Class Review 5



Harta Karun Berharga dalam Analisis Teks

(Author: Hanifatus Sholihah)


Selamat pagi dunia. Itulah ucapan salam, terhangat dan terdahsyat untuk mengawali pagi hari ini. Senin, 23 Februari 2014, tepatnya pukul 09.00 kita sudah memulai pembelajaran dengan Mr Lala Bumela, sebagai tuan rumah Writing 4. Sebelum beliau memberikan asupan nutrisi serta makanan empat sehat lima sempurna hasil racikan beliau.
Beliau memulia pertemuan pertama dengan menampilkan slide power point nya. Disitu ada catatan kekurangan dari dua kali Critical Review kita. Disitu kekurangan kita adalah mengenai sumber bacaan literasi.
Poin-poin penting yang harus dijelaskan secara gamblang pertama kali terdapat dua hal, yaitu: 1) History + literacy as Social Practice dan 2) History + literacy as Practical Practice. Berdasarkan artikel Martin Prinsloo mengenai Studying Literacy as Situated Social Practice (seperti poin nomor satu), dia mengembangkan “the conceptual resources” untuk mempelajari literasi, lalu kemudian ia menggunakan data yang diulas kembali untuk mempelajari literasi dalam konteks sejarah di “South Africa”.
Ada tiga hal penting yang Martin Prinsloo bahas, yaitu: materiality, agency dan social practices.
Pada beberapa dekade, teori sosial telah bergejolak untuk dipahami secara teratur dan berubah di dunia sosial yang terkait adanya relasi antara pengetahuan manusia dan aktifitas materiil di dunia.
Menurut ahli teori struktural sosial, terdapat perbedaan, fenomena materi setuju terhadap sistem analisis pengelompokkan. Berdasarkan persembahan kembali yang dilakukan oleh Levi Strauss (1962), tempat dari penawaran simbolik adalah sama dengan “the plane collective thought”. Sama dalam hal sistem pengelompokkannya, skema-skema atau kode-kode yang dipahami untuk menentukan apa yang dapat atau tidak dapat menjadi sebuah objek dalam bahasa dan perbuatan (aksi). Strukturalisme demikian “redefined the material”, sebagai “objek pengetahuan” dan “objek simbolik” sebagai discourse expresssed through categories , dan tindakan komunikatif. Berikutnya versi dari strukturalisme lain, asosiasi bervariasi dengan Derrida (1976), Foucault (1972) dan Baudrillard (Reckwitz, 2002, 196), mengerti tentang ide materi dari perspektif yang terlihat dari realitas sebagai konstitusi sosial.

Dalam teori praktek sosial, biasanya berhubungan dengan pekerjaan Bourdieu (mengidentifikasi orang-orang yang mengerti materi dan orang yang mengerti struktural epistemologis terutama, sosial tidak dialokasikan pertama di pikiran juga tidak dalam discourse dan interaksi simbolik, tetapi dalam “praktek sosial”. Struktur tertentu atau khusus atau penawaran yang diberikan pada institusi sosial atau lapangan sosial dengan cara pemikiran, orang-orang bertindak lalu berhenti melakukannya, seperti aktifitas manusia adalah terbangun dengan serentak dengan kekuatan institusional seperti tidak dapat dikatakan yang didahului salah seorang yang lain.
Pada distingsi ini, ada satu tujuan penting yaitu hubungan kompleksitas yang melibatkan reaksi literasi pada crosscultural encounter. Martin Prinsloo menyelidiki kompleksitasdari respon setempat untuk literasi pre-colonial dan kolonial Afrika Selatan, dimana dia menggambarkan serta mengutamakan variability dan hibridity yang pada frekuensinya telah menunjukkan pendapatan seperti menjumpai literasi dan bagaimana “take hold of”. Dia menunjukkan bagaimana deskripsi Eropa-Afrika yang terkait dengan literasi memaksa dengan model budaya yang dibuat orang-orang dan proses keterlibatannya dan bagaimana pertunjukkan ini menggali dibawah frekuensi di particular cross-cultural encounters. Begitu juga, ia menunjukkan bagaimana mental membangun literasi dan bagaimana ini dapat berfungsi pada konteks budaya yang dijumpai sangat kontradiksi (berbeda) dengan perhitungan narrative pada pengalaman-pengalaman nyata dan pemakaian.
Analisis Latour pada praktek jaringan (1987, 1993) dapat dipahami sama seperti Bardieu (1990) dan sebagai sebuah kritik perpindahan cepat itu pada pengetahuan sosiologi dimana sosial menawarkan telah dikembalikan untuk dematerialized symbolic orders atau dimana material dikembalikan pada objek interpretasi. Symmetrical anthropology Latour’s menyarankan sebuah teori pendekatan dan material (dalam teknologi) tidak seperti struktur sosial atau sebagai objek simbolik, tetapi sebagai artefacts. Seperti “things” yang mana merupakan komponen kebutuhan dari jaringan sosial atau “practices”. Pekerjaan Latour’s di level poin umum untuk “the contigent circumstances” yang didalamnya juga pengetahuan dihasilkan dan jejak sejarah yang penting untuk mengembangkan pengetahuan (dia konsentrasi dengan praktek ilmu pengetahuan) dan mikroanalisis yang produksinya dalam praktek lapangan.
Kedua yaitu mengenai History + Literacy as a Partical Practice, disitu menjelaskan mengenai partical itu sebuah perbedaan yang terbangun antara practical dan practicable. Practical yaitu perhatian dengan penggunaan aktual atau praktek; atau berhubungan dengan praktek atau tindakan, lebih daripada teori, pemikiran (spekulasi) atau cita-cita : menambah pengalaman praktek, sedangkan practice adalah suatu yang dilakukan karena kebiasaan atau perbuatan yang biasa dilakukan. Atau perbuatan yang dilakukan berulang-ulang atau latihan yang sistematis untuk tujuan mendapatkan kehebatan atau keahlian: practice makes perfect.
Pembahasan selanjutnya yaitu mengenai Intertextualitas. Berdasarkan web.unair.ac.id , pengertian Intertekstualitas adalah salah satu teori yang digunakan oleh pembaca untuk memperoleh makna dalam proses membaca suatu karya sastra. Teori Intertekstualitas pada awalnya diperkenalkan oleh Julia Kristeva seorang peneliti dari Pranus mengungkapkan melalui (Culler, 1981:104) bahwa jumlah pengetahuan yang dapat membuat teks memiliki arti atau intertekstualitas merupakan hal yang tidak bisa dihindari sebab setiap teks bergantung dari teks sebelumnya. Teks itu permutasian teks-teks lain. Teks bersifat tumpang tindih dan saling menetralkan satu sama lain (Kristeva, 1980 :36-37). Kajian itu berangkat dari asumsi bahwa karya tulis tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Tujuannya untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya literature (sastra dan seni) (Teeuw, 1983 : 62-5). Prinsip Intertekstualitas yang utama adalah prinsip memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan secara hipogram (sistem tanda) berdasarkan persepsi, pemahaman, pengetahuan dan pengalaman membaca teks-teks lain sebelumnya. Intertekstualiti juga merupakan fakta bahwa setiap ucapan bereaksi dan merespon pengucapan lain diwilayah itu.
Menurut buku An Overview of Writing , intertekstualitas adalah berdasarkan pemahaman Bakhtin yaitu mensugestikan bahwa discourse selalu berkaitan dengan discourses lainnya, keduanya berubah setiap saat dan dalam perbedaannya pada banyak point. Ini adalah hubungan text-users kedalam sebuah jaringan teks yang dahulu maka melengkapi pilihan sistem untuk membuat makna yang dapat diakui oleh texts-users lainnya, karena mereka membantu membuat membuat maksud yang tersedia dari sebuah budaya, kebiasaan mengembangan dicara ini untuk menutup interpretasi yang pasti dan membuat semuanya sama, dan ini membantu menjelaskan bagaimana penulis membuat pilihan fakta-fakta retorikal ketika tersusun.
Fairclough (1992: 117) mengenalkan dua jenis intertekstuality, yaitu :
Manifest Intertextuality yaitu cara-cara bervariasi dari pengakuan atau jawaban untuk teks lain kutipan pemikiran, parafrase, cemooh secara halus (irony) dan lain-lain.
Interdiscursivity konsentrasi dari penggunaan penulis tertentu dari kumpulan gambar dari sebuah tipe teks yang dapat dikenal genre. Teks disini kemudian menggabungkan dengan beberapa institusional dan makna (maksud) sosial.
Mempelajari sejarah ataupun literasi pasti tidak akan pernah luput dari Text and Context. Ada penjelasan text menurut Lehtonen (2002) yaitu menjadi dua, ada yang bersifat physical dan juga material.
Text as physical beings
Pada suatu kasus biasanya membicarakan dari dua sisi pertanyaan, ini sangat berguna sekali apabila mempelajari text dari dua poin penting; yaitu text dalam posisi fisik dan semiotik meterial. Selain itu, fakta bahwa kualitas physical dan semiotic terjalin pada bukti teks itu sendiri. Teks benar-benar bersifat fisik, tetapi mereka (teks) ada dalam istilah lain yaitu bersifat semiotik. Sebaliknya, teks dapat bersifat semiotik hanya ketika mereka mempunyai bentuk fisik yang sama. Berkenaan dengan sisi fisik mereka (teks) kita dapat mengira bahwa teks adalah communicative artefacts, dengan kata lain, human produced instrument of communication. Sebagai artefacts, teks telah selesai memproduksi bantuan teknologi yang bervariasi. Bentuk material dari teks mencerminkan alam ini. Sejak permulaan tujuan dari teknologi dalam memberikan atau menyediakaan teks tertulis yang bersambung atau berhubungan dengan kampak (kapak) dan pisau, yang mana dengan adanya tanda ukiran atau pahatan di kayu dan batu. Serupa denga alat-alat atau benda yang tidak bagus untuk memproduksi teks pada skala besar, salah satu dari istilah jarak yang panjang atau dalam kwantitasnya (banyaknya).
Text as semiotic beings
Teks dapat berbentuk dalam writing, speech, fitures, music atau banyak simbol lain. Poin-poin yang perlu digunakan untuk mengatur dan kombinasi simbol yang solid secara relatif yang kelihatan menetapkan secara jelas. Di semua bentuknya, teks digolongkan kedalam tiga bentuk, yaitu : materiality, formal relations dan meaningfulness.
Pertama, tanda pada suatu teks yaitu physical dan material. Pada bentuk fisik adanya dan yang berhubungan dengan pengertian selalu memiliki bahan dasar, yang menjadi granit (batu besi) digunakan dalam seni pahat atau ukir atau suara televisi yang memancarkan selama pertunjukkan berlangsung. Kedua, adanya hubungan formal tertentu antara tanda-tanda yang terkandung dalam teks. Tanda-tanda diposisikan di certain formal dan hubungan lokal dengan tanda yang lain, dimana berbeda unit yang terbentuk pada different hierarchical levels- seperti surat-surat, kata-kata, kalimat atau segala teks. Ketiga, tanda mempunyai sebuah maksud semiotik. Mereka berkenaan dengan suatu keadaan luas untuk mereka sendiri, apakah termasuk juga bidang dunia alami atau budaya, atau termasuk juga non-tekstual dan fenomena tekstual. Sebuah potongan dari musik pop. Contohnya, bekerja pada tiga level : memulai energi suara yang berisi, memulai bentuk yang membubuhkan komidi musik (musical) dan memulai menyatakan maksud secara tidak langsung atau semuanya saling berhubungan, tetapi untuk tujuan-tujuan analisa, mereka dapat memeriksa untuk sementara waktu sebagai salinan juga.
From text to textuality
Berdasarkan para ahli reduksi dan pemandangan yang esensial (teks mempunyai semua kekuatan melawan teks yang tidak ada kekuatan) kita dapat menangkap gambaran yang mana menekankan maksud seperti hubungan antara teks, konteks dan pembaca dan memberikan pelajaran satu sama lain dalam pembentukan maksud atau arti.
Dari pandangan terakhhir, teks juga mempunyai arti dalam pembentukan makna. Mereka berusaha untuk memposisikan pembacanya dengan cara yang bervariasi, yang mana pembaca dapat tidak menerima atau menentang. Teks berusaha untuk menyediakan atau menetapkan pembaca mereka dengan cara-cara tertentu saat membaca, tafsiran mereka sendiri yang memprioritaskan diatas yang lain. (kealamian hebat dalam perbedaan antara teks: ada juga teks yang bermaksud mencoba untuk melakukan eksploitasi the polysemy of language dan menggali usaha pembaca untuk membangun makna yang konsisten diantara mereka.
Bagaimanapun, jika pembaca dapat menjangkau persetujuan pada fakta yang berdasarkan pertanyaan, itulah subversive text, dan karena itu mengatur bacaan mereka pada titik keberangkatan ini). Selama tujuan teks pada “total openness” tidak terbuka secara lengkap (menyeluruh). Kita tidak akan sanggup untuk memperdebatkan maksud dari beberapa teks jika kita tidak melakukannya, paling tidak pada beberapa tingkat, menyetujui dengan fakta yang sedang diperbincangkan tentang teks yang sama. Disana tidak harus tidak setuju adapula persetujuan tentang adanya sesuatu yang tidak setuju dengan itu. Di akhir kata dari Antony Gasthope:
the text... has a fixed identity at the level of the signifier, whether as writing or print a text occurs always as these signifiers (and not others) in this linear order, and so a text is able to persist when it is not being read. Of course, at this level the text has no signifieds attached to it, but it has a “silent identity” which makes possible certain meanings and not others when it is read, meanings determined within the semantic system of language...the identity of a text is not fixed by the system of meanings in a language because the text must also be constued according to a context if it is to produce coherent meaning.
Berdasarkan buku dari Ken Hyland yaitu membahas mengenai “Key issues : Current Understandings of Writing”, ada enam poin, yaitu:
1.      Context
Gambaran dari pengaturan lokal yang mempunyai situasi khusus yang menarik dari penyelidik yang telah berperan menampilkan penulis tunggal dan bagaimana interaksi penulis dengan peserta disuguhi tugas menulis, khususnya di collaborative contexts. Konteks adalah tempat untuk berinteraksi suatu hubungan dan peraturan yang menawari mereka, dapat memfasilitasi dan mengubah sesuatu secara terpaksa. Rutinitas sosial berupa tindakan disekeliling dalam menulis, oleh karena itu harus dipelajari secara detail (e.g Willett, 1995; Storch, 2005) dan memberikan perhatian pada gambaran nyata dan pasti dari lingungan lokal sekitar yang mana mempunyai makna untuk penulis. Sama seperti halnya Canagarajah (1996) memiliki pemikiran (menampakkan) bagaimana kemangkiran dari sumber seperti perpustakaan-perpustakaan dan komputer-komputer dapat menyajikan untuk meniadakan Third World Scholars dari penerbitan tulisan mereka.
Ada sedikit keraguan pada penilitian ini yang kaya akan produksinya, perincian penggambaran dari fakta-fakta konteks dari menulis, dan kehebatan yang berkembang dari pemahaman kita secara personal, sosial dan faktor-faktor institusional yang mana dapat mengenai (menimpa) menulis (tulisan) salah satu masalah, tentu saja, adalah ketika metode-metode ini menjelaskan komposisi atau susunan kekuatan, apa yang terjadi pada fakta-fakta dari menulis, mereka tidak dapat menggambarkan apapun pada kesadaran penulis atau konteks itu yang mana mempunyai komposisi pengaruh kekuatan. Jika kita tidak pernah bisa menjadi pasti bahwa semua faktor kritis (genting) yang telah dilaporkan (diceritakan).
Berdasarkan buku Lehtonen (2002), perjalanan kita di dunia konteks dimulai dengan pedoman dari Lewis Carroll : the duck in Alice’s Adventures in Wonderland was well sadar akan konteks disertai dengan sifat dari teks.
Secara kiasan, ini mungkin sekali untuk berbicara tentang semua (berbagai macam) teks seperti jenis-jenis kata ganti, yang mana menghasilkan maksud yang sesungguhnya sesuai dengan konteksnya. Setiap teks selalu mempunyai konteks yang melingkupi dan menembus keduanya secara sementara dan ditempat itu dan berhubungan dengan teks lain sebaik hubungan dengan praktek manusia lain. Sebanyak maksud dari tanda-tanda bahasa bergantung pada posisinya yang terkait dengan tanda lain, maksud dari sebuah teks yang akhirnya tidak mungkin belajar terlepas dari konteksnya. Semenjak text as semiotic beings tak akan ada tanpa adanya readers, intertexts, situation and function yang semua material tadi tehubung dengannya.
Berdasarkan gagasan tradisionil tentang teks dan konteks, context terlihat seperti salinan “latar belakang” dari teks, yang mana dalam perannya dalam jenis tertentu seperti informasi tambahan dapat membentuk memahami teks itu sendiri.
Context as co-texts
Petunjuk yang saya miliki tentang kategori konteks berangkat dari model tradisional yang terjalin antara teks dan konteks. Kenyataannya, segala sifat dari konsep context harusnya thoroughly re-evaluated. Konteks tidak akan ada sebelum pengarang teks, tidak ada satupun yang muncul diluar semua itu. Kebenaran dari maksud secara harfiah, con-texts, adalah segerombolan teks yang mana selalu ada bersama dengan teks yang mana mereka adalah konteks. Satu alasan lagi, konteks dihadirkan melalui reading and writing. Mereka bukanlah sebuah “background” beberapa jenis kumpulan ide-ide statis dan nilai-nilai, tetapi mempengaruhi persetujuan (ketentuan) penulis yang telah menyelesaikannya, dan bagaimana pembaca menemui teks.
“Text and Context”
Konteks memasukkan semua faktor yang penulis dan pembaca bawa ke dalam proses pembentukan makna, khususnya kemampuan yang tidak berkaitan dengan kerangka penentuan nilai.
Guy Cook memberikan daftar dari perbedaan dimensi dari konteks. Konteks meliputi hal-hal dibawah ini, yaitu:
1.      Substance : the physical material which carries or relays text,
2.      Music and pictures,
3.      Paralanguage, meaningful behaviour accompanying language, such as voice quality, gestures, facial expressions and touch (in speed) and choice of typeface and letter sizes (in writing),
4.      Situation, the properties and relations of objects and people in the vicinity of the text, as perceived by the participants.
5.      Co-text, text which precedes or follows that under analysis, and which participants judge to belong to the same dicourse,
6.      Intertext, text which participants perceive as belonging to other discourse, but which they associate with the text under consideration, and which affects their interpretation,
7.      Participants, their intentions and interpretations, knowledge and beliefs, interpersonal attitudes, affilliations and feelings...
8.      Function, what the text is intended to do by the senders and addressers or perceived to do buy the receivers and addresses.
Atau berdasarkan Ken Hyland menjelaskan context sebagai suatu faktor dari luar yang menggunakan bahasa menjadi analisis melalui pertimbangan relevan untuk interpretasi ini. Secara umum, pemikiran meliputi situasi, pengetahuan kultural, hubungan orang yang ikut andil, dalam teks lain atau bagian dari teks yang sama. Teks dikatakan untuk membantu membentuk konteks dan konteks berpengaruh dengan perjanjian, nilai-nilai dan pengetahuan teks yang memohon pada konteks.
2.      Literacy
Dalam sejarah manusia, menulis adalah sebuah kemahiran yang lebih banyak dibandingkan berbicara. Untuk masyarakat barat pada dimensi milenium, membaca dan menulis terlihat sebuah aktifitas paling alami dalam hidup, tetapi pemikiran di era global dan istilah sejarah mereka segalanya tetapi alami. Baru-baru ini, pada tahun 1985, hampir 30 persen dari semua orang yang ada di bumi tidak dapat memahami teks tertulis. Keahlian membaca dab menulis akan tampak alami (natural) tergantung latihan disengaja dan pembelajaran secara sadar.
Sebagai fakta dari suatu hal, literacy dapat berdiri dengan jarak yang luas dalam suatu aktifitas. Literacy adalah aktifitas sosial dengan karakter. Ini dapat digambarkan seperti praktek dimana manusia menggambar pada situasi membaca yang berbeda. Manusia mempunyai jenis variasi keahlian membaca, yang mana mereka mempergunakannya dengan cara yang berbeda dan area berbeda di hidupnya. Bagaimanapun semua bentuk literasi termasuk juga kemampuan untuk mengatur sistem yang berbeda dari simbol pemikiran yang realitasnya disajikan untuk pembaca.
Sebagai individu, kita semua harus mengembangkan pemikiran literasi dengan tahap yang beraneka ragam dan pengalaman. Dari pandangan sejarah, penyebaran literasi dapat juga memikirkan pengaruh dalam konsep perubahan manusia sendiri.
Sedangkan academic literacy adalah eksistensi dari model belajar literasi baru untuk konteks akademis, memperlihatkan literasi sebagai maksud yang lengkap dari fakta-fakta institusi yang dalam praktek akademik mengambil tempat dan untuk identitas individual mahasiswa dan orang yang berpartisipasi.
3.      Culture
Sebuah pemindahan suatu sejarah dan jaringan sistematik makna yang mana mengizinkan kita untuk memahami (mengerti), mengembangkan dan mengkomunikasikan pengetahuan kita dan kepercayaan tentang dunia.
4.      Technology
Sebuah teks dapat hadir dalam banyak bentuk material. Ini dapat diperiksa (sebagai suatu (pidato) atau percakapan) atau mungkin juga rekaman, tertulis (materi tercetak) atau dihiasi dengan gambar (sebagai lukisan, photographs atau tanda lalu lintas). Pada teks audiovisual, ada tiga bentuk yang dapat diperlihatkan pada waktu yang sama (seperti dalam film luar negeri dimana percakapan dan gambarnya berbentuk teks lengkap (terlengkapi) dengan subtitle terjemahan.
Pada setiap bentuk ini, maknanya diproduksi dengan cara yang berbeda. Dari pandangan sejarah, penyebaran literasi dapat juga difikirkan mempunyai dampak merubah konsepsi manusia itu sendiri.
5.      Genre
Secara garis besarnya, cara untuk berperan menggunakan discourse. Istilah selalu menjelaskan pengaturan teks yang memberitahu tujuan dan sebagai hasilnya, sering kali membagikan retorikal yang sama dan elemen struktural untuk menerima tujuan ini.
Berdasarkan buku An Overview of Writing, suatu ide yang dibentuk untuk mengekspresikan fungsi dan merubah sesuai dengan konteks adalah pemberitahuan discourse analysis pusat dan disebut kalimat kunci dari genre. Genre adalah sebuah istilah untuk mengumpulkan teks-teks bersama-sama, menyajikan bagaimana penulis secra tipikal menggunakan bahasa untuk merespon dalam mengendalikan situasi. Setiap genre mempunyai number of feature yang mana membuatnya berbeda dengan genre yang lain: tiap genre mempunyai tujuan khusus dan seluruhnya terstruktur, gambaran bahasa yang khusus, dan dibagikan kepada anggota budaya. Untuk banyak orang ini adalah sebuah konsep atraktif yang berdasarkan institusi yang membantu mengorganisasikan the common-sense labels yang kita gunakan untuk mengkategorikan teks dan situasi yang terpikir oleh mereka.
Sedangkan menurut Lehtonen yang dikutip dari John Fiske menganggap elemen genre yang paling berguna dari faktor intertextual. Dia juga menyatakan : Genre adalah sebuah praktek budaya yang mencoba untuk menyusun beberapa perintah ke dalam rata-rata teks secara luas dan makna yang menyebar di budaya kita untuk waktu yang sebaik-baiknya untuk pemproduksi (pembuat) dan penikmat (audience).
Berdasarkan Fiske, genre adalah inter- or even pre textual, sejak mereka dibentuk jaringan yang pasti sebaik-baiknya yang secara langsung memproduksi teks dan membacanya. Biasanya istilah “genre” dibalikkan kepada jenis atau tipe suatu teks, atau apakah teks diklasifikasikasikan sebagai sebuah puisi, film horor, atau iklan atau beberapa jenis teks. Genre terdapat dua dimensi : mereka ada yang sisi regulated dan irregular yang sungguh penting.
6.      Identity
Pada EAP ini, terlihat secara tipikal (khusus) sebagai cara seorang siswa atau mahasiswa menyampaikan pengertian (perasaan) dirinya sendiri sebagai hasil dari budaya dan pengalaman sosial dia (laki-laki atau perempuan) membacanya ke dalam komunikasi akademik. Secara esensial, sosialisasi ini membangun “Voice” berdasarkan pilihan retorikal spesifik.
Dalam praktek CDA secara khusus menggambarkan latihan menulis juga, seperti :
·         Vocabulary – faktanya bagaimana metafora dan makna konotatif memberi kode ideologis;
·         Transitivity – yang dapat diperlihatkan, secara berlanjut, siapa yang menunjukkan agensi dan siapa yang telah berperan;
·         Nominalisation and passivisation – bagaimana proses dan aktor (pemain) dapat menyatu sebagai benda atau agensi langsung;
·         Mood and modality – mengindikasi hubungan seperti roles, sikap, komitmen dan kewajiban;
·         Theme – bagaimana elemen pertama dari klausa dapat digunakan untuk menemukan aspek fakta-fakta dari informasi dan mendukung kepercayaan pembaca;
·         Text structure – bagaimana bagian-bagian teks ditandai;
·         Intertextuality and interdiscursivity – efek-efek dari teks lain dan gaya pada suatu teks – menjadi hybridisation, seperti dimana mengkomersilkan kolonial discourse itu pada bidang yang lain.
Jadi kesimpulannya, bagaimaa suatu sejarah dapat berhubungan dengan literasi yang ada. Selain itu, banyak hal yang harus dipelajari untuk kita lebih mengenal sejarah, seperti hubungan literasi dengan sejarah sebagai suatu praktek sosial, hubungan sejarah dan literasi sebagai parikel suatu praktek, serta beberapa isu-isu penting dalam mempelajari suatu sejarah sendiri, seperti text, context, literacy, culture, technology, genre dan juga identity yang akan selalu berkaitan (berkesinambungan) satu sama lain, agar adanya harmonisasi dalam merealisasikan sejarah tersebut.
Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment