Tafsir Sejarah dan Praktik Literasi Untuk Kehidupan
Sosial
Menafsirkan
sebuah sejarah merupakan suatu kegiatan yang bisa dikatakan baru, karena
mencakup penelitian yang mendalam dan disertai dengan bukti-bukti yang kongkrit
untuk menulis ulang sejarah yang semestinya ada dan bukan rekayasa. Kenapa
tafsir sejarah ini baru muncul di beberapa abad belakangan ini? Ya, hal
demikian bisa terjadi mengingat kemampuan berliterasi orang-orang di zaman sekarang ini mampu menjadi bahan bakar utama
dalam proses perubahan di dunia ini. Sikap kritis, berani, terbuka, teliti,
tertib, rajin, serta rasa ingin tahu yang sangat tinggi menjadi ciri khas
tersendiri bagi seseorang yang levelnya boleh dikatakan literat. Namun seperti
apakah hubungan antara sejarah dan literasi dalam kehidupan sosial
bermasyarakat? Patut untuk kita simak bersama.
Budaya literasi berpondasikan pada
teks dan konteks (Ken Hyland: 2003, 3). Budaya literasi ini tidak banyak bicara
melainkan tetap pada fokus untuk bagaimana cara seseorang itu mampu mengubah
dirinya dan lingkungan di sekitarnya dalam derasnya kompetisi entah itu dalam
bidang sosial, ekonomi, maupun dalam bidang informasi dan teknologi (IT).
Dengan melakukan banyak membaca untuk mencari pengetahuan, kemudian melakukan
penelitian dan reset-reset yang didukung dengan semua materi yang dimiliki, dan
pada akhirnya seseorang itu mampu berbicara banyak dalam partisipasinya untuk
membangun dirinya sendiri dan juga membangun lingkungan sekitarnya.
Pokok utama dalam literasi ialah
menulis. Menulis merupakan kegiatan yang sangat menunjang sebuah kredibilitas
dari seseorang. Ketika seseorang itu mampu menulis sebuah informasi baru yang
dipublikasikannya, maka seketika itu pula ia telah menciptakan sebuah sejarah
dalam hidupnya yang tidak akan hilang begitu saja. Hasil dari tulisan itu
pastinya harus berbentuk sebuah teks dan konteks untuk memenuhi kriteria
sebagai orang yang benar-benar literat dengan karyanya itu. Jika karyanya
memang bagus dan bermanfaat untuk semua orang, maka dengan tanpa disadari teksnya
itu takkan pernah lenyap dan menjadi saksi bisu sejarah yang dicapainya melalui
karya tulisnya itu, karena teks itu
layaknya sebuah artefak yang menjadi bukti sejarah (Mikko Lehtonen: 2000, 72).
Berikut
pemaparan yang disampaikan oleh Ken Hyland mengenai literasi yang mencakup
beberapa unsur di dalamnya, yaitu:
Ø Menulis dan konteks.
Praktik
literasi dapat mempengaruhi konteks sosial dalam kehidupan bermasyarakat
sehari-hari. Menurut buku yang ditulis Ken Hyland yang dikutip dari Cutting
(2002: 3) bahwa ada tiga aspek utama yang membuat masyarakat mengetahui tentang
bagaimana cara bersosial dengan masyarakat lain, yakni:
1.
Konteks
situasional: Masyarakat mengetahui atau tidak
tentang apa yang dapat mereka lihat di sekitar mereka.
2.
Latar
belakang konteks pengetahuan: Masyarakat mengetahui
atau tidak tentang dunia sekarang ini, apa saja yang mereka ketahui tentang
aspek kehidupan, dan apa yang mereka ketahui tentang satu sama lain.
3.
Co-Tekstual
konteks: Potensi yang dimiliki oleh masyarakat itu telah
dipublikasikan atau belum.
Jika
ketiga aspek ini sudah terpenuhi, maka akan timbul sebuah hubungan yang literat
di dalam sebuah kegiatan sosial di masyarakat yang pada akhirnya memunculkan
banyak ide-ide yang terbarukan yang tumbuh di kehidupan masyarakat. Hal ini
tentu sangatlah positif sekali jika diterapkan di dalam sebuah masyarakat.
Ø Literasi dan keahlian.
Keahlian
dalam berliterasi dalam hal ini adalah fokus pada membaca dan menulis. Menurut
Ken Hyland membaca dan menulis adalah tindakan keaksaraan, maksudnya adalah
bagaimana kita benar-benar menggunakan bahasa di dalam kehidupan kita
sehari-hari.
Konsepsi
modern keaksaraan mendorong kita untuk melihat tulisan sebagai praktik sosial
dan bukan sebagai keterampilan yang abstrak dan dipisahkan dari orang-orang san
tempat-tempat dimana mereka menggunakan teks. Literasi dipandang sebagai satu
sel diskrit, keterampilan teknis nilai bebas
meliputi decoding dan encoding makna, memanipulasi alat tulis, serta
mengamati bentuk suara korespondensi, dsb. melalui pendidikan formal untuk
mempelajarinya.
Menurut
Barton (2007:6)mendefinisikan pandangannya terhadap hubungan social dan
keaksaraan, diantaranya menganggap literasi bisa juga sebagai kegiatan sosial
dan jauh lebih bermanfaat jika direalisasikan dalam kehidupan karena tentunya
orang-orang memiliki kemahiran yang berbeda yang berhubungan dengan berbagai
domain kehidupan.
Menurut
Halliday 1985, pada dasarnya literasi sosial berkutat pada 3 aspek, yaitu:
1. Field
yang mengacu pada apa yang terjadi, jenis aksi sosial, atau yang berhubungan
dengan dengan teks.
2. Tenor
mengacu pada siapa yang mengambil bagian, peran dan hubungan peserta (status
dan kekuasaan mereka misalnya: yang mempunyai pengaruh dan keterlibatan serta
bersifat formalitas namun memiliki tingkat kesopananan).
3. Mode
mengacu pada bagian bahasa, apa yang peserta harapkan untuk melakukan itu
(apakah lisan atau tertulis, bagaimana informasi itu terstruktur, dsb.).
Ø Menulis dan budaya.
Gagasan
bahwa pengalaman penulis dari sebuah praktek keaksaraan yang tentunya berbeda akan
mempengaruhi pilihan linguistic mereka. Ini menunjukkan bahwa nantinya peran
seorang guru itu harus mempertimbangkan bagian yang akan dimainkan dan tidak
melupakan atribut budaya/style yang digunakan oleh siswa.
Budaya
secara umum diartikan sebagai historis uang di transformasikan dengan jaringan
sistematis makna yang memungkinkan kita untuk memahami, mengembangkan, dan mengkomunikasikan pengetahuan serta keyakinan
kita tentang dunia (Lantolf: 1999). Akibatnya, bahasa dan pembelajaran itu
dikepung dengan budaya.
Intertekstualitas
Dalam
proses literasi, hal yang sangat penting lainnya ialah Intertexkstualitas.
Intertekstualitas merupakan salah satau teoti yang digunakan oleh pembaca untuk
memperoleh makna dalam proses membaca suatu karya sastra, karena setiap pembaca
yang sedang berhadapan dengan teks, maka ia pasti akan bertemudengan proses
pemaknaan. Pada hakikatnya, seseorang ketika membaca itu bertujuan untuk
memperoleh sesuatu entah itu berupa informasi atau makna dari teks yang dibaca
tersebut.
Menurut pemikiran Kristeva mengenai
intertekstualitas dapat dijabarkan sebagai berikut (adapatasi dari Junus, 1985:
87-88):
- Kehadiran suatu teks di dalam teks yang lain,
- Selalu adanya petunjuk yang menunjukkan hubungan
antara suatu teks dengan teks-teks pendahulu,
- Adanya fakta bahwa penulis suatu teks telah
pernah membaca teks-teks pemengaruh sehingga nampak jejak,
- Pembaca suatu teks tidak akan pernah bisa membaca
teks secara pisah dengan teks-teks lainnya. Ketika ia membaca (dalam
rangka memahami) suatu teks, ia membacanya berdampingan dengan teks-teks
lain.
Jadi kesimpulannya adalah,
pengukuhan suatu sejarah itu dapat dibuktikan dengan tulisan-tulisan yang ditulis pasa masa itu dengan penelitian
maupun menyaksikan langsung peristiwa sejarah tersebut yang kemudian
dipublikasikan olehnya ke masyarakat luas. Isi dalam tulisan tersebut juga bisa
berupa ilmu pengetahuan umum maupun untuk kehidupan bersosial yang pada
akhirnya bermuara untuk terciptanya suatu hubungan yang literat antar
masyarakat luas. Tidak perlu diragukan lagi bahwa literasi memang luar
biasa.