta bahwa penulis suatu teks tidak akan pernah bisa membaca teks secarapisah
dengan teks-teks lainnya. Ketika ia membaca (dalam rangka memahami), suatu
teks, membacanya berdampingan dengan teks-teks lainnya.
Dalam
Lehtonen (2000:53) masih mengenai literasi yang menurutnya adalah dalam sejarah
umat manusia. Manusia itu memiliki keterlambatan akuisi dalam bicaranya. Bagi warga
barat membaca dan menulis itu menjadi kegiatan yang alami dan rutin setia
harinya. Hasil penelitian bahwa hampir 30 persen dari semua orang dimuka bumi
ini tidak bisa memahami teks tertulis. Kini kegiatan atau keterampilan membaca
dan menulus tampaknya menjadi kegiatan yang tergantung pada pelatihan yang
harus dipaksakan dan dipelajarisecara sadar terlebih dahulu. Mereka tidak ada
rasa yang tumbuh snediri. Kebanyakan dari mereka hanya mampu membaca fasih dan
hanya dapat mampu memainkan kefasihannya tersebut kedalam film-film.
Literasi itu adalah kegiatan sosial
oleh karakter. Hal ini dapat digambarkan sebagai praktik dimana orang
menggambar dalam siruasi membaca yang berbeda. Segala literasi mencakup kemampuan
untuk mengendalikan sistem yang berbeda dari simbol-simbol dimana realitas
digambarkan kepada pembaca. Kemampuan untuk memahami teks ilmiah misalnya
memerlukan pelatihan yang berbeda daripada memebaca teks sastra, dan itu harus
dipelajari asing-masing diantara mereka.
Dari pemaparan-pemaparan yang begitu
lebar mengenai intertekstualiti dapat ditarik kesimpulan, bahwa
intertekstyaliti atau intertekstualitas itu adalah gabungan antara teks-teks
satu dengan teks-teks yang satu dengan teks-teks yang lainnya dengan saling
berkesinambungan dan mencakup beberapa kitupan dari berbagai artikel lainnya
pula, serta mencantumkan referensi yang akurat dalam mengambil sumber-sumber
teks tersebut. Untuk menumbuhkan atau mengembangkan pengetahuan kita dalam
bentuk tertulis diantara caranya dengan intertekstualiti tersebut.