Class Review 5

Seperangkat Key Issues dalam Writing
(By: Iiz Lailatus Saidah)

Senin, 03 Maret 2014, diawal bulan maret ini tak terasa sudah beranjak ke pertemuan kelima dalam mata kuliah writing 4. Dipetemuan kali ini bukan hanya menyajikan apa yang telah Mr.Lala sampaikan di kelas, akan tetapi kita harus bisa mengeksplor tulisan kita lebih luas lagi karena jalan yang kita tempuh pun sudah sangat luas. Kita harus sudah bersahabat dengan orang-orang ternama seperti Ken Hyland, Lehtonen dan Chaedar, karena mereka tokoh utama dalam writing 4 ini.

            Sedikit mengulas apa yang Mr.Lala sampaikan di kelas, suatu kelemahan awal itu masih bisa dimaklumi akan tetapi apabila terus menerus diulangi tidak ada kata maaf untuk itu. Ada tiga tingkatan dalam hal tersebut, yang pertama apabila suatu kesalahan diulangi lagi itu masih disebut dengan weekness (kelemahan), apabila masih diulangi untuk yang kedua kalinya itu sudah masuk pada mistake (kesalahan) mistake dan yang lebih menyeramkan lagi apabila kesalahan itu masih diulang lagi untuk yang ketiga kalinya itu sudah termasuk kepada ignorance (mengabaikan).
          Dalam critical review kami yang pertama dan kemarin, masih banyak yang kurang dan tidak sampai pada apa yang Mr.Lala inginkan. Kesalahan terbesar dalam critical review pertama kami yaitu terjebak dalam hal-hal sepele, tidak akrab dengan kata kunci yang disebut wacana kelas, menceritakan fakta-fakta tentang konflik agama tanpa menunjukkan titik perusahaan pandang, struktur generik tidak dibangun dengan baik, pola referensi yang hilang. Akan tetapi dari keslahan-kesalahan diatas masih ada banyak ruang untuk perbaikan.
            Beranajak kepada key issues in writing, Hyland (2002: 2009) Together they tell us something of the current state of play in writing research and teaching and, I hope, provide a basis for thinking, reflecting and reading further on the subject. Hyland (2002; 44) a number of key issues which dominate current understanding of writing:
1.      Writing and context
Cara kita memahami teks telah dikembangkan melalui pemahaman secara canggih tentang context. Makna bukanlah sesuatu yang berada dalam kata-kata yang kita tulis dan kita kirim keorang lain, tetpai diciptakan dari interaksi antar penulis dan pembaca karena mereka memahami kata-kata dengan cara yang berbeda. Akibatnya, analisis dan guru sekarang mencoba untuk memperhitungkan faktor-faktor personal, instutisional, dan sosial yang memepengaruhi tidakan penulis.
Awalnya faktor-faktor contextual sebagian besar dipandang sebagai objective variable separti class, genre, or race, tapi sekarang cebderung dipandang sebagai apa yang akan dilihat oleh partisipan sebagai relafan. 
Context adalah situs untuk hubungan interaksi, dan aturan-aturan yang memesannya, keduanya dapat memfasilitasi dan membatasi menyusun (Hyland 2009).
Cutting (2002: 3) membagi context kedalam tiga aspek yaitu diantaranya:
1)      The Situational context
What people ‘know about what they can see around them’
2)      The Background knowledge context
What people ‘know about world, aspect of life, and each other’
3)      The Co-textual context
What people ‘know about what they have been saying’

2.      Literacy and expertice
Menulis bersama dengan membaca adalah tindakan literasi; bagaimana kita menggunakan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Konsepsi modern tentang literasi mendororng kita  untuk melihat tulisan sebagai praktek sosial, bukan sebagai keteranpilan abstrak dipisahkan dari orang-orang dan tempat-tempat dimana mereka menggunakan teks.
Scribner dan cole (1981: 236) mengatakan “literasi tidak hanya mengetahui cara membaca dan menulis naskah tertentu, tetapi menerapkan pengetahuan ini untuk tujuan tertentu dalam konteks tertentu dalam penggunaanya. Ini mengingat peran literasi untuk membantu kita memahami bagaimana orang-orang memahami hidup mereka melalui praktik rutin yaitu membaca dan menulis. (Hyland 2009: 48)
           A social view of literacy Barton (2007: 34–5)
a.       Literasi merupakan sebuah aktifitas sosial dan paling baik digambarkan dalam hal praktik literasi seseorang.
b.      Setiap orang memiliki literasi yang berbeda-beda yang berkaitan dengan perbedaan daerah atau bidang kehidupannya.
c.       Praktek literasi seseorang diposisikan dalam hubungan sosial yang lebih luas, yang membuatnya perlu untuk dijelaskan pengaturan dari suatu peristiwa literasi.
d.      Praktek literasi dicontohkan dengan institusi sosial dan kekuatan suatu hubungan, dan beberapa literasi juga bahkan lebih dominan, nampak jelas dan berpengaruh dari pada yang lainnya.
e.       Literasi berdasarkan dari sebuah sistem dari simbol-simbol sebagai cara untuk menunjukkan dunia kepada yang lainnya dan juga kepada diri kita sendiri.
f.       Sikap dan nilai-nilai yang kita anut mengenai literasi akan memandu aksi kita dalam berkomunikasi.
g.      Sejarah kehidupan kita sendiri juga mengandung banyak peristiwa literasi darimana kita belajar  untuk berkontribusi terhadap hari ini.
h.      Sebuah peristiwa literasi juga memiliki sejarah sosial yang akan membantu menghasilkan praktik sekarang.

Barton dan Hamilton (1998: 6) dalam bukunya Hyland (2009: 49) berpendapat bahwa “mendefinisikan praktik literasi sebagai cara umum budaya memanfaatkan bahasa menulis dimana orang enggambar dikehidupan mereka”. Sementara praktik-praktik ini adalah apa yang orang lakukan dengan literasi, mereka agak abstrak karena mereka tidak hanya mengacu pada membaca dan menulis, tetapi juga nilai-nilai, perasaan dan konsepsi budaya yang memberikan makna pada penggunaan ini (strat, 1995: 2). Prakti-praktik literasi ini juga bisa disebut “literacy event” (Heath: 1983).
Literacy event itu sendiri adalah peristiwa tampak dimana literasi memiliki peran. Biasanya ada teks tertulis atau teks, pusat aktifitas dan mungkin ada sedikit berbicara disekitar teks. Event adalah peristiwa nampak yang timbul dari praktik atau dibentuk oleh mereka. Gagasan dan eventa menekankan tata letak sifat dari kemahiran literasi, selalu ada dalam konteks sosial. Barton dan Hamilton (1998: 7)
Baynham on researching literacy
Investigating literacy as practice involves investigating literacy as ‘concrete human activity’, not just what people do with literacy, but also what they make of what they do, the values they place on it and the ideologies that surround it. Baynham (1995: 1)

Literacy and power
Tidak semua praktik literasi adalah sama. Negara memiliki kekuasaan yang sangat besar untuk mendefinisikan literasi. Arti dari prakrik literasi dibangun dari konteks yang memiliki kekuatan yang cukup besar dalam sebuah masyarakat seperti pendidikan dan hukum.

3.      Writing and Culture
Gagasan bahwa pengalaman penulis dari praktik literasi dan komunitas yang berbeda akan memepengaruhi pilihan linguistic mereka menunjukkan bahwa guru harus memepertimbangkan bagian yang dimainkan budaya dalam menulis. Budaya secara umum dipahami sebagai jaringan historis yang ditransmisikan dan sistematik makna yang memungkinkan kita untuk memahami, keyakinan kita tentang dunia (Lantolf, 1999). Dan dalam menulis ini disebut sebagai Contrastive Rhetoric.
           Dalam bidang Contractive Rhetoric menimbulkan pertanyaan yang menarik bagi para guru tentang bahasa bisa berpengaruh besar dalam menulis dan bagaimana mempengaruhi tulisan dalam bahasa.
Research on L2 vs L1 students’ writing
·         different organisational preferences and approaches to argumentstructuring
·         different approaches to incorporating material into their writing (paraphrasing, etc.)
·         different perspectives on reader-orientation, on attention-getting devices and on estimates of reader knowledge
·         different uses of cohesion markers, in particular markers which create weaker lexical ties
·         differences in use of overt linguistic features (such as less subordination, more conjunction, less passivisation, fewer free modifiers, less noun-modification, less specific words, less lexical variety, predictable variation and a simpler style). Grabe and Kaplan (1996: 239)

Meskipun CR merupakan penilitian langka dan tradisi paedagogis adat untuk ESL dengan nilai yang cukup bagi guru, harus mengembangkan jenis yang lebih kompleks, lebih penting lagi, guru harus diingatkan bahwa tidak ada yang perlu disandera oleh bahasa dan budaya. Canaragajah (2002: 68)
Menurut Hyland (2009: 56) “culture is fluid” budaya adalah cairan. Beragam dan tidak determine serta orang-orang mungkin menolak atau mengabaikan pola budaya, tapi dengan kata lain, pengalaman sebelumnya membantu pengetahuan skema bentuk, dan akan berdampak pada bagaiman siswa menulis dan tanggapan mereka terhadap konteks kelas.

4.      Writing and Technology
Dizaman sekarang, untuk menjadi seorang penulis dan orang yang berliterasi harus bersahabat dengan teknologi, karena teknologi bisa membantu seorang penulis.
Effects of electronic technologies on writing
·         Change creating, editing, proofreading and formatting processes
·         Combine written texts with visual and audio media more easily
·         Encourage non-linear writing and reading processes through hypertext links
·         Challenge traditional notions of authorship, authority and intellectual property
·         Allow writers access to more information and to connect that information in new ways
·         Change the relationships between writers and readers as readers can often ‘write back’
·         Expand the range of genres and opportunities to reach wider audiences
·         Blur traditional oral and written channel distinctions
·         Introduce possibilities for constructing and projecting new social identities
·         Facilitate entry to new on-line discourse communities
·         Increase the marginalisation of writers who are isolated from new writing technologies
·         Offer writing teachers new challenges and opportunities for classroom practice

5.      Genre
Hyland (2006: 15) “genre” adalah istilah untuk mengumpulkan teks bersama-sama, mewakili bagaimana penulis menggunakan bahasa untuk menanggapi situasi berulang. Setiap genre memiliki fitur yang berbeda engan genre lainnya. Masing-masing fitur memiliki tujuan tertentu, struktur keseluruhan. Hyland (2009: 63) memaparkan juga bahwa genre diakui sebagai tindakan komunikasi.

6.      Identity
Hyland (2009: 70) penelitian terbaru menekankan hubungan dekat antara menulis dan identitas seorang penulis. Dalam arti luas, identitas mengacu pada cara-cara orang menampilkan siapa mereka satu sama lain (Benwell dan Stokoe 2006: 6).

Masih dengan lierasi, ada hubungannya antara literasi dan history.
Lehtonen (2000: 53) mengemukakan pendapatnya, bahwa dalam sejarah umat manusia, menulis nantinya akan menjadi kemampuan yang dominan dari pada berbicara. Bagi warga barat pada pergantian millennium, membaca dan menulis tampaknya kegiatan paling alami dalam hidup. Seperti pada tahun 1985 hampir 30% dari semua orang di bumi tidak bisa memahami teks tertulis. Pada tahun yang sama, hamper 900 juta ari seluruh populasi orang dewasa di dunia  orang yang lebih dari 15 tahun buta huruf.
Keterampilan membaca dan menulis yang dianggap benar-benar tergantung pada peltihan yang disengaja dan pembelajaran yang sadar akan literasi. Dari sudut pandang sejarah, penyebaran lietasi juga dapat diperkirakan telah berdampak pada konsepsi perubahan diri manusia. Kebiasaan membaca dan menulis catatan harian telah signifikan dalam penciptaan gagasan tentang diri yang solid. (Lehtonen. 2000: 54)
Kemudian kita beranjak kepada Intertexual. Menurut Bakhtin dalam bukunya Ken Hyland (2002: 33)  intertextuality menunjukkan bahwa wacana selalu terkait dengan wacana lain, baik saat mereka berubah dari waktu ke waktu dan mereka kesamaan pada setiap titik waktu. Ini menghubungkan teks-pengguna ke jaringan teks sebelum dan sebagainya menyediakan sistem pilihan untuk membuat makna yang dapat dikenali oleh lain teks-pengguna. Karena mereka membantu menciptakan makna yang tersedia dalam suatu budaya, konvensi dikembangkan dalam cara menutup interpretasi tertentu dan membuat orang lain lebih mungkin, dan ini membantu menjelaskan bagaimana penulis membuat pilihan retoris tertentu saat menulis.
Fairclough (1992: 117) membedakan dua jenis intertextuality:
1.      Intertextuality Manifest mengacu pada berbagai cara untuk menggabungkan atau menanggapi teks-teks lain melalui kutipan, parafrase, ironi, dan sebagainya.
2.      Interdiscursivity menyangkut penggunaan penulis set konvensi ditarik dari jenis teks dikenali atau genre. Teks di sini kemudian berhubungan dengan beberapa makna kelembagaan dan sosial.
Menurut Bennet dan Wollacot (Lehtonen 2000: 120) wacana dan intertextual mempengaruhi teks tidak hanya dari luar, tetapi juga dari dalam bentuk-bentuk historis konkret dimana mereka yang bersedia sebagai teks yang dapat dibaca. Hubungan intertextual dibagi menjadi dua John Fisker yaitu:
1.      Horizontal
Teks premier dengan teks premier (genre, konteks, isi)
2.      Vertical
Teks premier dengan lainnya (sekunder) (teks berbeda yang merujuk ke premier)

Tujuan kajian intertextual itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara penuh terhadap sebuah karya. Penulisan atau pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahan sehingga pemberian makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan tersebut. (Teeuw, 1983: 62)

Itulah pemaparan yang terkait dengan literasi-history, intertextual dan beberapa tentang key issues in writing. Kemudian dibawah ini adalah hasil free writing yang saya tulis di kelas dengan keadaan yang sedikit ramai.
Howard Zinn, was an American historian. In the article told about the truth in the history of Chistopher Columbus and his opinion about book. In that article tell that he got some “complain” from many people in this world just because his book entitled A People’s History of the United States. In this article he said that book can change the world and can changes the mind of people. The history of American people start by the history of Columbus that in the first match with people of Caribia. Where Howard Zinn identify Christoper Columbus is a killer, but American people said that Columbus is a hero and than he is who find the American Island.



Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa intertextual, literasi-history mereka saling berhubungan, karena inti dari semuanya adalah literasi. Dengan intertextual tersebut kita bisa bisa memahami apa yang dituliskan oleh si penulis dan sampai manakah si penulis dan dengan intertextual pun kita bisa mengetahui buku apa saja yang dibaca oleh penulis yang tercantum pada teks tersebut.
Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment