Lupa
Lagikah Kunci(Ilmu)Nya
Ilmu
yang pernah kita pelajari jangan pernah kita lupakan, apalagi ilmu tersebut
kita buang jauh-jauh. Alangkah baiknya kalau kita amalkan atau setidaknya kita
sesalu mengingat-ingat dengan sering-sering membacanya, pastinya ilmu tesebut
akan berkembang. Kesalahan mindset di kelas kami membuat pelajaran pelajaran
yang terdahulu tidak ingat, karena kami suka melupakan pelajran yang pernah
diajarkan oleh dosen, dalam hal ini adalah Mr.Lala. mungkin itu juga terjadi di
negri ini kebanyakan siswa hanya mengingat pelajaran yang baru dipelajari dan
selalu menghapal pelajaran yang akan diajarkan, sedangkan pelajaran yang
terdahulu mereka lupakan begitu saja.
Banyak
ilmu yang selalu memiliki kesinambungan terhadap satuan-satuan lain dan saling
membutuhnya satu sama lainnya. Apabila salah satunya tidak ada maka tidaklah
dianggap sempurna. Maka dari itu, ilmu yang semacam itu sepatutnya kita harus
terus-menerus mempelajari, menelaah, serta menganalisisnya. Seperti halnya music
yang memilki komponen sebagai berikut, Alat
musik, notasi, dan aransemen. Namun yang lebih penting adalah konteksnya yakni
bagaimana proses menyatukan semua komponen itu menjadi sebuah alunan musik yang
indah. Begitupun dengan teks, tanpa memahami konteksnya ia akan kosong atau
hampa seperti analogi musik diatas.
Pada class review kali ini
akan kembali menyinggung tentang teks dan konteks dalam cakupan discourse
karena lagi-lagi kesalahan terbesar penulis adalah hanya menjelaskan hal yang
disitu-situ saja, tepi tidak secara eksplisit menjelaskan keterikatannya.
Padahal semua itu harus dikaitkan. Pada class review juga akan menjelaskan
kekurangan pada critical kemarin, sebenarnya classroom discourse, religious
harmony juga ada kaitannya dengan literasi.
Ternyata selain kita membuat
critical, kita juga dapat banyak kritikan dari Mr. Lala. Ini benar-benar hal
yang saling timbal balik satu sama lainnya. Kita banyak melupakan hal yang
penting dalam menulis katanya. Pada hari senin, 3 Maret 2014 itu Mr. lala selain
banyak memberikan critikan juga banyak memberikan motivasi. Kesalahan pertama
kali disebut “weakness” ini masih
dima’lumi, melakukan kesalahan kedua disebut “mistakes” dan yang ketiga disebut
“ignorance” ini benar-benar sangat mengabaikan kesalahannya. Dan menurut beliau
menulis ini saling berkaitan dengan context, literacy, technology, culture,
genre and identity.
Mengenai context, context itu sangatlah
penting dalam menulis, dimana ini adalah dasar yang penulis harus kuasai ketika
ingin menulis. Oleh karena itu context itu harus benar-benar dipahami oleh
seorang penulis. Menurut Lehtonen (2000) dalam bukunya The Cultural
Analysis of Texts mengatakan dalam
menginterpretasi teks, ia melihatnya dari dua dimensi, yakni dimensi fisik ( teks as physical being ), dan dimensi
semiotik ( teks as semiotic being ). Teks terdapat dalam bentuk fisik, tetapi mereka
hadir dalam beberapa bentuk semiotik. Teks berupa fisik merupakan suatu
komunikasi artefak. Dengan kata lain, tulisan atau wacana yang ditulis oleh penulis
mengandung instrument komunikasi di dalamnya, Saat ini teks dapat ditemukan di
mana saja. Kemunculan teknologi yang semakin canggih seperti sekarang ini
adalah bertujuan untuk menghasilkan teks tertulis yang berkualitas dan hanya
ketika mereka mempunyai beberapa bentuk fisik yang jelas, seperti tinta,
kertas, dan lain-lain. Sementara secara semiotik, teks dapat diinterpretasikan
ke dalam bentuk tulisan, pidato, musik, gambar, atau simbol lainnya. Dari semua
bentuk tersebut, teks dikarakteristikkan ke dalam 3 feature, yakni materiality, formal relation, dan meaningfulness.
Sedangkan teks akan selalu
dibarengi dengan konteksnya. Konteks dapat dikatakan makna yang mengelilingi
teks dan digunakan untuk memahami teks itu sendiri. Pendapat lain mengatakan
bahwa konteks merupakan suatu penggambaran yang diserap oleh reader dan berasal
dari teks yang telah dibaca kemudian reader seolah-olah ikut terjun ke dalam teks tersebut. Ferdinand De
Sausure mengaitkan teks dan konteks sebagai signifiant
dan signifie. Signifiant adalah teks berupa sistem tanda berupa citra
bunyi atau kesan psikologi yang timbul dalam pikiran, sedangkan Signifie
adalah pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran pembaca yang diterima
dari signifiant. Dengan kata lain konteks hadir di luar teks. Teks merupakan satu permutasian teks-teks lain. Intertekstual
memandang teks berada di dalam ruang
satu teks yang ditentukan, teks merupakan bermacam-macam tindak ujaran, teks
diambil dari teks-teks lain, serta teks bersifat tumpang-tindih dan saling
menetralkan satu sama lain (Kristeva, 1980:36—37).
Pada buku yang dikarang oleh Ken Hyland (2009) yang
berjudul Teaching and Researching Writing, Cutting (2002 :3),
menyebutkan 3 aspek utama penafsiran konteks, yaitu:
§
Situational Context :
apa yang orang ketahui
tentang apa yang mereka lihat di sekitarnya.
§
Background Knowledge Context
: apa yang orang-orang ketahui tentang dunia, tentang aspek kehidupan dan tentang satu sama lain.
§
Co-textual Context : apa
yang orang-orang tahu tentang apa yang mereka katakan.
Sedangkan menurut Halliday
(1985) ada 3 dimensi konteks, yaitu field, tenor, dan mode.
Masih dalam buku Teaching and
Researching Writing oleh Ken Hyland (2002; 2009), bicara tentang writing ada beberapa kata
penting yang harus diperhatikan di saat menulis, dimana menulis itu melibatkan
context, literacy, culture, technology, genre and identity.
§
Konteks
: penulis dan pembaca sama-sama
berperan dalam meaning making practice. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
bahwa konteks didalamnya berperan 8 parameter dan 3 aspek penafsiran konteks.
§
Literasi :
baca-tulis adalah salah satu bentuk praktek literasi. Menulis
menawarkan berbagai kemungkinan dunia, yaitu kemungkinan dunia yang tercipta di
dalam dan bahkan di luar tulisan. Menulis berarti membentangkan dan membangun
dunia. Struktur sebuah tulisan menawarkan dunia baru. Sebuah tulisan menawarkan
harapan tentang sebuah dunia. Kemungkinan dunia itu adalah semacam dunia
kreasi, yang harus dibangun oleh seorang penulis ketika ia menciptakan tulisan.
Literasi ada karena dunia kreasi tersebut.
§
Culture :
secara umum dapat dikatakan dengan bagaimana budaya ataupun sejarah
mempengaruhi tulisan seseorang. Ketika menulis manusia tak luput dari budaya
dan sejarahnya, hal ini yang menimbulkan keberagaman tulisan dan menjadikan
sistem jaringan penyampaian makna menjadi bervariasi. Hal ini baik karena
setiap tulisn memiliki identitasnya masing-masing.
§
Teknologi :
teknologi dalam konteks ini bukan hanya sebagai media saja, tetapi harus
dimanfaatkan untuk sarana menulis. Orang yang berliterasi dituntut untuk
menguasai teknologi, dimana masa sekarang ini adalah masa serba teknologi.
Dalam dunia tulis-menulispun teknologi sudah mengambil tempat penting. Artikel,
e-book, PDF (Portable Document Format) makin banyak digandrungi
oleh para penulis masa kini.
§
Genre :
dewasa ini berkembang
pelatihan Bahasa Inggris berbasis genre. Dari sudut
pandang masab Systemic Functional Linguistic, Martin (1992:546) mendefinisikan
genre “ staged, goal-oriented social processes through which social subjects in
a given culture live their lives”. Genre berfungsi sebagai proses sosial karena
masyarakat dari sebuah budaya berinteraksi satu dengan lainnya untuk mencapai
sebuah genre. Dikatakan berorientasi tujuan karena genre berlangsung untuk
mencapai sebuah tujuan; dan bertahap karena diperlukan tahapan untuk mencapai
sebuah tujuan. Dalam penerapanannya dalam ranah linguistik, genre dikenal
sebagai struktur skematik teks untuk mencapai tujuan tertentu sebuah teks.
Namun Here written genres are regarded as parts of repeated and typified social
situations, rather than particular forms, with writers exercising judgement and
creativity in responding to similar circumstances (Hyland 2002).
§
Identity :
ini erat kaitannya dengan ke-5 aspek sebelumnya, dimana tulisan yang
berlandaskan kelima aspek tersebut akan menciptakan identitas tersendiri.
Identitas merajuk pada cara penulis menampilkan siapa mereka sebenarnya (jati
diri) lewat perantara tulisan.
Konteks yang berikutnya terdapat
dari teks dalam slide yang diberikan oleh mr.Lala adalah seputar tugas critical
review. Seperti yang kami ketahui critical review adalah tugas ‘Keramat’ bagi
kami selaku penulis. Mengapa dikatakan keramat? Dikatakan ‘keramat’ karena
sebagai mahasiswa yang baru menginjakkan kakinya dalam dunia critical,
mengkritisi sebuah maha karya seorang ahli dibidangnya bukanlah pekerjaan
main-main, menyanggah serta mengomentarinya dengan berdasar pada kebenaran
teori lainnya menjadikan penulis diambang kebimbangan setiap kali menjalaninya.
Dari mulai Appetizer essay, kemudian critical review pertama tentang Classroom
discourse to foster religious harmony dan critical review kedua tentang
Speaking Thruth to the Power with Books yang tak luput dari kekurangan dan yang
pasti tak luput pula dari pandangan mr.Lala. beliau senantiasa membaca dan
mengawasi dengan memberikan komentar sebagai responsnya.
Maka dari itu bisa kita
simpulkan bahwa menulis sangat membutuhkan banyak komponen yang tidak bisa
dipisahkan satu sama lainnya. Tentunya banyak
kesalahan yang khususnya yang saya lakukan ketika menulis critical review1-2,
karena kitak mampu mengaitkan hal-hal yang berhubungan dengannya. Ketika
menulis tidak hanya membutuhkan kesabaran, ketelitian, dan kerapihan. Namun
yang paling penting adalah isi yang berkualitas, tidak hanya itu penulis juga
mampu menjalin hubungan dengan pembaca. Dengan berbagai
pendekatan yang dilakukan oleh tulisan akan saling berkaitan dengan context,
literacy, technology, culture, genre and identity mampu menciptakan tulisan
yang berkualitas dan si pembaca mampu berinteraksi memahami isi bacaan
tersebut.