Class Review 5 : Lupa Lagikah Kunci(Ilmu)Nya



Lupa Lagikah Kunci(Ilmu)Nya
Ilmu yang pernah kita pelajari jangan pernah kita lupakan, apalagi ilmu tersebut kita buang jauh-jauh. Alangkah baiknya kalau kita amalkan atau setidaknya kita sesalu mengingat-ingat dengan sering-sering membacanya, pastinya ilmu tesebut akan berkembang. Kesalahan mindset di kelas kami membuat pelajaran pelajaran yang terdahulu tidak ingat, karena kami suka melupakan pelajran yang pernah diajarkan oleh dosen, dalam hal ini adalah Mr.Lala. mungkin itu juga terjadi di negri ini kebanyakan siswa hanya mengingat pelajaran yang baru dipelajari dan selalu menghapal pelajaran yang akan diajarkan, sedangkan pelajaran yang terdahulu mereka lupakan begitu saja.
Banyak ilmu yang selalu memiliki kesinambungan terhadap satuan-satuan lain dan saling membutuhnya satu sama lainnya. Apabila salah satunya tidak ada maka tidaklah dianggap sempurna. Maka dari itu, ilmu yang semacam itu sepatutnya kita harus terus-menerus mempelajari, menelaah, serta menganalisisnya. Seperti halnya music yang memilki komponen sebagai berikut, Alat musik, notasi, dan aransemen. Namun yang lebih penting adalah konteksnya yakni bagaimana proses menyatukan semua komponen itu menjadi sebuah alunan musik yang indah. Begitupun dengan teks, tanpa memahami konteksnya ia akan kosong atau hampa seperti analogi musik diatas. 
Pada class review kali ini akan kembali menyinggung tentang teks dan konteks dalam cakupan discourse karena lagi-lagi kesalahan terbesar penulis adalah hanya menjelaskan hal yang disitu-situ saja, tepi tidak secara eksplisit menjelaskan keterikatannya. Padahal semua itu harus dikaitkan. Pada class review juga akan menjelaskan kekurangan pada critical kemarin, sebenarnya classroom discourse, religious harmony juga ada kaitannya dengan literasi.
Ternyata selain kita membuat critical, kita juga dapat banyak kritikan dari Mr. Lala. Ini benar-benar hal yang saling timbal balik satu sama lainnya. Kita banyak melupakan hal yang penting dalam menulis katanya. Pada hari senin, 3 Maret 2014 itu Mr. lala selain banyak memberikan critikan juga banyak memberikan motivasi. Kesalahan pertama kali disebut “weakness”  ini masih dima’lumi, melakukan kesalahan kedua disebut “mistakes” dan yang ketiga disebut “ignorance” ini benar-benar sangat mengabaikan kesalahannya. Dan menurut beliau menulis ini saling berkaitan dengan context, literacy, technology, culture, genre and identity.
Mengenai context, context itu sangatlah penting dalam menulis, dimana ini adalah dasar yang penulis harus kuasai ketika ingin menulis. Oleh karena itu context itu harus benar-benar dipahami oleh seorang penulis. Menurut Lehtonen (2000) dalam bukunya The Cultural Analysis of Texts mengatakan dalam menginterpretasi teks, ia melihatnya dari dua dimensi, yakni dimensi fisik ( teks as physical being ), dan dimensi semiotik ( teks as semiotic being ). Teks terdapat dalam bentuk fisik, tetapi mereka hadir dalam beberapa bentuk semiotik. Teks berupa fisik merupakan suatu komunikasi artefak. Dengan kata lain, tulisan atau wacana yang ditulis oleh penulis mengandung instrument komunikasi di dalamnya, Saat ini teks dapat ditemukan di mana saja. Kemunculan teknologi yang semakin canggih seperti sekarang ini adalah bertujuan untuk menghasilkan teks tertulis yang berkualitas dan hanya ketika mereka mempunyai beberapa bentuk fisik yang jelas, seperti tinta, kertas, dan lain-lain. Sementara secara semiotik, teks dapat diinterpretasikan ke dalam bentuk tulisan, pidato, musik, gambar, atau simbol lainnya. Dari semua bentuk tersebut, teks dikarakteristikkan ke dalam 3 feature, yakni materiality, formal relation, dan meaningfulness.
Sedangkan teks akan selalu dibarengi dengan konteksnya. Konteks dapat dikatakan makna yang mengelilingi teks dan digunakan untuk memahami teks itu sendiri. Pendapat lain mengatakan bahwa konteks merupakan suatu penggambaran yang diserap oleh reader dan berasal dari teks yang telah dibaca kemudian reader seolah-olah  ikut terjun ke dalam teks tersebut. Ferdinand De Sausure mengaitkan teks dan konteks sebagai signifiant dan signifie. Signifiant adalah teks berupa sistem tanda berupa citra bunyi atau kesan psikologi yang timbul dalam pikiran, sedangkan Signifie adalah pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran pembaca yang diterima dari signifiant. Dengan kata lain konteks hadir di luar teks. Teks merupakan satu permutasian teks-teks lain. Intertekstual memandang  teks berada di dalam ruang satu teks yang ditentukan, teks merupakan bermacam-macam tindak ujaran, teks diambil dari teks-teks lain, serta teks bersifat tumpang-tindih dan saling menetralkan satu sama lain (Kristeva, 1980:36—37).
Pada  buku yang dikarang oleh Ken Hyland (2009) yang berjudul Teaching and Researching Writing, Cutting (2002 :3), menyebutkan 3 aspek utama penafsiran konteks, yaitu:
§      Situational Context : apa yang orang ketahui tentang apa yang mereka lihat di sekitarnya.
§      Background Knowledge Context : apa yang orang-orang ketahui tentang dunia, tentang aspek kehidupan dan tentang satu sama lain.
§      Co-textual Context : apa yang orang-orang tahu tentang apa yang mereka katakan.
Sedangkan menurut Halliday (1985) ada 3 dimensi konteks, yaitu field, tenor, dan mode.




Masih dalam buku Teaching and Researching Writing oleh Ken Hyland (2002; 2009),   bicara tentang writing ada beberapa kata penting yang harus diperhatikan di saat menulis, dimana menulis itu melibatkan context, literacy, culture, technology, genre and identity.
§      Konteks : penulis dan pembaca sama-sama berperan dalam meaning making practice. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa konteks didalamnya berperan 8 parameter dan 3 aspek penafsiran konteks.
§      Literasi : baca-tulis adalah salah satu bentuk praktek literasi. Menulis menawarkan berbagai kemungkinan dunia, yaitu kemungkinan dunia yang tercipta di dalam dan bahkan di luar tulisan. Menulis berarti membentangkan dan membangun dunia. Struktur sebuah tulisan menawarkan dunia baru. Sebuah tulisan menawarkan harapan tentang sebuah dunia. Kemungkinan dunia itu adalah semacam dunia kreasi, yang harus dibangun oleh seorang penulis ketika ia menciptakan tulisan. Literasi ada karena dunia kreasi tersebut.
§      Culture : secara umum dapat dikatakan dengan bagaimana budaya ataupun sejarah mempengaruhi tulisan seseorang. Ketika menulis manusia tak luput dari budaya dan sejarahnya, hal ini yang menimbulkan keberagaman tulisan dan menjadikan sistem jaringan penyampaian makna menjadi bervariasi. Hal ini baik karena setiap tulisn memiliki identitasnya masing-masing.
§      Teknologi : teknologi dalam konteks ini bukan hanya sebagai media saja, tetapi harus dimanfaatkan untuk sarana menulis. Orang yang berliterasi dituntut untuk menguasai teknologi, dimana masa sekarang ini adalah masa serba teknologi. Dalam dunia tulis-menulispun teknologi sudah mengambil tempat penting. Artikel, e-book, PDF (Portable Document Format) makin banyak digandrungi oleh para penulis masa kini.
§      Genre : dewasa ini berkembang pelatihan Bahasa Inggris berbasis genre. Dari sudut pandang masab Systemic Functional Linguistic, Martin (1992:546) mendefinisikan genre “ staged, goal-oriented social processes through which social subjects in a given culture live their lives”. Genre berfungsi sebagai proses sosial karena masyarakat dari sebuah budaya berinteraksi satu dengan lainnya untuk mencapai sebuah genre. Dikatakan berorientasi tujuan karena genre berlangsung untuk mencapai sebuah tujuan; dan bertahap karena diperlukan tahapan untuk mencapai sebuah tujuan. Dalam penerapanannya dalam ranah linguistik, genre dikenal sebagai struktur skematik teks untuk mencapai tujuan tertentu sebuah teks. Namun Here written genres are regarded as parts of repeated and typified social situations, rather than particular forms, with writers exercising judgement and creativity in responding to similar circumstances (Hyland 2002).
§      Identity : ini erat kaitannya dengan ke-5 aspek sebelumnya, dimana tulisan yang berlandaskan kelima aspek tersebut akan menciptakan identitas tersendiri. Identitas merajuk pada cara penulis menampilkan siapa mereka sebenarnya (jati diri) lewat perantara tulisan.
Konteks yang berikutnya terdapat dari teks dalam slide yang diberikan oleh mr.Lala adalah seputar tugas critical review. Seperti yang kami ketahui critical review adalah tugas ‘Keramat’ bagi kami selaku penulis. Mengapa dikatakan keramat? Dikatakan ‘keramat’ karena sebagai mahasiswa yang baru menginjakkan kakinya dalam dunia critical, mengkritisi sebuah maha karya seorang ahli dibidangnya bukanlah pekerjaan main-main, menyanggah serta mengomentarinya dengan berdasar pada kebenaran teori lainnya menjadikan penulis diambang kebimbangan setiap kali menjalaninya. Dari mulai Appetizer essay, kemudian critical review pertama tentang Classroom discourse to foster religious harmony dan critical review kedua tentang Speaking Thruth to the Power with Books yang tak luput dari kekurangan dan yang pasti tak luput pula dari pandangan mr.Lala. beliau senantiasa membaca dan mengawasi dengan memberikan komentar sebagai responsnya.
Maka dari itu bisa kita simpulkan bahwa menulis sangat membutuhkan banyak komponen yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Tentunya banyak kesalahan yang khususnya yang saya lakukan ketika menulis critical review1-2, karena kitak mampu mengaitkan hal-hal yang berhubungan dengannya. Ketika menulis tidak hanya membutuhkan kesabaran, ketelitian, dan kerapihan. Namun yang paling penting adalah isi yang berkualitas, tidak hanya itu penulis juga mampu menjalin hubungan dengan pembaca. Dengan berbagai pendekatan yang dilakukan oleh tulisan akan saling berkaitan dengan context, literacy, technology, culture, genre and identity mampu menciptakan tulisan yang berkualitas dan si pembaca mampu berinteraksi memahami isi bacaan tersebut.

Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment