class review 5: Tafsir Sejarah dan Praktik Literasi Untuk Kehidupan Sosial


Tafsir Sejarah dan Praktik Literasi Untuk Kehidupan Sosial
Menafsirkan sebuah sejarah merupakan suatu kegiatan yang bisa dikatakan baru, karena mencakup penelitian yang mendalam dan disertai dengan bukti-bukti yang kongkrit untuk menulis ulang sejarah yang semestinya ada dan bukan rekayasa. Kenapa tafsir sejarah ini baru muncul di beberapa abad belakangan ini? Ya, hal demikian bisa terjadi mengingat kemampuan berliterasi orang-orang di zaman  sekarang ini mampu menjadi bahan bakar utama dalam proses perubahan di dunia ini. Sikap kritis, berani, terbuka, teliti, tertib, rajin, serta rasa ingin tahu yang sangat tinggi menjadi ciri khas tersendiri bagi seseorang yang levelnya boleh dikatakan literat. Namun seperti apakah hubungan antara sejarah dan literasi dalam kehidupan sosial bermasyarakat? Patut untuk kita simak bersama.

            Budaya literasi berpondasikan pada teks dan konteks (Ken Hyland: 2003, 3). Budaya literasi ini tidak banyak bicara melainkan tetap pada fokus untuk bagaimana cara seseorang itu mampu mengubah dirinya dan lingkungan di sekitarnya dalam derasnya kompetisi entah itu dalam bidang sosial, ekonomi, maupun dalam bidang informasi dan teknologi (IT). Dengan melakukan banyak membaca untuk mencari pengetahuan, kemudian melakukan penelitian dan reset-reset yang didukung dengan semua materi yang dimiliki, dan pada akhirnya seseorang itu mampu berbicara banyak dalam partisipasinya untuk membangun dirinya sendiri dan juga membangun lingkungan sekitarnya.
            Pokok utama dalam literasi ialah menulis. Menulis merupakan kegiatan yang sangat menunjang sebuah kredibilitas dari seseorang. Ketika seseorang itu mampu menulis sebuah informasi baru yang dipublikasikannya, maka seketika itu pula ia telah menciptakan sebuah sejarah dalam hidupnya yang tidak akan hilang begitu saja. Hasil dari tulisan itu pastinya harus berbentuk sebuah teks dan konteks untuk memenuhi kriteria sebagai orang yang benar-benar literat dengan karyanya itu. Jika karyanya memang bagus dan bermanfaat untuk semua orang, maka dengan tanpa disadari teksnya itu takkan pernah lenyap dan menjadi saksi bisu sejarah yang dicapainya melalui karya tulisnya itu,  karena teks itu layaknya sebuah artefak yang menjadi bukti sejarah (Mikko Lehtonen: 2000, 72).
Berikut pemaparan yang disampaikan oleh Ken Hyland mengenai literasi yang mencakup beberapa unsur di dalamnya, yaitu:
Ø  Menulis dan konteks.
Praktik literasi dapat mempengaruhi konteks sosial dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Menurut buku yang ditulis Ken Hyland yang dikutip dari Cutting (2002: 3) bahwa ada tiga aspek utama yang membuat masyarakat mengetahui tentang bagaimana cara bersosial dengan masyarakat lain, yakni:
1.      Konteks situasional: Masyarakat mengetahui atau tidak tentang apa yang dapat mereka lihat di sekitar mereka.
2.      Latar belakang konteks pengetahuan: Masyarakat mengetahui atau tidak tentang dunia sekarang ini, apa saja yang mereka ketahui tentang aspek kehidupan, dan apa yang mereka ketahui tentang satu sama lain.
3.      Co-Tekstual konteks: Potensi yang dimiliki oleh masyarakat itu telah dipublikasikan atau belum.
Jika ketiga aspek ini sudah terpenuhi, maka akan timbul sebuah hubungan yang literat di dalam sebuah kegiatan sosial di masyarakat yang pada akhirnya memunculkan banyak ide-ide yang terbarukan yang tumbuh di kehidupan masyarakat. Hal ini tentu sangatlah positif sekali jika diterapkan di dalam sebuah masyarakat.
Ø  Literasi dan keahlian.
Keahlian dalam berliterasi dalam hal ini adalah fokus pada membaca dan menulis. Menurut Ken Hyland membaca dan menulis adalah tindakan keaksaraan, maksudnya adalah bagaimana kita benar-benar menggunakan bahasa di dalam kehidupan kita sehari-hari.
Konsepsi modern keaksaraan mendorong kita untuk melihat tulisan sebagai praktik sosial dan bukan sebagai keterampilan yang abstrak dan dipisahkan dari orang-orang san tempat-tempat dimana mereka menggunakan teks. Literasi dipandang sebagai satu sel diskrit, keterampilan teknis nilai bebas  meliputi decoding dan encoding makna, memanipulasi alat tulis, serta mengamati bentuk suara korespondensi, dsb. melalui pendidikan formal untuk mempelajarinya.
Menurut Barton (2007:6)mendefinisikan pandangannya terhadap hubungan social dan keaksaraan, diantaranya menganggap literasi bisa juga sebagai kegiatan sosial dan jauh lebih bermanfaat jika direalisasikan dalam kehidupan karena tentunya orang-orang memiliki kemahiran yang berbeda yang berhubungan dengan berbagai domain kehidupan.
Menurut Halliday 1985, pada dasarnya literasi sosial berkutat pada 3 aspek, yaitu:
1.      Field yang mengacu pada apa yang terjadi, jenis aksi sosial, atau yang berhubungan dengan dengan teks.
2.      Tenor mengacu pada siapa yang mengambil bagian, peran dan hubungan peserta (status dan kekuasaan mereka misalnya: yang mempunyai pengaruh dan keterlibatan serta bersifat formalitas namun memiliki tingkat kesopananan).
3.      Mode mengacu pada bagian bahasa, apa yang peserta harapkan untuk melakukan itu (apakah lisan atau tertulis, bagaimana informasi itu terstruktur, dsb.).
Ø  Menulis dan budaya.
Gagasan bahwa pengalaman penulis dari sebuah praktek keaksaraan yang tentunya berbeda akan mempengaruhi pilihan linguistic mereka. Ini menunjukkan bahwa nantinya peran seorang guru itu harus mempertimbangkan bagian yang akan dimainkan dan tidak melupakan atribut budaya/style yang digunakan oleh siswa.
Budaya secara umum diartikan sebagai historis uang di transformasikan dengan jaringan sistematis makna yang memungkinkan kita untuk memahami, mengembangkan, dan  mengkomunikasikan pengetahuan serta keyakinan kita tentang dunia (Lantolf: 1999). Akibatnya, bahasa dan pembelajaran itu dikepung dengan budaya.
Intertekstualitas
Dalam proses literasi, hal yang sangat penting lainnya ialah Intertexkstualitas. Intertekstualitas merupakan salah satau teoti yang digunakan oleh pembaca untuk memperoleh makna dalam proses membaca suatu karya sastra, karena setiap pembaca yang sedang berhadapan dengan teks, maka ia pasti akan bertemudengan proses pemaknaan. Pada hakikatnya, seseorang ketika membaca itu bertujuan untuk memperoleh sesuatu entah itu berupa informasi atau makna dari teks yang dibaca tersebut.
Menurut pemikiran Kristeva mengenai intertekstualitas dapat dijabarkan sebagai berikut (adapatasi dari Junus, 1985: 87-88):
  1. Kehadiran suatu teks di dalam teks yang lain,
  2. Selalu adanya petunjuk yang menunjukkan hubungan antara suatu teks dengan teks-teks pendahulu,
  3. Adanya fakta bahwa penulis suatu teks telah pernah membaca teks-teks pemengaruh sehingga nampak jejak,
  4. Pembaca suatu teks tidak akan pernah bisa membaca teks secara pisah dengan teks-teks lainnya. Ketika ia membaca (dalam rangka memahami) suatu teks, ia membacanya berdampingan dengan teks-teks lain.
Jadi kesimpulannya adalah, pengukuhan suatu sejarah itu dapat dibuktikan dengan tulisan-tulisan yang  ditulis pasa masa itu dengan penelitian maupun menyaksikan langsung peristiwa sejarah tersebut yang kemudian dipublikasikan olehnya ke masyarakat luas. Isi dalam tulisan tersebut juga bisa berupa ilmu pengetahuan umum maupun untuk kehidupan bersosial yang pada akhirnya bermuara untuk terciptanya suatu hubungan yang literat antar masyarakat luas. Tidak perlu diragukan lagi bahwa literasi memang luar biasa. 
Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment